• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Pemantauan Pertumbuhan Bayi dan Balita

Menurut Supariasa et al. (2008) pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (centimeter, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Jadi pertumbuhan lebih menekankan pada aspek fisik.

Pertumbuhan paling capat dalam kehidupan terjadi selama empat bulan pertama sesudah dilahirkan. Masa empat bulan hingga delapan bulan berikutnya merupakan masa transisi ke pola pertumbuhan yang lebih lambat. Pada usia delapan bulan pola tumbuh bayi sama dengan usia dua tahun. Penilaian pola tumbuh fisik merupakan cara utama untuk menetapkan status gizi bayi dan balita (Almatsier, 2011).

Proses pertumbuhan dapat diamati dengan perubahan-perubahan yang dapat dinyatakan dalam nilai ukuran tubuh, misalnya berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas dan sebagainya. Jadi pertumbuhan ini bersifat kuantitatif sehingga dengan demikian dapat diukur dengan mempergunakan satuan panjang atau satuan berat (Narendra et al., 2010).

Kemenkes RI tahun 2010 dalam buku Pedoman Kader Seri Kesehatan Anak menyebutkan bahwa pertumbuhan memenuhi beberapa aspek, yaitu bertambahnya ukuran jumlah sel serta jaringan interselular; bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan; dapat diukur dengan satuan panjang dan berat. Masa lima tahun pertama kehidupan anak balita merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini berlangsung sangat pendek serta tidak dapat diulang lagi, maka masa baltia disebut sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela kesempatan” (window of opportunity) dan “masa kritis” (critical period). Oleh karena itu, diperlukan pemantauan yang baik terhadap pertumbuhan maupun perkembangan pada masa tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian Kusminarti (2009) di Kelurahan Salaman Mloyo menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan balita

adalah riwayat status gizi balita, penyakit infeksi, pendapatan orangtua, dan pengetahuan ibu tentang gizi.

Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan berat badan, tinggi badan atau ukuran tubuh lainnya, tetapi lebih dari itu memberikan gambaran tentang keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi seorang anak yang sedang dalam proses tumbuh. Pertumbuhan fisik merupakan indikator status gizi bayi dan balita. Oleh karena itu pemantauan pertumbuhan fisik ini hendaknya dilakukan secara rutin setiap bulan sehingga apabila terjadi masalah gizi dan masalah pertumbuhan dapat dideteksi lebih awal sehingga untuk penanganannya dapat dilakukan lebih baik dan optimal.

Pemantauan pertumbuhan adalah serangkaian kegiatan yang terdiri dari penilaian pertumbuhan anak secara teratur melalui penimbangan berat badan setiap bulan, pengisian KMS, menentukan status pertumbuhan berdasarkan hasil penimbangan berat badan, menindaklanjuti setiap kasus gangguan pertumbuhan berupa konseling, pemberian makanan tambahan, pemberian suplementasi gizi dan rujukan (Kemenkes, 2010). Menurut Aliyatun (2014) peran pemantauan pertumbuhan balita adalah untuk mengontrol pertambahan berat badan anak agar anak tetap terjamin dapat tumbuh normal dalam upaya mempartahankan anak yang berstatus gizi baik tetap bergizi baik, meningkatkan status gizi anak menjadi lebih baik, mencegah agar status gizi anak tidak memburuk, dan promosi untuk menciptakan keluarga sadar gizi.

Pemantauan pertumbuhan bayi dan balita sebenarnya dapat dilakukan sendiri di rumah, tetapi di Indonesia biasanya dilakukan di Puskesmas atau di Posyandu

dengan melakukan penimbangan setiap bulan. Hasil penimbangan tersebut akan diplot oleh kader Posyandu di Kartu Menuju Sehat (KMS) yang dibedakan menjadi dua, yaitu KMS untuk laki-laki berwarna biru atau KMS untuk perempuan yang berwarna merah muda (Almatsier, 2011).

Menurut Adoerrachman et al. (2007), KMS anak balita tahun merupakan salah satu alat untuk menerangkan bagaimana keadaan status gizi anak tersebut, kelengkapan imunisasi, penyakit-penyakit apa saja yang telah diderita anak tersebut dan sebagainya. Selain itu, menurut Kemenkes RI (2011) KMS juga dapat digunakan sebagai media edukasi dan komunikasi antara kader dengan ibu bayi dan balita. KMS menjadi media edukasi dan komunikasi ketika kader menjelaskan status pertumbuhan kepada ibu anak yang bersangkutan dan memberikan konseling serta penyuluhan tentang pola asuh anak yang baik, ASI eksklusif, makanan yang bergizi dan berimbang dan materi-materi lainnya yang dapat menunjang perbaikan kesehatan anak.

