DI PULAU JAWA
3.3. Pembagian Peran Aspek Manajemen dan Upaya Sinergi Antar Pihak Dalam
Pengelolaan Hutan Rakyat
Hutan rakyat di Jawa dan Madura mempunyai ciri berada di tanah milik dan pengambil keputusan pengelolaan hutan berbasis pada keluarga. Pengelolaaan dan pengusahaan hutan rakyat harus di dorong lestari, untuk itu di perlukan beberapa faktor yang penting untuk menjamin kelestarian; 1) kepastian kawasan pengelolaan hutan Æ kepastian ini sangat penting karena pengelolaan hutan biasanya terkait dengan waktu yang panjang sehingga butuh detail informasi kawasan – peta dan
juga kepastian hukum mengenai kawasan; 2) aturan main dan kelembagaan
pengelola hutan rakyat. Aturan ini akan terkait dengan dua hal; a) aturan
pengorganisasian kawasan meliputi rencana kelola (penanaman, pemeliharaan,
pengaturan hasil dan pemanenan) b) aturan sumber daya manusia; 3) mandat/ amanah – pengelolaan hutan rakyat yang berbasis pada individu/ keluarga harus
memiliki komitment yang kuat pada kelompok untuk membangun hutan secara
kolektif. Begitu juga pengurus harus selalu patuh pada kesepakatan misalnya soal etat (tebangan yang diperbolehkan setiap tahun); umur tebangan, dll. Yang terakhir adalah monitoring dan evaluasi; dari proses ini didapatkan pembelajaran sehingga bisa di gunakan untuk perbaikan sistem dan juga peningkatan kinerja pengelolaan hutan rakyat.
Bagian terpenting dari pengelolaan hutan rakyat adalah membangun unit manajemen yaitu wadah di mana orientasi pengelolaan hutan rakyat itu akan disepakati oleh masing‐masing keluarga pemilik hutan rakyat. Artinya harus ada kolektif action untuk mencapai pengelolaan hutan rakyat lestari. (PP 44 tahun 2004) tentang perencanaan kehutanan. Fasilitasi kelompok tani harus holistik sehingga tidak terpecah‐pecah dalam ego‐sektoral, pendampingan oleh penyuluh (polivalen) dengan amunisi (dana penyertaan) yang seimbang antar departemen.
Pemerintah harus memiliki regulasi yang memberi insentif bagi pengelolaan hutan lestari; misalnya akan memberi hak kelola hutan rakyat yang di dukung
menyelesaikan konflik antar departemen terkait dengan kepastian kawasan. Dengan tetap mengacu pada UU 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Pemerintah juga perlu memfasilitasi unit manajemen bukan hanya dari sisi
menanam pohon saja; tetapi juga mulai mengenalkan ke wirausahaan berbasis
kehutanan ke petani/ UM. Dan fasilitasi ke arah industrialisasi harus dilakukan secara sistematis sehingga bisa berdampak lebih luas dan memberi nilai tambah dan maksimal benefit ke petani hutan rakyat. Hal penting lain yang harus segera di
mulai adalah membangun atmosfer untuk investasi di kehutanan dan industri
kehutanan. Sekarang ini banyak perusahaan perkayuan melakukan kerja kemitraan
dengan warga dan organisasi masyarakat pengelola hutan rakyat, karena
mengharapkan bahan baku dari hutan alam sudah sangat kecil. Pemerintah harus memberikan insentif kepada para pihak dengan menyiapkan peraturan bagi hasil yang berkeadilan untuk semua pihak.
Regulasi yang cukup penting yang terkait dengan potensi hutan rakyat di Jawa (75 juta m3) adalah mengatur tata usaha hasil hutan yang tidak merugikan
petani hutan rakyat. Misalnya memberi support ke unit manajemen untuk
mendapatkan sertifikasi SFM; proteksi unit manajemen dari industri vakum cleaner. Sesuai UU no 32/ 2004 jo. UU no 8 / 2005 tentang pemerintah daerah;
pemda mempunyai kewenangan untuk mengatur sumber daya alam –termasuk
hutan rakyat‐ yang ada di wilayahnya. Untuk itu pemda harus bisa memfasilitasi
kegiatan pengelolaan hutan secara utuh (ruang lingkup) yang meliputi; 1)
perencanaan hutan rakyat; 2) tata kelola hutan rakyat; 3) kelembagaan; 4) pembiayaan; 5) penelitian dan pengembangan; serta 6) pengendalian.
Kementrian Kehutanan dan atau pemda dapat memfasilitasi pembentukan
unit manajemen mulai dari perencanaan hutan yang meliputi; 1) Penyiapan
organisasi pengelola hutan rakyat; 2) Penetapan dan pengukuhan kawasan hutan rakyat; dan 3) Penyusunan rencana pengelolaan hutan rakyat, dan (4) menyiapkan
anggaran dari APBD untuk pemantapan kawasan kawasan dan pengelolaan hutan
akan memberi pedoman dan arahan pembangunan hutan rakyat. Perencanaan yang difasilitasi pemerintah ini juga akan meningkatkan partisipasi masyarakat dan
sinergis dengan pengembangan wilayah dan pembangunan ekonomi kerakyatan.
