KATA PENGANTAR
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa merupakan satu judul kegiatan lanjutan dari kegiatan Penyusunan Basis Data Potensi dan Dinamika karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Sebagai Prakondisi Proyek Karbon Hutan. Kegiatan‐kegiatan ini merupakan bagian dari program kegiatan yang berjudul Penyusunan Basis Data Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa sebagai Prakondisi Implementasi Sistem Legalitas Kayu dan Rencana Proyek Karbon Hutan.Program kegiatan ini diusulkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa‐Madura yang mendapat persetujuan dan pendanaan sepenuhnya dari Forest Governance And Multistake‐Holder Forestry Programme (MFP II).
Ruang lingkup dalam laporan ini ada 2 hal yaitu pertama, membahas secara rinci penutupan lahan hutan rakyat di Jawa dan Madura berdasarkan klasifikasi penutupan lahan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan; dan kedua, merumuskan arahan strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Jawa dan Madura.
Upaya menafsirkan kawasan hutan rakyat indikatif berdasarkan pendekatan penutupan lahan ini sangat penting posisinya. Penting dalam arti bahwa hutan rakyat telah membuktikan memberikan peranan besar pada ekologi, menjaga stbailitas alam, pengaturan tata air tanah, dan sosial ekonomi masyarakat pemilik hutan rakyat. Karena peran yang penting tersebut, maka mengetahui secara makro tentang kawasan hutan rakyat, harus ditindaklanjuti dengan merumuskan arahan dan memberikan rekomendasi bagaimana pengembangan pengelolaan hutan rakyat di Jawa dan Madura dilakukan. Mengingat nilai penting tersebut maka hasil kajian hutan rakyat ini dan rekomendasinya harus disosialisasikan kepada pihak Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota se‐Jawa Madura.
Dalam pelaksanaan kegiatan ini dibantu oleh tenaga ahli yang berkompeten di bidang kebijakan pengembangan hutan rakyat dari Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta yakni Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, MSc dibantu oleh Wahyu Tri Widayanti, S.Hut, MP dan Suryanto Sadiyo, S.Hut.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada tim pelaksana yang telah bekerja dengan baik dan pihak‐pihak yang telah membantu kegiatan ini sehingga dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Semoga laporan ini bermanfaat sesuai tujuannya yakni membuat arahan menuju tercapainya keseragaman pemahaman terhadap posisi hutan rakyat dalam tata ruang di Pulau Jawa dan rencana pengembangan unit pengelolaan hutan rakyat dalam rangka pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan sebagai pra‐kondisi implementasi sistem legalitas kayu dan rencana proyek karbon hutan.
Yogyakarta, Desember 2009
Kepala Balai,
IS MUGIONO
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... ii
Daftar Tabel ... iii
Daftar Gambar ... iv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Ruang Lingkup Analisis ... 2
1.3. Metode Kajian ... 3
II. ANALISIS HUTAN RAKYAT DI PULAU JAWA‐MADURA ... 4
2.1. Kawasan Hutan Rakyat ... 4
2.2. Sebaran Hutan Rakyat Indikatif Berdasarkan DAS ... 8
2.2.1. Hutan Rakyat di Bagian Hilir DAS ... 9
2.2.2 Hutan Rakyat di Bagian Tengah DAS ... 9
2.2.3 Hutan Rakyat di Bagian Hulu DAS ... 9
2.3. Permasalahan dan Kendala Pengembangan Hutan Rakyat ... 10
2.4. Peran dan Fungsi Hutan Rakyat Dalam Pembangunan Wilayah dan Lingkungan ... 23
2.4.1. Peran Tanaman Sengon dan Usaha Tani Rakyat ... 26
2.4.2. Produksi Kayu Hutan Rakyat ... 40
2.4.3. Peranan Ekologi Hutan Rakyat ... 41
2.5. Penataan Hutan Rakyat : Karakteristik, Fungsi dan Tujuan ... 42
2.5.1. Penyerapan Karbon Hutan Rakyat Indikatif ... 43
2.5.2. Potensi Hutan Rakyat ... 43
2.5.3. Karakteristik, Fungsi dan Tujuan Pengelolaan Hutan Rakyat ... 47
III. ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI PULAU JAWA‐MADURA ... 49
3.1. Kondisi dan Masalah Hutan Rakyat Saat Ini ... 49
3.2. Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat ... 50
3.3. Pembagian Peran Aspek Manajemen dan Upaya Sinergi Antar Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ... 54
3.4. Kebijakan Penting Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat ... 57
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 59
4.1. Kesimpulan ... 59
4.2. Rekomendasi ... 60
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Hasil Perhitungan Luas Kawasan Hutan Rakyat di Jawa‐Madura ... 6
Tabel 2.2. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Hutan Hutan Rakyat Atas Dasar Periode Perekaman Data ... 7
Tabel 2.3. Karakter Penutupan Lahan Sesuai Dengan Sebaran DAS ... 10
Tabel 2.4. Profil Komposisi dan Pola Hutan Rakyat di Lokasi Penelitian ... 27
Tabel 2.5. Total Biaya (Nominal) Usaha Tani Sengon Selama Daur ... 29
Tabel 2.6. Pendapatan (Nominal) Usaha Tani Sengon ... 31
Tabel 2.7 Nilai NPV, BCR, dan IRR Usahatani Sengon di Desa Pecekelan ... 32
Tabel 2.8 Nilai NPV, BCR, dan IRR Usahatani Sengon di Desa Jonggolsari ... 32
Tabel 2.9 Nilai NPV, BCR, dan IRR Usahatani Sengon di Desa Ngaliyan ... 32
Tabel 2.10 Biaya, Pendapatan dan Keuntungan Nominal Usahatani di Desa Pecekelan ... 33
Tabel 2.11 Biaya, Pendapatan dan Keuntungan Nominal Usahatani di Desa Jonggolsari ... 33
Tabel 2.12 Biaya, Pendapatan dan Keuntungan Nominal Usahatani di Desa Ngaliyan ... 33
Tabel 2.13 Nilai Finansial Pembangunan Tanaman Sengon di Desa Pecekelan ... 34
Tabel 2.14 Nilai Finansial Pembangunan Tanaman Sengon di Desa Jonggolsari ... 36
Tabel 2.15 Nilai Finansial Pembangunan Tanaman Sengon Di Desa Ngaliyan (Daur 5 tahun) ... 38
Tabel 2.16 Potensi Penutupan Lahan Hutan Rakyat di Jawa dan Madura Tahun 2006‐2008 ... 43
Tabel 3.1 Arahan Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat di Jawa ... 51
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Pohon Permasalahan Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ... 13
Gambar 2. Hasil Penafsiran Penutupan Lahan Berdasarkan Citra Landsat
Periode Tahun 2006‐2008... 46
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut UU No.41/99 tentang kehutanan, Indonesia hanya mempunyai 2
macam hutan menurut kepemilikannya yaitu hutan negara dan hutan hak. Dalam
pengertian yang diterjemahkan secara bebas, pengertian hutan negara adalah
hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Sementara itu hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Dalam bahasa rakyat yang tinggal di pedesaan segala sesuatunya dilukiskan
dengan bahasa yang sederhana. Menurut rakyat hutan negara adalah kawasan
hutan yang dimiliki sepenuhnya oleh Negara, dimana rakyat tidak memiliki hak atas
manfaat semua sumber kekayaan yang ada di dalam hutan. Dalam pemahaman
rakyat, hutan rakyat adalah kumpulan pohon‐pohon yang ditanam di lahan milik rakyat, di mana semua sumberdaya yang ada “sepenuhnya” menjadi milik rakyat.
Sementara itu Departemen Kehutanan memberikan pengertian hutan rakyat
sebagai satu hamparan lahan yang luasnya minimal 0,25 ha dengan jumlah pohon paling sedikit 400 batang per hektar. Perhatikan secara cermat bahwa bahwa bahasa sosiologis, bahasa peraturan dan bahasa pemerintah mengenai pengertian hutan rakyat, telah secara terang terlihat berbeda satu sama lain. Perbedaan ini seringkali berdampak kepada bagaimana cara kita memahami sosok hutan rakyat tersebut, dan bagaimana cara pandang kita mengembangkan dan melindungi hutan rakyat di seluruh Indonesia yang berbeda pengetahuan lokalnya, dan lebih khusus lagi di Pulau Jawa.
Tulisan ini disiapkan dalam rangka memberikan telaah kritis atas situasi dan
perkembangan penutupan lahan hutan rakyat dari analisis intrepretasi data‐data spasial yang dilakukan oleh BPKH XI tahun 2009. Data‐data hasil kajian tersebut
kemudian diarahkan untuk membuat acuan berbagai pihak dalam pengembangan
Jawa dan rencana pengembangan unit pengelolaan hutan rakyat dalam rangka pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan.