Pemantauan pertumbuhan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan teratur, dengan adanya kegiatan ini setiap ada gangguan keseimbangan gizi pada seorang anak dapat diketahui secara dini melalui perubahan pertumbuhannya. Jika gangguan gizi dapat diketahui secara dini maka tindakan penanggulangannya dapat dilakukan dengan segera, sehingga keadaan gizi yang memburuk dapat dicegah.

Hasil penimbangan anak setiap bulan secara tetap dan teratur yang tercatat pada KMS dapat memberikan informasi apakah pertumbuhan anak mengalami kenaikan atau menurun. KMS tersebut dapat beguna apabila penimbangan dan

deteksi tumbuh-kembang balita dilakukan setiap bulan. Kemudian semua kolom isian, keadaan kesehatan dan gizi anak diisi dengan benar oleh kader. Sedangkan orangtua diharapkan selalu memperhatikan catatan-catatan pada KMS, setiap ada gangguan pertumbuhan anak, maka harus dilaporkan kepada kader maupun petugas kesehatan dan mereka mencari penyebabnya kemudian melakukan tindakan yang sesuai, seperti penyuluhan gizi dalam bentuk konseling yang dilakukan setiap kali anak selesai ditimbang.

Pertumbuhan bayi dan balita dapat dipantau dari beberapa indikator seperti berat badan (BB), tinggi badan (TB) atau panjang badan (PB), lingkar kepala (LK) dan Lingkar Lengan Atas (LILA). Namun pada sebagian Posyandu pengukuran hanya dilakukan untuk berat badan saja padahal selain berat badan paling tidak pemantauan juga dilakukan terhadap panjang/tinggi badan yang dilakukan dengan teliti dan dicatat dengan cermat sehingga peningkatan atau perlambatan pertumbuhan dapat dimonitor dengan baik (Almatsier, 2011). Pengukuran antropometri dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan dan kader terlatih.

Antropometri dalam pemantauan pertumbuhan bayi dan balita yang biasa digunakan di Posyandu, yaitu berat badan dan panjang/tinggi badan. Berat badan merupakan ukuran antropometri terpenting dan dipakai pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada setiap kelompok umur. Berat badan merupakan hasil keseluruhan peningkatan jaringan-jaringan tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lainnya (Hidayat, 2009). Menurut Kemenkes RI (2010) perubahan berat badan merupakan indikator yang sangat sensitif untuk memantau pertumbuhan anak. Jika kenaikan berat badan anak lebih rendah dari yang semestinya pertumbuhan anak

terganggu dan anak beresiko mengalami kekurangan gizi. Sebaliknya jika kenaikan berat badan lebih besar dari yang seharusnya merupakan indikasi risiko kelebihan gizi.

Pengukuran berat badan dapat dilakuan dengan tepat menggunakan timbangan elektronik, dimana bayi ditimbang dalam keadaan telanjang atau memakai baju dalam saja. Timbangan ini hanya digunakan untuk menimbang anak sampai umur dua tahun atau selama anak masih bisa berbaring atau duduk tenang sedangkan timbangan lain yang dapat digunakan adalah dacin, atau timbangan injak yang secara teratur ditera untuk menjaga ketepatannya (Narendra et al., 2010). Menurut Kemenkes RI (2010) penimbangan berat badan anak dengan umur diatas dua tahun dapat dilakukan dengan menggunakan timbangan injak atau seperti timbangan badan untuk orang dewasa. Kader diharapkan dapat mengusahakan agar pada saat penimbangan bayi atau balita ditimbang dengan pakaian yang seminimal mungkin atau paling tidak memakai baju sehari-hari yang tipis sehingga tidak mempengaruhi hasil penimbangan.

Tinggi badan merupakan indikator yang dapat digunakan untuk menilai status gizi anak disamping faktor genetik. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan mudah dalam menilai gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat, 2009). Disamping itu tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting karena dengan menghubungkan barat badan terhadap tinggi badan (Quac stick), faktor umur dapat dikesampingkan (Supariasa et al, 2008). Menurut Kemenkes RI (2010) pengukuran panjang badan atau tinggi badan sangat penting untuk menentukan status gizi bayi dan balita. Pada kenyataannya ada sebagian besar kader Posyandu yang tidak melakukan pengukuran ini sehingga kegiatan data panjang atau tinggi anak tidak

tersedia di Puskesmas. Menurut Almatsier et al. (2011) jika pengukuran dilakukan dengan cara anak dibaringkan maka hasilnya disebut dengan panjang badan. Jika pengukuran dilakukan dengan posisi anak berdiri maka hasilnya disebut dengan tinggi badan.

Menurut Patterson dan Pietinen (2004) dari semua ukuran antropometri yang ada, ukuran berat badan dan tinggi/panjang badan memiliki keuntungan utama bahwa ukuran ini cukup akurat, tidak invasif, dan tidak mahal. Keuntungan lainnya adalah bahwa pengukuran ini dapat memberikan informasi mengenai riwayat gizi jangka panjang dan dapat dikerjakan oleh petugas yang relatif tidak terampil.

