• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Pengertian Guru

2.2.4 Pemahaman Prospek Kerja Guru

Proses pendidikan masih terus berlangsung hingga saat ini, namun tujuan pendidikan itu sendiri belum dapat tercapai. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pencapaian tujuan pendidikan, spesifiknya lagi terhadap prospek kerja guru, diantaranya kondisi pendidik (dosen/guru), peserta didik, sistem pembelajaran, pemahaman mengenai prospek kerja guru, dan lain-lain yang pada akhirnya akan memengaruhi pola pikir peserta didik dalam memahami dunia ilmu dan pendidikan dan dalam mengambil keputusan.

Telah banyak dijumpai banyak pengangguran dalam hal pekerjaan. Pengangguran terjadi pada orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan,

tetapi ironisnya juga terjadi pada kalangan terdidik. Mengenai sebabnya pengangguran, Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar dalam Mujamil Qomar (2012:30-31) mengurai argumentasi terjadinya pengangguran dan setengah pengangguran tenaga kerja terdidik sebagai berikut.

1. Terjadinya ketimpangan dalam pergeseran struktur persediaan tenaga kerja terdidik dengan kesempatan kerja dalam struktur ekonomi Indonesia sampai saat ini.

2. Sistem pendidikan masih menekankan fungsinya sebagai pemasok tenaga kerja terdidik (educated manpower supply

system) daripada sebagai penghasil tenaga penggerak

pembangunan (driving force).

3. Terdapat kecenderungan bahwa mutu tenaga kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan belum mampu berperan sepenuhnya sebagai kekuatan penggerak pembangunan (driving force) yang mampu melakukan pembaruan, dan penciptaan gagasan baru dalam menciptakan dan memperluas lapangan kerja.

4. Akibat dari pola pemikiran human capital yang terlalu kuat telah memengaruhi tumbuhnya sikap-sikap “apriori” bahwa pendidikan formal dapat membentuk ketrampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

5. Sikap-sikap apriori yang sangat kuat bahwa pendidikan formal dapat menghasilkan tenaga yang langsung dapat dipakai, juga dimiliki oleh para penerima kerja.

Berdasarkan pandangan Mujamil Qomar (2012:31) terhadap kreatifitas masyarakat adalah:

Masyarakat kita hampir tidak ada orang yang memiliki inisiatif. Kelemahan tidak adanya inisiatif biasanya berdampak pada kelemahan kreativitas, sebab kreativitas itu terjadi diawali dari adanya inisiatif, dan dari inisiatif ini ditindaklanjuti oleh kreativitas. Bedanya inisiatif lebih tampak pada ide-ide atau gagasan-gagasan baru, sedangkan kreativitas lebih tampak pada level aktivitas atau tindakan-tindakan baru.

Tanpa adanya inisiatif dan kreativitas, karya-karya baru tidak dapat diciptakan. Sementara dalam kompetisi global ini kita dituntut untuk melahirkan karya-karya yang baru. Oleh karena itu, tenaga-tenaga kerja terdidik yang dihasilkan pendidikan memiliki sikap ketergantungan yang amat tinggi kepada pemerintah, pemilik perusahaan, atau orag lain yang memiliki kewenangan untuk menentukan pilihan-pilihan tenaga kerja.

Suryadi dan Tilaar dalam Mujamil Qomar (2012:33) menilai bahwa “program-program pendidikan di Indonesia cenderung menghasilkan calon-calon pencari pekerjaan daripada calon-calon pengusaha atau pekerja mandiri”. Konsekuensinya, tenaga-tenaga kerja terdidik kita cenderung bersikap praktis, pragmatis, potong kompas (by pass), dan senang terhadap hal-hal yang instan. Misalnya, mengikuti tes CPNS dengan booking kursi, yakni menyuap instansinya agar peserta dapat lolos tes CPNS. Contoh lain yang terjadi dalam masyarakat adalah banyak sarjana pendidikan yang bekerja di bank, bidang pariwisata, dan lain-lain dengan mengandalkan jaringan atau kerabat yang bekerja di tempat tersebut. Ini yang menjadikan pola pikir mahasiswa “kuliah yang penting wisuda, bekerja yang penting menghasilkan uang”.