1.2 Ruang Lingkup Analisis
Analisis yang dikembangkan dalam tulisan ini bersumber pada informasi
yang berasal dari “Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990‐2008” yang telah dilakukan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa‐Madura (BPKH XI) di Yogyakarta.
Ruang lingkup kajian adalah menjawab pertanyaan tentang bagaimana
posisi hutan rakyat dalam tata ruang di pulau Jawa dan kebijakan pemerintah dan daerah seperti apa yang bersifat insentif terhadap pengembangan hutan rakyat di Pulau Jawa. Ruang lingkup tersebut dapat lebih dirinci sebagai berikut :
(1) Aspek Kawasan dan Tata Ruang, mencakup:
(a) Sebaran hutan rakyat di Jawa berdasarkan luas, potensi, dikaitkan dengan sebaran DAS dan administrasi wilayah ?
(b) Merumuskan permasalahan dan kendala pengembangan hutan rakyat saat ini ? (c) Peran dan fungsi hutan rakyat dalam pembangunan wilayah dan lingkungan; (d) Bagaimana merumuskan penataan hutan rakyat sesuai dengan karakteristik,
fungsi dan tujuan pengelolaan hutan rakyat ?
(2) Aspek Kebijakan, mencakup:
(a) Merumuskan strategi dan kebijakan pengembangan pengelolaan hutan
rakyat oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
(b) Pokok‐pokok rancangan pengelolaan hutan rakyat oleh Pemerintah Daerah; (c) Pembagian peran aspek manajemen dan upaya sinergi antar pihak dalam
pengelolaan hutan rakyat,
1.3 Metoda Kajian
Kajian tentang kawasan dan kebijakan pengembangan hutan rakyat di Jawa
dilakukan dengan menggunakan metoda dokumentasi. Semua data yang digunakan
berasal dari dokumen laporan yang tersedia di BPKH XI, data sekunder tentang produksi hutan rakyat di Jawa, data‐data penelitian terdahulu tentang hutan rakyat, dan rujukan data lainnya yang relevan dengan tujuan kajian ini.
BAB II
ANALISIS HUTAN RAKYAT DI PULAU JAWA
2.1 Kawasan Hutan Rakyat
Kalkulasi tentang luas kawasan hutan rakyat berdasarkan pada interpretasi
pengolahan basis data spasial data penginderaan jauh citra satelit optis, sehingga data kawasan hutan rakyat yang diperoleh bersifat indikatif. Citra satelit optis yang digunakan adalah citra Landsat‐7 ETM+ perekaman tahun 1990, tahun 2000, dan tahun 2006. Data series berdasarkan 3 waktu perekaman ini diambil dengan tujuan
untuk mengetahui perubahan penggunaan/penutupan lahan kategori hutan rakyat
pada 3 periode perekaman tersebut. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui kecendrungan perkembangan hutan rakyat di Jawa dan Madura.
Kalkulasi luas kawasan hutan rakyat ini menggunakan standar analisis
berdasarkan sistem klasifikasi penutupan lahan (23 klas) yang dikeluarkan oleh
Departemen Kehutanan. Catatan penting dari pengelompokan ini adalah bahwa
kalkulasi luas kawasan hutan rakyat di sini dikaitkan dengan kepentingan
perhitungan (kalkulasi) potensi kayu dan biomassa vegetasi di atas tanah, dalam rangka upaya menghitung kandungan karbon dari hutan rakyat yang ada di Pulau Jawa.
Dari 23 klas klasisifikasi penutupan lahan tersebut, hanya ada 6 klas klasifikasi yang secara indikatif masuk dalam kelompok pengertian hutan rakyat (di luar kawasan hutan Negara). Ke enam klas penutupan lahan tersebut adalah: (1) hutan lahan kering (primer dan sekunder); (2) hutan tanaman; (3) perkebunan; (4) pertanian lahan kering; (5) pertanian lahan kering campur semak; dan (6) semak belukar. Pengertian masing‐masing klas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hutan lahan kering primer adalah seluruh kenampakan hutan dataran
rendah,perbukitan dan pegunungan yang belum menampakan bekas tebangan;
2. Hutan lahan kering sekunder adalah seluruh kenampakan hutan dataran
penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas tebangan). Bekas tebangan
parah bukan areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukkan ke dalam
klasifikasi ini;
3. Hutan tanaman adalah seluruh kawasan hutan tanaman baik yang sudah di
tanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Identifikasi lokasi dapat diperoleh dengan Peta Persebaran Hutan Tanaman;
4. Perkebunan adalah seluruh kawasan perkebunan,baik yang sudah di tanami
maupun yang belum(masih berupa lahan kosong). Identifikasi lokasi dapat
diperoleh dengan Peta Persebaran Perkebunan. Perkebunan rakyat yang
biasanya berukuran kecil akan sulit diidentifikasi dari citra maupun peta
persebaran,sehingga memerlukan informasi lain,termasuk data lapangan;
5. Pertanian lahan kering adalah semua aktifitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran, dan ladang;
6. Pertanian lahan kering campur semak adalah semua jenis pertanian lahan kering yang berselang seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan. Sering muncul pada areal perladangan berpindah, dan rotasi tanam lahan karst;
7. Semak belukar adalah kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh
kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan
dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kawasan ini biasanya tidak
menampakan lagi bekas / bercak tebangan.
Atas dasar pengertian 6 klas klasifikasi penutupan lahan tersebut, maka
interpretasi dan checking lapangan dilakukan untuk menghitung luas kawasan
hutan rakyat indikatif di seluruh Pulau Jawa. Hasil perhitungan dijelaskan pada Tabel 2.1.
Penggunaan klas klasifikasi pada Tabel 2.1 ditetapkan dengan maksud
menghitung luas hutan rakyat, potensi kayu, biomassa di atas permukaan tanah, dan prediksi karbon tersimpan (carbon sink) dalam biomassa tersebut.
Tabel 2.1. Hasil Perhitungan Luas Kawasan Hutan Rakyat Di Jawa‐Madura
No Klas Klasifikasi
Penutupan Lahan
Periode
2006‐2008
Periode
2000‐2003
Periode
1990‐1993
Perubah an (%)
1 2 3 4 5 6
1 hutan lahan kering
sekunder/primer
107.706,97 65.961,24 45.572,19 136,34
2 hutan tanaman 374.057,31 384.869,50 304.461,12 22,86
3 perkebunan 153.441,62 166.553,30 80.322,79 91,03
4 pertanian lahan
kering
935.069,26 1.098.215,20 837.379,82 11,67
5 pertanian lahan
kering campur
semak
977.796,44 984.066,80 601.042,74 62,68
6 semak belukar 36.942,46 30.946,00 32.018,48 15,38
Total 2.585.014,06 2.730.612,04 1.900.797,14 35,99
Sumber : Laporan BPKH Wilayah XI Jawa‐Madura Tahun 2009
Informasi klas penutupan lahan hutan rakyat pada Tabel 2.1 perlu mendapat
penjelasan lebih lanjut. Jika kepentingan perhitungan biomass dan karbon
tersimpan di atas tanah tidak diperhitungkan, maka sesungguhnya klas penutupan lahan hutan rakyat yang benar‐benar riil hanya 3 klas saja yaitu klas no (1), (2), dan (4). Jadi jumlah luas hutan rakyat yang didominasi oleh tanaman kayu hutan adalah 1.416.833,54 ha. Sementara itu klas penutupan lahan hutan rakyat di Pulau Jawa
jika dikaitkan dengan perhitungan biomass di atas permukaan tanah dan
perhitungan karbon tersimpan, total luas indikatifnya sampai tahun 2008 adalah 2.585.014,06 ha. Lebih rinci analisis luas penutupan lahan hutan rakyat ini akan ditentukan oleh potensi kayu per ha dari masing‐masing klas penutupan lahan, yang akan dibahas kemudian.
