• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemasaran ternak sapi potong di daerah penelitian dengan penjualan bobot hidup. Peternak menjual ternak melalui agen yang langsung datang kerumah peternak. Penjualan ternak paling banyak dilakukan pada saat hari besar seperti Hari Raya Idul Adha, Idul Fitri, Tahun baru dan mau masuk sekolah. Selain hari besar ini, peternak juga menjual ternak ketika ada keperluan mendesak seperti biaya pernikahan dan sakit. Sistim pembayaran yang dilakukan oleh agen adalah dengan mencicil, pada saat penjualan agen hanya membayar separuh dari harga

total dan sisanya dibayar 1 minggu sampai 2 minggu kemudian. Di daerah penelitian ada 2 agen besar yang penjualan sapi di desa tersebut, juga membeli daril luar propinsi. Sapi yang dibeli tidak langsung dipotong, tetapi dipelihara terlebih dahalu sehingga lebih gemuk sebelum dijual kepada konsumen atau rumah potong.

HASIL DAN PEMBAHASAAAN

Faktor Sosial Ekonomi Peternak Sapi Potong

Faktor Sosial Ekonomi peternak dalam penelitian ini meliputi faktor sosial dan ekonomi. Faktor sosial peternak yang dianalisis meliputi: umur peternak, tingkat pendidikan peternak, pengalamaan beternak, dan sumber informasi. Sedangkan faktor ekonomi meliputi: jumlah ternak dan pendapatan peternak. Tabel 10. Faktor Sosial Ekonomi Peternak Sapi Potong di Desa Jati Kesuma

No Faktor Sosial Ekonomi Peternak Rentang Rataan

1 Jumlah ternak (ekor) 1-7 4

2 Umur Peternak (tahun) 18-65 42

3 Tingkat pendidikan (tahun) 6-12 9

4 Pengalamaan beternak (tahun) 1-40 13

5 Sumber informasi 1-3 1

6 Pendapatan bersih usaha ternak (Rp) 105,000-11,723,830 2,786,380 Sumber: Hasil pengolahan data primer lampiran 1

Berdasarkan Tabel 10. dapat diketahui jumlah ternak sapi potong yang dimiliki peternak antara 1 ekor sampai 7 ekor dengan rataan sebesar 4 ekor. Hal ini menunjukan bahwa jumlah ternak sapi potong yang dipelihara secara rata-rata sekitar 3 sampai 4 ekor.

Umur responden berkisar antara 18 sampai 65 tahun rataan sebesar 42 tahun. Hal ini menunjukan bahwa peternak masih berada dalam kategori umur produktif (16 sampai 60 tahun) sebanyak 32 orang (96.96 %) dan tidak produktif sebanyak 1 orang (3.03%). Potensi peternak untuk bekerja dan mengelola usaha ternaknya masih besar. Faktor umur biasanya lebih diindentikkan dengan produkitivitas kerja, jika seseorang masih tergolong usia produktif. Menurut Chamdi (2003 ) dalam Febrina dan Liana (2008) mengatakan semakin muda usia peternak umumnya rasa keingitahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan bermina untuk mengadopsi terhadap inovasi teknologi yang semakin tinggi.

Tingkat pendidikan peternak sapi potong antara 6 sampai 12 tahun dengan rataan sebesar 9 tahun. Responden yang memiliki pendidikan SD sebanyak 11 orang (33,3%), pendidikan SMP sebanyak 6 orang (18,8%) dan pendidikan SMA adalah 16 orang (48,8%). Ini menunjukkan tingkat pendidikan peternak rata-rata hanya tamat SMP, sehingga tingkat pendidikan peternak tergolong masih rendah. Menurut Syafaat dkk (1995) dalam Febrina dan Liana (2008) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan peternak maka akan semakin tinggi kualitas sumberdaya manusia, yang pada gilirannya akan semakin tinggi pula produktivitas kerja yang dilakukannya. Oleh karena itu, dengan semakin tingginya pendidikan peternak maka diharapkan kinerja usaha peternakan akan semakin berkembang dan ditambah Edwina (2006) dalam Febrina dan Liana (2008) tingkat pendidikan yang relatif tinggi memungkinkan peternak mampu mengadopsi inovasi, penyuluhan serta bimbingan untuk meningkatkan usahanya. Pendidikan non formal seperti penyuluhan peternakan dan kelompok ternak di daerah penelitian yang khusus mengenai usaha ternak sapi potong tidak begitu berjalan dengan baik. Padahal pola pendidikan yang dilaksanakan secara kelompok dapat meningkat pengetahuan dan inovasi dalam mengelola usahaternaknya.