Berdasarkan penelitian Djohar (2003:43), “orientasi pendidikan kita selama ini diarahkan pada tujuan. Namun, evaluasi hasilnya tidak mengukur keberhasilan tujuan itu, sehingga peserta didik tidak memperoleh apa-apa dari pendidikan tersebut”. Ini merupakan pendidikan yang mubazir, suatu pendidikan yang telah mengerahkan biaya, tenaga, pikiran, dan waktu, tetapi tidak memberikan keuntungan secara signifikan kepada peserta didik apalagi masyarakat luas. Oleh karena itu, pendidikan perlu dievaluasi.

Sesungguhnya problem pendidikan bisa berasal dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah, para penyelenggara pendidikan, para pelaksana pendidikan, dan para guru/dosen, tetapi juga dari masyarakat, termasuk

di dalamnya orangtua wali/mahasiswa. Di kalangan peserta didik juga terdapat kesenjangan, mereka tidak memiliki target dalam mempelajari ilmu, sehingga tidak mengukur keberhasilan belajarnya.

Diperlukan pengkondisian situasi akademik dari guru atau dosen terhadap peserta didik. Selain menyampaikan materi pelajaran/matakuliah, tetapi juga menyelami gejolak batin atau problem-problem psikologis yang dialami peserta didik. Karena dalam hal ini, meskipun peserta didik/mahasiswa sudah memasuki usia dewasa, mereka masih memerlukan bimbingan dari para dosen dalam memahami problem pendidikan dan cara mengatasinya. Oleh karena itu, mereka membutuhkan pemahaman mengenai prospek kerja guru dari para dosen agar minat belajar mereka meningkat.

Terkadang pendidikan memang dirasakan sebagai suatu dilema, jika mahasiswa hanya dicekoki doktrin mereka menjadi pasif-konsumtif, tetapi kalau mereka dilatih berpikir kritis akhirnya tumbuh menjadi orang-orang yang suka menggugat seperti tercermin dari maraknya demonstrasi. Lulusan-lulusan pendidikan dikenal jago-jago memainkan intrik politik, tetapi sangat lemah dalam menguasai substansi keilmuan. Pendidikan Kewarganegaaran merupakan pendidikan moral yang digalakkan pemerintah sejak Orde Baru yang dilaksanakan pada semua tingkat lembaga pendidikan formal mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi, namun pada praktekknya tidak sedikit lulusan kewarganegaraan yang melakukan KKN terutama dalam dunia kerja.

Berdasarkan pendapat Mujamil Qomar (2012:95) mengenai pendidikan di Indonesia adalah:

Pendidikan di Indonesia makin mengalami degradasi moral dan spiritual. Proses pendidikan makin dijauhkan dari pertimbangan sosial-religius sebagai idealisme yang ingin diwujudkan melalui pesan-pesan Pancasila. Pendidikan kita makin diarahkan pada sifat-sifat materialistik, mengejar materi sebanyak-banyaknya, dan menumpuk modal sebesar-besarnya sebagai jaminan ketahanan suatu lembaga pendidikan. Bahkan, pengumpulan materi atau modal tersebut sebagai jaminan bagi kelangsungan hidup, pengelola, pelaksana, guru dan tenaga kependidikan, sehingga atmosfer pendidikan menjadi beraroma ekonomis bahkan bisnis laksana dalam lembaga-lembaga perekonomian.

Seperti diungkapkan H.A.R. Tilaar dalam Mujamil Qomar (2012:97) bahwa “pendidikan kita didesain seperti perlombaan atau pertandingan. Lembaga pendidikan lain dianggap kompetitor, mahasiswa lain sebagai rival, dan lulusan dari sekolah lain apalagi luar negeri sebagai pesaing. Desain ini memaksa hadirnya konsep daya saing”. Tilaar menuturkan, “dewasa ini “daya saing” merupakan momok baru di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Segala sesuatu diarahkan pada peningkatan daya saing sehingga proses pendidikan telah mengabaikan proses pembudayaan serta penajaman moral”. Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa pendidikan kita dipaksa mengikuti keinginan pasar. Di dalam masyarakat terdapat unsur perlombaan harga, pertandingan dan persaingan. Sementara di pasar juga terdapat banyak penipuan, seperti lulusan pendidikan kita yang menipu masyarakat luas.

Pendidikan kita mengalami banyak kelemahan. Benni Setiawan (2008:103-104) menyatakan bahwa:

Sistem pendidikan di Indonesia masih timpang. Pendidikan di Indonesia masih berorientasi pasar. Pendidikan belum mampu menyadarkan manusia dari keterasingan hidup. Akibatnya, pendidikan hanya dijadikan komoditas pemilik modal. Pemilik modal membutuhkan uang dan masyarakat membutuhkan status. Untuk itu, kurikulum harus mengusahakan kesempatan individu untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap berpartisipasi secara produktif dan memuaskan dalam dunia kerja yang akan menyesuaikan perubahan terus-menerus.

