• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Ruang Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat

KONDISI UMUM LOKASI A.Letak dan Luas

C. Pemanfaatan Ruang Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat

Penataan ruang selalu terkait dengan penatagunaan kawasan hutan. Candra (2002) menyatakan bahwa penataaan hutan adalah kegiatan perencanaan tata guna hutan, pemanfaatan hutan untuk mewujudkan tertib pemanfaatan hutan dalam rangka penataan ruang. Tata ruang HPGW diartikan sebagai pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi, dan rencana pemanfaatan hutan.

Dalam setiap fungsi hutan yang ditetapkan perlu dilakukan penataan hutan. Kegiatan ini merupakan kegiatan rancang bangun kesatuan pengelolaan hutan yang mencakup pengelompokkan sumberdaya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung di dalamnya dengan tujuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari. Tata hutan, pemanfaatan hutan, dan penggunaan kawasan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan.

Sampai saat ini penataan hutan (ruang) pada HPGW belum terbangun sesuai dengan fungsi dan kemampuan lahannya. Oleh karena itu, penataan ruang perlu dilakukan dengan pertimbangan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat sekitar HPGW.

Penataan ruang di HPGW dilakukan menggunakan matriks zonasi dengan elemen-elemen dasar kondisi biofisik dan sosial masyarakat sekitar HPGW. Matriks zonasi yaitu hasil overlay layer-layer dengan faktor-faktor tertentu untuk menentukan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan HPGW. Layer-layer (peubah) tersebut adalah layer zonasi fungsi hutan, layer tutupan lahan (land cover), dan layer proximity (buffer) sungai serta proximity (buffer) jalan dan perkampungan. Proximity jalan dan kampung digunakan sebagai faktor pengaruh dari manusia dengan asumsi bahwa aktivitas manusia dibatasi oleh jarak yang sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Jaringan jalan dan perkampungan dianggap memiliki pengaruh yang sangat kuat dari manusia pada jarak 0 ~ 0,5 Km dari jaringan yang ada. Proximity jalan dan perkampungan merupakan batas areal kemungkinan aktivitas negatif dari masyarakat di dalam batas HPGW. Hasil matriks zonasi disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Matriks Zonasi Hasil Overlay Spasial Proximity (Buffer) Fungsi Hutan Jalan dan Kampung (Km) Sungai (m)

Jenis Vegetasi Tutupan Lahan Arahan Penggunaan < 50 Agathis,Puspa Hutan Areal Perlindungan Setempat < 0,5 > 50 Agathis,Pinus, Puspa Hutan, Goa, Tanah Kosong Agroforestry, Wisata Alam Kawasan Lindung > 0,5 > 50 Agathis,Pinus, Puspa Hutan, Tanah kosong Areal Perlindungan Setempat < 0,5 > 50 Puspa,Agathis Hutan Agoforestry HPB > 0,5 > 50 Agathis,Puspa, Pinus Hutan, Base Camp HPB < 0,5 > 50 Puspa,Pinus Hutan, Tanah Kosong Agoforestry, Wisata Alam HPT > 0,5 > 50 Agathis,Pinus, Puspa,Akasia Hutan, Base Camp HPT

Masyarakat sekitar HPGW sangat berpengaruh bagi keberadaan HPGW dan begitu juga sebaliknya. Pemanfaatan ruang yang dapat dikembangkan sesuai dengan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) adalah pemanfaatan ruang untuk Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Bebas (HPB), Areal Perlindungan Setempat, Wisata Alam, dan Agroforestry.

Deskripsi Pemanfaatan Ruang di HPGW yang Diarahkan 1. Hutan Produksi Bebas (HPB)

Hutan Produksi Bebas (HPB) adalah areal hutan yang dipertahankan sebagai kawasan hutan dan berfungsi untuk menghasilkan hasil hutan yang dapat dieksploitasi baik dengan cara tebang pilih maupun dengan cara tebang habis. HPB yang di arahkan berada di lembah-lembah sebelah selatan yang letaknya tersebar dengan luasan minimum 11 Ha.

