• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Perawat dan Manajer Perawat tentang Spiritual Care di RSUD Dr R.M. Djoelham Binjai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Persepsi Perawat dan Manajer Perawat tentang Spiritual Care di RSUD Dr R.M. Djoelham Binjai"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI PERAWAT DAN MANAJER PERAWAT

TENTANG

SPIRITUAL CARE

DI RSUD

Dr R.M. DJOELHAM BINJAI

TESIS

Oleh

NUR JULIATI SIANTURI

127046020 / ADMINISTRASI KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERSEPSI PERAWAT DAN MANAJER PERAWAT

TENTANG

SPIRITUAL CARE

DI RSUD

Dr R.M. DJOELHAM BINJAI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Administrasi Keperawatan pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Oleh

NUR JULIATI SIANTURI

127046020 /ADMINISTRASI KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 27 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dra. Nurmaini, MKM, Ph.D

Anggota : 1. Nunung Febriany Sitepu, S.Kep, Ns, MNS 2. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si

(5)
(6)

Judul Tesis : Persepsi Perawat dan Manajer Perawat tentang

Spiritual Care di RSUD Dr R.M. Djoelham Binjai Nama Mahasiswa : Nur Juliati Sianturi

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Administrasi Keperawatan Tahun : 2014

ABSTRAK

Spiritual care merupakan praktek dan prosedur keperawatan yang dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien berdasarkan nilai-nilai keperawatan spiritual yang berfokus pada menghormati pasien, interaksi yang ramah dan simpatik, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan tidak mempromosikan agama atau prakteknya untuk meyakinkan pasien tentang agamanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam bagaimana gambaran persepsi perawat dan manajer perawat tentang spiritual care di rumah sakit. Jenis penelitian adalah kualitatif dan desain penelitian fenomenologi deskriptif dengan metode analisis Giorgi. Tehnik purposive sampling digunakan dalam memilih informan sebanyak 8 orang perawat dan 7 orang manajer perawat. Tehnik pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam dan catatan lapangan. Hasil penelitian menemukan 5 tema yang menggambarkan persepsi perawat dan manajer perawat tentang spiritual care

(7)

penyakit terminal, pelaksanaan spiritual care belum maksimal, berbagai hambatan dalam pelaksanaan spiritual care, dan harapan terhadap spiritual care. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perawat dan manajer perawat belum semua paham dan melaksanakan spiritual care secara maksimal, oleh karena itu direkomendasikan kepada administrator keperawatan untuk melakukan advokasi dalam pembuatan kebijakan di rumah sakit tentang kewajiban perawat melaksanakan spiritual care dan manajer perawat perlu membimbing serta bertanggungjawab atas pelaksanaan spiritual care diruangan.

(8)

Thesis Title : Nurses’ and Nurse Managers’ Perception on Spiritual

Care in RSUD Dr R.M. Djoelham, Binjai Name : Nur Juliati Sianturi

Study Program : Master of Nursing Field of Specialization: Nursing Administration Year : 2014

ABSTRACT

(9)

ambiguity, patients, co-workers, no support from superiors, nurses’ personalities, and lack of knowledge. Expectation to spiritual care consisted. The conclusion of the research was that not all nurses and nurse managers understood and implemented spiritual care maximally. Therefore, it is recommended that nursing administrator provide advocacy in making the policy in the hospital about the obligation of nurses to implement spiritual care and nurse managers supervise and be responsible for the implementation of spiritual care in the wards.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Persepsi Perawat dan Manajer Perawat tentang Spiritual Care di RSUD Dr R.M. Djoelham Binjai.”

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Setiawan, S.Kep, MNS, Ph.Dselaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Dra. Nurmaini, MKM, Ph.D selaku pembimbing I.

4. Nunung Febriany Sitepu, S.Kep, Ns, MNS selaku pembimbing II. 5. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si selaku penguji I

6. Wardiyah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep selaku penguji II

7. Para Dosen dan staff Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis.

8. dr. Tengku Amri Fadli selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr.R.M. Djoelham Binjai

9. Suami dan anak-anak yang telah banyak memberikan dukungan.moril dan materiil dalam penyelesaian tesis ini.

(11)

telah banyak membantu dan memberi dukungan untuk menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna dan membutuhkan masukan yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini. Harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, 27 Agustus 2014 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Nur Juliati Sianturi

Tempat/Tanggal Lahir : Balimbingan/ 12 Juli 1970 Alamat : Jl. Danau Tempe Km18 Binjai Alamat email : snurjuliati@yahoo.co.id No. HP : 08126367470

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Pardomuan Nauli 1983 SMP SMP Negeri 2 Tanah Jawa 1986 SMA SMA Negeri Tanah Jawa 1989 D3 Keperawatan Akper DepKes Medan 1992 Sarjana Keperawatan (S.Kep) PSIK USU 2007 Pendidikan Profesi Ners PSIK USU 2008

Kegiatan Akademik Penunjang Studi:

(13)

Peserta pada acara “Workshop Menganalisis Data Kualitatif dengan Metode Content Analysis dan Shoftware Weft-QDA”, 18 Desember 2012 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta pada acara “Seminar Keperawatan Nursing Leadership Menyongsong Asean Community 2015ˮ, 30 Januari 2013.

Peserta pada acara ”2013 Medan International Nursing Conference , 1-2 April 2013, Hoter garuda Plaza.

Peserta pada acara “Seminar dan Workshop Keperawatan Aplikasi Knowledge Management dalam Administrasi Keperawatan di Rumah Sakit”, 13-14 Mei 2013, RSU Dr Pirngadi Medan.

Peserta pada acara “Seminar Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic”, 24 November 2013 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

(14)

DAFTAR ISI

2.1.5 Kesehatan/ Kesejahteraan Spiritual ... 15

2.2 Peran Perawat dalam Spiritual Care ... 16

2.2.1 Pengkajian Kebutuhan Spiritual Pasien ... 17

2.2.2 Merumuskan Diagnosa Keperawatan ... 22

2.2.3 Menyusun Rencana Keperawatan ... 24

2.2.4 Implementasi Keperawatan ... 25

2.2.5 Evaluasi… ... 27

2.3 Standar Operasional Prosedur (SOP) Spiritual Care ... 28

2.4 Peran Manajer Perawat dalam Spiritual Care ... 30

(15)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

3.3 Informan…….... ... 49

3.4 Pengumpulan Data ... 50

3.4.1 Metode Pengumpulan Data ... 50

3.4.2 Alat Pengumpulan Data ... 53

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional ... 55

3.6 Metode Analisis Data ... 55

3.7 Keabsahan Data ... 56

3.8 Pertimbangan Etik ... 57

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 59

4.1 Gambaran Umum RSUD Dr R.M. Djoelham Binjai ... 59

4.2 Karakteristik Demografi Informan ... 64

4.3 Persepsi Perawat dan Manajer Perawat Tentang Spiritual Care. 64 BAB 5. PEMBAHASAN…. ... 94

5.1 Pembahasan Hasil Penelitian ... 94

5.2 Keterbatasan Penelitian ... 114

5.3 Implikasi Keperawatan ... 114

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 116.

6.1 Kesimpulan…… ... 116

6.2 Saran ……… 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Standar Operasional Prosedur Spiritual Care berdasar

kan Nursing Interventions Classification (NIC) Labels… 28 Tabel 4.1. Karakteristik Demografi Perawat………. 65 Tabel 4.2. Karakteristik Demografi Manajer Perawat……… 66 Tabel 4.3. Hasil Content Analisys Persepsi Perawat tentang

Spiritual Care ……….. 66 Tabel 4.4. Hasil Content Analisys Persepsi Manajer Perawat entang

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1.Instrumen Penelitian ... 122

Lampiran 2.Biodata Expert ... 130

Lampiran 3.IzinPenelitian ... 132

1. Surat Izin Dekan ... 133

2. Surat Ethical Clearance ... 134

3. Surat Izin Pengambilan Data ... 135

4. Surat Telah Selesai Melakukan Penelitian ... 136

(18)

Judul Tesis : Persepsi Perawat dan Manajer Perawat tentang

Spiritual Care di RSUD Dr R.M. Djoelham Binjai Nama Mahasiswa : Nur Juliati Sianturi

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Administrasi Keperawatan Tahun : 2014

ABSTRAK

Spiritual care merupakan praktek dan prosedur keperawatan yang dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien berdasarkan nilai-nilai keperawatan spiritual yang berfokus pada menghormati pasien, interaksi yang ramah dan simpatik, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan tidak mempromosikan agama atau prakteknya untuk meyakinkan pasien tentang agamanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam bagaimana gambaran persepsi perawat dan manajer perawat tentang spiritual care di rumah sakit. Jenis penelitian adalah kualitatif dan desain penelitian fenomenologi deskriptif dengan metode analisis Giorgi. Tehnik purposive sampling digunakan dalam memilih informan sebanyak 8 orang perawat dan 7 orang manajer perawat. Tehnik pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam dan catatan lapangan. Hasil penelitian menemukan 5 tema yang menggambarkan persepsi perawat dan manajer perawat tentang spiritual care

(19)

penyakit terminal, pelaksanaan spiritual care belum maksimal, berbagai hambatan dalam pelaksanaan spiritual care, dan harapan terhadap spiritual care. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perawat dan manajer perawat belum semua paham dan melaksanakan spiritual care secara maksimal, oleh karena itu direkomendasikan kepada administrator keperawatan untuk melakukan advokasi dalam pembuatan kebijakan di rumah sakit tentang kewajiban perawat melaksanakan spiritual care dan manajer perawat perlu membimbing serta bertanggungjawab atas pelaksanaan spiritual care diruangan.

