• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman perawat dan manajer perawat tentang spiritual care a.Upaya perawat memenuhi kebutuhan spiritual pasien

C. Pelaksanaan spiritual care belum maksimal

5.1. Pembahasan Hasil penelitian

5.1.1 Pemahaman perawat dan manajer perawat tentang spiritual care a.Upaya perawat memenuhi kebutuhan spiritual pasien

Spiritual care adalah praktek dan prosedur keperawatan yang dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien, dimana perawat harus menghormati pasien, berkomunikasi dengan ramah, mendengarkan pasien dan memberi kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan tentang kebutuhannya. Hal tersebut diatas terlihat dalam kutipan pernyataan informan sebagai berikut:

“Perawatan spiritual adalah asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien.” Persepsi informan diatas sejalan dengan pendapat Oswald (2004) yang mengatakan bahwa spiritual care didefenisikan sebagai praktek dan prosedur yang dilakukan oleh perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien guna menopang kesehatan dan kesejahteraan pasien. Hasil penelitian Cavendish et al (2003) juga menyimpulkan bahwa spiritual care adalah praktek dan prosedur yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien.

b. Perawatan tambahan

Informan yang bekerja di ruang haemodialisa mengungkapkan bahwa

spiritual care merupakan perawatan tambahan, bukan fokus utama perawat, karena perawatan yang paling utama adalah perawatan fisik pasien, spiritual care

tidak harus diberikan kepada pasien kecuali perawat memiliki waktu luang. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya waktu dan jumlah perawat diruang haemodialisa. Dari hasil wawancara diketahui bahwa jumlah perawat diruang haemodialisa hanya 3 orang, karena 2 orang perawat sedang mengikuti pendidikan

dan pelatihan tentang haemodialisa. Sementara jumlah pasien setiap hari rata-rata 10-15 orang. Selain melaksanakan tugas-tugas keperawatan, perawat juga melaksanakan tugas non keperawatan. Asumsi peneliti ini didukung oleh Hubbel et al (2006) yang mengatakan bahwa hambatan terbesar perawat dalam memberikan spiritual care adalah kurangnya waktu dan jumlah perawat. Namun hasil penelitian ini kurang sesuai dengan penelitian Mc Sherry (1998) yang mengatakan bahwa perawat perlu mengidentifikasi bio-psiko-sosio-spiritual pasien.

Spiritual caremerupakan hal yang paling dasar untuk keseimbangan antara fisik (body), pikiran/psikologi (mind),dan spirit (spiritt) yang berfungsi untuk kesejahteraan pasien, masing-masing saling berhubungan, dan masing-masing saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Jiwa pasien dianggap penting untuk memotivasi dan membimbing pasien untuk hidup lebih sehat dan lebih berarti. Menggabungkan spiritual dalam konteks keperawatan bagi pasien akan memunculkan semangat yang tinggi bagi pasien sehingga pasien mampu membedakan antara hidup dan kematian, serta kesehatan dan penyakit (Dossey, 2005). Pendapat ini didukung oleh Hamid (2008) yang mengatakan bahwa asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat tidak bisa terlepas dari aspek spiritual yang merupakan bagian integral dari interaksi perawat dengan pasien. Perawat berupaya untuk membantu memenuhi kebutuhan spiritual pasien sebagai bagian dari kebutuhan menyeluruh pasien. Aspek spiritual akan mendorong pasien untuk melakukan upaya yang lebih besar dan lebih kuat untuk melakukan hal-hal yang

terbaik ketika menghadapi penyakitnya bahkan menjelang kematian (Monod et al 2012, Rajinkan, 2006).

c. Perawatan yang berhubungan dengan agama

Sebagian besar informan dalam penelitian ini mempersepsikan spiritual care sebagai perawatan yang diberikan oleh perawat kepada pasien yang berhubungan dengan agama. Menurut Nobel (2004 dalam Chan, 2008) dan Dossey (2005), spiritual care bukan hanya terbatas pada perawatan tentang keagamaan tetapi lebih dari itu. Selain berhubungan dengan agama, spiritual care juga menjelaskan tentang bagaimana hubungan pasien dengan orang lain, hubungan dengan diri sendiri dan hubungan dengan alam sekitarnya. Spiritual care juga memandang spiritual sebagai masalah kehidupan yang tidak dapat diukur yaitu hal-hal yang berhubungan dengan misteri, cinta, penderitaan, harapan, pengampunan, rahmat, perdamaian, dan doa.