Pengalamaan beternak sapi potong menyebar antara 1-40 tahun dengan rataan 13 tahun. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa tingkat pengalamaan beternak responden cukup, tetapi kurang menguasai teknik pengelolaan usahaternaknya. Umumnya pengalamaan beternak diperoleh dari orang tuanya secara turun-temurun. Pengalamaan beternak yang cukup lama memberikan indikasi bahwa pengetahuan dan keterampilan peternak terhadap

manajemen pemeliharaan ternak mempunyai kemampuan yang lebih baik. Pengalamaan beternak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha. Sesuai pendapat Edwina, dkk (2006) dalam Febrina dan Liana (2008) bahwa semakin lama seorang memiliki pengalamaan beternak akan semakin mudah peternak mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialaminya

Penggunaan sumber informasi oleh peternak berkisar 1 sampai 3 buah sumber informasi dengan rataan sebesar 1 buah. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pengusaan informasi responden sangat rendah. Penggunaan sumber informasi oleh peternak adalah tetangga atau keluarga sebanyak 33 orang (100 %), PPL sebanyak 8 orang ( 24,24 %), majalah peternakan/pertanian sebanyak 1 orang (3,3%) dan penggunaan sumber informasi yang tetangga, PLL dan majalah pertanian 1 (3,30 %), PLL dan tetangga adalah 8 oang (24,24%) dan hanya keluarga atau tetangga sebanyak 33 orang (100%) dan kontak tani, pedang, LSM, TV, Internet, Radio, Leaflet/Folder, Diskusi dan demonstrasi tidak ada (lampiran 9). Hal ini disebabkan karena sumber informasi tidak tersedia di desa tersebut. Sumber informasi keluarga atau tetangga ini yang saling mereka gunakan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi, dan teknologi yang sering dibagikan hanya pengalamaan usahaternak yang sifatnya turun-temurun kepada generasi yang selanjutnya.

Pendapatan bersih dari usaha ternak sapi potong selam 1 (satu) tahun per peternak berkisar antara Rp.105,000 sampai Rp11,723,830/ peternak/ tahun dengan rataan Rp.2,786,380/ peternak/ tahun (lampiran 8). Hal ini sesuai dengan Krisna dan Mashur (2006) dalam Jurnal Penyuluhan Pertanian mengatakan jumlah kepemilikan ternak 2 sampai 4 ekor tidak menguntungkan secara finansial.

Tabel 11. Rataan Pendapatan Peternak Sapi Potong di Jati Kesuma Uraian Jumlah (Rp/Peternak/Tahun) Persentase Rataan (%) A. PENERIMAAN Penjualan Ternak 5,306,090 50.2

Penjualan Kotoran Ternak 630,363 6.0

Pertambahan Nilai Ternak 4,998,485 47.3

SUB TOTAL A 10,573,091 100

B.PENGELUARAN

Pakan dan Transportasi 662,300 8.5

Suntik IB 70,303 0.9

Garam 307,197 3.9

Transportasi (bahan bakar) 1,393,227 17,9

Air dan Listrik 11,490 0.1

Kandang 299,191 3.8

Obat-Obatan, Vaksin dan Vitamin 608,750 7.8

Tenaga Kerja 5,446,919 69.9

Peralatan dan perlengkapan 471,482 6.1

SUB TOTAL B 7,786,710 100

C.PENDAPATAN: A-B 2,786,381

Sumber: Hasil Olahan Data Primer lampiran 4- 8 1. Pengeluaran

Pengeluaran merupakan biaya produksi yang meliputi: biaya pakan, obat-obatan dan vaksin, Iseminasi Buatan (IB), tenaga kerja, listrik, kandang, peralatan dan perlengkapan. Rata-rata pengeluaran peternak sapi potong di daerah penelitian sebesar Rp.7,786,710. /peternak/ tahun. Biaya pengeluaran pada proses produksi terbesar pada biaya tenaga kerja sebesar Rp.5,446,919 atau 69,9 % dari biaya pengeluaran keseluruhan.dan biaya paling kecil pada Air dan listrik sebesar Rp.11,490 atau 0,1 % dari biaya yang dikeluarkan semasa 1 tahun (lampiran 5-6). - Pakan dan Transportasi