Ada banyak materi pelajaran maupun mata kuliah yang sangat menarik dan menyajikan berbagai wawasan keilmuan secara mendalam, terpaksa ditinggalkan dalam membangun struktur kurikulum, hanya karena tidak memfasilitasi peserta didik dengan keterampilan bekerja. Demikian juga keberadaan jurusan atau program studi yang tidak banyak diminati peserta didik maupun masyarakat seperti Pendidikan Kewarganegaraan , lantaran Pendidikan Kewarganegaraan dipandang rendah dan kurang penting, terlebih dalam dunia kerja. Hal ini yang mengakibatkan sarjana PKn malu karena dianggap sebagai mata pelajaran yang tidak penting. Inilah yang terkadang mengakibatkan lulusan-lulusan PKn melenceng saat memasuki dunia kerja, seperti mengajar sosiologi, IPS, atau bahkan ada yang bekerja di instansi lain seperti bank.

Seperti diungkapkan oleh H.A.R. Tilaar (2000:131) bahwa “keranjingan masyarakat pada gelar mempunyai nilai yang positif karena menandakan masyarakat ingin maju”. Tetapi pada akhirnya pendidikan kita hanya disubordinasikan pada pasar atau lapangan kerja. Sebenarnya pendidikan bisa diperankan dan difungsikan secara maksimal dan lebih terhormat lagi.

Pendidikan bukan hanya mencetak tenaga-tenaga kerja terdidik, melainkan dapat diberdayakan untuk mencetak lulusan-lulusan yang terampil dan lincah dalam membuka lapangan kerja baru, mencari terobosan-terobosan untuk mengangkat pengangguran dan kemiskinan, mampu menciptakan peradaban yang maju, dan mampu membangun keselarasan antara kemajuan material dengan spiritual. Dengan istilah lain, pendidikan mampu melahirkan subjek kehidupan, mampu menghasilkan orang-orang yang terampil mengatasi masalahnya sendiri, dan mampu meluluskan orang-orang yang lepas sama sekali dari ketergantungan.

Fakta inilah yang memberikan pengaruh negatif kepada mahasiswa, mereka tidak lagi murni berkonsentrasi mencari ilmu. Mereka telah terkontaminasi oleh kecenderungan dan sikap pragmatis tersebut. George B. Leonard menyatakan bahwa “salah satu faktor yang merusak pelajar kita sekarang ini adalah perlombaan dalam mencari gelar perguruan tinggi”.

Seperti yang dikemukakan Darmaningtyas (2005:214) bahwa:

Banyak orang beranggapan bahwa kuliah sekedar untuk mendapatkan ijazah atau gelar saja. Implikasinya, tidak jarang di antara mereka menggunakan biro jasa pembuatan karya tulis, skripsi, atau tesis karena yang mereka utamakan adalah bukan pengetahuan dan pengalaman membuat karya tulis, skripsi,atau tesis, melainkan status, ijazah atau gelarnya. Sikap pragmatis dan reduksionis itulah yang melegitimasi terjadinya praktek jual beli gelar dan kebijakan yang rusak dalam bidang pendidikan.

Demikian juga yang terjadi di kalangan sebagian mahasiswa. Semangat mereka terfokus pada dmonstrasi menantang pimpinan kampus dan dosennya. Mereka memalsu absen, dalam mengerjakan tugas seeringkali dilakukan dengan mencari artikel-artikel di Google dan copy

paste, menyontek, memanfaatkan deadline untuk mendapatkan

persetujuan pembimbing kala bimbingan skripsi atau tesis orang lain hanya diganti data lapangannya, kemudian diakui sebagai karyanya sendiri sehingga pada saat ujian mereka tidak menguasai sama sekali, meminta orang lainuntuk membuatkan karya ilmiah dan skripsi atau tesis, memalsu nilai, dan sebagainya.

Suryadi dan Tilaar dalam Mujamil Qomar (2012:39) menganalisis ada tiga sebab mengapa pendidikan di berbagai negara terkadang menjadi buah simalakama.

1. Pendidikan masih merupakan suatu komoditas yang diperebutkan untuk memperoleh hak-hak istimewa (privilege) untuk naik pada tangga sosial seperti halnya pada zaman kolonial.

