• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Pemanfaatan Papan Gipsum Plafon Sebagai Pengganti Asbes

Sekitar tahun 80-an bahan asbes umumnya sangat akrab digunakan sebagai penutup atap dan plafon rumah. Selain harga dan pemasangannya mudah karena asbes memiliki bobot yang ringan sehingga tidak membutuhkan gording yang khusus. Asbes plat biasanya digunakan sebagai partisi dan plafon. Karena sifatnya tahan panas, kedap suara dan kedap air, asbes juga sering digunakan pada insolating pipa pemanas dan juga untuk panel akustik.

Sebenarnya asbes termasuk dalam kategori bahan berbahaya, karena asbes terdiri dari serat-serat yang berukuran sangat kecil, kira-kira lebih tipis dari 1/700 rambut kita. Serat-serat ini menguap di udara dan tidak larut dalam air, jika terhirup oleh paru-paru akan menetap di sana dan menyebabkan berbagai macam penyakit.

Adapun beberapa penyakit yang ditimbulkan karena asbes antara lain yaitu : 1. Asbestosis, yaitu luka pada paru-paru hingga kesulitan bernafas dan dapat

mengakibatkan kematian.

2. Mesothelioma, sejenis kanker yang menyerang selaput pada perut dan dada, muncul gejalanya setelah 20-30 tahun sejak pertama kali menghirup serat asbes.

3. Kanker paru-paru, biasanya asbes putih penyebab utama kanker paru-paru. Di Indonesia, pemakaian asbes sebagai bahan bangunan (misal genteng) masih sering ditemukan. Ini berarti terdapat risiko terkena pajanan asbes bagi pekerja di industri yang memproduksi bahan bangunan yang mengandung asbes tersebut sehingga risiko untuk terkena gangguan fungsi paru dan kanker paru atau mesotelioma sangat tinggi (Samara, 2002).

Sejak tahun 2001 pemerintah sudah melarang penjualan dan penggunaan asbes sebagai atap rumah. Sehingga banyak yang sekarang menggunakan triplek ataupun papan gipsum plafon sebagai pengganti asbes.

2.6. Jerami

Jerami merupakan suatu material yang kaya dengan serat, sampai sekarang masih terbuang percuma, dibakar, dan belum termanfaatkan. Jerami padi mengandung serat berlignoselulosa, artinya suatu bahan yang mengandung serat dan lignin.

Kandungan beberapa sumber serat sebagai biomassa ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kandungan Beberapa Sumber Serat Sebagai Biomassa

No. Jenis Sellulosa

(%) Hemisellulosa (%) Lignin (%) Abu (%) 1. Kayu lunak 41 24 27,8 0,4 2. Kayu keras 39 35 19,5 0,3 3. Jerami 30,2 24,5 11,9 16,1 4. Bagas tebu 33,6 29 18,5 23

Tabel 2.1 menunjukkan jerami padi sebagai bio-massa lignoselulosa terdiri atas campuran polimer karbohidrat yaitu selulosa dan hemiselulosa, atau disebut juga holoselulosa. Holoselulosa adalah bagian serat yang bebas lignin.

Sifat morfologi dan kandungan kimia jerami padi ditunjukkan dalam tabel 2.2. Peranan dimensi serat (panjang serat, diameter serat dan tebal dinding serat) pada bahan baku serat mempunyai hubungan satu dengan lainnya, yang kompleks dan mempunyai pengaruh terhadap sifat-sifat fisik dari produk yang dihasilkan, seperti kepadatan, kekuatan, fleksibilitas, kelicinan, porositas dan lainnya.

Tabel 2.2 Sifat Morfologi dan Kandungan Kimia Jerami Padi

No. Komponen Nilai

2. Diameter serat (mm) 0,00929

3. Tebal dinding serat (mm) 0,00297

4. Lignin (%) 25,99

5. Selulosa Alpha (%) 37,81

6. Holo selulosa (%) 80,60

7. Ekstraktif (%) 4,13

Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang cukup besar jumlahnya dan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Produksi jerami padi bervariasi yaitu dapat mencapai 12 – 15 ton per hektar satu kali panen atau 4 – 5 ton bahan kering tergantung pada lokasi atau jenis varietas tanaman yang digunakan. Produksi jerami padi yang dihasilkan sekitar 50% dari produksi gabah kering panen.