Mayoritas peternak (responden) memberi pakan hijauan dari limbah pertanian meliputi batang jagung, rumput lapangan, batang ubi dan penambahan garam pada ternak sapinya. Hanya 3 responden (9.09%) yang memberi kosentrat dan penambahan berupa dedak dan bungkil kelapa sawit yaitu kepemilikan sapi

potong sebanyak 6 ekor. Sedangkan 30 responden (81.81 %) memilih memberi pakan dari limbah pertanian dan rumput lapangan. Harga rumput satu gulungan sebesar Rp.7000. Kebutuhan pakan hijauan/ ekor/ hari sebanyak 1 gulungan untuk sapi yang dewasa dan sapi pedet sebanyak setengah gulung/ hari. Rata-rata total pengeluaran untuk pakan (hijauan, konsentrat, bungkil dan dedak) sebesar Rp.662,300/peternak/tahun. Pengambilan pakan menggunakan alat transportasi dengan sepeda motor dan mobil dengan biaya bensin/ hari sebesar Rp.5000 atau rata-rata total biaya transportasi sebesar Rp 1,393,227/ peternak/tahun. Peternak memberi makan sapi ditambah dengan garam untuk kebutuhan ternak. Rata-rata garam yang dibutuhkan 306,197/ peternak/tahun (lampiran 5).

- Obat-obatan, vaksin dan vitamin

Penyakit yang sering menyerang ternak sapi di daerah penelitian adalah penyakit pencernaan, disamping itu penyakit cacingan, kaki lemah, masuk angin, serta keracunan akibat termakan ulat. Pengobatan pertama kali dilakukan secara tradisional dengan ramuan alami. Apabila ternak tidak sembuh, baru peternak memanggil petugas kesehatan (mantri ternak) untuk mengobati ternaknya. Obat yang sering diberi Sanbe dan Menara lima yang sebutir Rp.7000/ ekor dan pemberiannya dilakukan setahun 3 kali sedangkan biaya penyuntikan vitamin sebesar Rp.80,000/ ekor. Rata-rata total pengeluaran untuk obat-obatan, vaksin dan vitamin sebesar Rp.608,750/peternak/tahun (lampiran 5).

- Inseminasi Buatan (IB)

Responden semuanya menggunakan Inseminasi Buatan (IB). Penyuntikan IB biasanya dilakukan oleh menteri hewan dimana harganya tergantung jenis bibit yang disuntikkan, kalau rataanya Rp.60,000- Rp 80,000 rupiah dimana jenisnya

yang unggul bila dibandingkan dengan sistem kawin alamiah. Rata-rata total pengeluaran untuk IB sebesar Rp.70,303.03/peternak /tahun (lampiran 5).

- Tenaga kerja

Tenaga kerja yang digunakan petenak dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga (upahan). Tenaga kerja keluarga khusus dibagi atas 4 yaitu: kelompok pertama terdiri dari Pria, Wanita dan Anak dengan jumlah 5 responden (15,15 %), kelompok kedua yaitu: Pria dan Wanita dengan jumlah 18 responden (54,54%), kelompok ketiga yaitu: Pria dan Anak dengan jumlah 1 responden (3,03), kelompok keempat yaitu Pria dengan jumlah 9 responden (27,27 %) dan untuk tenaga kerja dari luar (upahan) tidak ada yang menggunakan. Ini sistem peternakan disana semua sudah dikandang dengan baik dan pekerjaan yang dilakukan disini berupa pengambilan pakan dari ladang, pemberian pakan dan minum, pengendalian penyakit, bersihkan kandang, sanitasi ternak dan reproduksi. Uang yang diperoleh oleh pria sebesar Rp.5000/jam, wanita Rp.4000/jam dan Anak Rp.2500/jam dengan ketentuan Upah Minumum Propinsi (UMP) sebesar Rp.822, 205/bulan tahun 2009. Rata-rata total pengeluaran untuk tenaga kerja sebesar Rp.5, 446,140/peternak/ tahun (lampiran 5).