Dari Tabel 2.1 tersebut akan ada banyak informasi yang dapat dijelaskan,
terutama berkaitan dengan penjelasan seberapa besar sesungguhnya perubahan
Pulau Jawa. Analisis perubahan klas penutupan lahan dari penafsiran citra landsat di uraikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Hutan Rakyat atas Dasar Periode Perekaman Data
No Klas Penutupan Lahan 1990‐1993/
2000‐2003 (%)
1990‐1993/ 2006‐2008 (%)
2000‐2003/ 2006‐2008 (%)
1 2 3 4 5
1 Hutan lahan kering
primer/sekunder
44,74 136,34 63,29
2 Hutan tanaman 26,41 22,86 ‐0,28
3 Perkebunan 107,35 91,03 ‐7,87
4 Pertanian lahan kering 31,15 11,67 ‐14,86
5 Pertanian lahan kering
campur semak
63,73 62,68 ‐0,64
6 Semak belukar ‐3,35 15,38 19,38
Total 43,66 35,99 ‐5,33
Tabel 2.2 menunjukkan bahwa keberadaan hutan rakyat secara indikatif di
pulau Jawa (tersebar dalam 6 klas penutupan lahan) dari tahun 1990 sampai tahun 2008 telah meningkat sebesar 35,99 % (selama 18 tahun), atau meningkat sebesar 1,99% (dibulatkan 2%) per tahun. Jika perhitungan dasar luas kawasan hutan rakyat merujuk pada data tahun 1990‐1993, maka kenaikan luas kawasan hutan rakyat untuk 6 klas penutupan lahan adalah rata‐rata sebesar 38.015,9 ha per tahun. Percepatan kenaikan luas kawasan hutan rakyat secara indikatif justru terjadi pada
antara periode 1990‐1993 –sampai periode 2000‐2003 yaitu sebesar 43,66%
(selama 13 tahun), atau luas kawasan hutan rakyat meningkat rata‐rata sebesar
3,36% per tahun. Dengan mengacu pada data kawasan hutan rakyat hasil
pemantauan periode 1990‐1993, maka laju pertambahan luas kawasan hutan
rakyat untuk 6 klas penutupan lahan adalah 63.866,78 ha per tahun pada periode pemantauan spasial tahun 1990‐2003.
Peningkatan luas kawasan hutan rakyat secara komulatif memang terjadi
sebesar 35,99% selama 18 tahun. Tetapi pada periode tertentu data‐data
GERHAN gencar dilaksanakan. Perhatikan perubahan luas kawasan pada periode antara tahun 2000‐2003 dengan periode 2006‐2008. Perubahan negatif (‐) 0,28%
pada klas penutupan lahan hutan tanaman menunjukkan bahwa ada sebanyak
0,28% luas hutan tanaman rakyat berubah menjadi penutupan lahan lainnya. Pada
klas penutupan lahan perkebunan (kebun rakyat, seperti kelapa dan campuran
lainnya) juga menunjukkan pertumbuhan negatif (‐) 7,87%, yang berarti ada seluas 7,87% lahan perkebunan rakyat yang berubah menjadi penutupan lahan lainnya. Demikian pula telah terjadi perubahan penutupan lahan klas pertanian lahan kering sebesar 14,86% menjadu penutupan lahan lainnya.
Kesimpulan penting yang dapat diambil dari perubahan penutupan lahan
seperti yang diuraikan di atas adalah: (1) Pada 5 tahun terakhir ini telah terjadi pengurangan luas klas penutupan lahan hutan rakyat di Pulau Jawa; (2) Kemana arah kecenderungan perubahan penutupan lahan tersebut perlu penyelidikan lebih lanjut; dan (3) Penyebab dari perubahan penutupan klas lahan hutan rakyat
tersebut adalah insentif yang sangat kurang dari semua pihak terhadap
pengembangan hutan rakyat di Jawa dan Madura (baik insentif langsung maupun insentif tidak langsung).
2.2 Sebaran Hutan Rakyat Indikatif Berdasarkan DAS
Kawasan hutan rakyat yang diuraikan di sub bab 2.1 di atas belum
menjelaskan dimana sebaran penutupan lahan hutan rakyat tersebut berada. Untuk melihat sebaran hutan rakyat sangatlah tepat jika dikaitkan dengan keberadaan satuan Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan analisis citra terhadap kawasan
DAS di Jawa dapat diketahui bahwa sebaran penutupan lahan hutan rakyat
berdasarkan posisi DAS adalah sebagai berikut: seluas 375.730 ha berada di bagian hilir DAS, seluas 1.010.192 ha berada di bagian tengah DAS, dan seluas 1.198.990 ha berada di bagian hulu DAS.
2.2.1. Hutan Rakyat di Bagian hilir DAS
Luas Hutan rakyat yang ada di bagian hilir DAS seluas 375.730 ha (14,5%). Di bagian hilir ini hutan rakyat didentifikasi berupa klas penutupan hutan tanaman (50.031 ha), pertanian lahan kering (100.720 ha), dan pertanian lahan kering campur semak (175.046 ha). Penutupan lahan dengan klas pertanian lahan kering campur semak berisikan tanaman keras (pohon, buah‐buahan, pohon campur) dan
bercampur dengan semak belukar, menunjukkan bahwa kawasan ini sesungguhnya
berisi banyak pohon‐pohon tetapi keadaan tapaknya tidak terpelihara dengan baik, dan jumlah pohon dalam satu hamparan sedikit. Dengan demikian fokus wilayah intensifikasi, pengembangan, penanaman, dan pemeliharaan hutan rakyat di Jawa dan Madura seharusnya dilakukan di klas penutupan lahan kering campur semak.
2.2.2 Hutan Rakyat di Bagian Tengah DAS
Kondisi hutan rakyat berdasarkan penutupan lahan pada bagian tengah DAS didominasi oleh 3 klas penting yaitu klas hutan tanaman (119.237 ha), pertanian lahan kering (344.181 ha), dan pertanian lahan kering campur semak / PLKCM (427.253 ha).Pada bagian tengah DAS ini kembali terbukti bahwa kawasan hutan rakyat indikatif terluas terletak di klas PLKCM. Dengan demikian fokus kegiatan
intensifikasi, penanaman, pemeliharaan, pembangunan hutan rakyat di Jawa dan
Madura, khususnya di bagian tengah DAS, harus diarahkan pada kawasan klas PLKCM ini.
2.2.3 Hutan Rakyat di Bagian Hulu DAS
Kawasan hutan rakyat indikatif berdasarkan penutupan lahan pada bagian hulu DAS didominasi oleh 3 klas penting yaitu klas hutan tanaman (204.789 ha), pertanian lahan kering (490.169 ha), dan pertanian lahan kering campur semak / PLKCM (375.498 ha).Pada bagian Hulu DAS ini terbukti bahwa kawasan hutan rakyat indikatif terluas terletak di klas pertanian lahan kering. Dengan demikian fokus
Jawa dan Madura, khususnya di bagian hulu DAS, harus diarahkan pada penutupan lahan pertanian lahan kering (PLK) dan kawasan klas PLKCM dan pertanian lahan kering.
Luas hutan rakyat berdasarkan analisis DAS di Jawa dan Madura adalah
2.594.911 ha yang tersebar di bagian hilir DAS seluas 375.730 ha, di bagian tengah DAS seluas 1.010.192 ha, dan di bagian hulu DAS seluas 1.198.989 ha. Sementara itu
hasil interpretasi penutupan lahan hutan rakyat berdasarkan keseluruhan
menunjukkan total luas sebesar 2.585. 014 ha. Perbedaan jumlah ini sangat kecil (hanya 103 ha), hal ini sangat wajar dalam pendekatan interpretasi citra. Uraian secara rinci dapat di lihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Karakter Penutupan Lahan Sesuai Dengan Sebaran DAS
Sumber : Laporan BPKH Wilayah XI Jawa‐Madura Tahun 2009
2.3 Permasalahan dan kendala pengembangan hutan rakyat
Masyarakat membangun hutan rakyat di lahan milik di Jawa untuk
memperbaiki kondisi lingkungan hidup. Salah satu kasus di kawasan Kapur Selatan (Pegunungan Kapur di bagian Selatan Pulau Jawa yang membentang dari Kabupaten
Kebumen Jawa Tengah sampai Kabupaten Jember Jawa Timur), pembangunan
hutan rakyat yang didominasi jati dan mahoni telah mengubah kondisi wilayah yang Klas Penutupan
Lahan
DAS
Hilir
DAS
Tengah
DAS
Hulu
Jumlah
DAS (ha)
Jumlah
2006‐2008 (ha) Hutan lahan kering
primer , sekunder
21.563 43.770 42.365 107.698 107.706,97
Hutan tanaman (HT) 50.031 119.237 204.789 374.057 374.057,31
Perkebunan (rakyat) 19.783 64.450 69.208 153.441 153.441,62
Pertanian lahan
kering
100.720 344.181 490.169 935.070 935.069,26
Pertanian lahan
kering campur
semak
175.046 427.253 375.498 977.797 977.796,44
Semak belukar 8.587 11.301 16.960 36.848 36.942,46
kering, panas dan gersang menjadi kawasan yang hijau, subur, dan sejuk. Hutan
rakyat di kawasan Pegunungan Menoreh juga cukup berdampak pada penurunan
jumlah bencana alam tanah longsor. Bahkan di beberapa kawasan lain di
Wonosobo, Temanggung, Magelang, Sukabumi, Garut, Kediri, Nganjuk, dan
Lumajang menjadi bergantung pada keberadaan hutan rakyat untuk tangkapan air, sebab tidak lagi dapat mengandalkan peranan hutan negara yang selalu mengalami degradasi dari waktu ke waktu.