(20)

Thesis Title : Nurses’ and Nurse Managers’ Perception on Spiritual

Care in RSUD Dr R.M. Djoelham, Binjai Name : Nur Juliati Sianturi

Study Program : Master of Nursing Field of Specialization: Nursing Administration Year : 2014

ABSTRACT

(21)

ambiguity, patients, co-workers, no support from superiors, nurses’ personalities, and lack of knowledge. Expectation to spiritual care consisted. The conclusion of the research was that not all nurses and nurse managers understood and implemented spiritual care maximally. Therefore, it is recommended that nursing administrator provide advocacy in making the policy in the hospital about the obligation of nurses to implement spiritual care and nurse managers supervise and be responsible for the implementation of spiritual care in the wards.

(22)

Keperawatan sebagai suatu profesi membutuhkan pendidikan yang berkesinambungan bagi anggotanya, memiliki cabang pengetahuan termasuk keterampilan, kemampuan dan norma – norma, menyediakan layanan spesifik, memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan dan memiliki kode etik dalam prakteknya. Perawat sebagai tenaga kesehatan yang profesional memiliki kesempatan yang paling besar untuk memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dengan membantu klien untuk memenuhi kebutuhan dasar yang holistik yaitu bio-psiko-sosio dan spiritual (Potter & Perry, 2009; Roper, 2002). Pada keperawatan menyeluruh ( Holistic Nursing ) aspek spiritual merupakan salah satu komponen yang ada dalam diri individu yang dapat mengharmonisasi aspek fisik (body), pikiran/psikologi (mind), dan spirit (spirit)

(Dossey, 2005). Aspek spiritual dapat mendorong seseorang untuk melakukan upaya yang lebih besar, lebih kuat dan lebih fokus untuk melakukan yang terbaik ketika menghadapi keadaan stres emosional, penyakit, atau bahkan menjelang kematian dengan demikian pasien dapat mencapai kualitas hidup yang terkait dengan kesehatannya (Mc Sherry, 1998; Monod et al 2012; Rajinkan, 2006).

(23)

(2011) tentang kebutuhan spiritual pasien, dimana pasien mengungkapkan bahwa kebutuhan spiritual mereka adalah kebutuhan akan makna, tujuan dan harapan dalam hidup, hubungannya dengan Tuhan, praktek spiritual, kewajiban agama, hubungan dengan sesama dan hubungan dengan perawat. Sementara itu penelitian Narayanasamy (2004) menemukan bahwa kebutuhan spiritual lansia adalah kebutuhan untuk bertahan, mendapatkan kasih sayang, cinta dan dukungan.

Menurut Dover at al (2001) jika kebutuhan spiritual care pasien terpenuhi maka akan memberikan efek bagi pasien dimana efek tersebut berbeda-beda pada setiap pasien. Efek tersebut dapat berupa : pasien menerima praktek spiritual care

yang ditawarkan atau yang diberikan oleh perawat, irama jantung pasien kembali normal, merasa damai, merasakan dan mengungkapkan bahwa Tuhan ada dan hadir dalam hidupnya, pasien menerima untuk diajak berdoa saat pasien koma, melakukan komunikasi dengan Tuhan, keinginan untuk bunuh diri terhenti. Koeniq (2002) menemukan efek dari terpenuhinya spiritualcarepasien yaitu : 90 % dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dan 75 % pasien akan berumur panjang, Jenkins (2010) juga mengatakan bahwa melalui intervensi

spiritual care, pasien akan merasa damai dan sejahtera pada saat pasien mengalami stres dan sedih, pasien juga merasakan akan lebih mudah memahami makna dan tujuan hidupnya pada saat masa-masa sulit dalam hidupnya.

(24)

memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spiritual pasien yaitu perawat harus mampu mendapatkan informasi dari pasien tentang spiritual dan prakteknya yang dapat disediakan di rumah sakit, membantu pasien untuk mengungkapkan persepsinya mengenai makna dalam keadaan sakit, menerapkan prinsip membantu pasien melaksanakan konsep - konsep spiritual dalam suatu konteks keperawatan. Hal ini dapat terlaksana jika perawat memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami aspek spiritual pasien, dan bagaimana keyakinan spiritual dapat mempengaruhi kehidupan setiap individu (Dossey, 2005; Hamid, 2008; Mc Sherry , 1998; Potter & Perry, 2005).

(25)

dari praktek keperawatan namun 73 % perawat mengatakan tidak rutin memberikan spiritual care pada pasien, bahkan penelitian Stranahan (2001, dalam Hubbell et al, 2006) menunjukkan 57 % perawat tidak pernah melaksanakan

spiritual care, Mc Sherry (1998) juga menemukan hanya 39,9 % perawat memberikan spiritual care pada pasien.

Manajer perawat memiliki tanggungjawab untuk memimpin dan membimbing staf perawat dalam melakukan pendekatan spiritual pada praktek keperawatan, memastikan bahwa pasien sudah menerima perawatan secara holistik, melakukan pengembangan kebijakan terkait tentang penyediaan spiritual care bagi pasien rawat inap yang sesuai dengan visi dan tujuan rumah sakit (Jenkins, 2010; Meehan, 2012).

Hasil penelitian Amankwaa et al (2013) menemukan manajer perawat tidak menjalankan perannya untuk membimbing perawat dalam memberikan spiritual care pada pasien rawat inap, hal ini disebabkan karena manajer perawat menganggap bahwa melakukan bimbingan kepada staf perawat tentang pemberian

spiritual care bukan merupakan tugas dan tanggungjawab mereka dan tidak ada kebijakan tertulis tentang peran tersebut.

(26)

menunjukkan pemahaman spiritual care yang memuaskan dan menyediakan

spiritual care pada pasien.

Rumah Sakit Umum Daerah DR Djoelham Binjai merupakan Rumah Sakit Tipe B dan rumah sakit rujukan di Kota Binjai. Rumah Sakit ini memiliki jumlah perawat 171 orang dengan latar belakang pendidikan sebagai berikut : D III Keperawatan : 133 orang dan S1 Keperawatan : 38 orang. Peneliti telah melakukan studi pendahuluan dengan melakukan wawancara terhadap manajer perawat dan tiga orang perawat. Perawat E menyatakan bahwa “saya kurang mengerti tentang spiritual care, yang saya tahu jika ada pasien yang kritis/menjelang ajal saya sarankan keluarga untuk bantu doa atau menyarankan pada keluarga pasien untuk memanggil rohaniawan.” Perawat A menyatakan, “spiritual care merupakan bimbingan yang diberikan kepada pasien berdasarkan agama yang dianutnya, jika ada pasien yang mengeluh sakit saya anjurkan untuk berdoa meminta kesembuhan pada Tuhan, tetapi bimbingan ini lebih sering pada pasien yang kritis/gawat.

Menurut manajer perawat : spiritual carepada prinsipnya adalah hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan pasien, untuk itu manajer perawat sudah mengarahkan perawat diruangan untuk memberikan spiritual care pada pasien.

(27)

Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam bagaimana persepsi perawat dan manajer perawat tentang spiritual care di RSUD DR Djoelham Binjai.

1.2 Permasalahan

Spiritual care yang diberikan oleh perawat dan manajer perawat pada pasien bertujuan untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien selama pasien dirawat di rumah sakit sehingga tercapai kesehatan dan kesejahteraan pasien. Namun kenyataannya pemenuhan kebutuhan spiritual care pasien masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan hasil survey awal di RSUD DR Djoelham Binjai diperoleh gambaran bahwa belum terciptanya sistem manajemen bangsal yang mampu mendorong perawat untuk melakukan asuhan keperawatan secara komprehensip, disamping itu sistem pendokumentasian spiritual care dianggap menyita waktu perawat dan manajer perawat. Dengan demikian perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana persepsi perawat dan manajer perawat tentang spiritual care di rumah sakit.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi secara mendalam bagaimana gambaran persepsi perawat dan manajer perawat tentang spiritual care di rumah sakit.

1.4 Manfaat Penelitian

(28)

Hasil penelitian dapat dijadikan acuan bagi manajer perawat dalam membuat dan mengambil kebijakan tentang pemberian asuhan keperawatan terkait dengan aspek spiritual care pada pasien dan perawat termotivasi untuk melaksanakannya.

1.4.2 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan ilmu keperawatan khususnya terkait dengan spiritual care.