2. Pendidikan akan mengakibatkan adanya harapan masyarakat. 3. Pendidikan akan melahirkan pendidikan yang lebih baik lagi

sejalan dengan terbukanya horizon pemikirannya.

Terdapat pula sebuah pemahaman keliru yang melekat dalam diri mahasiswa dan masyarakat, bahwa sebuah pendidikan bermutu yang disandarkan pada fasilitas belajar, semakin mutu pendidikan, semakin mahal dan elit sebuah sistem pembelajaran. Padahal sebenarnya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan dengan mengembangkn cara berpikir yang baru, seperti A. Malik Fadjar dalam Mujamil Qomar

(2012:47) yang menyarankan, “diperlukan strategi peningkatan mutu pendidikan, yaitu peningkatan kualitas pendidikan berorientasi keterampilan (brood-based education) dan peningkatan kualitas pendidikan berorientasi akademik (hight-based education)”. Sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai strategi, namun lagi-lagi masih belum bisa mencapai mutu pendidikan.

Berdasarkan pendapat Chan dan Sam dalam Mujamil Qomar (2012:52-53), sikap mahasiswa dalam menghadapi prospek kerja guru terbagi menjadi 5 kelompok, yaitu:

1. Sebagian menunjukkan rasa kegembiraan karena mereka telah lama menunggu.

2. Sebagian bersikap biasa-biasa saja karena menganggap sebagai konsekuensi dari perubahan system politik/pemerintahan. 3. Sebagian bersikap pesimistis karena menganggap kebijakan

tersebut sebagai wujud ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam mengelola masyarakat daerah.

4. Sebagian bersikap skeptic yang memperlihatkan ketidakpercayaan terhadap maksud baik pemerintah pusat. 5. Sebagian bersikap khawatir dan rasa takut karena keterbatasan

dana, sarana, dan prasarana yang dimiliki.

Menghadapi situasi seperti ini, universitas tidak mungkin mewujudkan hasil pendidikan, yang diwujudkan sekadar hasil pengajaran. Lulusan-lulusan FKIP Pendidikan Kewarganegaraan bisa saja pintar-pintar tetapi tidak memiliki tanggung jawab. Selain karena kurang mendapat bimbingan, pelatihan, pembiasaan, dan keteladanan, tingkat kesadaran mahasiswa akan pengolahan prospek kerja guru masih tergolong rendah. Hal ini dapat ditanggulangi melalui pemberdayaan mahasiswa dalam aktivitas pembelajaran. Mahasiswa diarahkan agar menghindari kebiasaan bergantung dan disuap, serta diarahkan pada kebiasaan

mandiri, berinisiatif, produktif, berencana, tuntas, kreatif, sabar, jujur, terbuka, dan transparan. Para mahasiswa dimotivasi, distimulasi, difasilitasi agar minat belajarnya meningkat. Dengan demikian, mereka terlatih berpikir kritis dalam menangkap masalah prospek kerja guru dan berani mengembangkan pemikiran kritis menjadi ide-ide, gagasan-gagasan, dan pemikiran-pemikiran baru dalam seluruh proses pembelajaran.

Sebagaimana dikutip Susilo, Sartini dalam Mujamil Qomar (2012:77) menjabarkan corak pendidikan dan kepribadian anak akibat dari model pendidikan yang diberikan orangtua mereka.

Apa yang dikatakan Sartini tidak jauh berbeda dengan Dorothy Law Nolte.

1. Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan. 2. Jika anak banyak dimusuhi, ia akan terbiasa menentang. 3. Jika anak diahntui ketakutan, ia akan terbiasa mersa cemas. 4. Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasib. 5. Jika anaksering diolok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu. 6. Jika anak dikitari rasa iri, ia akan terbiasa merasa bersalah. 7. Jika anak serba dimengerti, ia akan terbiasa menjadi penyabar. 8. Jika anak diberi dorongan, ia akan terbiasa percaya diri. 9. Jika anak banyak dipuji, ia akan terbiasa menghargai.

10.Jika anak diterima di lingkungannya, ia akan terbiasa menyayangi.

11.Jika anak tidak sering disalahkan, ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri.

12.Jika anak mendapat pengkuan dari kiri-kanan, ia akan terbiasa menetapkan arah langkahnya.

13.Jika anak diperlakukan dengan jujur, ia akan terbiasa melihat kebenaran.

14.Jika anak ditimang tanpa berat sebelah, ia akan terbiasa melihat keadilan.