Bagi pemiliknya hutan rakyat merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Pola pemanfaatan dan interaksi masyarakat desa dengan hutan rakyat cukup beragam dan berbeda‐beda satu sama lain, tergantung dari kesuburan tanah, kultur masyarakat secara umum, dan kebijakan lokal kabupaten
yang terkait dengan pengembangan hutan rakyat. Namun demikian secara umum
teridentifikasi bahwa hutan rakyat memegang peranan penting dalam kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat desa. Sebagai contoh di Wonosobo, merupakan
daerah yang kondisi tanahnya subur, sebagian masyarakat desa daerah tersebut
menggantungkan hidupnya pada hutan rakyat. Hutan rakyat dapat memenuhi
kebutuhan harian, kebutuhan jangka menengah, dan kebutuhan jangka panjang
masyarakat desa. Kebutuhan jangka pendek terpenuhi dari panenan tanaman
jangka pendek seperti cabe, kapulaga, dll. Kebutuhan jangka menengah terpenuhi dari hasil panen tahunan seperti ketela, kemukus, dll; sedangkan kebutuhan jangka panjang terpenuhi dari panenan jangka panjang dari tanaman kayu‐kayuan.
Pada umumnya konsep pengelolaan hutan rakyat sangat sederhana yaitu
hanya menanami tanah milik dengan tanaman berkayu dan membiarkannya
tumbuh tanpa pengelolaan intensif. Kemudian dalam perkembangannya
masyarakat mulai akrab dengan tehnik‐tehnik budidaya hutan, seperti perbanyakan
tanaman metode stek, sambung, dan cangkok. Berkembang juga model penanaman
beragam beragam jenis dan beragam lapisan tanaman (multi layer), serta cara
pemanenan kayu yang tidak merusak tanaman lain. Namun perkembangan tehnis
berpengaruh terhadap proses pengaturan hasil yang hampir dikatakan tidak ada karena keberadaan hutan rakyat di masyarakat selalu berkaitan pada pemenuhan
kebutuhan mendadak. Pemenuhan kebutuhan ini membuat petani hutan rakyat
sebagai produsen kayu selalu menjadi pihak lemah dalam proses tawar‐menawar harga produk.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka berikut ini dapat diuraikan tentang
beberapa karakteristik hutan rakyat bila ditinjau dari aspek manajemen
hutan(Awang, 2007) yaitu :
1. Hutan rakyat berada di tanah milik, dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan kurang subur, kondisi topografi sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan dan faktor resiko kegagalan yang kecil.
2. Hutan rakyat tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai to[ografi lahan.
3. Pengelolaan hutan rakyat berbasis pada tingkat keluarga, setiap keluarga
melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah.
4. Pemanenan hasil hutan rakyat berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat
diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan
pertumbuhan (riap) tanaman.
5. Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan
hutan rakyat.
6. Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga belum ada
jaminan dari petani hutan rakyat terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri.
7. Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat
sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan
Karakter‐karakter tersebut mengisyaratkan rentannya kelestarian hutan rakyat akibat adanya peningkatan kebutuhan industri berbasis kehutanan, terutama bahan baku kayu. Hal ini diperparah dengan menurunnya produktivitas kayu dari
hutan negara yang disebabkan oleh penebangan liar dan kegagalan pembuatan
tanaman. Secara lebih jelas permasalahan yang mengancam kelestarian hutan
rakyat digambarkan pada bagan alir sebagai berikut (Awang, 2007).
Gambar 1. Pohon Permasalahan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Terancamnya
kelestarian hutan rakyat
Tidak adanya rekognisi formal kebijakan terhadap pengelolaan
hutan rakyat
Lemahnya posisi produk hutan rakyat dalam mekanisme harga
pasar
Pengelolaan hutan rakyat belum memperhatikan aspek manajemen
Belum ada penataan k
Belum ada organisasi pengelolaan hutan rakyat
Belum ada perencanaan
Belum ada deliniasi unit
Belum ada inventarisasi hutan
Kelompok tidak solid dan efektif Kapasitas manajemen rendah
Tekanan industri yang
Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pengembangan hutan rakyat yang berkelanjutan dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Masyarakat desa sebagian terbesar tingkat hidupnya subsisten, yaitu
memproduksi untuk keperluan sendiri terutama pangan . Luas kepemilikan
lahan setiap keluarga umumnya sempit, kurang dari 1,0 ha dan bahkan di beberapa desa kurang dari 0,25 ha. Sudah barang tentu dengan luas lahan milik sekecil itu tidak cukup untuk menghidupi keluarga, apalagi kalau akan ditanami
pohon yang hasilnya harus menunggu sampai umur tertentu. Menurut
Soedarwono (1976) sebuah keluarga tani akan hidup berkecukupan kalau
memiliki lahan sawah (tadah hujan) seluas minimal 1 bahu (0,64 ha) dan pekarangan 0,3 ha. Kenyataan di lapangan petani yang memiliki lahan sawah (untuk tadah hujan) satu bahu ke atas sudah amat langka. Oleh karena itu apabila petani tidak memiliki mata pencaharian lain selain bertani, maka mereka akan menanaminya dengan tanaman pangan misalnya ketela pohon atau jagung
dan bukan tanaman pohon‐pohonan.
2. Hak Kepemilikan Lahan (Land Tenure Problem)
Biasanya mereka yang mengerjakan lahan belum tentu yang memiliki secara
hukum, mungkin pemiliknya orang kota (yang telah membeli sebelumnya), atau masih status warisan orang tua, atau tanah “gadai”, tanah sewa atau istilah setempat adalah tanah “senden” atau di Yogyakarta ada tanah milik Sultan atau Paku Alam, atau bahkan tanah desa, dan lain lain. Sudah tentu mereka yang hanya mengelola (bukan menguasai) tidak bisa memutuskan apakah bisa/boleh ditanami pohon atau tidak kecuali atas ijin pemilik atau inisiatif dari pemilik. Barangkali di hati kecil petani pengelola ini tidak rela kalau ditanami pohon,
lebih banyak mudharatnya daripada menguntungkan baginya.
3. Antipati terhadap Pohon Tertentu
Masyarakat Jawa umumnya tidak senang terhadap jenis pohon tertentu yang
tumbuh (secara alam) di lahan mereka karena masalah “magis”, misalnya
terhadap jenis‐jenis beringin (Preh: Jawa), Randu Alas, Cangkring dan masih banyak lagi, apabila jenis ini tumbuh di pekarangan atau tegal mereka sebelum sempat besar akan dicabutnya. Mereka takut kalau sudah besar nantinya akan dihuni oleh makhuk halus. Di Sulawesi Selatan beberapa orang petani menolak apabila lahannya ditanamami dengan jenis Acacia auriculiformis, karena bunga
buah/pohon ini yang begitu lembut akan tersebar oleh angin akan
mengakibatkan sakit napas bila terhirup oleh paru‐paru anak‐anaknya. Di Negara lain ada alasan tertentu mengapa masyarakat tidak menanam pohon di pinggir lahan pertanian mereka, seperti di beberapa negara Afrika biasanya masyarakat mengontrol secara ketat tanaman pohon di dekat lahan pertanian
atau sekitar rumah mereka karena ketakutan bahwa pohon tersebut akan
menjadi sarang lalat “tse‐tse” (penyebab penyakit tidur) dan juga sebagai sarang burung‐burung pemakan biji (G Barnard,1984). Lain lagi di India, di sekitar
pohon asem (Tamarind trees) yang besar dan rimbun atau mengelompok
biasanya dicurigai sebagai tempat bertemunya para perampok dan penjahat
(Samantha,et al,1982, dalam G Barnard 1984).
4. Lahan yang Amat Kritis
Memang di beberapa kawasan seperti di Gunung Kidul secara faktual terdapat
lahan kritis yang secara fisik berupa batuan/padas, yang tidak memiliki lapisan tanah. Biasanya yang tumbuh hanya rumput jenis tertentu seperti mimosa, atau rumput alang‐alang kerdil, tembelakan dan lain lain. Karena secara teknis sulit untuk dikerjakan (diolah) maka oleh masyarakat lahan ini diliarkan atau
diserahkan kepada alam. Biasanya digunakan sebagai tempat/padang
5. Keterbatasan Dana atau Modal dan Tenaga
Lahan lahan kritis secara fisik yang dibarengi dengan kondisi sosial ekonomi juga
kritis akan memberi dampak yang semakin parah terhadap lahan tersebut.
Lahan tidak terurus dengan tidak dimilikinya input dari masyarakat, semakin lama lahan kritis menjadi luas karena pengaruh luar yang merusak seperti erosi, penggembalaan dan lain‐lain.