1.4.3 Penelitian Keperawatan

(29)
(30)

2.1.1 Defenisi Spiritual

Kata spiritual berasal dari bahasa Latin yaitu spiritusyang berarti hembusan atau bernafas, kata ini memberikan makna segala sesuatu yang penting bagi hidup manusia. Seseorang dikatakan memiliki spirit yang baik jika orang tersebut memiliki harapan penuh, optimis dan berfikir positif, sebaliknya jika seseorang kehilangan spiritnya maka orang tersebut akan menunjukkan sikap putus asa, pesimis dan berfikir negatif (Blais et al, 2002 ; Roper, 2002).

Terdapat berbagai defenisi spiritual menurut sudut pandang masing-masing. Mahmoodishan (2010) dan Vlasblom (2012) mendefenisikan spiritualitas merupakan konsep yang luas, sangat subjektif dan individualis, diartikan dengan cara yang berbeda pada setiap orang. Spiritualitas adalah kepercayaan seseorang akan adanya Tuhan, dan kepercayaan ini menjadi sumber kekuatan pada saat sakit sehingga akan mempengaruhi keyakinannya tentang penyebab penyakit, proses penyembuhan penyakit dan memilih orang yang akan merawatnya (Blais et al, 2002; Hamid, 2008).

(31)

sedangkan agama merupakan bagian dari spiritualitas yang terkait dengan budaya dan masyarakat (McEwen, 2003).

2.1.2. Spiritual Care

Spiritual Care adalah praktek dan prosedur yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien (Cavendish et al, 2003). Menurut Meehan (2012) spiritual care adalah kegiatan dalam keperawatan untuk membantu pasien yang dilakukan melalui sikap dan tindakan praktek keperawatan berdasarkan nilai-nilai keperawatan spiritual yaitu mengakui martabat manusia, kebaikan, belas kasih, ketenangan dan kelemahlembutan.

Chan (2008) dan Mc Sherry & Jamieson (2010) mengatakan bahwa

spiritual care merupakan aspek perawatan yang integral dan fundamental dimana perawat menunjukkan kepedulian kepada pasien.

Spiritual care berfokus pada menghormati pasien, interaksi yang ramah dan simpatik, mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan kekuatan pada pasien dalam menghadapi penyakitnya (Mahmoodishan, 2010). Spiritual care tidak mempromosikan agama atau praktek untuk meyakinkan pasien tentang agamannya melainkan memberi kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan nilai-nilai dan kebutuhan mereka, dan memberdayakan mereka terkait dengan penyakitnya ( Souza et al, 2007 dalam Sartori, 2010).

(32)

penuh perhatian, memberi kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan kebutuhan pasien, memberikan kekuatan pada pasien dan memberdayakan mereka terkait dengan penyakitnya, dan tidak mempromosikan agama atau praktek untuk meyakinkan pasien tentang agamannya.

2.1.3. Kebutuhan Spiritual

Setiap manusia memiliki dimensi spiritual dan semua pasien memiliki kebutuhan spiritual dan kebutuhan ini menonjol pada saat keadaan stres emosional, sakit, atau bahkan menjelang kematian. Oleh karena itu perawat harus sensitif akan kebutuhan spiritual pasien dan berespon dengan tepat. Pemenuhan kebutuhan spiritual pasien dapat meningkatkan perilaku koping dan memperluas sumber-sumber kekuatan pada pasien (Kozier et al, 2004).

Hamid (2008) mengatakan bahwa kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, adanya rasa keterikatan, kebutuhan untuk memberi dan mendapat maaf. Speck (2005, dalam Sartori, 2010) menggambarkan kebutuhan spiritual sebagai bagian penting dari kehidupan kita yang dapat membantu kita untuk mengatasi kondisi kita, menemukan makna dan tujuan, serta harapan dalam hidup. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hodge et al (2011) menemukan enam kebutuhan spiritual pasien yaitu :

a. Makna,tujuan, dan harapan hidup

(33)

putus asa, berfikir positif, mensyukuri berkat Tuhan, fokus pada hal-hal yang baik,membuat hidup menjadi lebih berarti. Kebutuhan akan makna, tujuan, dan harapan erat kaitannya dengan kebutuhan akan hubungan dengan Tuhan.

b. Hubungan dengan Tuhan

Bagi pasien hubungan dengan Tuhan menjadi kebutuhan yang sangat penting yang dapat membantu mereka menghadapi masa-masa sulit, memberikan rasa yang utuh tentang makna dan tujuan serta memberikan harapan untuk masa kini, masa depan, dan masa akhirat. Perilaku yang ditunjukkan pasien adalah memohon, komunikasi dengan Tuhan, menerima kehendak Tuhan, menerima rencana Tuhan, percaya bahwa Tuhan yang menyembuhkan penyakitnya, yakin akan kehadiran Tuhan pada masa-masa perawatan penyakitnya dan pasien percaya Tuhan yang memelihara dan mengawasi mereka.

c. Praktek spiritual

Pasien mempunyai keinginan untuk terlibat dalam kegiatan ibadah secara rutin. Dengan kegiatan ibadah pasien berharap dapat meningkatkan hubungan dengan Tuhan sehingga dapat mengatasi segala cobaan yang mereka hadapi. Kegiatan yang dilakukan oleh pasien adalah berdoa, membaca kitab suci, pelayanan keagamaan, mendengar musik rohani dan membaca buku yang bertema rohani.

d. Kewajiban agama

(34)

e. Hubungan interpersonal

Selain hubungan dengan Tuhan, pasien juga membutuhkan hubungan dengan orang lain, termasuk hubungan dengan kaum ulama. Kebutuhan ini meliputi : mengunjungi anggota keluarga, menerima doa orang lain, meminta maaf, menerima dukungan, dihargai dan dicintai orang lain.

f.Hubungan dengan perawat dan tenaga kesehatan lainnya

Pasien berharap memiliki interaksi dengan perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Pasien membutuhkan para tenaga kesehatan memiliki ekspresi wajah yang ramah, kata-kata dan bahasa tubuh yang baik, menghormati, empati, peduli, memberikan informasi tentang penyakitnya secara lengkap dan akurat, dan mendiskusikan tentang pilihan pengobatan.

Narayanasamy (1991, 2001 dalam McSherry, 2006) mengatakan bahwa kebutuhan spiritual pasien adalah kebutuhan akan makna dan tujuan, kebutuhan akan cinta dan hubungan yang harmonis,kebutuhan akan pengampunan, kebutuhan akan sumber pengharapan dan kekuatan, kebutuhan akan kreativitas, kebutuhan akan kepercayaan, kebutuhan untuk mengekspresikan keyakinan pribadi, kebutuhan untuk mempertahankan praktek spiritual, dan keyakinan pada Tuhan atau dewa.

Penjelasan lebih rinci terkait kebutuhan spiritual pasien menurut Narayanasamy (1991, 2001 dalam McSherry,2006) :

a. Kebutuhan akan makna dan tujuan

(35)

b. Cinta dan hubungan yang harmonis

Tanpa adanya cinta dan hubungan yang harmonis dengan orang lain misalnya pasangan kita atau teman dekat, kita akan merasa sendiri dan kehilangan sentuhan, rasa aman dan cinta.

c. Kebutuhan akan pengampunan.

Dalam kehidupan kita pasti akan mengalami hal-hal yang dapat mengganggu dan adanya konflik. Akibatnya kita marah dan merasa bersalah, yang dapat mengakibatkan gangguan fisik, psikologis, sosial, dan kesejahteraan spiritual. Untuk menjaga keseimbangan ini, kita mencoba untuk menyelesaikan konflik dalam hidup kita dengan cara memaafkan dan dimaafkan.

d. Kebutuhan akan kreativitas

Kemampuan untuk menemukan makna, ekspresi dan nilai dalam aspek kehidupan seperti kegiatan sastra, seni, dan musik yang berasal dari kreativitas setiap individu memberikan ekspresi, makna, serta sarana komunikasi. Kreativitas akan menciptakan emosi seseorang dan perasaan yang indah dalam bentuk kreasi. e. Kebutuhan akan kepercayaan

Individu akan merasa terisolasi dan diabaikan ketika kehilangan kepercayaan. Kepercayaan merupakan dasar untuk membangun persahabatan dan membina hubungan dengan orang lain.

f. Kebutuhan untuk mengekspresi keyakinan pribadi

(36)

g. Kebutuhan untuk mempertahankan praktek spiritual

Kegiatan akan kebutuhan ini adalah berdoa, menghadiri kebaktian gereja, mesjid atau kuil. Selama periode sakit atau dirawat inap, pasien berharap kebutuhan ini tetap terpenuhi.

h. Keyakinan pada Tuhan atau dewa

Hal ini merupakan dimensi penting dari spiritual untuk beberapa individu. Mereka yakin akan adanya kekuatan dari Tuhan atau dewa yang menciptakan dunia.

Dalam mengidentifikasi kebutuhan spiritual pasien, perawat harus memiliki pemahaman dasar tentang kebutuhan spiritual pasien, menghormati setiap keinginan pasien, menyadari bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual pasien bukan mempromosikan agama, perawat harus memahami spiritual mereka sendiri sebelum mereka memenuhi kebutuhan spiritual pasien, memiliki komitmen dan benar-benar berusaha untuk memahami kebutuhan pasien. Kebutuhan spiritual pasien dapat diketahui perawat dengan mendengarkan secara aktif apa yang disampaikan atau dikeluhkan oleh pasien melalui terciptanya komunikasi yang efektif dan pengamatan terhadap pasien (Sartori, 2010).