15.Jika anak mengenyam rasa aman, ia akan terbiasa mengendalikan diri sendiri dan mempercayai orang sekitar. 16.Jika anak dikerumuni keramahan, ia akan terbiasa berpendirian

Demikianlah akibat yang akan terjadi pada anak berbeda-beda lantaran perlakuan yang diterima tidak sama, terlebih pada poin 8, jika anak diberi dorongan ia akan terbiasa percaya diri. Hal ini sangat dibutuhkan dalam memahami prospek kerja guru. Tanpa dorongan dari lingkungan sekitar, maka anak tidak dapat mencari dan menciptakan peluang kerja bagi dirinya sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa guru atau dosen sebagai ujung tombak pendidikan berada di garis terdepan dalam menangani proses pendidikan. Sehebat-hebat guru dan atau dosen, mereka tidak akan mampu memajukan lembaga pendidikan karena bukan tugas dan wewenangnya. Mereka tidak memiliki kekuasaan politik (political power), sedangkan yang memiliki kekuasaan adalah manajer tersebut. Namun, sehebat apapun kepala sekolah, direktur, ketua, dekan dan rector, mereka tidak akan mampu memajukan pendidikan di lembaganya tanpa peran aktif seorang guru dan atau dosen. Oleh karena itu, posisi guru atau dosen menjadi sangat penting dalam mewujudkan kemajuan proses sekaligus hasil pendidikan. Hal inilah yang seharusnya ditanamkan kepada mahasiwa agar mereka memahami pentingnya menjadi seorang guru sehingga minat belajar mereka meningkat.

Fakta lainnya yang bertolak belakang dengan hal di atas adalah gaji guru honor yang tergolong rendah. Berdasarkan survei yang mempertanyakan cita-cita mahasiswa Prodi PKn, ternyata hampir tidak ada yang ingin menjadi guru dan sedikit sekali yang ingin menjadi

dosen karena gajinya rendah. Fenomena ini sungguh mencemaskan pemerintah, sehingga pemerintah berusaha meningkatkan kesejahteraan pendidik baik guru dan dosen melalui sertifikasi pendidik.

Berdasarkan pendapat Mujamil Qomar (2012:121-124), langkah lain yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan kesadaran para pelaku pendidikan seperti berikut.

1. Siswa

Siswa yang sadar pendidikan adalah peserta didik yang tugas utamanya belajar. Kesadaran ini mendorongnya untuk mengisi waktu dalam jumlah dominan dengan kegiatan belajar.

2. Guru

Guru yang sadar pendidikan adalah pendidik yang menggerakkan semua pemikiran, penghayatan, dan tindakan untuk membangun kesadaran siswa dalam aktivitas belajar. 3. Kepala sekolah

Kepala sekolah yang sadar pendidikan adalah kepala sekolah yang berfungsi sebagai pembimbing guru dalam proses belajar mengajar dan menjadi teldan bagi warga sekolah.

4. Mahasiswa

Mahasiswa yang sadar pendidikan adalah mereka yang berusaha memburu dan mendalami ilmu pengetahuan.

5. Dosen

Dosen yang sadar pendidikan adalah dosen yang mengedepankan tugas utamanya pada kegiatan mendidik serta mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat.

6. Rektor/dekan/ketua/direktur perguruan tinggi

Rektor/dekan/ketua/direktur perguruan tinggi yang sadar pendidikan adalah mereka yang berusaha keras mengkondisikan perguruan tingginya benar-benar berbasis akademik dan lebih utama lagi bila berbasis research sehingga mampu menjadi agent of change, agent of modernization, agent of innovation.

7. Pemerintah

Pemerintah yang sadar pendidikan adalah pemerintah yang menjadikan pendidikan sebagai basis utama dalam mengatasi krisis multidimensional.

8. Masyarakat

Masyarakat yang sadar pendidikan adalah masyarakat yang mendukung sepenuhnya terhadap peningkatan pendidikan serta konsekuensinya.

Kesadaran menjadi intisari dalam aktivitas kerja. Seseorang baru dipandang benar-benar bekerja kalau pekerjaan tersebut didasari kesadaran. Demikian pula pekerjaan pendidik, guru baru dapat disebut pendidik apabila kegiatannya dilakukan dengan penuh kesadaran. Peserta didik/mahasiswapun baru bisa disebut belajar apabila mereka benar-benar memahami dan mendalami ilmu yang sedang diembannya sehingga mengetahui prospek kerja kedepannya.