- Listrik Dan Air

Pemakaian listrik untuk penerangan dan menghidupkan pompa air.Rata-rata total pengeluaran untuk pakan pemakaian listrik sebesar Rp.10,945.45/ peternak/tahun.dan penggunaan air dari PDAM oleh peternak 3 responden (9,09%) dan sisanya penggunaan air sumur 30 responden (90,90 %) dimana digunakan untuk minum, bersihkan kandang dan mandikan ternak sapi. Rata-rata

biaya pemakaian air PDAM sebesar Rp.6000/ peternak/ tahun atau Rp.461, 53/ ST/ tahun (lampiran 5).

-Kandang

Kandang ternak sapi di daerah penelitian pada umumnya semua dibuat dari bahan atapnya menggunakan seng dan seng asbes, dimana menggunak seng asbes 30 peternak (90,90 %) dan atap rumbia sebanyak 3 peternak (9,09%). Penggunaan atap seng asbes lebih tahan lama sekitar 5 sampai 7 tahun, tetapi atap rumbia 2 tahun harus sudah diganti. Lantai kandang sapi semua peternak sudah disemen dan dinding kandang ada yang menggunakan kayu 31 peternak (93,9) dan 2 peternak (6.06%) kandang disemen keliling setinggi 1 meter dan untuk tempat makanan langsung dibuat permanen selebar kandang. Rata-rata total pengeluaran untuk kandang Rp.299,19.919 peternak/ tahun.(lampiran 4)

- Peralatan dan Perlengkapan

Peralatan dan perlengkapan yang dipakai berupa cangkul, arit, kereta sorong, ember, sapu, lampu, pompa air, selang, tali, sekop, dan sisir. Masa pemakaian peralatan dan perlengkapan berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Rata- rata pengeluaran untuk peralatan sebesar Rp.471,482.32/ peternak/ tahun. (lampiran 4)

2. Penerimaan

Penerimaan meliputi : pertambahan nilai, penjualan ternak dan penjualan kotoran ternak. Rata-rata total penerimaan peternak sapi potong di daerah penelitian sebesar Rp.10,573,090.91 /peternak/ tahun.

Pertambahan nilai merupakan pertambahan nilai ternak yang dilihat dari awal dipelihara sampai akhir kondisi ternak. Penghitungan dapat dilihat dari penampilan ternak itu, semakin sehat dan gemuk ternak akan semakin mahal. Pertambahan nilai rataan peternak sebesar Rp. 4,998,485. Pertambahan nilai ternak

- Penjualan Ternak

Ternak yang dijual biasanya berumur 1,5 tahun. Agen biasanya melihat harga seekor sapi dari bentuk tubuhnya, dimana sapi yang makin gemuk akan harganya akan semakin mahal. Namun terkadang penjualan ternak diadakan pada usia muda, karena untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti: biaya pernikahan, biaya masuk sekolah dan kebutuhan yang mendesak. Jadi penjualan sapi merupakan tabungan sehingga, ketika butuh bisa langsung dijual.

Sapi pejantan biasanya dijual pada kisaran 8 bulan sampai umur 1 tahun kisaran antara 4 sampai 7 juta rupiah. Penjualan ternak jantan biasanya bukan untuk dipotong. Namun akan dijadikan bibit penjantan atau tipe pekerja. Rata-rata total penerimaan dari penjualan ternak sebesar Rp.5,306,090.09/peternak/tahun. - Penjualan kotoran ternak

Feses yang dihasilkan ternak diletakkan sementara dalam lubang tanah atau di kumpulkan di samping kandang. Harga satu kereta sorong kotoran sapi sebesar Rp.4000,00. Rata-rata total penerimaan peternak dari hasil penjualan kotoran ternak Rp.630,363.63/peternak/tahun.

Kemampuan Manajerial Peternak Sapi Potong Dalam Mengelola Usahaternak.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka bahwa peternak di daerah penelitian memiliki kemampuan manajerial yang baik. Adapun kemampuan manajerial peternak sapi potong dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 12. Kriteria Penilaian Kemampuan Manajerial Peternak Sapi Potong di Desa Jati Kesuma Tahun 2009

.

