• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5. Pemanfaatan Waktu Aktivitas dan Stratifikasi Hutan

5.5.2. Pemanfaatan stratifikasi hutan mamalia besar

Selain ditinjau berdasarkan pemanfaatan waktu aktivitas satwaliar, dikategorikan juga berdasarkan pemanfaatan stratifikasi hutan. Vieira dan Filho

(2003) menyatakan bahwa perubahan ketinggian pada hutan hujan di Atlantic dapat mengubah komposisi dari komunitas pada lapisan hutan yang berbeda tanpa mengubah pola pemanfaatan habitat vertikal secara spesifik. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa kekayaan jenis vertebrata yaitu mamalia berkorelasi dengan struktur kompleks dari hutan.

Setiap strata hutan memilki kemampuan dalam mendukung kehidupan jenis-jenis satwaliar tertentu (Alikodra 2002). Kartono et al. (2000) mengelompokkan sebaran spasial vertikal pada jenis-jenis mamalia yang ditemukan di Muara Bungo, Jambi kedalam 5 kelompok. Soerianegara dan Indrawan (2002) membagi strata hutan atas strata A (>30 m), strata B (20-30 m), strata C (4-20 m), strata D (1-4 m), dan strata E (0-1 m). Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis mamalia besar ditunjukkan pada Tabel 13.

Tabel 13. Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis mamalia besar Strata Hutan

Nama lokal Nama ilmiah

A B C D E

Babi hutan Sus scrofa

Owa ungko Hylobates agilis

Monyet ekor panjang Macaca fasicularis Lutung budeng Trachypithecus auratus

Lutung simpai Presbytis malalophos

Siamang Hylobates syndactylus

Pelanduk Tragulus napu

Kancil Tragulus javanicus

Rusa sambar Cervus unicolor

Musang akar Arctogalidia trivirgata

Tapir Tapirus indicus

Beruang madu Helarctos malayanus

Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae

Dalam pembagian berdasarkan stratifikasi hutan, diketahui bahwa Monyet ekor panjang memiliki sebaran vertikal yang lebih luas jika dibandingkan mamalia besar lainnya. Monyet ekor panjang memanfaatkan setiap strata hutan yang telah dibagi hal ini disebabkan karena kebiasaan Monyet ekor panjang untuk tidak memilih sumberdaya pakan tertentu.

Mamalia besar yang memanfaatkan strata A yaitu Monyet ekor panjang, Owa ungko, Lutung budeng dan Lutung simpai. Santoso (1996) menyatakan bahwa pola aktivitas monyet ekor panjang di Pulau Tinjil yang banyak aktif pada tajuk pohon mengindikasikan bahwa ketersediaan sumberdaya pakannya sedang berlimpah pada stratifikasi atas. Lutung budeng dan Simpai lebih banyak memanfaatkan strata A dibanding jenis mamalia lainnya karena kebutuhan pakan akan daun muda atau pucuk daun. Seperti halnya pernyataan Santoso (1996), Lutung budeng juga lebih banyak memanfaatkan strata hutan A disebabkan kebutuhannya akan daun muda yang terdapat di tajuk pohon teratas.

Berdasarkan data pengamatan, rata-rata primata memanfaatkan pohon pada strata A dan strata B. Hal ini disebabkan karena pada ketinggian ini tersedia sumber pakan yang dibutuhkan oleh jenis-jenis primata seperti buah, daun, dan serangga. Selain itu, jenis-jenis primata dapat melakukan pergerakan yang lebih mudah dari strata B untuk berpindah ke strata A atau strata C.

Jenis mamalia besar selain ordo primata, merupakan jenis-jenis yang mendiami strata E atau lantai hutan. Jenis-jenis yang teramati memanfaatkan strata E adalah Babi hutan, Pelanduk, Kancil, Rusa sambar, Tapir, Beruang madu, Pelanduk, Kancil, Tapir dan Rusa sambar memanfaatkan lantai hutan dalam memenuhi kebutuhannya akan rumput dan daun sebagai sumber pakan, sedangkan Babi hutan dan Beruang madu memerlukan biota-biota dalam tanah ataupun rumput. Alikodra (2002) menyatakan bahwa variasi jenis-jenis satwaliar di lantai hutan ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan, kerapatan dan letak tempatnya.