Terdapat kasus di Wonosari (DAS Solo Hulu), lahan kritis bisa menjadi hutan
rakyat Acacia dan juga Jati yang cukup baik, karena semangat masyarakat yang tinggi dan dukungan dari berbagai “fasilitator”.
6. Konversi Dari Hutan ke Pertanian
Sebenarnya alasan ini berkaitan erat dengan alasan pertama yaitu keterbatasan
lahan untuk tanaman pangan. Sering kali alasan ini tidak selalu tepat. Menurut sejarah pada awal‐awal peradaban seluruh dunia ini tertutup oleh hutan sesuai dengan keadaan iklim dan edaphis. Termasuk hutan‐hutan di Eropa yang di abad pertengahan telah dieksploitir besar‐besaran dalam kurun waktu yang panjang.
Demikian juga negara‐negara berkembang yang eksploitasi hutannya baru
berlangsung sekitar 50 tahun terakhir ini. Di Indonesia terdapat program
transmigrasi dengan memindahkan penduduk padat di Jawa ke daerah yang
relatif jarang di Sumatra dan Kalimantan. Pada tahap Pelita III, periode Orde Baru, telah dipindahkan 500.000 kk selama waktu lima tahun. Kalau setiap kk dibutuhkan lahan untuk hidup 1 ha berarti dibutuhkan hutan yang dikonversi 500.000 ha. Di Srilangka terdapat proyek “Mahaweli Irrigation Project” yang
akan mengkonversi hutan seluas 260.000 ha. Di Amerika Latin pemerintah
memberi insentif dan legalitas untuk mengkonversi hutan menjadi kawasan
peternakan ( G Barnard 1984, D Kaimowitz, 1996).
7. Persepsi yang Keliru
Persepsi yang tidak sesuai dengan keinginan dari yang memberi
motivasi/motivator sering sekali terjadi. Sebenarnya hutan rakyat sudah
dikelola, dikuasai dan dimanfaatkan hasilnya oleh rakyat itu sendiri (Webster, 1976), oleh karena itu keputusan akhir di pihak rakyat. Seperti misalnya jarak tanam 5 X 5 m harus merata di kawasan yang ada, jenis yang ada hanya terbatas (satu pilihan atau dua) dan lain‐lain aturan yang sepihak. Ada persepsi lain yang sudah diterima oleh masyarakat petani hutan rakyat di daerah Ambarawa tahun 1989, mereka tidak mau masuk kelompok petani hutan rakyat karena penilaian terhadap pejabat pemerintah yang tidak jujur.
Pada tahun 1999 ada proyek dari pemerintah yang namanya padat karya,
dilakukan di lahan hutan rakyat. Telah berkumpul sebanyak 80 petani (calon petani hutan rakyat) yang memiliki lahan (tegal atau pekarangan) dalam satu
hamparan seluas 20 ha. Petani telah sepakat bergabung didalam kelompok
hutan rakyat yang akan difasilitasi oleh pemerintah (Dinas PKT Ungaran) dan
beberapa LSM untuk membangun lahannya menjadi hutan rakyat yang baik.
Pemerintah memberikan bantuan dana pengolahan lahan bibit buah‐buahan
termasuk menanamnya, pupuk kandang (Bokasi) pemeliharaan sampai kurun
tertentu (3 tahun). Semua dana adalah gratis tidak ada sistem kredit atau
apapun dan hasilnya semuanya untuk masyarakat. Sampai tiba pelaksanaan
terdapat tiga (3) petani yang tidak mau bergabung, lahan tidak boleh
dimasukkan ke dalam kesatuan hutan rakyat, tidak mau menerima bantuan
apapun dari pemerintah. Pada saat itu beberapa petugas pemerintah juga
anggota DPRD kabupaten merasa kebingungan, mengapa sampai terjadi
demikian. Pada saat lain, di sore atau malam hari beberapa fasilitator dari perguruan tinggi dan LSM datang ke rumah bapak‐bapak petani ini, di temui oleh pak Kartokemul si pemilik lahan. Setelah diawali dengan silaturakhim dan
diterangkan duduk persoalannya pak Karto menjelaskan sebagai berikut ;
mangke gek siti kula disuwun, kula lajeng maem nopo?, rumiyen sampun nate
diparingi mendo saking pemerintah (IDT), lajeng diputusake sebagian diijolke
sapi supados gampil pados rumput, sak menika sapine di “sambut” pak lurah
kangge mantu,empun setahun mboten wonten kabare.” (Pemerintah itu kok baik banget, apa‐apa diberi tidak bayar atau gratis, nanti jangan‐jangan tanah saya diminta, saya mau makan apa? Dulu pernah diberi kambing dari Pemerintah (IDT), terus diputuskan sebagian diganti sapi supaya gampang cari rumput, sekarang sapinya dipinjam Pak Lurah buat biaya menikahkan anaknya, sudah setahun tidak ada kabarnya)”.
8. Kelangkaan Informasi
Kelangkaan informasi khususnya pemasaran juga membuat keraguan untuk
menanam jenis pohon tertentu yang dianjurkan. Program sengonisasi pada
awalnya tidak populer di masyarakat. Penggunaan sengon waktu itu masih
sangat terbatas. Kecuali kotak sabun, keperluan kayu perkakas lokal yang tidak
terlalu banyak. Sekarang setelah tahu bahwa pemasaran sengon memberikan
keuntungan yang tidak kecil bagi masyarakat maka tidak perlu dikejar kejar
masyarakat akan menanamnya bahkan bersedia membeli harga bibit ini.
Sekarang ini perhatian pemerintah sudah lebih berkembang lagi yaitu
memberikan kredit kepada petani hutan rakyat lewat investor (koperasi) yang ditunjuk oleh pemerintah. Terlepas dari masalah sharing antara petani dan investor yang ditunjuk dan kemungkinan masalah lainnya, usaha pemerintah ini cukup memberi harapan bagi petani hutan rakyat.
9. Rotasi atau Daur Tanaman
Usaha pembuatan hutan rakyat (baca; penghijauan) memang lemah dari segi
Species). Kearifan manajemen lokal bagi petani di pedesaan di Jawa amat nyata dengan rencana tradisional memilih tanaman yang banyak manfaat, panen tidak
kenal musim, rotasi pendek dan kelebihan lainnya. Contoh jenis kelapa
(coconut), bambu (bamboo) dan pisang (bananas) atau untuk mempermudah
disebut BBC trees species. Pohon kelapa berbuah tidak kenal musim (berbuah
sepanjang tahun), batangnya digunakan untuk kayu perkakas rumah (tiang,
blandar, usuk dan lain lain), daun muda dan tua bermanfaat (janur, kupat, juga tikar/widig), lembut untuk sayur (dulu pernah populer dengan gudeg manggar dari Yogya), bahkan karena manfaatnya buah kelapa memiliki lima nama mulai dari manggar (bunga), bluluk (obat sakit diare), cengkir (untuk adat/budaya), degan (saat bulan puasa harganya tiga kali lipat dibandingkan hari lain), kelapa
tua. Kalau bunga kelapa di sadap akan menghasilkan gula kelapa yang
periodisitas panennya dua kali perhari, sepertidi daerah Kulon Progo, Magelang, Purwokerto dan daerah Pulau Jawa lainnya. Demikian juga pisang, berbuah tidak kenal musim, jenis dikenal puluhan (bahkan lebih dari seratus) karena variasi
manfaat, daunnya untuk pembungkus kue, bunga (tuntut) untuk sayur,
batangnya untuk berbagai kerajinan dan juga pembungkus tembakau, belum
daun untuk hijauan makanan ternak atau sayur, buah bermanfat, juga bunga adalah melinjo ( Gnetum gnemon).
Hal yang mendukung berkembangnya hutan rakyat bisa diamati dari sisi lain
dari kendala di atas walaupun beberapa kasus tidak demikian. Pak Kayat, seorang penjual bakso keliling di Yogyakarta bercerita; “ Siti kula teng Semin (dekat Wonosari di Gunung Kidul) kulo tanemi kayon; lho, menopo sitinipun njenengan
wiyar pak?; ah, mboten namung kedik sekesuk (kalau diluku setengah hari selesai
atau sekitar 1500 meter persegi), amergi mboten kober mawon”. Banyak anak‐anak muda dari daerah kritis yang merantau keluar daerah (seperti daerah Gunung Kidul) misalnya ke Jakarta, Malaysia menjadi TKW, atau ke Arab Saudi dan lain lain, sementara tanahnya tidak begitu luas ditinggalkan menjadi hutan rakyat. Setelah sebagian hidupnya cukup berhasil, pulang ke kampung halaman sudah tidak mau mencangkul lagi dan jumlahnya hutan rakyat justru semakin luas atau semakin baik
kwalitasnya. Beberapa faktor lain yang mempercepat perluasan dan perbaikan
kwalitas hutan rakyat adalah faktor exsternal seperti perkembangan pasar,
pesatnya informasi pengelolaan dan tehnologi yang di fasilitasi oleh pemerintah dan LSM, juga aksesibilitas (dekat jauhnya dari pasar), dan faktor internal yang dimiliki masyarakat seperti semangat hidup (berdaya), kecemburuan sosial yang positif, kepemilikan modal kerja dan kesibukan/pekerjaan di luar pertanian, juga pengaruh pengalaman pendidikan, keunggulan lokal, umur petani, jumlah keluarga dan lain‐ lain. Sering dilakukan penelitian dari faktor internal ini (terutama juga skripsi mahasiswa) akan tetapi hasilnya merupakan studi kasus per daerah dan sering tidak valid.