Pada hutan produksi bebas terdapat tegakan utama yaitu pinus dengan tahun tanam 1967-1968, agathis dengan tahun tanam 1951-1952, dan puspa dengan tahun tanam 1965-1970. Untuk memudahkan dalam pengelolaan dan upaya memenuhi prinsip kelestarian maka pada areal produksi yang luasan

totalnya sebesar 98,484 Ha dapat dibagi ke dalam 3 kelas perusahaan yaitu Kelas Perusahaan Agathis, Kelas Perusahaan Pinus, dan Kelas Perusahaan Puspa. Kelas perusahaan merupakan satu unit kelestarian. Kelas perusahaan dibagi ke dalam petak-petak kerja dengan memperhatikan kelestarian produksi. Pada petak-petak kerja ini dapat dilakukan kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan pemungutan hasil, dan juga sebagai satu kesatuan administrasi.

Kegiatan rutin di HPGW yaitu kegiatan pengelolaan hutan tropika secara lestari dapat dijadikan sebagai objek wisata pendidikan. Adapun kegiatan tersebut antara lain perencanaan areal persemaian, pembinaan, pengenalan kegiatan persemaian, penanaman, pemeliharaan tegakan, penebangan, dan perlakuan setelah penebangan serta program bina cinta lingkungan.

2. Hutan Produksi Terbatas (HPT)

Hutan produksi Terbatas (HPT) merupakan hutan produksi yang karena faktor topografi, kepekaan jenis tanah dan iklim sehingga pemanfaatan hasil hutan kayunya dibatasi berdasarkan limit diameter tebang sesuai ketentuan yang berlaku. Areal ini dapat dilakukan kegiatan produksi atau dilakukan kegiatan penebangan untuk tujuan pendidikan. Namun kegiatan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati karena kawasan tersebut diperuntukkan sebagai kawasan produksi terbatas, kepekaan terhadap erosi masih cukup tinggi. Sonatha, (2005) menambahkan bahwa Hutan Produksi Terbatas (HPT) dapat menimbulkan implikasi negatif yaitu resiko dikelola terjadinya kerusakan hutan apabila tidak secara intensif dan hati-hati.

HPT berada di antara lembah-lembah dan punggung bukit dengan slope kurang dari 40 % yang membentang dari barat ke timur. Di areal ini terdapat tegakan pinus, puspa dan agathis. Luasan yang diarahkan guna HPT adalah 98,484 Ha.

Pada areal hutan produksi terbatas ini dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan dan juga dalam pemanfaatan hasil hutan tidak hanya hasil hutan kayu saja tetapi dapat juga pemanfaatan hasil hutan bukan kayu seperti getah yang dapat dihasilkan pada tegakan pinus dan tegakan agathis.

3. Areal Perlindungan Setempat

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat –sifat fisik wilayahnya, perlu dibina dan dipertahankan sebagai kawasan hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap guna kepentingan hidro-orologi, yaitu mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik di dalam kawasan hutan yang dipengaruhinya.

Pemanfatan ruang untuk areal lindung menempati areal seluas 12,781 Ha memiliki pola penyebaran yang tidak terpusat. Areal lindung ini masih ditetapkan sesuai dengan fungsinya dengan alasan pertimbangan faktor fisik (topografi dan tanah) dengan masing-masing seluas 10,402 Ha dan 2,379 Ha yang termasuk ke dalam sempadan sungai. Areal ini dapat juga dilakukan kegiatan budidaya tanaman obat atau tanaman lainnya. Tanaman obat yang sudah di budidayakan oleh masyarakat adalah tanaman kapulaga.

3. Wisata Alam

Kawasan Wisata Alam merupakan kawasan pelestarian alam di darat maupun di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi. Kriteria wisata alam adalah kawasan berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang beragam, memiliki arsitektur bentang alam yang baik dan memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata.