No Aspek Penilaian Jumlah Indikator

Kemampuan Manajerial

Tidak Baik Kurang Baik Baik

Skor Jlh % Skor Jlh % Skor Jlh % 1 Kemampuan Manajerial 30 30-49 1 3,03 50-69 8 24,24 70-90 24 72,72 a.Perencanan 12 12-20 6 18,1 21-29 18 54,5 30-36 9 27,2 b.Pengorganisasian 1 1 11 33,3 2 29 87,9 3 3 9,09 c.Penggerakan 11 11-17 1 3,03 18-24 2 6,06 35-33 30 90,09 d.Pengendalian 6 6-10 2 87,9 11-14 3 9,09 15-18 28 84,9 Diolah dari Data primer lampiran 10

Dari Tabel 12. kemampuan manajerial usaha ternak sapi potong di Desa Jati Kesuma diperoleh nilai katagori tidak baik sebanyak 1 orang pada skor 30-49 (3,03 %), katagori kurang baik sebanyak 8 orang pada skor 50-69 (24,24%) dan katagori baik sebanyak 24 orang pada skor 70-90 (72,72 %).

Jumlah skor item pertanyaan (bila setiap butir mendapat skor tertinggi) =3 X 30 X 30 =2930 dan skor nilai terendah sebesar =990. untuk skor tertinggi item pertanyaan tiap butir = 3, jumlah item pertanyaan=30 (meliputi aspek perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian) dan sampel sebanyak 33 orang. Dan skor nilai total pengumpulan seluruhnya data sebesar 2,351. Jadi kalau secara kontinium dapat digambarkan:

Baik

Tidak Baik Kurang Baik Baik 990 1980 2351 2930 Nilai 2,351 termasuk kategori interval ” kurang baik” dan ” baik”. Tetapi lebih dekat mendekati Baik (lampiran 10). Maka disimpulkan kemampuan manajerial usaha ternak di Desa Jati Kesuma adalah Baik, sehingga hipotesis diterima. Hasil diperkuat penelitian oleh Moock (1981); Jaminson dan Moock (1984); serta kalirajan dan Shand (1985) dalam Priyanto (2007), yang menyatakaan bahwa unsur pembentuk kapasitas manajemen seperti perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian usaha mampu meningkatkan kinerja.

Dan menurut Priyanto (2007), proses perencanaan yang dilakukan dengan efektif, teratur dan sistematis, implementasi usaha yang konsisten, dan adanya pengawasaan usaha yang terus menerus yang baik yang dilakukan sendiri dan atau bersama asosiasi, mampu mengurangi resiko kegagalan usaha yang tidak perlu dan mampu mengurangi biaya yang tidak penting sehingga bisa meningkat akan meningkatkan harga jualnya. Produksi yang meningkat dan harga yang meningkat karena kualitas meningkat pada akhirnya mampu meningkatkan keuntungan.

Berdasarkan Tabel 12. keseluruhan kemampuan manajerial usahaternak dapat diketahui bahwa peternak yang memiliki kemampuan manajerial usahaternak yang tidak baik pada nilai 30- 49 yaitu 1 orang ( 3’03 %). Hal ini dikarenakan peternak tidak menjalankan usahaternaknya dengan manajemen yang baik, tetapi kepada usaha yang bersifat sambilan dan hanya memilihara 1 sampi 2 ekor. Sistim ini yang membuat pola pengembangan

usahaternak sapi kurang berhasil dengan baik bahkan menjadi kerugian yang didapatkan peternak.

Berdasarkan Tabel 12. keseluruhan kemampuan manajerial usahaternak dapat diketahui bahwa peternak yang memiliki kemampuan manajerial usahaternak yang tidak baik pada nilai 50-69 yaitu 8 orang ( 24,24 %). Hal ini disebabkan peternak sudah menerapkan perencanaan mengenai usahaternaknya tetapi belum disiplin di dalam mengontrol keseluruhan kerjanya dengan baik. Menurut suratiyah (2009) disamping tidak jelas tujuannya, pada umumnya petani tidak menguasai permasalahan atau kondisi yang dihadapi sehingga merasa kebingungan jika terjadi perubahan kondisi. Akibatnya, petani tidak dapat meraih atau menangkap peluang yang ada. Kemampuan mendeteksi permasalahan utama yang harus diperhatikan terlebih dahulu. Keadaan ini sangat berhubungan dengan managerial skills atau human capitals yang rendah sehingga petani seringkali dikatakan ketinggalan.