Sampai saat ini limbah padat jerami padi belum lagi termanfaatkan secara maksimal. Padahal produksi jerami padi di Indonesia sekitar 43% dari total produksi limbah pertanian yang ada. Sebagian kecil limbah jerami padi diolah menjadi kompos dan juga pakan ternak. Umumnya setelah panen, jerami dibakar untuk membersihkan lahan. Akan merupakan suatu langkah yang bijak jika limbah jerami padi dimanfaatkan untuk membuat suatu komposit. Sehingga pembuatan papan partikel dari batang padi akan memberikan manfaat lebih bagi petani.

Agar dihasilkan papan partikel dengan mutu yang lebih baik perlu diberi perlakuan pendahuluan terhadap batang padi. Mutu papan partikel kemudian diuji dengan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kerapatan, kadar air, daya serap air, keteguhan lentur, dan keteguhan tekan (Karim, 2007).

Nilai ekonomis dari bahan yang dianggap limbah tersebut dapat ditingkatkan dengan memberikan masukan ilmu, teknologi permesinan dan lainnya sehingga dapat lebih bermanfaat. Pada jenis padi yang ditanam, perbandingan antara jerami dan padi biasanya 1 : 1. Oleh karena itu, limbah pertanian berupa jerami harus dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai yang lebih.

Pemanfaatan jerami sebagai bahan bangunan secara langsung di Indonesia juga sangat memungkinkan, namun mengingat keadaan iklim hangat lembab, nampaknya pemakaian jerami di Indonesia tidak akan memberikan nilai tambah yang signifikan. Perbedaan karakteristik jerami dari tanaman padi yang dihasilkan di negara maju dengan jerami tanaman padi yang dihasilkan di Indonesia berupa karakteristik batang, panjang, dan ketebalan batang yang memberikan pengaruh signifikan saat jerami digunakan sebagai bahan bangunan secara langsung. Namun Mediastika (2007) secara umum menyebutkan karakteristik jerami kering hampir sama, maka jerami Indonesia masih dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Penggunaan jerami yang potensial untuk diaplikasikan adalah sebagai bahan pelapis elemen pembatas ruang (seperti dinding dan plafon), bukan sebagai bahan bangunan struktural (Fajarwati, 2009).

2.7. Perekat

Perekat merupakan salah satu faktor yang mempunyai keberhasilan dalam pembuatan papan partikel. Pemilihan jenis dan banyaknya perekat yang dibutuhkan sangat penting untuk diperhatikan. Suatu bahan perekat tergantung pada jenis papan partikel yang akan dibuat.

Beberapa istilah lain dari perekat yang memiliki kekhususan meliputi glue, mucilage, paste dan cement.

1. Glue merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani, seperti kulit, kuku, urat, otot dan tulang yang secara luas digunakan dalam industry pengerjaan kayu.

2. Mucilage adalah perekat yang dipersiapkan dari getah dan air dan diperuntukkan terutama untuk merekatkan kertas.

3. Paste merupakan perekat pati (starch) yang dibuat melalui pemanasan campuran pati dan air dan dipertahankan berbentuk pasta.

4. Cement adalah istilah yang digunakan untuk perekat yang bahan dasarnya karet dan mengeras melalui pelepasan pelarut.

Berdasarkan unsur kimia utama (major chemical component), perekat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

1. Perekat alami (Adhesive of natural origin)

a. Berasal dari tumbuhan, seperti starches (pati). Dextrins (turunan pati) dan

vegetable gums (getah-getahan dan tumbuh-tumbuhan.

b. Berasal dari protein, seperti kulit, tulang, urat daging, blood (albumin dan darah keseluruhan), casein (susu) serta soybean meal (termasuk kacang tanah dan protein nabati seperti biji-bijian pohon dan biji durian).

c. Berasal dari material lain, seperti asphalt, shellac (lak), rubber(karet), sodium silikat, magnesium oxychloride dan bahan anorganik lainnya.

2. Perekat sintetis (Adhesive of synthetic origin)

a. Perekat termoplastis yaitu resin yang akan kembali menjadi lunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan. Contohnya seperti polyvinyl alkohol (PVA), polyvinyl asetat (PVAc), copolymers, cellulose esters, poliamida, polistirena, polivinil butiral, serta polivinil formal.

b. Perekat thermosetting yaitu resin yang mengalami atau telah mengalami reaksi kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultra violet dan sebagainya serta tidak kembali ke bentuk semula. Contohnya seperti urea, melamin, phenol, resolcinol, furfuryl alcohol, epoxy, polyurethane, unsaturated polyesters (poli ester tidak jenuh). Untuk perekat urea, melamine, phenol dan resorcinol menjadi perekat setelah direaksikan dengan formaldehida (CH2

Isosianat merupakan salah satu perekat yang dapat digunakan dalam pembuatan papan biokomposit. Perekat ini tergolong dalam kategori perekat termosetting, karena tidak dapat kembali kebentuk semula apabila diaplikasikan kebahan yang digunakan (Vick, 1999).