d. Perawatan komprehensip

Spiritual care termasuk salah satu komponen dalam perawatan yang komprehensip. Hal ini diungkapkan juga oleh informan dalam penelitian ini. Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan Hamid (2008) bahwa perawat sebagai tenaga kesehatan yang profesional mempunyai kesempatan yang paling besar untuk memberikan asuhan keperawatan yang komprehensip. Pendapat ini didukung oleh Dossey (2005) yang mengatakan bahwa dengan perawat memberikan keperawatan secara komprehensip bagi pasien maka diharapkan semua penyakit bisa disembuhkan dengan terapi yang optimal.

e. Perawatan yang terdiri dari 3 komponen yaitu: perawat, pasien, dan keluarga pasien

Persepsi informan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa pelaksanaanspiritual caretidak akan maksimal tanpa adanya hubungan kerjasama antara perawat, pasien dan keluarga pasien untuk proses penyembuhan pasien. Pasien harus mampu menjalin hubungan yang baik dengan pasien dan keluarganya. Pernyataan informan ini sejalan dengan pendapat Hodge et al (2011) yang mengatakan bahwa selain dengan keluarganya, pasien berharap memiliki interaksi dengan perawat. Pasien berharap perawat memiliki ekspresi wajah yang ramah, empati, dan memberikan informasi tentang penyakitnya dan mendiskusikan tentang pengobatannya.

f. Perawat peduli dengan pasien

Salah satu informan dalam penelitian ini menyatakan bahwa spiritual care

adalah keperawatan yang diberikan pada pasien dengan cara perawat peduli dengan keadaan pasien. Ketika perawat melaksanakan spiritual care pada pasien, perawat harus menerapkan nilai-nilai keperawatan spiritual yang berfokus pada menghormati pasien dan mendengarkan dengan penuh perhatian sebagai ungkapan bahwa perawat peduli dengan pasien. Hasil penelitian Chan (2008) mengatakan bahwa konsep spiritual care dikaitkan dengan kualitas pelayanan interpersonal dalam ekspresi peduli, cinta dan kasih sayang terhadap pasien. Hasil penelitian Hodge et al (2011) juga mengatakan bahwa pasien berharap perawat dengan kata-kata dan bahasa tubuh yang baik, perawat menunjukkan kepeduliannya pada pasien. Pendapat ini didukung oleh Vlasblom (2012) yaitu

pasien akan merasa puas jika perawat mendengarkan keluhan pasien sebagai ungkapan perawat peduli dengan pasien.

Hasil penelitian ini terungkap bahwa pemahaman perawat dan manajer perawat tentang spiritual care di RSUD DR Djoelham Binjai masih kurang. Hal ini mungkin disebabkan perawat dan manajer perawat tidak pernah menerima pendidikan formal dan tidak pernah mengikuti pelatihan atau seminar tentang

spiritual care. Spiritual care baru diorientasikan pada tahun 2005 dengan munculnya Holistic Nursing oleh Barbara Montgomery Dossey, sedangkan jika dilihat dari karakteristik demografi informan, semua informan mengikuti pendidikan D3 dan S1 Keperawatan sebelum tahun 2005. Asumsi peneliti ini didukung dengan hasil penelitian Mc Sherry (1998) dimana mayoritas perawat tidak menerima materi Holistic Nursing selama mengikuti pendidikan keperawatan dan kurangnya pendidikan serta pelatihan tentang dimensi spiritual mengakibatkan perawat kurang memahami tentang spiritual care. Hubbel et al (2006) menemukan bahwa mayoritas perawat mengatakan selama mengikuti pendidikan formal, spiritual care hanya merupakan keterampilan dasar dan tidak ada dalam kurikulum praktek lanjutan, perawat lainnya mengatakan bahwa mereka menerima materi spiritual care tetapi tidak memadai.

Persepsi pada dasarnya menyangkut proses informasi pada diri seseorang dalam hubungannya dengan objek stimulus. Dengan demikian persepsi merupakan gambaran arti atau interpretasi yang bersifat subjektif, artinya persepsi sangat tergantung pada kemampuan dan keadaan diri yang bersangkutan (Gibbson,2001).

5.1.2 Perawat dan manajer perawat dapat mengidentifikasi sebagian