Aliyatun (2014) menyebutkan bahwa masalah yang sering ditemukan dalam pemantauan pertumbuhan kesalahan dalam menimbang anak dan kesalahan dalam menghitung umur anak. Kesalahan menimbang anak biasanya disebabkan oleh pemasangan dacin yang salah dimana batang dacin tidak diatur agar seimbang setelah meletakkan sarung penimbang, akibatnya berat anak berlebih dari yang seharusnya. Menurut Kemenkes RI (2010) untuk menyeimbangkan batang dacin yang telah digantungi kain penimbang, maka perlu dipasang bandul penyeimbang berupa plastic yang diisi batu atau pasir.

Kesalahan menimbang anak juga disebabkan karena dacin yang digunakan tidak layak pakai (harus ditera). Kesalahan menghitung umur anak terjadi karena umur dihitung hanya mengurangkan bulan dan tahun penimbangan dengan bulan dan tahun lahir anak dan mengabaikan mengabaikan selisih hari, konsekuensinya umur anak lebih tua atau lebih muda dari sebenarnya karena sangat tergantung dari jadwal hari buka Posyandu

Kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam pemantauan pertumbuhan dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan interpretasi status pertumbuhan anak dan kesalahan plot pada KMS. Kesalahan interpretasi status pertumbuhan dapat menyebabkan kesalahan dalam memberikan intervensi kepada bayi atau balita tersebut.

Kemenkes RI (2011) menyebutkan bahwa pertumbuhan bayi dan balita dapat dipantau dengan menimbang berat badan anak setiap bulan. Hasil penimbangan balita diterjemahkan ke dalam KMS yang menghasilkan status pertumbuhan balita. Status pertumbuhan dapat diketahui dengan dua cara, yaitu dengan menilai garis pertumbuhannya atau dengan menghitung kenaikan berat badan anak dibandingkan dengan kenaikan Berat Badan Minimum (KBM). Kesimpulan dari penentuan status pertumbuhan anak adalah Naik (N) atau Tidak naik (T).

Berat badan bayi dan balita dapat dikatakan Naik (N) jika grafik berat badan memotong garis pertumbuhan di atasnya dan kenaikan berat badan lebih besar dari KBM atau grafik berat badan mengikuti garis pertumbuhannya dan kenaikan berat badan lebih besar dari KBM. Sedangkan berat badan dikatakan Tidak Naik (T) jika grafik berat badan memotong garis pertumbuhan di bawahnya dan kenaikan berat badan lebih kecil dari KBM atau jika grafik berat badan mendatar dan kenaikan berat badan lebih kecil dari KBM atau grafik berat badan menurun dan kenaikan grafik berat badan lebih kecil dari KBM. Kemudian dari penentuan status pertumbuhan tersebut dapat diberikan intervensi atau tindaklanjut agar masalah pertumbuhan dapat diatasi sejak dini.

Tindak lanjut terhadap status pertumbuhan dapat dilakukan dengan memberi dukungan kepada ibu yang berat badannya normal agar mempertahankan pola asuh yang baik tersebut untuk mempertahankan status kesehatan anak. Jika berat badan anak tidak naik satu kali maka kader memberikan makanan tambahan, konseling tentang pola asuh yang baik kemudian menunggu penimbangan pada bulan berikutnya. Jika pada bulan berikutnya anak tidak juga naik berat badannya atau berat badannya berada di bawah garis merah, maka kader sebaiknya merujuk anak tersebuut ke Puskesmas (Kemenkes, 2011).

Menurut Depkes RI (2006) data yang tersedia di Posyandu dapat dibagi menjadi dua kelompok sesuai dengan fungsinya, yaitu: kelompok data yang dapat digunakan untuk pemantauan pertumbuhan balita, baik untuk penilaian keadaan pertumbuhan individu (N, T, atau BGM), dan penilaian keadaan pertumbuhan balita di suatu wilayah (N/D). Kelompok data yang digunakan untuk tujuan pengelolaan program atau kegiatan di Posyandu (D/S dan K/S).

Hasil penelitian Jaya et al. (2010) menyebutkan bahwa pengetahuan dan keterampilan kader dalam pemantauan pertumbuhan mempunyai hubungan dengan cakupan hasil penimbangan balita (N/D) di Kabupaten Lombok Barat, namun tidak ada hubungan antara keterampilan dengan balita yang berat badannya berada di Bawah Garis Merah (BGM) berdasarkan balita yang ditimbang pada bulan tersebut (BGM/D). Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan berat badan balita ternyata juga tidak terlepas dari pengetahuan dan keterampilan kader dalam memantau pertumbuhan bayi dan balita di Posyandu.

Dokumen terkait