2.1.4. Distres Spiritual

(37)

Kozier (2004) juga mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan dengan distres spiritual seseorang meliputi masalah-masalah fisiologis antara lain diagnosis penyakit terminal, penyakit yang menimbulkan kecacatan atau kelemahan, nyeri, kehilangan organ atau fungsi tubuh atau kematian bayi saat lahir, masalah terapi atau pengobatan antara lain anjuran untuk transfusi darah, aborsi, tindakan pembedahan, amputasi bagian tubuh dan isolasi, masalah situasional antara lain kematian atau penyakit pada orang-orang yang dicintai, ketidakmampuan untuk melakukan praktek spiritual (Carpenitto, 2002 dalam Kozier et al, 2004). Karakteristik pasien yang mengalami distres spiritual menurut Dover (2001) antara lain: pasien putus asa, tidak memiliki tujuan dalam hidupnya, menganggap dirinya dijauhi Tuhan, dan tidak melakukan kegiatan ibadah.

Ketika sakit, kehilangan atau nyeri menyerang seseorang, kekuatan spiritual dapat membantu seseorang untuk sembuh. Selama sakit atau kehilangan, misalnya saja, individu merasa kurang mampu untuk merawat diri mereka dan lebih bergantung pada orang lain. Distres spiritual dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna tentang apa yang terjadi, dan dapat mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan terasing. Untuk itu diharapkan perawat mengintegrasikan perawatan spiritual kedalam proses keperawatan (Potter & Perry, 2004).

2.1.5. Kesehatan/Kesejahteraan Spiritual

(38)

seseorang menemukan adanya keseimbangan antara nilai, tujuan, dan keyakinan mereka akan hubungannya dengan diri sendiri dan orang lain (Potter & Perry, 2004). Ellison (1983 dan Pilch 1988 dalam Kozier et al, 2004) mendefenisikan kesehatan spiritual adalah suatu cara hidupyang penuh makna, berguna, menyenangkan dan bebas untuk memilih setiap ada kesempatan yang sesuai dengan nilai-nilai spiritual.

Manusia memelihara dan meningkatkan spiritualnya dengan berbagai cara, ada yang memfokuskan pada pengembangan dirinya sendiri yaitu dialognya dengan Tuhan melalui doa, meditasi, melalui mimpi, berkomunikasi dengan alam, atau melalui ekspresi dibidang seni seperti drama, musik dan menari, sementara yang lain lebih memfokuskan pada dunia luar yaitu dengan mencintai orang lain, melayani orang lain, gembira, tertawa, terlibat dalam pelayanan keagamaan, persahabatan dan aktivitas bersama, rasa haru, empati, pengampunan, dan harapan (Kozier et al, 2004). Hasil penelitian Dover (2001) dan Monod (2012) menyimpulkan ketika penyakit menyerang seseorang maka kesehatan spiritualnya dapat membantu untuk sembuh karena yakin semua usaha yang dilakukannya akan berhasil, pasien mampu melewati masa-masa sulit dalam hidupnya, dan tidak menyerah dengan penyakitnya.

2.2. Peran Perawat Dalam Spiritual Care

Dahulu spiritual carebelum dianggapsebagai suatu dimensiNursing Therapeutic, tetapi dengan munculnya Holistic Nursing maka Spiritual care

(39)

keperawatan (O′Brien, 1999). Perawat merupakan orang yang selalu hadir ketika seseorang sakit, kelahiran, dan kematian. Pada peristiwa kehidupan tersebut kebutuhan spiritual sering menonjol, dalam hal ini perawat berperan untuk memberikan spiritual care (Cavendish, 2003).

Balldacchino (2006) menyimpulkan bahwa perawat berperan dalam proses keperawatan yaitu melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun rencana dan implementasi keperawatan serta melakukan evaluasi kebutuhan spiritual pasien, perawat juga berperan dalam komunikasi dengan pasien, tim kesehatan lainnya dan organisasi klinis/pendidikan, serta menjaga masalah etik dalam keperawatan. Peran perawat dalam proses keperawatan terkait dengan spiritual caredijelaskan sebagai berikut :

2.2.1. Pengkajian kebutuhan spiritual pasien

Pengkajian spiritual menurut Kozier et al (2004) terdiri dari pengkajian riwayat keperawatan dan pengkajian klinik. Pada pengkajian riwayat keperawatan semua pasien diberikan satu atau dua pertanyaan misalnya ‟apakah keyakinan dan praktek spiritual penting untuk anda sekarang?”, bagaimana perawat dapat memberikan dukungan spiritual pada anda?”. Pasien yang memperlihatkan beberapa kebutuhan spiritual yang tidak sehat yang beresiko mengalami distres spiritualharus dilakukan pengkajian spiritual lebih lanjut.

(40)

dan saling percaya, hal ini akan meningkatkan keberhasilan pengkajian spiritual pasien. Pertanyaan yang diajukan pada pasien saat wawancara untuk mengkaji spiritual pasien antara lain : adakah praktik keagamaan yang penting bagi anda?, dapatkah anda menceritakannya pada saya?, bagaimana situasi yang dapat mengganggu praktik keagamaan anda?, bagaimana keyakinan anda bermanfaat bagi anda?, apakah cara-cara itu penting untuk kebaikan anda sekarang?, dengan cara bagaimana saya dapat memberi dukungan pada spiritual anda?, apakah anda menginginkan dikunjungi oleh pemuka agama di rumah sakit?, apa harapan-harapan anda dan sumber-sumber kekuatan anda sekarang?, apa yang membuat anda merasa nyaman selama masa-masa sulit ini?.

Pada pengkajian klinik menurut Kozier et al (2004) meliputi :

a. Lingkungan yaitu apakah pasien memiliki kitab suci atau dilingkungannya terdapat kitab suci atau buku doa lainnya, literatur-literatur keagamaan, penghargaan keagamaan, simbol keagamaan misalnya tasbih, salib dan sebagainya diruangan? Apakah gereja atau mesjid mengirimkan bunga atau buletin?.

b. Perilaku yaitu apakah pasien berdoa sebelum makan atau pada waktu lainnya atau membaca literatur keagamaan? Apakah pasien mengalami mimpi buruk dan gangguan tidur atau mengekspresikan kemarahan pada Tuhan?

(41)

kunjungan pemuka agama? Apakah pasien mengekspresikan ketakutannya akan kematian?

d. Afek dan sikap yaitu apakah pasien menunjukkan tanda-tanda kesepian, depresi, marah, cemas, apatis atau tampak tekun berdoa?

e. Hubungan interpersonal yaitu siapa yang berkunjung? Apakah pasien berespon terhadap pengunjung? Apakah ada pemuka agama yang datang? Apakah pasien bersosialisasi dengan pasien lainnya atau staf perawat?.

Hamid (2008) mengatakan bahwa pada dasarnya informasi awal yang perlu dikaji secara umum adalah sebagai berikut :

a. Afiliasi agama : partisipasi pasien dalam kegiatan agama apakah dilakukan secara aktif atau tidak, jenis partisipasi dalam kegiatan agama.

b. Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi : praktek kesehatan yaitu diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau upacara agama, persepsi penyakit yaitu hukuman, cobaan terhadap keyakinan, dan strategi koping.

c. Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi : tujuan dan arti hidup, tujuan dan arti kematian, kesehatan dan pemeliharaannnya, hubungan dengan Tuhan ,diri sendiri dan orang lain.

(42)

kehidupan anda? Kepada siapa anda biasanya meminta bantuan? Apakah anda merasa bahwa kepercayaan (agama) membantu anda? Jika ya, jelaskan bagaimana dapat membantu anda? Apakah sakit atau kejadian penting lainnya yang pernah anda alami telah mengubah perasaan anda terhadap Tuhan? Mengapa anda di rumah sakit? Apakah kondisi sakit telah mempengaruhi cara anda memandang kehidupan? Apakah penyakit anda telah mempengarui hubungan anda dengan orang yang paling berarti dalam kehidupan anda? Apakah kondisi sakit yang anda alami telah mempengaruhi cara anda melihat diri anda sendiri? Apakah yang paling anda butuhkan saat ini?

Dalam mengkaji spiritual pada anak, Craven & Hirnle (1995, dalam Hamid, 2008) membuat pertanyaan sebagai berikut : bagaimana perasaanmu ketika dalam kesulitan? Selain kepada orang tua kepada siapa engkau meminta perlindungan ketika sedang merasa takut? Apa kegemaran yang dilakukan ketika sedang merasa gembira atau sedih? Engkau tahu siapa Tuhan itu?

(43)

kepedulian tentang hubungan dengan Tuhan, pertanyaan tentang arti keberadaannnya didunia, arti penderitaan? Siapa pengunjung pasien? Bagaimana pasien berespon terhadap pengunjung? Apakah pemuka agama datang menjenguk pasien? Bagaimana pasien berhubungan dengan pasien yang lain dan dengan tenaga keperawatan? Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan sembahyang lainnya? Apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan?. Menurut Smyt (2011) pengkajian spiritual pasien dimulai dari pasien atau keluarga pasien dengan cara mendengarkan dan melalui pengamatan termasuk interaksi pasien dengan perawat, keluarga dan pengunjung lainnya, pola tidur, gangguan fisik, dan tekanan emosional.