Areal ini memiliki potensi panorama alam yang menarik dan indah (lihat Gambar 20) dan juga terdapat goa alam pada penutupan lahannya yaitu Goa Cipeureu (lihat Gambar 20), disamping itu akses menuju Kawasan Wisata Alam ini cukup mudah. Adapun tujuan dijadikan sebagai Kawasan Wisata Alam ini untuk menjaga keberadaan areal lindung tetap sesuai dengan fungsinya, peningkatan kualitas lingkungan, dan perlindungan dari pencemaran serta mempertahankan kelestarian HPGW.

Kawasan Wisata Alam ini memiliki luas 132,493 Ha. Kawasan ini berada di sebelah utara dengan ketinggian 532,5 ~ 712,5 m di atas permukaan laut. Kawasan Wisata Alam yang akan dikembangkan ini berdasarkan pada potensi daya tarik objek rekreasi alam yang ada. Disamping itu juga berusaha menyusun serangkaian kegiatan rekreasi dengan bentuk wisata pendidikan. Sari (1996) menyatakan bahwa pengusahaan objek wisata alam HPGW yang

dikembangkan ini termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus yaitu usaha pemanfaatan sumber daya alam dan potensi seni budaya bangsa untuk menimbulkan daya tarik dan minat khusus sebagai sasaran wisata.

Potensi objek wisata yang ada seperti panorama alam yang menarik dan indah, goa alam, dan variasi jenis pohon yang ada di HPGW diusahakan dan dikembangkan dengan tujuan untuk menumbuhkan minat pengunjung khususnya mengenai hutan dan kegiatan pengelolaannya. Bentuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata HPGW adalah wisata pendidikan, dengan sasaran wisatanya yaitu menumbuhkan rasa cinta alam dan hutan atau lingkungan dikalangan generasi muda khususnya (Sari, 1996). Daya tarik dari wisata alam ini adalah tersedianya kesempatan memperoleh pengalaman sendiri dengan hal nyata yang mungkin selama ini jarang atau bahkan belum pernah diperolehnya. Contoh kegiatan tersebut antara lain diperkenalkannya pada kegiatan kehutanan baik pendidikan konservasi maupun mengenai budidaya atau pengelolaan hutan tropika secara lestari seperti kegiatan perencanaan areal, persemaian, penebangan, dan reboisasi atau pengayaan dengan menambah jenis tanaman terutama yang menjadi sumber makanan satwa untuk menjaga keberadaan satwa-satwa di Hutan Gunung Walat pada areal yang terdapat tanah kosong (tidak bertegakan).

Untuk keberadaan Goa Cipeureu ini terletak 1.5 Km di sebelah barat kompleks pendidikan. Goa Cipeureu ini dapat dicapai melalui jalan batu dimana terlihat deretan tegakan pinus, agathis, dan puspa di kanan kiri jalan. Pintu masuk gua tersebut berupa lorong sempit sehingga untuk masuk ke dalam gua perlu memiringkan badan. Karena kondisi di dalam gua gelap, maka perlu membawa alat penerangan.

Gua Cipeureu yang terbentuk dari batuan Karst dan pemandangan di dalam gua yang dihiasi dengan stalagtit dan stalagmit serta gemericik air yang mengalir jernih dimana lokasi ini cocok untuk di kembangkan sebagai obyek rekreasi bagi pengunjung yang menggemari kegiatan menyusuri gua (caving) dan mempelajari gejala alam tersebut (Speleologi).

Kriteria unsur daya tarik sedang dan fasilitas penunjang yang memadai untuk rekreasi memang belum tersedia (Sari, 1996). Kalaupun ada merupakan sarana untuk memperlancar kegiatan penelitian di Komplek HPGW dan tugas-tugas di stasiun tvri. Oleh karena itu pengembangan objek wisata di HPGW terbatas untuk wisata minat khusus (kegiatan pendidikan dan pengelolaan) dimana kegiatan rekreasinya tidak menitik beratkan pada keindahan alam saja melainkan pada pengenalan kegiatan pengelolaan hutan.