O) (Sucipto, 2009).

Isosianat adalah perekat yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada perekat lainnya. Isosianat bereaksi bukan hanya dengan aquarous tetapi juga dengan kayu yang menghasilkan ikatan kimia yang kuat sekali (chemical bonding). Isosianat

juga memiliki gugus kimia yang sangat reaktif, yaitu R-N=C=O. Keunikan perekat isosianat adalah dapat digunakan pada variasi suhu yang luas, tahan air, panas, cepat kering, pH netral dan tidak larut dalam pelarut organik.

2.7.1. Isosianat

Isosianat merupakan bagian yang utama dalam pembentukan poliuretan, ia mempunyai reaktivitas yang sangat tinggi, khusnya dengan reaktan nukleofilik. Reaktivitas dari poliuretan ditentukan oleh sifat posistif dari atom C dalam ikatan rangkap yang terdiri dari pada N, C, dan O.

Dalam pembentukan poliuretan adalah sangat perlu memilih isosianat yang sesuai untuk bereaksi dengan poliol karena akan dapat menentukan hasil akhir, seperti terbentuknya rangkaian biuret, urea, uretana, dan alfanat. Isosianat yang umum digunakan dan telah dipasarkan contohnya :

a). Difenilmetana diisosianat (MDI)

Difenilmetana diisosianat berwujud padat, dengan titik leleh 37 – 38 oC disamping itu polimer difenilmetana diisosianat juga ada berwujud cair, kedua- duanya produk yang mempunyai tekanan uap rendah dibanding dengan toluena diidosianat telah digunakan dalam pembuatan elastomer dalam skala pabrik dan polimer difenilmetana yang paling luas dalam pemakaiannya terutama untuk produk rigid foam.

b). Toluena Diisosianat (TDI)

Toluena adalah bahan pertama dari produksi toluena diisosianat (TDI). Prosesnya boleh bervariasi supaya memberikan hasil dari turunan isomer yang dikehendaki. Pada proses phosgenasi biasanya mempertimbangkan untuk mengikutsertakan pada pembentukan dari karbonil klorida didalam keadaan dingin dan produk ini dalam keadaan panas.

R – NH2 + COCl2

R – NHCOCl R – NCO + HCl

Isomer toluena diisosianat adalah campuran cair dalam batas suhu 5 – 15 0 C dan karena itu biasanya dijumpai sebagai cairan tolilen 2,4 – diisosianat, dan jika dijumpai dalam padatan biasanya dengan titik leleh 22 o

Toluena diisosianat dapat menimbulkan iritasi pada pernapasan dan sangat diperhatikan dalam pengguanaannya. Produknya bermacam-macam lebih dari 80 : 20 campuran isomer yang sangat luas penggunaannya, terutama dalam produksi dari fleksibel foam. 4 – isosianat adalah kelompok paling banyak digunakan yang lebih reaktif dibanding 2 atau 6 – isosianat.

C.

c). Naftalena 1,5 – diisosianat (NDI)

Naftalena 1,5 – diisosianat adalah berwujud padat dengan titik leleh 128 0 C dan mempunyai tekanan uap rendah dari pada toluen diisosianat dan bersifat kurang toksit dalam penggunaannya, tetapi ia mempunyai sifat yang sensitive. Naftalenen 1,5 – diisosianat digunakan tertama dalam produk elastomer.

d). HDI (Hexametilen diisosianat)

Hexametilen diisosianat (HDI) dihasilkan melalui phosgenasi hexametilendiamin : H2N – (CH2)6 – NH OCN – (CH2)6

Hexametilen diisosianat merupakan cairan yang tekanan penguapannya hampir sama dengan TDI juga bersifat mengganggu pernafasan dan dapat menimbulkan efek yang berbahaya terhadap kulit dan mata. HDI merupakan salah satu diisosianat yang pertama sekali digunakan dalam pembuatan poliuretan dalam hal ini dalam pembuatan fiber (Hepburn, 1991).