(44)

2.2.2. Merumuskan Diagnosa Keperawatan

O′Brien (1998, 69) mengatakan bahwa peran perawat dalam merumuskan

diagnosa keperawatan terkait dengan spiritual pasien mengacu pada

distresspiritual yaitu spiritual pain, pengasingan diri (spiritual alienation),

kecemasan (spiritual anxiety), rasa bersalah (spiritual guilt), marah (spiritual anger), kehilangan (spiritual loss), putus asa (spiritual despair). Distres spiritualselanjutnya dijabarkan dengan lebih spesifik sebagai berikut :

a. Spiritual pain

Spiritual painmerupakan ekspresi atau ungkapan dari ketidaknyamanan pasien akan hubungannya dengan Tuhan. Pasien dengan penyakit terminal atau penyakit kronis mengalami gangguan spiritual dengan mengatakan bahwa pasien merasa hampa karena selama hidupnya tidak sesuai dengan yang Tuhan inginkan, ungkapan ini lebih menonjol ketika pasien menjelang ajal.

b. Pengasingan diri (spiritual alienation)

Pengasingan diri diekspresikan pasien melalui ungkapan bahwa pasien merasa kesepian atau merasa Tuhan menjauhi dirinya. Pasien dengan penyakit kronis merasa frustasi sehingga bertanya : dimana Tuhan ketika saya butuh Dia hadir?

c. Kecemasan (spiritual anxiety)

(45)

d. Rasa bersalah (spiritual guilt)

Pasien mengatakan bahwa dia telah gagal melakukan hal-hal yang seharusnya dia lakukan dalam hidupnya atau mengakui telah melakukan hal-hal yang tidak disukai Tuhan.

e. Marah (spiritual anger)

Pasien mengekspresikan frustasi, kesedihan yang mendalam, Tuhan kejam. Keluarga pasien juga marah dengan mengatakan mengapa Tuhan mengijinkan orang yang mereka cintai menderita.

f. Kehilangan (spiritual loss)

Pasien mengungkapkan bahwa dirinya kehilangan cinta dari Tuhan, takut bahwa hubungannya dengan Tuhan terancam, perasaan yang kosong. Kehilangan sering diartikan dengan depresi, merasa tidak berguna dan tidak berdaya.

g. Putus asa (spiritual despair)

Pasien mengungkapkan bahwa tidak ada harapan untuk memiliki suatu hubungan dengan Tuhan, Tuhan tidak merawat dia. Secara umum orang-orang yang beriman sangat jarang mengalami keputusasaan.

(46)

2.2.3. Menyusun rencana keperawatan

Rencana keperawatan membantu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam diagnosa keperawatan. Rencana keperawatan merupakan kunci untuk memberikan kebutuhan spiritual pasien dengan menekankan pentingnya komunikasi yang efektif antara pasien dengan anggota tim kesehatan lainnya, dengan keluarga pasien, atau orang-orang terdekat pasien. Memperhatikan kebutuhan spiritual pasien memerlukan waktu yang banyak bagi perawat dan menjadi sebuah tantangan bagi perawat disela-sela kegiatan rutin di ruang rawat inap, sehingga malam hari merupakan waktu yang disarankan untuk untuk berkomunikasi dengan pasien (Govier, 2000).

Pada fase rencana keperawatan, perawat membantu pasien untuk mencapai tujuan yaitu memelihara atau memulihkan kesejahteraan spiritual sehingga kepuasan spiritual dapat terwujud. Rencanaan keperawatan sesuai dengan diagnosa keperawatan berdasarkan NANDA (2012) meliputi :

a.Mengkaji adanya indikasi ketaatan pasien dalam beragama, mengkaji sumber-sumber harapan dan kekuatan pasien, mendengarkan pendapat pasien tentang hubungan spiritual dan kesehatan, memberikan privasi, waktu dan tempat bagi pasien untuk melakukan praktek spiritual, menjelaskan pentingnya hubungan dengan Tuhan, empati terhadap perasaan pasien, kolaborasi dengan pemuka agama, meyakinkan pasien bahwa perawat selalu mendukung pasien.

(47)

informasi tentang penyakit pasien, melibatkan keluarga untuk mendampingi pasien, mengajarkan dan menganjurkan pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi, mendengarkan pasien dengan aktif, membantu pasien mengenali situasi yang menimbulkan kecemasan, mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, dan persepsi.

c. Membantu pasien untuk beradaptasi terhadap perubahan atau ancaman dalam kehidupan, meningkatkan hubungan interpersonal pasien, memberikan rasa aman.

2.2.4.Implementasi keperawatan

Perawat dapat menggunakan empat alat/instrumen spiritual untuk membantu perawat dalam melaksanakan spiritual care yaitu perawat perlu mendengarkan pasien, perawat perlu hadir setiap saat untuk pasien, kemampuan perawat untuk menerima apa yang disampaikan pasien, dan menyikapi dengan bijaksana keterbukaan pasien pada perawat. Perawat perlu menyadari bahwa memberikan spiritual care bukan hanya tugas dari pemuka agama, oleh karena itu perawat juga harus mengenali keterbatasan pada diri sendiri dan harus bekerjasama dengan disiplin ilmu lain seperti pembimbing rohani yang ada di rumah sakit, sehingga dapat berperan penting dalam memberikan dukungan terhadap kebutuhan spiritual pasien (Govier, 2000).

(48)

dan menghibur misalnya dengan terapi musik. Kozier et al (2004) mengatakan bahwa perawat perlu mempertimbangkan praktek keagamaan tertentu yang akan mempengaruhi asuhan keperawatan, seperti keyakinan pasien tentang kelahiran, kematian, berpakaian, berdoa, dan perawat perlu mendukung spiritual pasien.

Kehadiran menurut Zerwekh (1997 dalam Kozier et al, 2004) diartikan bahwa perawat hadir dan menyatu dengan pasien. Osterman dan Schwartz-Barcott (1996 dalam Kozier et al, 2004) mengidentifikasi empat cara pendampingan untuk pasien yaitu presensi yakni ketika perawat secara fisik hadir tetapi tidak fokus pada pasien, presensi parsial yakni ketika perawat secara fisik hadir dan mulai berusaha fokus pada pasien, presensi penuh yakni ketika perawat hadir disamping pasien baik secara fisik, mental maupun emosional, dan dengan sengaja memfokuskan diri pada pasien, presensi transenden yakni ketika perawat hadir baik secara fisik, mental, emosional, maupun spiritual.

Membantu berdoa atau mendoakan pasien juga merupakan salah satu tindakan keperawatan terkait spiritual pasien. Berdoa melibatkan rasa cinta dan keterhubungan. Pasien dapat memilih untuk berpartisipasi secara pribadi atau secara kelompok dengan keluarga, teman atau pemuka agama. Pada situasi ini peran perawat adalah memastikan ketenangan lingkungan dan privasi pasien terjaga.

(49)

perlu menyediakan waktu bersama pasien setelah selesai berdoa, untuk memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya (Kozier et al, 2004).

Menurut Kozier et al (2004) perawat perlu juga merujuk pasien kepada pemuka agama. Rujukan mungkin diperlukan ketika perawat membuat diagnosa

distres spiritual, perawat dan pemuka agama dapat bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien. McSherry (2010) mengatakan bahwa dalam implementasi perawat harus peduli, penuh kasih, gembira, ramah dalam berinteraksi, dan menghargai privasi.

2.2.5.Evaluasi

Untuk melengkapi siklus proses keperawatan spiritual pasien, perawat harus melakukan evaluasi yaitu dengan menentukan apakah tujuan telah tercapai. Hal ini sulit dilakukan karena dimensi spiritual yang bersifat subjektif dan lebih kompleks. Membahas hasil dengan pasien dari implementasi yang telah dilakukan tampaknya menjadi cara yang baik untuk mengevaluasi spiritual care pasien (Govier, 2000).