4. Agoforestry

Menurut Hairiah, et, al (2003) agroforestry pada prinsipnya di kembangkan untuk memecahkan permasalahan pemanfaatan lahan dan pengembangan pedesaan, serta memanfaatkan potensi-potensi dan peluang yang ada untuk kesejahteraan masyarakat manusia dengan dukungan kelestarian sumberdaya beserta lingkungannya. Mata pencaharian masyarakat sekitar HPGW sebagian besar sebagai petani. Walaupun sebagian besar penduduknya merupakan petani, namun kepemilikan lahannya relatif kecil, rata-rata kepemilikan kurang dari 0,5 Ha (71, 30%). Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestry salah satu cara dalam mempertahankan kelestarian HPGW.

Sejak tahun 2001 pihak pengelola HPGW melakukan berbagai cara untuk mengurangi dan menghentikan pencurian dan perambahan. Salah satu cara yang dilakukan yaitu pembinaan masyarakat perambah lewat rehabilitasi hutan melalui kerjasama agroforestry. Langkah ini meskipun baru dilakukan 4 tahun terakhir namun sudah cukup mampu menekan pencurian dan perambahan hutan (Trison, 2005).

Kerjasama agroforestry merupakan usaha membina masyarakat perambah dengan pemberian keterampilan teknis pertanian dan kehutanan. Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat hal yang menjadi pusat perhatian dalam proses pembangunan kehutanan belakangan ini di berbagai negara, karena itu perlu ditekankan peningkatan tentang pentingnya pendekatan alternatif berupa pendekatan pembangunan yang diawali oleh proses pemberdayaan masyarakat lokal (Craig dan Mayo, 1995). Konsep pemberdayaan dalam wacana

pembangunan masyarakat umumnya khususnya masyarakat sekitar hutan selalu dikaitkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadaan sosial.

Konsep menempatkan masyarakat sebagai bagian dari ekosistem hutan yang kehidupannya juga tergantung dari kondisi hutan adalah pendekatan yang baik (Trison, 2005). Pendekatan tersebut akan menyadarkan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hutan yang didasari oleh pemahaman yang cukup tentang manfaat hutan bagi masyarakat sekitar. Setiap pihak harus disadarkan bahwa keberadaan hutan sangat penting bagi kelangsungan hidup dan sumber mata pencaharian mereka sehingga untuk mengakomodasikan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan HPGW.

Areal ini dekat dengan areal perkebunan/sawah dimana areal ini rawan atau rentan terhadap perambahan (lihat Gambar 20). Areal yang dapat dikembangkan untuk kegiatan agroforestry dengan luasan yang beragam yaitu 30,909 Ha; 6,306 Ha; 24,308 Ha; 2,940 dan 14,795 Ha.

Tabel 15 Luas Kawasan Hasil Penataan Ruang HPGW

Keterangan Luas (Ha) Fungsi Utama Fungsi Tambahan HPB 35,175 Hasil Hutan Kayu Wisata

Pendidikan

HPT 98,484

Hasil Hutan Kayu Terbatas, Hasil Hutan Non Kayu Penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan Areal Lindung 12,781 Fungsi Hidro-orologi Budidaya

Tanaman Obat Kawasan Wisata Alam 132,493 Fungsi Hidro-orologi, Wisata Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Agroforestry 79,258 Pemberdayaan Masyarakat,Mengurangi Perambahan dan Pencurian Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Base Camp 3,206 Pusat Administrasi dan

Informasi

Tempat Peristirahatan

(a) Base Camp

(c) Kawasan Wisata Alam

(f) Agroforestry

(g) Hutan Produksi Terbatas (h) Hutan Produksi Terbatas (e) Goa Cipeureu

(d) Kawasan Wisata Alam

Gambar 20 Informasi Kondisi Lapangan Hasil Penataan Ruang HPGW (b) Base Camp

Program Pemanfaatan Ruang dan ArcView

Menggunakan Teknik Konvensional Dengan Kostumisasi Arc View No.