Tantangan yang relative paling baru bagi terwujudnya keberlanjutan hutan rakyat di Jawa dan Madura adalah antara lain:
1. Sertifikasi dan “mafia perdagangan”
2. Usaha Perhutani di Trading House Hutan Rakyat
(1) Sertifikasi dan “Mafia Perdagangan”
Leglitas penting dalam perdagangan kayu internasional adalah
diberlakukannya peraturan sertifikasi eko label pada system pengelolaan dimana kayu berasal. Sifat eko label ini bukan mandatory tetapi voluntary (sukarela). Salah satu sasaran sertifikasi adalah manajemen hutan rakyat lestari. Sistem sertifikasi utan rakyat yang digunakan di Indonesia adalah yang berasal dari LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) dan FSC (internasional). Sampai tahun 2009 tidak lebih dari 20 unit manajemen hutan rakyat berbasis desa yang sudah mendapat sertifikat lestari.
Dengan rendahnya suplai kayu bulat dari hutan Negara di Jawa, maka para
pelaku industry kayu mencari alternative bahan baku yang berasal dari hutan rakyat. Jejaring perdagangan internasional membentuk lembaga dan dibiayai oleh mereka untuk beroperasi di Indonesia guna memperoleh bahan baku untuk industry
“trans‐nasional” mereka. Industri Furniture dan plywood merupakan jejaring
perusahaan trans nasional tersebut. Lembaga‐lembaga asing ini berkolaborasi
dengan “pedagang‐pedangan kayu lokal” dalam mencari bahan baku kayu. Rakyat yang butuh pasar bertemu dengan pedagang yang punya modal, terjadilah transaksi yang sering tidak memperhatikan kaidah‐kaidah kelestarian hutan rakyatnya. Proses seperti ini mulai terlihat di daerah Gunung Kidul, Wonogir, Pacitan, Purworejo, dan
beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dengan dalih melakukan
sertifikasi ekolabel, pedagang lokal yang pro industry trans‐nasional tersebut membeli kayu rakyat. Pedangan lokal seperti harus segera dikendalikan, kalau tidak hutan rakyat akan mengalami tantangan keberlanjutannya.
Data penurunan luas hutan rakyat pada 5 tahun terakhir ini seperti yang
ditunjukkan pada table 2.1 dapat disebabkan oleh terjadinya penebangan hutan
rakyat yang berlebihan tanpa memperhatikan keberlanjutan hutan rakyatnya.
Suasana seperti ni seperti tindakan “kapal keruk” dari pihak industry kayu berbasis ekspor yang ada di sentra‐sentra industry kayu seperti Jepara. Sikap ini harus diwaspadai oleh masyarakat dan pemerintah serta pemerintah daerah.
(2) Usaha Perhutani dalam Trading House Kayu Hutan Rakyat
Menarik disimak pula informasi yang terkait dengan perluasan usaha Perum
Perhutani dalam pengembangan hutan rakyat di Pulau Jawa. Telah terbentuk satu Deputi khusus di Perhutani yang akan membeli kayu‐kayu jati dari hutan rakyat.
Ada banyak orang mengatakan apakah pengembangan hutan rakyat menjadi
domain Perum Perhutani? Sebab hutan Negara yang menjadi tanggung jawab
Perhutani di Jawa dalam kondisi tidak lestari, produktivitas rendah, tanah kosong
banyak, dan itu semua memerlukan perhatian secara serius dari Perhutani.
Mengapa harus merambah pada hutan rakyat? Apakah karena produksi kayu jati dari Perhutani sangat rendah lalu kemudian ingin berbisnis kayu jati di hutan rakyat? Jika hanya memperkuat trading hause saja, maka tidanakan Perhuatani ini hanya akan mempercepat kerusakan hutan rakyat saja. Perhutani harus kembali ke khittahnya yaitu membangun hutan Negara yang menjadai tanggung jawabnya saja.
(3) Hutan Rakyat dimasukkan dalam Tata Ruang Daerah
Tantangan lain yang penting diperhatikan terkait dengan pengembangan
hutan rakyat adalah bagaimana caranya pemerintah daerah memberikan
perlindungan kepada hutan rakyat di daerahnya masing‐masing di Pulau Jawa. Peran hutan rakyat sudah nyata pada ekonomi rakyat, lingkungan, dan ekonomi daerah. Hutan rakyat berada di kawasan budi daya dalam tata ruang, dan 5 tahun
terakhir menunjukkan gejala penurunan luas hutan rakyat. Gejala ini cukup
mengkhawatirkan bagi kepentingan ekologi, dan stabilitas pengawetan tanah, dan penyimpanan cadangan sumber mata air dan air tanah di Pulau Jawa.
Belum banyak birokrat daerah dan nasional yang berfikir pentingnya
memberikan perlindungan kepada eksistensi hutan rakyat, memberikan pengakuan
dan daerahnya memberikan perlakuan khusus pada kawasan hutan rakyat ini. Saran konkrit yang perlu dilakukan adalah memasukkan kawasan unit manajemen hutan rakyat ke dalam peta tata ruang daerah kabupaten. Dengan demikian tindakan alih fungsi tidak dapat dilakukan sewenang‐wenang. Hal ini sangat dimungkinkan karena
dalam UU Tata Ruang dan PP 26/2009 hutan produksi dimasukkan ke dalam
kawasan budi daya. Logikanya bahwa hutan rakyat yang sebagian besar merupakan arena produksi rakyat, maka hutan rakyat dapat disejajarkan dengan kawasan budi daya hutan produksi.
2.4 Peran dan fungsi hutan rakyat dalam pembangunan wilayah dan lingkungan
Sumber daya alam berupa hutan memiliki peran dan fungsi strategis dalam kehidupan dan menjadi bagian penting dalam mendukung kelestarian makluk antar generasi. Peran dan fungsi hutan yang memberi manfaat serba guna menjadikan sumber daya hutan menjadi bagian dari pembangunan di Indonesia. Sudut pandang
pembangunan yang lebih menitik beratkan pada anggapan bahwa hutan bermakna
sebagai tambang menjadikan perubahan ekosistem alami hutan menjadi ekosistem
rekayasa (terbina/ terkelola) seringkali memunculkan berbagai masalah lingkungan. Bahkan seringkali untuk mengembalikan atau membayar kerugian akibat kesalahan dalam pengelolaan hutan harus di bayar lebih mahal.
Pada era sekarang, perhutanan menjadi sorotan dunia internasional ketika ada kesadaran bahwa hutan mutlak di butuhkan oleh manusia. Hutan merupakan
gudang penyimpan karbon yang besar sehingga penghancuran hutan sering di
identikkan dengan melepaskan karbon ke atmosfer sehingga semakin banyak gas yang memberi efek rumah kaca yang berakibat terjadinya pemanasan global. Hutan juga memiliki kemampuan menyerap emisi gas gas rumah kaca terutama gas CO2.
Sebagai sumber daya alam, hutan bisa dimaknai sebagai bentuk kedaulatan ekonomi bangsa indonesia (pasal 33, UUD 45). Sumber daya hutan dikuasai negara
Indonesia, selain itu hutan juga dilihat sebagai ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi keberlanjutannya.
Pulau Jawa dengan luas 13,23 juta hektar dihuni oleh lebih 113,89 juta jiwa lebih merupakan pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia. Luas hutan negara di Jawa sekitar 2,99 juta hektar atau sekitar 23 persen dari luas Pulau Jawa. Luas ini
sebenarnya masih kurang jika melihat amanat dari UU 41 tahun 1999 yang
mensyaratkan minimal 30 % dari luas kawasan berupa hutan, Kondisi ini
mengakibatkan lebih dari 5.000 desa di Jawa berada di wilayah rawan longsor dan banjir. Menurut Tim Kajian Daya Dukung Pulau Jawa (Ekuin), lebih dari 1.900 desa yang di huni kurang lebih 76 ribu kepala keluarga berada pada daerah rawan longsor dan lebih dari 3.000 desa berada pada kawasan yang rawan banjir maupun banjir bandang.