(50)

2.3. Standar Operasional Prosedur (SOP) Spiritual Care

Penelitian Baldacchino (2006) dan Cavendish et al (2003) menemukan jika perawat melakukan kegiatan spiritual care, jenis dan frekwensi dari intervensi tidak diketahui karena spiritual care jarang bahkan tidak pernah didokumentasikan. Menurut Broten (1997 dalam Cavendish et al (2003) mengatakan beberapa perawat tidak mendokumentasikan kegiatan spiritual care

karena tidak ada petunjuk pelaksanaan. Cavendish et al (2003) mengungkapkan bahwa dalam memberikan spiritual care pada pasien, perawat dapat menggunakan petunjuk pelaksanaan Nursing Interventions Classification (NIC) Labels. Kegiatan perawat dalam memberikan spiritual care dikategorikan menjadi 10 kategori yaitu: fasilitasi pertumbuhan spiritual, dukungan spiritual, kehadiran, mendengarkan dengan aktif, humor, sentuhan, terapi sentuhan, peningkatan kesadaran diri, rujukan, dan terapi musik. Sepuluh kategori tersebut akan diuraikan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Standar Operasional Prosedur Spiritual Care berdasarkan Nursing Interventions Classification (NIC) Labels

NO NIC Label Perencanaan NIC Pelaksanaan NIC 1. Fasilitasi

c. Mendukung pasien aktif

dalam kegiatan keagamaan

d. Mendorong pasien meningkatkan

hubungan

a. Menanyakan pasien tentang perasaannya

b. Mendorong pasien berdoa c. Mendoakan pasien

d. Mendorong keluarga, kerabat berdoa bersama pasien

(51)

NO NIC Label Perencanaan NIC Pelaksanaan NIC dengan keluarga, orang

lain dan pemuka agama

e. Mempromosikan

f. Meminta keluarga, kerabat peduli dengan spiritual

pasien

g. Memberikan kartu ucapan pada pasien

h. Menyediakan lingkungan yang nyaman

i. Merujuk kepemuka agama j. Menyediakan tempat berdoa

pasien dengan pemuka

c. Menyediakan artikel keagamaan

a. Mengingatkan pasien untuk ibadah

b. Mengantar pasien ibadah c. Menawarkan spiritual care

d. Menanyakan apakah pasien dan keluarga butuh pemuka agama

e. Menyediakanartikel keagamaan

f. Mengijinkan pasien untuk meditasi, berdoa, dan 3. Kehadiran a. Menunjukkan sikap

menerima

a. Mengakui pasien sebagai individu yang unik

(52)

positif

d. Mendengarkan keprihatinan pasien e. Menyentuh pasien

:memeluk,membelai, berpegangan tangan e. Bertindak sebagai advokat

:

NO NIC Label Perencanaan NIC Pelaksanaan NIC untuk mengungkapkan

keprihatinan

Perawat hadir secara fisik untuk membantu keluarga

b.Mendorong pasien untuk selalu semangat

c. Melakukan diskusi tentang hal-hal yang tidak pasti

5. Humor Membuat cerita lucu

sehingga pasien gembira

Membuat humor dengan cerita lucu

6. Sentuhan Memegang tangan pasien

untuk memberikan

9. Rujukan Mengidentifikasi asuhan keperawatan/kesehatan yang dibutuhkan pasien

Mengidentifikasi kebutuhan spiritual pasien

10. Terapi musik Memfasilitasi partisipasi aktif pasien, misalnya memainkan alat musik atau bernyanyi jika hal ini diinginkan dan layak

Menyanyikan lagu-lagu rohani bersama pasien untuk menenangkan pasien

2.4. Peran manajer perawat dalamspiritual care

(53)

tujuan akhirnya hanya dapat dicapai ketika manajer perawat memahami tentang

spiritual care dan menanamkan sikap dan nilai-nilai kepada orang-orang dalam hal ini perawat yang dipimpinnya, untuk itu peran manajer perawat adalah melakukan advokasi dalam pembuatan kebijakan untuk staf perawat terkait dengan peningkatan pelayanan spiritual care oleh perawat karena penyediaan

spiritual care bagi pasien rawat inap merupakan salah satu area yang membutuhkan pengembangan kebijakan oleh manajer perawat.

Manajer perawat juga berperan memberikan bimbingan dan dukungan atau motivasi bagi perawat, bertanggungjawab untuk memimpin perawat dalam melaksanakan spiritual care dan menciptakan lingkungan perawatan yang mendukung intervensi spiritual care bagi pasien,jika manajer perawat melaksanakan program-program kegiatan spiritual care, maka staf perawat akan mendapatkan arah yang jelas terkait spiritual care (McSherry, 2010; Jenkins, 2010; Mehaan, 2012; Battey 2012). Sebaliknya jika manajer perawat tidak diberikan kekuasaan yang cukup oleh rumah sakit dan manajer perawat memaksakan perawat untuk melakukan apapun untuk rumah sakit tanpa mempertimbangkan kesejahteraan mereka akibatnya perawat merasa rendah diri, tidak berdaya dan merasa diabaikan (Fen Wu dan Ying Lin, 2011).

(54)

tidak nyaman, kepribadian manajer perawat misalnya sifat, kebutuhan, dan skilnya, dan kebijakan tentang holistic spiritual. Faktor eksternal yaitu tidak adanya pengawasan, tidak ada pendidikan dan pelatihan spiritual care , pengaruh dari tren profesi yaitu holistic care, dan job description yang tidak jelas.

Hasil penelitian Amankwaa (2009) merekomendasikan empat hal untuk meningkatkan peran manajer perawat dalam memberikan spiritual care :

a. Menyertakan aspek spiritualitas dalam pelatihan kepemimpinan

Harus ada pedoman yang menjelaskan tentang manfaat spiritual care

untuk pasien. Manajer perawat dapat melaksanakan perannya melalui pendidikan dan pelatihan.

b. Mendukung staf

Spiritual care harus menjadi perawatan yang rutin. Manajer perawat memiliki kemampuan untuk mengembangkan kebijakan terkait spiritual care.

Manajer perawat harus mendukung staf perawat, karena memberikan spiritual care dapat meningkatkan hubungan antara perawat dengan pasien dan meningkatkan hasil perawatan sehingga menghasilkan kepuasan bagi pasien dan perawat.

c. Advokasi untuk penilaian spiritual.

(55)

dapat menemukan cara untuk mendukung pasien selama dirawat inap dan memenuhi kebutuhan holistik dan spiritual pasien.

d. Sertakan pendidikan spiritual care dalam orientasi keperawatan

Diskusikan kebijakan yang berhubungan dengan perawatan holistik dan spiritual serta meninjau instrumen penilaian spiritual. Mengorientasikan perawat baru dengan harapan bahwa perawatan spiritual merupakan perawatan yang rutin untuk memenuhi spiritual pasien. Hal ini juga menekankan pentingnya spiritual care sebagai komponen dari holistic nursing.

Menurut Patelarou ( 2012) bahwa perawat membutuhkan hubungan yang positif dengan manajer perawat agar mereka dapat bekerja dengan efektif dan melaksanakan tugas mereka sehari-hari. Sementara itu manajer perawat mengharapkan perawat dapat menjadi sumber informasi didalam membantu manajer perawat dalam kegiatan memenuhi kebutuhan spiritual pasien (Meehan, 2012)

2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam memberikan spiritual care

Aspek spiritual sangat berperan penting bagi kesehatan, kesejahteraan, dan kualitas hidup manusia. Dengan demikian, maka pemberian spiritual care

merupakan hal yang harus dilakukan perawat agar dapat membantu memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pasien.Namun perawat selalu merasa kesulitan dalam memberikan spiritual care pasien.

(56)

dari ketidakmampuan perawat berkomunikasi, ambiqu, kurangnya pengetahuan tentang spiritual, hal yang bersifat pribadi, dan takut melakukan kesalahan, faktor ekstrinsik terdiri dari organisasi dan manajemen, hambatan ekonomi berupa kekurangan perawat, kurangnya waktu, masalah pendidikan perawat. Faktor intrinsik dan ekstrinsik dijelaskan sebagai berikut :

a. Ketidakmampuan perawat untuk berkomunikasi.

Ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif dapat mengakibatkan pasien tidak mampu mengungkapkan kebutuhan spiritualnya, sedangkan ada tidaknya kebutuhan spiritual pasien dapat diketahui perawat dari pasien itu sendiri, hal ini akan berakibat pula pada ketidakmampuan perawat menilai atau menafsirkan keadaan, hal ini akan mengakibatkan pasien dan perawat putus asa, situasi ini tidak mudah diatasi, karena tidak ada solusi yang mudah. Perawat dapat mencoba mengatasi keadaan ini dengan berbagai tehnik untuk mencoba menemukan apa yang menjadi kebutuhan spiritual pasien.

b. Ambigu

Ambigu muncul ketika perawat berbeda keyakinan dengan pasien yang dirawatnya. Hal ini dapat mengakibatkan rasa tidak aman, sehingga perawat menghindar dari keadaan ini. McSherry (1998) mengatakan ambigu mencakup kebingungan perawat, takut salah, dan menganggap spiritual terlalu sensitif dan merupakan hak pribadi pasien.

c. Kurangnya pengetahuan tentang spiritual care

Ambigu juga dapat muncul ketka perawat tidak mengetahui tentang

(57)

persepsi perawat tentang spiritual caredapat menjadi penghalang perawat dalam memberikan spiritual care. Jika mereka percaya bahwa pemberian spiritual care

adalah ibadah maka persepsi ini akan secara langsung mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengatasi kebutuhan spiritual pasien. Kozier et al (2004) mengatakan bahwa perawat yang memperhatikan spiritualitas dirinya dapat bekerja lebih baik dalam merawat pasien yang memiliki kebutuhan spiritual. Untuk dapat memberikan spiritual care pada pasien, penting untuk menciptakan kondisi yang nyaman akan spiritualitas diri sendiri.