– NCO

2.7.2. Poliol

Di samping isosianat, senyawa dengan berbagai fungsi hidroksil merupakan komponen penting dalam pembentukan poliuretan. Senyawa dengan berat molekul rendah seperti etilen glikol, butandiol, trimetil propana lazim digunakan sebagai agen pemanjang

rantai atau jaringan. Poliol dengan berat molekul tinggi seperti polieter dan poliester dengan berat molekul rata-rata 8 x 103

Dalam prakteknya, poliols dibedakan dari rantai yang pendek (low-molecular) seperti ethylene glycol, 1,4-butanediol (BDO), diethylene glycol (DEG), gliserin, dan

trimethylol sejenis metan (TMP). Polyols dibentuk oleh pembebasan dan penambahan radikal tentang propylene oksida (PO), ethylene oksida (EO) ke suatu hidroksil atau amina atau oleh polyesterification dari suatu di-acid, seperti asam adipin; dengan glikol, seperti etilen glikol atau dipropilen glikol (DPG). Poliols yang diperluas dengan PO atau EO nantinya disebut poleter poliols (Poliol yang dibentuk oleh poliesterifikasi). Pemilihan dari poliol sangat mempengaruhi status fisiknya, dan sifat fisis dari Poliuretan polimer (seperti bobot molekular).

merupakan poliol yang umum digunakan dalam polimerisasi uretan (Helen, 1970).

Poliol merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil lebih dari satu dan dalam industri material sangat luas digunakan baik sebagai bahan pereaksi maupun aditif. Senyawa poliol dapat diperoleh langsung di alam seperti amilum, selulosa, sukrosa dan lignin ataupun olahan industri. Gugus hidroksi pada senyawa organik dapat meningkatkan sifat hidrofil karena disamping gugus fungsi yang aktif bereaksi dengan berbagai pereaksi untuk menghasilkan senyawa baru juga dapat berinteraksi baik melalui dipoldipol yang terbentuk maupun melalui ikatan hidrogen dengan gugus hidrofil dari senyawa lain. Gugus hidroksil yang tidak terikat memberikan sifat hidrofil sedangkan gugus hidroksil yang terikat baik sebagai ester, eter dapat mengubah senyawa tersebut menjadi lipofil. Adanya sifat hidrofil dan lipofil menyebabkan senyawa poliol banyak digunakan sebagai surfaktan dalam makanan, kosmetik maupun keperluan farmasi seperti obat-obatan (Jung, 1998).

2.7.3. Poliuretan

Usaha menciptakan polimer poliuretan pertama kali dirintis oleh Otto Bayer dan rekan-rekannya pada tahun 1973 di labolatorium I.G. Farben di Leverkusen, Jerman. Mereka menggunakan prinsip polimerisasi adisi untuk menghasilkan

poliuretan dari diisosianat cair dan polieter cair atau diol poliester seperti menunjuk ke berbagai kesempatan spesial, khususnya saat dibandingkan dengan berbagai plastik yang dihasilkan dari olefin, atau dengan polikondensasi.

Awalnya, usaha difokuskan pada produksi serat dan busa yang fleksibel. Kendati pengembangan terintangi oleh Perang Dunia II (saat itu poliuretan digunakan dalam skala terbatas sebagai pelapisan pesawat), poliisosianat telah menjadi tersedia secara komersial sebelum tahun 1952. Produksi komersialnya busa poliuretan yang fleksibel dimulai pada 1954, didasarkan pada toluena diisosianat (TDI) dan poliol poliester. Penemuan busa ini (yang awalnya dijuluki keju Swiss imitasi oleh beberapa penemu) adalah berkat jasa air yang tak sengaja dicampurkan ke dalam campuran reaksi. Bahan-bahan ini digunakan pula untuk memproduksi busa kaku, karet gom, dan elastomer.

Cara simultan interpenetrasi jaringan polimer menggabungkan antara isosianat dan lignin (Sperling, 1994). Peneliti menggunakan isosianat dalam pembentukan interpenetrasi jaringan polimer sehingga menghasilkan bahan polimer baru yang kaya akan sifat fisik dan mekanik.

Polimer uretan biasanya digunakan sebagai larutan perekat yang diproduksi melalui reaksi senyawa-senyawa hidroksi dengan isosianat. Sifat-sifat fisika dari poliuretan yang dihasilkan bergantung pada struktur dan fungsional dari senyawa hidroksil dan isosianat yang membentuknya.