Selain kawasan hutan negara, sejak tahun 70‐an mulai dilakukan
penanaman/ reboisasi di tanah milik, dan sekarang ini lebih dikenal dengan hutan rakyat. Di Pulau Jawa pada tahun 2008 terdapat hampir 2,6 juta hektar hutan rakyat. Persebaran hutan rakyat mulai di daerah hulu daerah aliran sungai, daerah tengah dan ada sebagian kecil yang di bagian hilir DAS.
Menurut data BPKH XI, dengan luasan hampir 2,6 juta hektar ini, hutan
rakyat mempunyai potensi kayu (indikasi) rerata 75,879 juta meter kubik,
seandainya masyarakat menggunakan daur 20 tahun untuk hutan rakyatnya maka
suatu saat bisa jadi etat hutan rakyat di Jawa akan mencapai lebih dari 7,5 juta m3
per tahun (rumus Von Mantel). Dengan demikian hutan rakyat akan menjadi
sumber bahan baku potensial bagi industri kehutanan.
Dalam kontribusi dengan pembangunan di daerah, hutan rakyat juga
rakyat yang berkontribusi terhadap kehidupan ekonomi petani; seperti : madu, minyak atsiri, rekreasi, dll.
Selain memberikan kontribusi secara ekonomi, hutan rakyat sebagaimana
hutan negara, juga mempunyai peran dan fungsi secara ekologi. Dalam kontribusi sebagai penyimpan karbon, hutan rakyat di Jawa menurut BPKH XI, di taksir terdapat sekitar 40.724.689,17 ton (BPKH Wilayah XI Jawa‐Madura, 2009), sehingga hutan rakyat juga berperan dalam memperlambat pemanasan global.
Sistem hutan rakyat juga memberikan ketahanan untuk survival dan bagian
dari sistem livelihood; hutan rakyat merupakan bentuk manifestasi kebutuhan
jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang terlihat dari sistem
wanatani dan ternak. Kebutuhan jangka pendek biasanya termanifestasi dalam
sistem tumpangsari tanaman semusim di lahan hutan rakyat (agroforestry),
sementara untuk jangka menengah biasanya di penuhi dari ternak dan hasil panen tanaman perkebunan seperti Kopi, Kapulaga, dan tanaman buah yang lain. Kayu merupakan tabungan dan investasi jangka panjang bagi petani, kayu hanya akan di tebang ketika ada kebutuhan mendesak yang tidak bisa di penuhi dari pendapatan yang lain.
Ketika sumber energi fosil mulai berkurang, hutan diharapkan mampu
menyediakan energi alternatif yang terbaharukan dan lestari. Terdapat berbagai macam jenis hasil hutan yang bisa di kembangkan untuk penyediaan energi hijau, misalnya buah nyamplung, kelapa, jarak maupun bentuk‐bentuk hasil hutan yang lain. Hutan rakyat di berbagai daerah; misalnya di Banten memiliki peran dan fungsi
dalam konservasi keaneka ragaman hayati dan sumber penyimpan genetik asli
(spesies endemik).
mineral. Bagi pengelola atau pemilik; hutan rakyat juga merupakan wujud jaminan sosial; petani sering menyebut bahwa kayu adalah tabungan bagi mereka. Selain itu hutan rakyat juga menjadi bagian dari budaya petani sehingga juga melatar
belakangi hubungan antar masyarakat; bagaimana mereka membangun kelompok;
bagaimana mereka belajar; dan juga pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan pengembangan dan pembangunan desa.
Berkaitan dengan dampak; hutan rakyat mampu menjadi penyedia bahan
baku industri sehingga daerah/ kota yang hidup dari industri kehutanan sampai saat
ini masih bisa bertahan; misalnya Jepara, Gersik, Probolinggo, Wonosobo,
Temanggung, Bantul, Cianjur, Tanggerang, dan Klaten, memiliki industri kayu berupa furniture dan plywood yang menggunakan bahan baku dari hutan rakyat. Mulai 5 tahun terakhir ini banyak para pengusaha industri plywood di Jawa Timur,
Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat gerakan membagikan jutaan bibit pohon
sengon kepada warga masyarakat di pedesaan untuk di tanam di lahan milik masing‐masing. Jika panen pohon sengon tiba, diharapkan para pengusaha plywood tersebut dapat membeli kayu‐kayu tersebut dari rakyat dengan harga pasar yang berlaku saat itu. Penelitian menunjukkan bahwa di lahan hutan rakyat Wonosobo pada umur 7 tahun volume per batang sengon rata‐rata adalah 0,25 m3 (Awang et al, 2002).
2.4.1. Peran Tanaman Sengon dan Usahatani Rakyat
Peningkatan luas penutupan lahan hutan rakyat selama 18 tahun (35,99%) di
Pulau Jawa pasti terkait dengan peranan jenis pohon cepat tumbuh antara lain seperti jenis sengon. Di banyak tempat di Jawa dan Madura tanaman sengon sudah dapat di panen pada usia 6‐8 tahun (daur). Mengapa rakyat senang menanam pohon sengon? Jawabannya dapat dilihat dari salah satu contoh analisis usahatani tanaman hutan rakyat sengon yang dilakukan oleh tim Pusat Kajian Hutan Rakyat Fakultas Kehutanan UGM (Awang et al, 2002).
Profil Pola Usaha Tani
Kalkulasi kuantitatif atas usahatani, baik dalam arti menetapkan input biaya
usahatani maupun dalam kaitan dengan pendapatan usahatani, tentu memerlukan
informasi awal tentang arena yang akan menjadi analisis. Seperti yang diuraikan pada bab terdahulu bahwa ada empat pola usahatani hutan rakyat yang menjadi basis analisis dalam buku ini. Bentuk dan susunan pola usahatani hutan rakyat
yang diusahakan petani menurut lokasi desa dan kelompok komoditinya dapat
diklasifikasikan menjadi 4 pola seperti yang diuraikan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Profil Komposisi dan pola Hutan Rakyat di Lokasi Peneltian
Desa/ Komposisi Pola I Pola II Pola III Pola IV
Desa Pacekelan
a. Jenis kayu
b. Jumlah sengon sampai akhir daur
c. Jenis perkebunan
d. Jenis buah
e. tanm. Semusim
Sengon, mahoni,suren 140 pohon/ ha
Kelapa, kopi - Ketela, pisang, cabe Sengon, mahoni
243 pohon / ha
Kopi, kelapa. Pete, jengkol, Durian, nangka, jambu . - Sengon
272 pohon / ha
Kopi, kelapa, cengkeh - - Sengon, suren, mahoni.
263 pohon / ha.
Kopi, kelapa, Cengkeh,kapulaga
Nangka, jengkol, durian, pete, mlinjo
-
Desa Jonggolsari
a. Jenis kayu
b. Jumlah sengon sampai akhir daur
c. Jenis perkebunan
d. Jenis buah
e. tanm. Semusim
Sengon, mahoni, suren
147 phn / ha
Kopi, kelapa - Ketela, pisang, cabe Sengon, mahoni
256 phn / ha
Kopi, kelapa Pete, jengkol, Durian, nangka, jambu Pisang, ketela Sengon
277 phn / ha
Kopi, kelapa, cengkeh - - Sengon, suren, mahoni
276 phn / ha
Kopi, kelapa, cengkeh, kapulaga.
Nangka, jengkol, durian, pete, mlinjo
Desa/ Komposisi Pola I Pola II Pola III Pola IV Desa Ngalian
a. Jenis kayu
b. Jumlah sengon sampai akhir daur
c. Jenis perkebunan
d. Jenis buah
e. tanm. Semusim
Sengon, mahoni suren
340 phn / ha
Kopi, kelapa - Ketela,pisang, cabe Sengon, mahoni
335 phn / ha
Kopi, kelapa Pete, jengkol, durian, nangka, jambu. Pisang, ketela Sengon,
633 phn / ha
Kopi, kelapa, cengkeh - - Sengon, suren, mahoni
471 phn / ha
Kopi, kelapa, cengkeh, kapulaga
Nangka, jengkol, durian, pete, mlinjo
-
Sumber: Pusat Kajian Hutan Rakyat UGM, 2001
Analisis Biaya Usahatani
Biaya usahatani adalah jumlah keseluruhan biaya input yang dipergunakan
untuk membiayai kegiatan usahatani, termasuk didalamnya pembangunan hutan
rakyat sengon. Keseluruhan biaya ini meliputi biaya langsung dan tidak langsung. Sesuai dengan sifatnya, biaya usahatani terdiri atas biaya investasi dan biaya operasional (operating cost). Lebih lanjut, biaya usahatani dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
• Biaya yang hanya sekali terjadi dan tidak akan terjadi lagi selamanya, misalnya
biaya pembuatan teras yang hanya dilakukan pada awal kegiatan usahatani. • Biaya yang hanya sekali terjadi dalam satu periode siklus (regulation). Biaya ini
akan muncul pada setiap siklus (daur) berikutnya. Contohnya adalah : biaya
penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tegakan pada tahun‐tahun yang
diperlukan.