Spiritual perawat itu sendiri juga merupakan faktor yang mempengaruhi pemberian spiritual care, karena hal ini dapat digunakan sebagai strategi dalam intervensi dan kekuatan yang mendukung ditempat kerja. Persepsi perawat terhadap spiritualitas secara langsung dapat mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku, bagaimana menangani pasien, dan bagaimana berkomunikasi dengan pasien pada saat perawat memberikan spiritual care(Mahmoodishan, 2010). d. Hal yang bersifat pribadi

Perawat berpendapat bahwa spiritual merupakan hal yang bersifat pribadi, sehingga sulit untuk ditangani oleh perawat. Dalam mengekspresikan kebutuhan spiritualnya pasien mengharapkan tersedianya ruangan atau kamar yang tenang dimana pasien dapat dengan tenang menceritakan tentang masalah-masalah pribadinya (McSherry, 1998)

e. Takut melakukan kesalahan

(58)

f. Organisasi dan manajemen

Jika profesi perawat akan memberikan perawatan spiritual yang efektif, maka manajemen harus mampu mengatasi hambatan ekstrinsik. Manajemen harus bertanggungjawab dan mendukung pemberian spiritual care.

g. Hambatan ekonomi berupa kekurangan perawat, kurangnya waktu,

masalah pendidikan

Merupakan hambatan terbesar dalam memberikan spiritual care.

McSherry (1998) dan Sartory (2010) menyimpulkan bahwa hambatan ekonomi termasuk didalamnya adalah kekurangan perawat, waktu dan masalah pendidikan, dimana perawat mengungkapkan bahwa mereka kurang percaya diri dalam memberikan spiritual carekarena kurangnya wawasan dan pengetahuan. Hasil penelitian Wong (2008) menemukan bahwa perawat dengan tingkat pendidikan sarjana lebih baik dalam memberikan spiritual care, oleh karena itu pendidikan mempunyai pengaruh yang positif terhadap pemberian spiritual care

oleh perawat kepada pasien (Fen Wu dan Ying Lin, 2011).

Pendidikan keperawatan mempunyai peranan penting dalam mempersiapkan perawat untuk memberikan spiritual care. Hasil penelitian Hubbell (2006) mengatakan bahwa perawat mengakui pendidikan tentang spiritual care yang mereka terima selama pendidikan tidak memadai dan spiritual care terintegrasi dengan pendidikan dasar mereka sehingga kompetensi perawatpun berkurang.

(59)

2008; Fen Wu dan Ying Lin, 2011; Highfield, Taylor, & Amenta , 2000 dalam Mc Ewan, 2003).

Fen Wu dan Ying Lin (2011) mengatakan bahwa wanita lebih baik dalam mengekspresikan wajah mereka, berempati terhadap perasaan-perasaan orang lain. Para wanita diyakini menjadi pengasih dan penyayang, cepat merasa iba dan menghibur orang lain serta sensitif pada kebutuhan-kebutuhan orang lain. Keistimewaan-keistimewaan ini dianggap sebagai karakter perawat sampai saat ini. Fen Wu dan Ying Lin (2011) juga menyimpulkan bahwa perawat yang berpengalaman 10-19 tahun memiliki nilai yang tinggi tentang spiritual caredaripada perawat yang memiliki pengalaman kurang dari 3 tahun. Chan (2008) mengemukakan bahwa perawat yang sudah menikah memiliki tingkat persepsi terkait spiritual care yang cukup tinggi.

2.6. Landasan Teori

2.6.1. Holistic Nursing

Model yang paling komprehensif yang tersedia untuk memandu perawatan kesehatan adalah bio-psiko-sosio-spiritual. Pada model holistik, semua penyakit memiliki tanda dan gejala bio-psiko-sosio-spiritual. Dimensi spiritual dalam model bio-psiko-sosio-spiritual menggabungkan spiritualitas dalam konteks yang luas yaitu nilai-nlai, makna, dan tujuan hidup (Dossey, 2005).

(60)

yangberfungsi untuk kesejahteraan, masing-masing saling berhubungan dan masing-masing mempengaruhi yang lain (Dossey, 2005).

2.6.2. Memahami Spiritualitas

Salah satu hambatan untuk menggabungkan spiritualitasdalam perawatan holistik adalahkurangnya kemampuan masyarakat untuk mendiskusikan dan mengekspresikan hal-halroh atau jiwa . Memang banyak pembahasanspiritualitas dalam keperawatan dan literatur kesehatan lainnya menunjukkan nilai-nilai dan perspektif mengenai Sang Pencipta, hubungan dengan orang lain dandunia , pengalaman penderitaan , doa , dansejenisnya . Karena spiritualitas adalah esensisetiap orang dan tidak terbatas pada perspektif agama tertentu , perawat perlu berusaha untuk terbuka kepada pasien sehingga memungkinkan pasien untuk mengekspresikan spiritualnya. Perawat perlu mengenali persepsi, harapan dan pengalaman pasien tentang spiritualnya dalam perawatan kesehatan. Banyak orang kurang memahami antara agama dan spiritual mereka sendiri. Praktek

Holistic Nursing mengakui bahwa agama dan spiritualitasberbeda dan menghormati bagaimana pasien mengekspresikan spiritual mereka (Dossey, 2005).

2.6.3. Elemen Spiritual

(61)

a. Hubungan dengan Tuhan

Kita tidak mampu menjelaskan tentang hal-hal yang lebih besar dan lebih kuat diluar diri kita. Pikiran rasional kita tidak bisa memahami Tuhan, dan kata-kata yang digunakan untuk membicarakan tentang Tuhan masih kurang. Tuhan jauh dari konsep apapun yang dipikirkan manusia. Konsep tentang Tuhan yang dikembangkan oleh pikiran rasional bersifat pribadi atau kelompok.

Keterhubungan dengan Tuhan melibatkan hal-hal seperti doa, ritual, kedamaian dan ketenangan. Ajaran tradisi keagamaan memberikan berbagai perspektif yang berbeda oleh karena itu dalam memberikan spiritual care perlu memahami bagaimana orang mencari dan merasakan hubungan dengan Tuhan dan hambatan yang mereka hadapi.

b. Hubungan dengan alam

Pengungkapan spiritual melalui rasa keterhubungan dengan alam dan lingkungan. Hewan-hewan seperti burung dan ikan serta mahluk lainnya dibumi memberikan makna dan sukacita bagi manusia. Menyadari semua bentuk kehidupan dibumi, misalnya burung-burung, lebah dengan bunga-bunga menggambarkan keajaiban dari berbagai bentuk kehidupan yang sangat memberikan pengalaman spiritual. Manusia termasuk dalam untaian jaringan kehidupan di bumi, dengan demikian, apa yang terjadi pada bumi dan lingkungan akan mempengaruhi manusia dan sebaliknya.

(62)

terbenam, mendengarkan suara air yang mengalir, dan merawat tanaman. Alam dapat menjadi sumber kekuatan, inspirasi, dan kenyamanan, yang semuanya merupakan atribut dari spiritual.

c. Hubungan dengan orang lain

Spiritualitas diketahui dan dialami dengan adanya suatu hubungan yang ditandai dengan adanya kenyamanan, dukungan, konflik, dan perselisihan. Manusia mengekspresikan spiritualitas melalui ikatan. Spiritualitas dibentuk dan dipelihara melalui pengalaman seseorang yang dimulai dari keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat. Masyarakat, baik formal maupun informal memberikan kesempatan untuk mengekspresikan spiritual.

Manusia sering membicarakan tentang spiritual melalui hubungan-hubungan yang dibinanya, baik hubungan-hubungan yang harmonis maupun yang tidak. Berada bersama orang lain dengan cara mencintai dan mendukung, hubungan yang sulit dan menyakitkan dengan keluarga,teman, dan kenalan merupakan sebuah ekspresi dari spiritualitas. Hubungan yang memerlukan penyembuhan misalnya memberikan dukungan dan kenyamanan merupakan hal yang penting dalam spiritualitas. Spiritualitas mencakup hubungan baik suka dan duka, dan spiritualitas mengajarkan perdamaian jika suatu hubungan rusak. Ketidakharmonisan suatu hubungan akan menimbulkan rasa putus asa yang mengakibatkan kesendirian dan akhirnya menimbulkan distres spiritual.

(63)

d. Hubungan dengan diri sendiri

Spiritualitas menanamkan kesadaran yang terus menerus tentang pentingnya menjadi diri sendiri. Kemampuan untuk berada dalam kesadaran akan tubuh-jiwa dan pikiran adalah elemen penting dari hubungan dengandiri sendiri yang memungkinkanmereka untuk menerima semua aspek dari diri mereka sendiritanpa menghakimi. Spiritualitas dapat ditunjukkan melalui tindakan seperti membantu orang lain , berkebun , menghibur, menjenguk yang sakit ,merawat keluarga , menghabiskan waktu denganteman-teman , berjalan-jalan , meluangkan waktu untuk diri sendiri , dan menciptakan tempat ibadah untuk diri sendiri dan orang lain.

e. Memandang Spiritual sebagai masalah kehidupan

Masalah-masalah spiritual adalah "masalah kehidupan" yang tidak dapat diukur.Hal-hal yang berhubungan dengan misteri, cinta, penderitaan, harapan, pengampunan, rahmat, perdamaian, dan doa merupakan domain spiritual.