Elastomer poliuretan digunakan sebagai perekat kontak yang dihasilkan melalui reaksi antara poliester diol dengan 4,4’-difenil-imetan-diisosianat yang menghasilkan suatu polimmer linier yang cabangnya dapat diabaikan. Poliester ini akan menyumbangkan sifat kristalinitas pada produk akhir poliuretan. Polimer ini dihasilkan melalui suatu proses polimerisasi dengan temperatur reaksi 100-140oC (umumnya 120oC) dan waktu reaksinya sekita 0,5-24 jam (umumnya adalah sekitar 1- 2 jam). Massa molarnya dapat dihitung dengan mengukur viskositas spesifiknya.

Untuk menghasilkan sifat-sifat larutan yang baik, maka perbandingan molar isosianat dengan hidroksil, biasanya berkisar antara 0,97:1,0 dan 0,99:1,0 yang dapat menghasilkan suatu polimer dengan gugus hidroksil terminal.

Walaupun ada sejumlah reaksi yang merumuskan pembentukan poliuretan, tetapi hanya satu bentuk umum yang paling penting: yaitu reaksi antara suatu isosianat dengan suatu alkohol (Wake, 1987).

2.7.4. Pembentukan Ikatan Silang Poliuretan

Secara umum ada dua tahap pembentukan ikatan silang poliuretan, yaitu:

1. Mereaksikan diisosianat dengan dua atau lebih monomer yang mempunyai dua atau lebih gugus hidroksi per molekulnya. Dimana tingkat ikatan silang tergantung pada dasar struktur, fungsi dari kandungan polihidroksinya, dan variasi kandungan hidroksi.

2. Poliuretan liniear direaksikan dengan gugus hidroksi atau gugus diisosianat yang mempunyai dua gugus fungsi.

Isosianat dapat bereaksi dengan hidroksil kayu membentuk uretan linkage, secara pasti mekanisme ikatan kimia dipengaruhi oleh kondisi pematangan. Di samping itu kayu terdiri dari tiga perbedaan polimer yang terdiri primer, sekunder alifatis, dan aromatis hidroksil, dan juga isosianat dapat berpenetrasi ke dalam pori- pori kayu yang paling dalam (Frazier, 1998), sehingga ikatan kimia yang terbentuk mampu menghasilkan aplikasi yang potensial dalam kegunaannya.

Mekanisme reaksi isosianat dengan kumpulan hidroksil atau hidroksil dari kayu ditentukan menurut reaktivitas kumpulan hidroksil itu sendiri, walaupun reaktivitas kumpulan hidroksil itu bermacam-macam, akan tetapi secara umum reaksi isosianat dengan senyawa hidroksil untuk membentuk poliuretan adalah sebagai berikut :

NCO + HO NHCO

Isosianat hidroksil Uretan

Poliuretan terbentuk dari polimerisasi dengan memilih isosianat yang sesuai untuk dapat bereaksi dengan poliol atau gugus hidroksil karena akan dapat menentukan hasil akhir, seperti terbentuknya rangkaian biuret, urea, uretan dan alopanat. Para peneliti terdahulu telah mencoba berbagai isosianat yang berbeda untuk mendapatkan hasil akhir poliuretan yang diinginkan. Isosianat yang umum digunakan dan telah dipasarkan adalah Toluena Diisosianat (TDI), Difenilmetan Diisosianat (DMI), Naptalena–1,5–diisosianat (NDI) dan lain-lain. Toluena memiliki senyawa dasar toluena, terdiri dari dua jenis isomer 2,4 (80%) dan isomer 2,6 ( 20%), yang merupakan isosianat biasa untuk pembuatan poliuretan busa tahan lentur. Jenis kedua adalah TDI dengan campuran 65% isomer 2,4 dan 35% isomer 2,6. TDI ini memiliki reaktivitas berbeda yang mana kedudukan 4-isosianat adalah lebih reaktif daripada 2 atau 6 isosianat, atau dapat dinyatakan gugus NCO pada kedudukan 4 adalah sepuluh kali lebih reaktif dari letak 2 atau 6 pada suhu kamar. TDI dapat bereaksi dengan gugus fungsi dalam resin poliester dan juga mampu bereaksi dengan air membentuk karbon dioksida yang merupakan hasil sampingan dalam pembentukan ikatan urea.

Dokumen terkait