5.6. Pengaruh Kebun Kelapa Sawit terhadap Keanekaragaman Jenis

Mamalia Besar

Satwaliar menempati habitat sesuai dangan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi satu jenis belum tentu

sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Habitat yang baik adalah habitat yang mampu mendukung segala kebutuhan satwaliar, seperti makanan, air, dan tempat berlindung. Daya dukung habitat di tiap-tiap lokasi penelitian kurang baik, hal ini dapat dilihat dengan keanekaragaman vegetasi.

Untuk mengetahui pengaruh kebun kelapa sawit terhadap jenis mamalia yang ditemukan, maka digunakanlah analisis dengan metode regresi linear sederhana yaitu mengetahui hubungan antara jarak kebun kelapa sawit di tempat pengamatan dengan keanekaragaman mamalia di tempat pengamatan. Hasil analisis diperoleh persamaan regresi linear sederhana sebagai berikut:

y = 0,443 + 0,000098 x

Dengan y merupakan keanekaragaman mamalia dan x merupakan jarak tempat pengamatan dengan perkebunan kelapa sawit. Persamaan regresi tersebut memperlihatkan bahwa apabila jarak tempat pengamatan dengan kebun kelapa sawit bertambah sejauh 1 m, maka keanekaragaman jenis mamalia di tempat pengamatan tersebut bertambah sebesar 0,000098 kalinya. Apabila jarak tempat pengamatan dengan perkebunan kelapa sawit bernilai 0, maka keanekaragaman jenis mamalia besar di tempat pengamatan tersebut adalah sebesar 0,443.

Hasil analisis regresi linear memperlihatkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara jarak tempat pengamatan perkebunan kelapa sawit dengan keanekaragaman mamalia di tempat pengamatan tersebut. Menurut Alikodra (2002) habitat yang sesuai bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lainnya. Hal ini disebabkan bahwa setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi yang berbeda-beda. Kartono et al. (2003) menambahkan bahwa kerusakan habitat dapat menyebabkan penurunan kekayaan jenis dan penurunan tersebut akan lebih terlihat jelas pada habitat terisolasi berukuran kecil.

Hubungan antara jarak tempat pengamatan kebun kelapa sawit dengan keanekaragaman mamalia di tempat pengamatan ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11 Hubungan jarak pengamatan dengan keanekaragaman.

Berdasarkan Gambar 11 terlihat pada jalur pengamatan VI yang berjarak 6671,93 m dari kebun kelapa sawit memiliki keanekaragaman mamalia terbesar yaitu sebesar 1,46. Faktor yang dapat mempengaruhinya adalah kawasan hutan lebih jauh dengan pemukiman masyarakat. Intensitas masyarakat pada jalur ini lebih rendah sehingga menyebabkan kondisi hutan lebih baik.

Keanekaragaman mamalia terkecil terdapat pada jalur IV yang berjarak 4396,78 m dari kebun kelapa sawit. Faktor yang menyebabkan keanekaragaman di Jalur IV lebih kecil yaitu 0,56, karena pada jalur ini merupakan jalur yang memiliki gangguan yang tinggi sehingga sedikit ditemukannya mamalia besar. Selain itu intensitas masyarakat yang tinggi pada saat pengamatan seperti penebangan hutan dan perburuan satwaliar juga menyebabkan rendahnya keanekargaman pada jalur ini. Folke et al. (1996) menyatakan bahwa dalam pendekatan perlindungan terhadap keanekargaman hayati memasukan manusia sebagai salah satu implikasi.

Jalur II merupakan jalur pengamatan terdekat dengan kebun kelapa sawit, yaitu sejauh 3143,43 m dengan keanekaragaman mamalia di daerah tersebut sebesar 0,8. Faktor yang mempengaruhi rendahnya keanekaragaman selain jarak yang relatif dekat dengan kebun kelapa sawit adalah rendahnya keanekargaman jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pakan akibat banyaknya gangguan yang terjadi pada jalur ini seperti adanya bekas kebakaran hutan, penebangan hutan dan perburuan satwaliar.

Dokumen terkait