Penjelasan lebih rinci terkait domain spiritualsebagai berikut : a. Misteri

Misteri melekat pada pengalaman manusia sehingga melekat pada spiritualitas. Misteri digambarkan sebagai sesuatu yang sulit diartikan dan dijelaskan. Spiritualitas mendukung dan mendorong manusia untuk bertanya dan mencari tau ketika seseorang dihadapkan dengan suatu misteri, dan menemukan misteri tentang perjalanan spiritual mereka merupakan bagian penting dari

(64)

b. Cinta

Cinta merupakan sumber dari semua kehidupan, dan menimbulkan energi untuk menyembuhkan oleh karena itu cinta harus dirasakan dan diekspresikan. Mencintai kehadiran adalah komponen kunci dari spiritual care.

c. Penderitaan

Penderitaan merupakan salah satu dari misteri kehidupan. Hal ini terjadi pada fisik, mental, emosional, dan spiritual. Bagi beberapa orang, penderitaan akan meningkatkan kesadaran akan spiritualnya, sebagian orang akan marah dan frustasi, ada juga yang menilainya sebagai berkah, sesuatu yan harus bertahan, atau bahkan bukti adanya kutukan. Tidak semua orang berusaha untuk meringankan penderitaan. Sosiokultural, agama, keluarga, dan faktor lingkungan mempengarubhi suatu respon individu terhadap penderitaan. Dengan demikian memiliki pengetahuan tentang kepribadian, budaya, tradisi agama, dan latar belakang keluarga akan membantu perawat memahami makna penderitaan bagi seseorang, perawat perlu menyadari respon dan pemahaman mereka terhadap penderitaan. Dengan demikian tidak membingungkan persepsi perawat terhadap pasien. Keadaan ini menuntut perawat untuk selalu hadir bagi pasien-pasien yang mengalami penderitaan. Mendengarkan dengan aktif ketika pasien mengungkapkan perasaannya merupakan bagian yang penting.

d. Harapan

(65)

akan membantu orang mengatasi ketakutan dan ketidakpastian yang memungkinkan mereka untuk membayangkan hal-hal yang positif.

e. Pengampunan

Pengampunan merupakan kebutuhan yang mendalam dari kehidupan, pengampunan bukan berarti melupakan, membebaskan, atau mengorbankan melainkan adalah proses memperluas cinta kasih. Seseorang yang mendendam, membenci, mengasihani diri sendiri, atau keinginan untuk menghukum orang yang telah menyakiti tidak akan membuat nyaman seseorang. Keyakinan agama, budaya, pendidikan keluarga, dan pengalaman pribadi akan membentuk suatu sikap tentang pengampunan sehingga mampu memberikan ruang untuk Tuhan agar memberikan kenyamanan.

f. Perdamaian

Perdamaian bagi banyak orang tidak dapat dipisahkan dari keadilan. Cinta akan perdamaian akan dapat mengubah dunia. Menghargai, memiliki hubungan dengan orang lain dan semua ciptaan Tuhan tanpa adanya batas jarak, waktu, dan ruang maka disitulah tumbuh perdamaian dan keadilan.

g. Rahmat

(66)

h. Doa

Doa adalah naluri manusia yang mendalam, dalam bentuk komunikasi dengan Tuhan. Beberapa orang memasukkan tehnik relaksasi, ketenangan, kesadaran untuk bernafas, fokus dan visualisasi mereka sebagai bentuk dari doa bahkan berjalan, menari atau memainkan drum merupakan ungkapan doa. Doa merupakan pertimbangan yang tepat untuk keperawatan dalam proses penyembuhan.

2.6.4. Spiritualitas dalam Holistic Nursing

Holistic Nursing memandang spiritualitas sebagai dimensi dari manusia yang diperlukan dalam memberikan keperawatan yang menyeluruh antara tubuh , pikiran dan jiwa (Montgomery 1999, dalam Narayanasamy 2004). Clisset et al (2004) mengatakan bahwa dimensi spiritual akan membangkitkan perasaan yang menunjukkan keberadaan cinta, iman, harapan, kepercayaan, kekaguman dan inspirasi, perasaan ini lebih menonjol pada saat individu mengalami stres emosional, sedang sakit atau kehilangan.

(67)

keperawatan, berkontribusi dalam implementasi dan evaluasi keperawatan (Govier, 2000; McSherry, 2010; Fen Wu, 2011; Narayanasami, 2003).

2.7. Konsep Studi Fenomenologi

Fenomenologi adalah metode penelitian kualitatif dimana peneliti mencoba untuk menemukan dan mengeksplorasi pengalaman hidup manusia. Fenomenologi berakar dari ilmu filosofi yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidegger, mereka memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa kebenaran tentang realita didasarkan pada pengalaman hidup manusia yang penuh makna dan dialami secara sadar. Fenomenologi telah menjadi bidang yang tidak terpisahkan dari penelitian keperawatan karena banyak digunakan untuk mempelajari fenomena penting dalam dunia keperawatan (Husserl, 1965; Merleau & Ponty, 1956 dalam Chamberlain, 2009).

Pengalaman manusia dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan memahami makna dari pengalaman tersebut melalui berbagai cara. Peneliti berusaha mengeksplorasi pengalaman informan melalui pengumpulan data dan peneliti berusaha masuk kedalam dunia informan, dengan demikian peneliti dapat merasakan pengalaman informan dengan cara yang sama. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), observasi,

(68)

Menurut Fochtman (2008 dalam Sosha, 2011; Polit & Beck, 2008), fenomenologi terdiri dari :

a. Fenomenologi deskriptif

Jenis penelitian ini difokuskan pada deskripsi pengalaman yang dialami oleh manusia. Husserl (1962 dalam Denzin dan Lincoln, 2009) berpendapat bahwa hubungan antara persepsi dan objek-objeknya tidaklah pasif dan kesadaran manusia secara aktif mengandung objek-objek pengalaman.

Menurut Beck (1994), fenomenologist dalam proses analisa data pada fenomenologi deskriptif adalah Collaizi (1998), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Perbedaan antara ketiga fenomenologist tersebut yaitu : Collaizi menganjurkan kembali kepada partisipan untuk memvalidasi hasil yang sudah diperoleh peneliti dari informan, Giorgi berpendapat bahwa memvalidasi hasil hanya mengandalkan peneliti saja, tidak perlu kembali kepada informan untuk memvalidasi hasil temuan, sedangkan menurut Van Kaam bahwa kesepakatan hasil analisis data diperoleh dengan menggunakan bantuan dari ahlinya.

b. Fenomenologi interpretif-hermeneutik

(69)

Menurut Guba & Lincoln (1990 dalam Shenton, 2003) bahwa penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritasnya. Oleh karena itu perlu dilakukan keabsahan data melalui empat kriteria yaitu

credibility, transferability, dependability, dan confirmability. Keabsahan data akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Credibility

Menjamin credibility merupakan salah satu yang paling penting dilakukan.

Credibility dilakukan untuk mengetahui apakah proses dan hasil penelitian kredibel, dapat dipercaya dan diterima. Kredibilitas suatu penelitian dapat dicapai ketika peneliti dapat mengembangkan dan menginterpretasikan pengalaman partisipan yang sedang ditelitinya, dalam hal ini kesadaran peneliti merupakan suatu hal yang esensial. Kredibilitas dapat dicapai dengan prolonged engagement,

catatan lapangan yang komprehensif, hasil rekaman dan transkrip, triangulasi data dan member checking.

b. Transferability

Transferability merupakan validitas eksternal yang berarti sejauhmana penelitian ini dapat dilakukan pada situasi dan di tempat yang berbeda. Seorang peneliti harus dapat menyediakan deskripsi data yang baik pada laporan penelitiannya sehingga orang lain dapat mengaplikasikannya ke dalam konteks yang berbeda.

c. Dependability

Gambar

Tabel 2.1. Standar Operasional Prosedur Spiritual Care berdasarkan
Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Perawat
Tabel 4.3 Hasil Content analisys persepsi perawat tentang spiritual care
Tabel 4.4 Hasil Content analisys persepsi manajer perawat tentang
+2

Referensi

Dokumen terkait

Disarankan kepada manajemen RSUD DR. Djoelham Binjai agar 1.M eningkatkan kemampuan pelayanan keperawatan. kepada pasien seperti ketrampilan perawat, kesigapan dan kecekatan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) persepsi pasien tentang komunikasi perawat di RSUD Pandan Arang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) persepsi pasien tentang komunikasi perawat di RSUD Pandan Arang

Hasil analisa univariat didapatkan gambaran pemenuhan kebutuhan spiritual care oleh perawat kepada pasien rawat inap RS PKU Muhammadiyah Bantul dalam jumlah yang sama yaitu

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun skripsi dengan judul “ Persepsi Perawat Tentang Gaya

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada perawat High Care Unit (HCU) dengan perawat rawat inap biasa

content analysis. Hasil penelitian ini mengungkapkan 4 tema persepsi perawat tentang costumer service , yaitu: 1) makna costumer service menurut perawat pelaksana (memberikan

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar perawat memiliki persepsi yang baik tentang jenjang karir di RSUD Tugurejo yaitu