Mujamil Qomar (2012:121-124) mengungkapkan terdapat upaya-upaya membangun kesadaran pendidikan pada mahasiswa dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Upaya membangun kesadaran bisa dimulai dengan kegiatan menelusuri latar belakang mereka, dari sisi psikologis, sosial, dan ekonomi.

Eal James Mc Grath melaporkan dalam bukunya Education Th Willspring of Democracy (Alabama: University of Alabama Press, 1951:33) bahwa studi yang cermat telah mnunjukkan bahwa masing-masing anak memiliki serangkaian pertumbuhan yang unik. Sekolah yang baik dapat membantu dia mengembangkan kapasitasnya daripada standar yang disarankan. Itulah yang mendasati pendidikan dan metodologi dalam filosofi perkembangan yang mana seluruh orang tanpa mempedulikan tahap kemajuan atau lebih jauh perkembangan potensialnya meningkat untuk mencapai sikap, pemahaman, apresiasi, dan keterampilan yang diinginkan.

2. Menerapkan system pendidikan dan pembelajaran yang ketat pada semua perguruan tinggi.

Pengetatan dimulai ketika seleksi penerimaan mahasiswa baru, pertemuan tatapmuka perkuliahan, sanksi terhadap pelanggaran kode etik mahasiswa, pelaksanaan ujian dan pelulusan akhir. 3. Di kalangan guru atau dosen, perlu dilakukan pengondisian

agar melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah secara serius dan intensif untuk memperkukuh profesionalisme mereka.

Gaji sertifikasi guru dan dosen dapat dijadikan alat untuk memaksa mereka meningkatkan kegiatan-kegiatan ilmiah secara signifikan melalui bukti-bukti riil yang bisa dipertanggungjawabkan.

4. Menggeser paradigma masyarakat pemikiran masyarakat dari “gila gelar” ke arah “gila kualitas”, dari “symbol” ke arah “aksi” (M. Joko Susilo, 2007:122)

Sosialisasi secara intensif tentang pentingnya pendidikan yang berkualitas dan bahaya terjadinya penyimpangan-penyimpangan pendidikan. Kemudian pada saat penyaringan pegawai, baik dari lembaga negeri maupun swasta hendaknya betul-betul memilih atau menerima orang-orang yang berkompeten dan berkualitas.

Semua usaha di atas memberikan pemahaman, pengertian, dan kemantapan kepada masyarakat luas agar mereka sadar pendidikan sepenuhnya.

Sementara itu, pembudayaan kesadaran akan prospek kerja guru Pendidikan Kewarganegaraan dapat ditempuh melalui tahapan-tahapan yang telah diungkapkan Mujamil Qomar (2012:121-124) sebagai berikut.

1. Membentuk mindset

Mengarahkan dan meyakini bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang sangat penting dalam proses perkembangan masyarakat menjadi warganegara yang baik.

2. Mendemonstrasikan dan mendalami model sebagai contoh. Mahasiswa lebih dapat tersentuh dengan contoh-contoh riil daripada teori belaka karena contoh-contoh ini lebih mudah dipahami dan ditiru dalam kehidupan sosial mereka.

3. Melaksanakan secara realistis tugas masing-masing.

Pelaksanaan ini bisa diwujudkan dengan berbagai bentuk yang sangat terkait dengan tugas dari masing-masing pihak, khususnya pelaku pendidikan yang telah dijabarkan sebelumnya.

4. Mempublikasikan dan mempopularisasikan hasil dan dampak kesadaran pendidikan.

Penerapan kesadaran yang telah diwujudkan harus segera dipublikasikan. Promosi ini memiliki kekuatan untuk memengaruhi mahasiswa dalam membudayakan kesadaran pendidikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

5. Melakukan evaluasi kritis.

Melakukan evaluasi secara kritis mulai dari membentuk mindset, proses, hasil, berikut dampaknya dan membandingkan kondisi kesadaran pendidikan dengan yang terjadi sebelumnya untuk mengukur keberhasilan pembudayaan kesadaran masyarakat.

6. Melakukan tindak lanjut.

Berdasarkan hasil evaluasi, kemudian dianalisis dan dijadikan acuan untuk melakukan tindakan yang lebih strategis, yang disebut tindak lanjut yang mengandung nilai-nilai penguatan. Demikianlah tahap-tahap upaya menumbuhkan budaya kesadaran pendidikan yang sebelumnya tidak atau belum tumbuh. Tentu kondisi ini berbeda dengan kondisi masyarakat yang telah memiliki kesadaran pendidikan, upaya yang dilakukan bersifat pengembangan semata.

Dokumen terkait