Pengelola hutan rakyat harus mendapatkan kepastian wilayah kelola, untuk hal ini perlu adanya mekanisme yang periodik untuk selalu melihat tata guna lahan yang di tuangkan dalam rencana tata ruang daerah. Kepastian ini penting karena akan berguna bagi pemerintah terutama terkait dengan penghargaan/ reward bagi pengelola hutan rakyat,; misalnya terkait dengan pajak bumi dan bangunan (PBB), distribusi pupuk, pendampingan dll.
Berbagai reward kepada pengelola hutan rakyat bisa di berikan mulai dengan pemuliaan bibit, peningkatan kapasitas petani dalam pengelolaan hutan, dan yang tidak kalah penting adalah mendorong investasi sehingga masyarakat bisa menikmati bukan hanya menjual pohon, tetapi bisa mendapatkan nilai tambah juga dari mengolah kayu.
Sementara untuk wilayah yang mempunyai fungsi ekologis, harus ada
inisiatif skema reward untuk jasa lingkungan. Fasilitasi antara daerah hulu – tengah – hilir oleh BP DAS, bukan hanya terkait dengan reboisasi dan pembagian bibit, tetapi sudah bisa ke arah transaksi hulu‐hilir. Skema yang lebih luas sebenarnya bisa
menjadi peluang semisal antara negara maju dengan Indonesia seperti skema
karbon trade, REDD, dan juga skema yang lain. Dalam rangka penurunan emisi karbon sebesar 26% yang dicanangkan oleh Presiden SBY pada tahun 2020, peran sektir kehutanan akan menyumbang 14% penurunan emisi tersebut, dan tentu saja
peran hutan rakyat akan sangat signifikan. Karenanya upaya penambahan
penanaman kawasan hutan rakyat, baik pengkayaan jenis dan jumlah tanaman
maupun tanaman baru di areal lahan kritis di Jawa dan Madura menjadi sangat strtategis dan penting.
Peran swasta sebagai pasar atau pengguna bahan baku hasil hutan seperti
perusahaan meubel, perusahaan air mineral, ekowisata dll. Harus ada proses
wajib mengeluarkan dana CSR untuk di gunakan dalam pemberdayaan pengelola hutan maupun untuk perbaikan kondisi hutan.
Swasta di beri tanggung jawab untuk memajukan pembangunan wilayah
melaui investasi. Swasta di harapkan tidak hanya berpihak ke pasar, tetapi mulai
berpihak kepada sumber daya hutan sehingga upaya mempromosikan pengelolaan
hutan lestari harus mulai dilakukan secara bersama‐sama antara pemerintah, petani pengelola dan swasta.
Untuk mencapai kemanfaatan bersama, pemerintah harus memfasilitasi
pemasaran hasil hutan rakyat. Pemasaran hasil hutan rakyat harus diarahkan untuk menciptakan keadilan (fair trade), transparan dan bisa memberi nilai tambah bagi pengelola hutan rakyat.
3.4. Kebijakan Penting Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat
(1) Melanjutkan perluasan tanaman hutan seluas 2,5 juta ha sampai tahun 2014, termasuk di dalamnya pengembangan hutan rakyat seluas 250 ribu ha;
(2) Mendorong dan menfasilitasi pengembangan pengelolaan hutan rakyat
kemitraan antara perusahaan industri kayu dengan individu masyarakat dan juga dengan organisasi pengelola hutan rakyat. Kemitraan ini dilaksanakan minimal untuk luasan 100 ribu ha sampai tahun 2014. Kemitraan diikuti
dengan penelitian dan pengembangan, meningkatkan nilai tambah, dan
pargin keuntungan yang adil bagi semua pelaku usaha hutan;
(3) Membangun data base hutan rakyat di masing‐masing kabupaten, potensi hutan rakyat, kebutuhan bahan baku industri kayu rakyat,
(4) Memperkuat UMKM dan koperasi hutan rakyat bersertifikat, sebagai dasar pengembangan ekonomi rakyat pelaku usaha hutan rakyat
(5) Menfasilitasi dan mendorong pemerintah daerah untuk membentuk unit
(6) Menyederhanakan sistem tata kelola hasil hutan rakyat, dan menghapus pungutan liar terkait dengan produksi hasil hutan rakyat. Konsep sertifikasi
LEI, FSC, sistem SVLK, SKAU jangan menimbulkan disinsentif bagi
pengembangan pengelolaan hutan rakyat
(7) Mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten untuk menetapkan kawasan