• Biaya yang berulang terjadi pada setiap akhir masa (life time) suatu jenis faktor
• Biaya yang pasti terjadi sepanjang tahun. Dalam hal ini bisa juga disebut sebagai
biaya operasional atau biaya pengelolaan. Misalnya pajak tanah, biaya operasi dan pemeliharaan (operation and maintenance) peralatan.
Biaya investasi adalah seluruh pengeluaran untuk belanja input usahatani. Biaya investasi ini dipisahkan menjadi biaya investasi tetap dan investasi langsung. Biaya
Investasi tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh volume pekerjaan
lapangan (dalam hal ini volume pekerjaan penanaman). Biaya investasi tetap bisa terjadi hanya sekali (tidak terjadi lagi selamanya), misalnya biaya pembuatan teras,
serta dapat berulang menurut umur penggunannya pemakaiannya. Contoh biaya
investasi tetap yang berulang menurut umur pemakaiannya (life time) adalah biaya pengadaan peralatan.Biaya investasi langsung adalah biaya investasi yang besarnya
berhubungan dengan volume pekerjaan (tanaman), misalnya biaya penanaman,
pemupukan, penjarangan, dsb.
Total biaya usahatani (TBU) yang dianalisis dalam studi ini hanyalah merupakan
biaya pengusahaan hutan rakyat sengon. TBU yang ditemukan adalah merupakan
biaya total pada saat tegakan siap ditebang atau disebut sebagai stumpage cost (SC). Total biaya nominal masing‐masing kegiatan pola usahatani di lokasi sampel disajikan pada tabel 2.5 di bawah ini.
Tabel 2.5 Total Biaya (Nominal) Usaha Tani Sengon Selama Daur
No Desa Pola (Rp./ha/daur)
I II III IV
1 Pecekelan 5,502,964.21 4,185,217.36 5,780,475.00
3,165,831.75
2 Jonggolsari 8,114,056.97 3,475,999.75 8,002,971.17
5,659,650.25
3 Ngaliyan 6,799,428.65 4,112,127.81 2,586,023.89
7,278,576.19
Dari Tabel 2.5 tersebut dapat dilihat bahwa biaya pengusahaan hutan rakyat
sengon di desa Ngaliyan, Kecamatan Wadaslintang adalah relatif tinggi
dibandingkan dengan dua desa lainnya, kecuali pada pola III. Hal ini terjadi karena didesa Ngaliyan, pengusahaan hutan tanaman sengon baru pada tahap pra kondisi dan tahap awal pengusahaan. Oleh karena itu, pengusahaan hutan rakyat sengon pada lokasi ini memang memerlukan nilai input yang lebih tinggi dibanding dengan pola lainnya, karena adanya curahan tenaga kerja dan sarana produksi yang tinggi
sehubungan dengan adanya intensifikasi dan pemeliharaan tegakan pada tahap‐
tahap awal tersebut. Selain itu kondisi fisik di wilayah desa Ngaliyan ini berupa tanah yang marjinal sehingga untuk dapat memperoleh output yang relatif sama dengan wilayah lainnya, diperlukan nilai input yang relatif lebih tinggi. Khusus pada pola III, nilai inputnya relatif kecil dibandingkan dengan dua desa lainnya karena
pada pola ini jenis tanaman pencampurnya yaitu kopi, baru pada tahap
pengembangan dan uji coba. Tanaman pencampur yang utama dan telah lama
diusahakan adalah berupa kelapa deres, dimana sifat tanaman ini adalah tidak
banyak memerlukan input, sehingga hal ini berkorelasi positif dengan input
tanaman sengon yaitu nilai input yang rendah.
Pendapatan Usaha
Pendapatan usaha dinilai pada tempat dan bentuk produk (output) yang sama, berkesesuaian dengan biaya untuk menghasilkan output dimaksud. Dalam hal ini output dinilai di hutan pada saat tegakan sengon telah masak tebang. Nilai output tegakan sengon ini disebut stumpage sales price (SSP). Dalam studi ini, yang
dimaksudkan dengan pendapatan usaha tani hanyalah berupa nilai output kayu
sengon dari kegiatan usaha tani. Nilai pendapatan nominal usaha tani dari kayu sengon pada masing‐masing lokasi desa dan pola di atas disajikan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Pendapatan (Nominal) Usaha Tani Sengon
No Desa Pola (Rp./ha/daur)
I II III IV
1 Pecekelan 14,298,356.46 24,734,349.16 26,755,906.55 26,755,906.55
2 Jonggolsari 14,836,574.70 25,665,398.68 27,763,051.46 27,763,051.46
3 Ngaliyan 8,473,178.11 8,356,288.36 15,786,737.96 11,743,117.36
Dari Tabel 2.6 dapat dilihat bahwa pendapatan usaha di wilayah Ngaliyan adalah lebih rendah dibandingkan dengan dua wilayah lainnya yaitu Pecekelan dan Jonggolsari. Perbedaaan nilai pendapatan ini disebabkan oleh adanya penggunaan daur yang berbeda yaitu pada Desa Ngaliyan adalah 5 tahun, Desa Jonggolsari 10 tahun, dan Desa Pecekelan 8 tahun, sehingga perolehan sortimen atau komposisi kelas diameter di Desa Ngaliyan lebih kecil dibandingkan dengan dua wilayah lainnya. Untuk wilayah Desa Jonggolsari dan Pecekelan, nilai pendapatan usaha yang diperoleh adalah relatif sama, karena pada daur 8 atau 10 tahun diperoleh komposisi kelas diameter yang relatif sama.
Analisis Keuntungan
Analisis untuk mengetahui profitabilitas finansial disajikan cashflow yang
terpisah untuk masing‐masing lokasi dan pola. Kriteria evaluasi yang dipilih dalam analisis ini adalah berupa angka nilai sekarang netto (NPV) yakni keuntungan dalam nilai rupiah dengan memasukkan biaya oportunitas modal (bunga), rasio pendapatan biaya terdiskon (BC Ratio) yakni tingkat keuntungan relatip terhadap
biaya termasuk biaya bunga, serta prosentase keuntungan internal
Demikian juga halnya dengan tingkat keuntungan yang digunakan sebagai angka pembanding IRR yang ditemukan.
Cashflow untuk memperkirakan harapan NPV, BCR, dan IRR usaha secara
rinci disajikan dalam cashflow Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 12. Pada lampiran tersebut dapat ditemukan tingkat keuntungan proyek diukur dari kriteria yang digunakan, seperti bisa dilihat pada Tabel 2.7 s/d 2.9.
Tabel 2.7 Nilai NPV, BCR, dan IRR Usahatani Sengon di Desa Pecekelan
Pola NPV BCR IRR (%)
(Rp.) Riel Pasar
I 3,235,830.93 1.82 23.66 32.66
II 9,227,729.69 3.90 39.12 48.12
III 9,285,129.02 3.24 38.42 47.42
IV 11,020,001.60 5.58 49.86 58.86
Tabel 2.8 Nilai NPV, BCR, dan IRR Usahatani Sengon Di Desa Jonggolsari
Pola NPV BCR IRR (%)
(Rp.) Riel Pasar
I 204,469.53 1.03 9.53 18.53 II 8,305,651.78 4.23 34.54 43.54 III 6,006,697.34 2.05 21.48 30.48 IV 7,482,965.05 2.76 25.73 34.73
Tabel 2.9 Nilai NPV, BCR, dan IRR Usahatani Sengon di Desa Ngaliyan
Pola NPV BCR IRR (%)
(Rp.) Riel Pasar
I 7,026.73 1.0013 9.05 18.05 II 2,066,087.15 1.6140 30.81 39.81 III 8,117,649.36 4.7886 77.94 86.94 IV 1,500,112.50 1.2450 16.94 25.94
nya. Angka harapan IRR untuk proyek ini lebih besar dari nilai oportunitas kapital bagi proyek ini (9 % konstan atau 17 % per tahun). Berdasarkan hasil analisis ini,
dapat disimpulkan bahwa prospek finansial strategi pengelolaan hutan yang
diusulkan ini, menurut kriteria harapan keuntungan finansialnya adalah layak untuk diteruskan. Apabila dilakukan analisis biaya dan pendapatan nominal dari rencana
pembangunan hutan tanaman sengon (tidak memasukkan unsur biaya bunga
modal),