Menu yang diakses Waktu

(detik) Menu yang diakses

Waktu (detik)

1. Set Extensions 27 Mulai 0

2. Set WorkDir dan View Properties

0 Membuat Slope 7

3. AddTheme Kontur, Jenis Tanah, dan Curah Hujan

48 Membuat Kelas 26

4. CreateTIN 32 Convert Grid to Shape 13

5. Derive Slope 9 Membuat Lereng 32

6. Reclassify Slope 28 Masukan Data 1

7. Convert Grid to Shape 15 Identity I 34

8. AddField Kelas Lereng 77 Identity II 32

9. Reclassify Jenis Tanah 70 Membuat Fungsi hutan 30

10. Reclassify Curah Hujan 70 Lihat Hasil 1

11. Identity I 34 12. Identity II 32 13. Skoring 85 14. Labeling/Attributing 88 15. Layout 1 Jumlah 615 176

Interaksi langsung didefinisikan sebagai menu yang harus di -klik oleh user selama melakukan penetapan fungsi hutan. Sedangkan, waktu proses didefinisikan sebagai waktu total yang dibutuhkan untuk melakukan penetapan fungsi hutan, mulai dari pemasukan data sampai dengan pelaporan (pembuatan layout) selesai. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, didapatkan informasi mengenai jumlah dan lama waktu interaksi dan proses langsung user terhadap Program Pemanfaatan Ruang dan ArcView (Tabel 16).

Berdasarkan informasi pada tabel 16, diperoleh persentase efisiensi jumlah interaksi langsung user terhadap Program Pemanfaatan Ruang sebesar 79,19% yang artinya dapat mereduksi jumlah interaksi hingga sebesar 21,81% dan mengurangi tingkat kesalahan dalam proses penetapan fungsi hutan. Nilai ini di dapat menggunakan rumus (1). Nilai persentase efisiensi ini dijadikan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan Program Pemanfaatan Ruang yang efisien dan nyaman dalam melakukan penetapan fungsi hutan.

Berdasarkan informasi pada tabel 16, diperoleh persentase efisiensi relatif proses keseluruhan interaksi langsung user terhadap Program Pemanfaatan Ruang

sebesar 71,38% yang artinya dapat mereduksi lama proses hingga sebesar 29,62%. Nilai ini didapat menggunakan rumus (2). Nilai persentase efisiensi relatif ini dijadikan sebagai ukuran keberhasilan perbaikan yang dilakukan Program Pemanfaatan Ruang dalam melakukan penetapan fungsi hutan.

A. Kesimpulan

1 Pemanfaatan ruang dapat dilakukan dengan metode semi-otomatis berbasis SIG. Dengan Teknik ini luas fungsi pemanfaatan yang sesuai dengan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) adalah untuk Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 98,484 Ha, Hutan Produksi Bebas seluas 35,175 Ha, Areal Lindung seluas 12,781 Ha, Kawasan Wisata Alam seluas 132,493 Ha, dan Agroforestry seluas 79,258 Ha.

2 SIG dapat dikembangkan untuk membuat tampilan antar muka (interface) dan menu-menu pada Program Pemanfaatan Ruang, dengan nilai keberhasilan : a) Nilai efisiensi jumlah interaksi langsung user terhadap Program

Pemanfaatan Ruang dibandingkan dengan terhadap ArcView sebesar 79,19% yang artinya dapat mereduksi jumlah interaksi hingga sebesar 21,81% dan mengurangi tingkat kesalahan dalam proses penetapan fungsi hutan.

b) Nilai efisiensi relatif proses penetapan fungsi hutan secara keseluruhan pada Program Pemanfaatan Ruang dibandingkan dengan terhadap ArcView sebesar 71,38% yang artinya dapat mereduksi lama proses hingga sebesar 29,62%.

B. Saran

Dalam melakukan penetapan fungsi hutan dengan memanfaatkan program pemanfaatan ruang masih adanya proses-proses standar dari ArcView. Karenanya program pemanfaatan ruang ini perlu penyempurnaan script lebih lanjut dengan menambahkan script untuk pengintegrasian Operasi spasial (identity), pelaporan data dengan tampilan 3 dimensi, serta mengembangkan aplikasi-aplikasi lain yang dibuat dengan perangkat SIG ArcView. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan dalam pengelolaan hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat.

Dokumen terkait