Berdasarkan Tabel 12, keseluruhan kemampuan manajerial usahaternak dapat diketahui bahwa peternak yang memiliki kemampuan manajerial usahaternak yang baik pada nilai 50-70 yaitu 24 orang ( 72,72 %). Menurut Suritiyah (2009) Manajemen adalah pengelolaan suatu pekerjaan untuk memporoleh hasil dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan dengan cara menggerakan orang-orang lain untuk bekerja. Menurut George R.Terry (1997) dalam Herijito (2001) manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari

planning, organizing, actuating dan controlling yang dilakukan untuk mencapai

tujuan yang ditentukan dengan menggunakan manusia dan sumber daya yang lainnya.

Peternak yang mempunyai perencanaan usaha yang matang, seperti memilih masa pemilaharaan, memilih bibit yang berkualitas, memilihara dengan tepat, malakukan pengawasaan usahanya secara ketat berkesinambungan akan mampu meningkatkan produksi.

Menurut Abadin (2001) usahaternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur, yaitu bibit, pakan, dan manajemen atau pengelolaan. Manajemen mencakup pengelolaan perkawinan, pemberian pakan, perkandangan, dan kesehatan ternak. Manajemen juga mencakup penanganan hasil ternak, pemasaran, dan pengaturan tenaga kerja

Menurut Osburd dkk (1978) dalam Suritiyah (2009) Jika manajemen sebagai suatu pekerjaan maka petani harus dapat menjabarkan dan menrealisasikan ide atau buah pikirannya dalam mengelola usahataninya sehingga berhasil yang seperti yang dia inginkan. Untuk itu, petani harus melalui fungsi-fungsi manajemen sebagai proses yang meliputi perencanaan, pengorganisasisan, pengawasan, komunikasi dan sebagainya. Dengan demikian, segala kegiatan dalam usahataninya terarah pada satu tujuan yang menguntungkan bagi petani.

Manajemen sebagai sumber daya juga sangat penting karena sangat menentukan keberhasilan suatu usaha. Manajemen atau pengelolaan yang baik dan benar akan memberikan hasil yang berbeda. Manajemen atau pengelolaan yang baik dan benar akan memberikan hasil yang lebih pula. Dengan demikian, manajemen dapat dikatakan sebagai produksi yang tidak kentara.

Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Peternak Sapi Potong Dengan Kemampuan Manajerial Usahaternak

Hasil analisis korelasi rank spaerman dan Uji Chi Square (Uji X2) antara

faktor sosial ekonomi peternak sapi potong dengan kemampuan manajerial usaha ternak. Dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 13. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Peternak Sapi Potong Dengan Kemampuan Manajerial Usahaternak.

No Variabel Rs t-hitung t-tabel (α=0,05)

1 Jumlah Ternak 0,01 0,05 1,701

2 Umur Peternak -0,01 0,05 1,701

3 Tingkat Pendidikan 0,16 0,89 1,701

4 Pengalamaan Beternak 0,36 2,16* 1,701

5 Sumber informasi # 2,7 13,28 -

6 Pendapatan Usaha Ternak -0,16 0,9 1,701 Sumber: Hasil pengolahan lampiran 11- 17

*=berpengaruh secara singnifikan, # = menggunakan Uji Chi Square ( Uji X2).

Jumlah Ternak

Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai Rs=0,01 dan t-hitung= 0,05 lebih kecil dari t-tabel (0,05)=1,701 ( Ho diterima, H1 ditolak). Ini berarti hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara jumlah ternak dengan kemampuan manajerial usaha ternak di tolak. Hal ini disebabkan peternak yang memiliki 2 atau 7 ekor sapi potong tidak berhubungan dengan kemampuan manajerial usahaternaknya. Menurut Soedjana (1993) dalam Febrina dan Liana (2008) mengatakan responden mencurahkan perhatiannya pada usaha pokok yaitu sebagai petani sehingga pemeliharaan ternaknya kurang diperhatikan. Hal ini disebabkan karena sebagian usahaternaknya sebagai usaha sambilan sehingga perhatian peternak terhadap usahaternakannya kurang baik.