hutan rakyat sebagai hal yang keberadaannya diakui dalam peta tata ruang wilayah dan daerah.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan
Data interpretasi citra tentang penutupan lahan hutan rakyat di Pulau Jawa yang dikerjakan oleh BPKH Wilayah XI Jawa‐Madura ini harus dibaca sebagai informasi yang bersifat spasial dan indikatif. Beberapa kesimpulan penting dari analisis pengembangan pengelolaan hutan rakyat dan arahan kebijakannya di Pulau Jawa adalah sebagai berikut:
(1) Total luas penutupan lahan hutan rakyat indikatif (hutan lahan kering
primer/sekunder, hutan tanaman, perkebunan rakyat, pertanian lahan
kering, pertanian lahan kering campur semak, dan semak belukar) di Jawa dan Madura berdasarkan penafsiran citra landsat adalah 2.585.014,06 ha. (2) Berdasarkan pendekatan potensi kayunya, luas hutan rakyat indikatif di
Pulau Jawa adalah jumlah luas dari penutupan lahan HLKPS, HT, PLK, PLKCS, dan SB yaitu 2.431.572,44 ha dengan potensi volume kayu rata‐rata sebesar 30,12 m3/ha Tidak termasuk penutupan lahan perkebunan rakyat. (3) Sebesar 85.5% penutupan lahan hutan rakyat berada di bagian tengah dan
hulu DAS, sehingga fungsi DAS akan optimal jika pengelolaan hutan rakyat di bagian ini kondisinya baik. Dengan demikian karakter dan fungsi hutan rakyat di bagian tengah dan hulu harus dikenali secara tepat dan benar. (4) Melanjutkan perluasan pengembangan hutan rakyat seluas 250 ribu ha, baik
melalui program pemerintah, swadaya masyarakat, maupun program
kemitraan antara perusahaan industri kayu dengan individu masyarakat.
Kemitraan ini dilaksanakan minimal untuk luasan 100 ribu ha sampai tahun
2014. Kemitraan diikuti dengan penelitian dan pengembangan,
meningkatkan nilai tambah, dan margin keuntungan yang adil bagi semua pelaku usaha hutan rakyat.
(5) Membangun data base hutan rakyat di masing‐masing kabupaten, potensi
dipergunakan untuk mendorong penguatan UMKM dan koperasi hutan rakyat bersertifikat, sebagai dasar pengembangan ekonomi rakyat .
(6) Menfasilitasi dan mendorong pemerintah daerah untuk membentuk unit
manajemen hutan rakyat lestari (UMHRL) yang berbasis DAS. Meningkatkan upaya agar UMHRL ini disetujui untuk ditetapkan dalam tata ruang daerah.
4.2. Rekomendasi
(1) Program pemerintah, kemitraan industri perkayuan, dan swadaya
masyarakat terkait dengan pengembangan pengelolaan hutan rakyat perlu
diarahkan pada kawasan penutupan lahan hutan rakyat yang potensi
kayunya kurang dari 40 m3/ha. Lahan milik rakyat yang kritis harus mendapat prioritas untuk lokasi pengembangan penelolaan hutan rakyat di Jawa dan Madura
(2) Semua Dinas Kehutanan yang ada di Propinsi dan kabupaten se Jawa dan
Madura membangun konsepsi bersama tentang pentingnya menfasilitasi
pembentukan Unit Manjemen Hutan Rakyat Lestari (UMHRL). Pendanaan
menggunakan dana yang berasal dari DAK dan APBD.
(3) Terkait dengan tata ruang daerah, maka Dinas Kehutanan Propinsi dan
Kabupaten mengambil inisiatif untuk mengusulkan kawasan hutan rakyat
dimasukkan dalam peta tata ruang daerah.
(4) Masing‐masing instansi yang mengurus sumberdaya hutan di daerah
mengambil inisiatif untuk membuat peraturan daerah tentang pengelolaan
hutan rakyat di Jawa dan Madura.
BAHAN BACAAN
Awang, S, Santoso, H. 2001. Gurat Hutan Rakyat. DEBUT Press. Yogyakarta.
Awang, S; Andayani, W;Himmah B; Widayanti, T.W; dan Affianto, A. 2002. Hutan Rakyat : Sosial Ekonomi dan Pemasaran. BPFE‐Yogyakarta.
Awang, S (ed). 2005a. Bunga Rampai Hutan Rakyat : Petani, Ekonomi dan
Konservasi. DEBUT Press. Yogyakarta.
Awang, S (ed). 2005b. Bunga Rampai Hutan Rakyat : Kelangkaan Air – Mitos Sosial, Kiat dan Ekonomi Rakyat. DEBUT Press. Yogyakarta.
Awang, S; Suryanto, S; Eko,B.W. 2007, Unit Manajemen Hutan Rakyat : Proses Konstruksi Pengetahuan Lokal, Banyumili‐PKHR, Yogyakarta.
BPKH XI Jawa‐Madura, 2009. Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008. Hasil Kegiatan BPKH XI Jawa‐Madura dengan MFP II.