Umur

Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai Rs=-0,01 dan t-hitung= 0,05 lebih kecil dari t-tabel (0,05)=1,701 ( Ho diterima, H1 ditolak). Ini berarti hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara umur dengan kemampuan manajerial usaha ternak di tolak. Hal ini disebabkan karena kriteria umur peternak tidak mendorong kinerja peternak dalam usahaternak sapi potong di Desa Jati Kesuma. Di daerah penelitian mayoritas penduduknya mempunyai pekerjaan utamanya bertani dan mojok-mojok (sistim borongan) dan padahal responden yang didaerah penelitian hampir semuanya produktif, karena tidak terlalu tekun menggeluti usahaternak ini dalam bentuk usaha skala sampingan atau hanya untuk tabungan saja.

Tingkat Pendidikan

Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai Rs=0,16 dan t-hitung= 0,89 lebih kecil dari t-tabel (0,05)=1,701 ( Ho diterima, H1 ditolak). Ini berarti hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kemampuan manajerial usaha ternak di tolak. Peternak yang tingkat pendidikannya lebih tinggi seharusnya dapat meningkatkan lebih besar kemampuan manajerial usaha ternak, namun kenyataan di lapangan berbeda seperti ditunjukkan hasil penelitian di atas. Peternak disini enggan memanfaatkan inovasi atau teknologi baru dan masih menggunakan sistim berternak secara tradisional sehingga peningkatkan pendidikan tidak berhubungan dengan kemampuan manajaerial. Padahal menurut Yasin dan Dilega, (1993), Faktor pendidikan dan pengetahuan ini sangat berpengaruh sekali terhadap tingkat kesadaran. Peternak yang berpendidikan dan berpengetahuan tinggi cepat dan

tepat dalam menerima serta melaksanakn inovasi baru. Hal ini menjelaskan bahwa pendidikan pendidikan yang cukup belum tentu dapat mendorong seseorang untuk mengatasi persoalan yang dihadapi, khusunya peternak dalam mengelola usahaternaknya sapi potong.

Pengalaman beternak

Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai Rs=-0,36 dan t-hitung= 2,16 lebih besar dari t-tabel (0,05)=1,701 ( Ho ditolak, H1 diterima ). Ini berarti hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara pengalamaan beternak dengan kemampuan manajerial usahaternak di terima. Hal ini sesuai dengan Ban dan Hawkins (1998), belajar dengan mengamati pengalamaan petani sangat penting karena merupakan cara yang jauh lebih baik untuk mengambil keputusan dari pada dengan cara mengolah sendiri informasi yang ada. Dan menurut Wilson, Hadleyy dan Asby ( 2001) dalam Priyato (2007) bahawa peternak yang berusaha mencari informasi, mengikuti pendidikan lanjutan, mempunyai pengalamaan manajerial beberapa tahun dan mempunyai usaha yang luas berhubungan secara erat dengan tingginya tingkat efesiensi teknik. Dari segi manajerial ternak, peternak berpengalamaan beternak lebih menguasai tatalaksana beternak dengan baik seperti pemberian makan, perawatan kebersihan kandang dan ternak, perawatan kesehatan dan penanganan penyakit. Meskipun pengalamaan berternak yang dimiliki adalah kebiasaan-kebiasaaan lama sama dengan waktu mereka mengawali usahanya sampai sekarang. Karena dengan pengalamaan yang cukup lama peternak semakin mengenal karakter peternak baik sifat ternak, penyakit ternak dan kebutuhan pakan ternak.

Sumber Informasi

Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 =2,7 dan X2 α = 13,28, X2 ≤ X2 α ( Ho diterima, H1 ditolak). Ini berarti hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara sumber informasi dengan kemampuan manajerial usaha ternak di tolak. Menurut Ban dan

Padahal menurut Silotonga (1994), mengenai informasi masa kini, baiknya ekstern maupun intern yang penting dan diperlukan: produksi, permintaan pasar, tempat dan sistemnya berikut harganya, ketersedian sarana dan prasarana produksi pertanian. Kebijakan dan kelembagaan yang ada, cuaca dan iklim, epidemi hama dan peyakit, teknologi yang digunakan, pengusaan sumber daya, baik modal, tenaga kerja, lahan maupun enterprenur, cara pengelolaan atas sumber daya yang dikuasa dan pembiayaan keuangan.

Hawkins (1998) Petani memamfaatkan berbagai sumber untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang mereka perlukan untuk mengelola usaha tani mereka dengan baik, tetapi hal ini tidak sesuai dengan yang terjadi dilapangan, peternak hanya memanfaatkan

Dokumen terkait