• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kultivasi dan Ekstraksi Mikroalga

Isolat mikroalga yang digunakan berasal dari perairan laut Batam, Pari, Ciater. Semuanya berjumlah 17 isolat. Isolat ini dipih karena diduga bahwa mikroalga ini memiliki senyawa aktif yang memiliki potensi untuk menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis. Senyawa aktif tersebut diduga berupa senyawa protein. Masing- masing isolat mikroalga diekstraksi dengan pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, dan etil asetat 80%. Keempat pelarut ini

adalah pelarut umum yang digunakan dalam bidang biokimia. Sifat dari pelarut metanol dan aseton adalah polar, sedangkan pelarut etil asetat bersifat semipolar. Untuk pelarut heksan bersifat nonpolar. Hasil ekstraksi dengan pelarut heksan 80% dan etil asetat 80% menghasilkan dua fase, yaitu fase polar dan nonpolar. Kedua fase tersebut dipisahkan sehingga keseluruhan isolat yang akan diuji berjumlah 101 isolat.

Semua isolat tersebut ditumbuhkan dalam media IMK. Mikroalga yang berasal dari laut Pari dan laut Batam menggunakan media IMK-Sea Water (IMK-SW) sebagai media

tumbuhnya, sedangkan mikroalga yang

berasal dari Ciater menggunakan media IMK- Ciater. Lamanya pengkulturan mikroalga bervariasi tergantung dari laju pertumbuhan

masing-masing mikroalga. Dalam

pengkulturan mikroalga, diukur juga nilai OD dan banyaknya biomassa (Lampiran 7). Rendemen dari biomassa mikroalga tidak dihitung karena ekstrak mikroalga yang diuji berupa larutan atau cairan.

Mikroalga tersebut dapat dipanen apabila kurva pertumbuhannya telah mencapai fase stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroalga sudah mencapai puncaknya. Dilihat dari kurva pertumbuhan

yang diperoleh, menunjukkan bahwa

mikroalga BTM 04 dan BTM 11 memiliki waktu yang lebih singkat untuk mencapai fase stasioner karena hanya membutuhkan waktu sampai dengan 42 hari, sedangkan untuk mikroalga PARI 5, CTR 06-01, CTR 06-02, CTR 06-04, dan CTR 07-01 memiliki waktu yang lebih panjang untuk mencapai fase stasioner karena membutuhkan waktu sampai dengan 134 hari.

Ekstrak mikroalga yang diuji aktivitivitas inhibisinya berjumlah 101 isolat. Semuanya diuji aktivitas inhibisi untuk mengetahui seberapa besar potensi yang dimiliki ekstrak mikroalga tersebut untuk menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis (Lampiran 8-Lampiran 16).

Ekspresi dan Pemurnian RNA Helikase Virus Japanese Encephalitis

Ekspresi RNA helikase virus japanese encephalitis dilakukan untuk mendapatkan RNA helikase virus japanese encephalitis yang dihasilkan oleh bakteri Esch➫➯ichia coli BL21 (DE3)pLysS sebagai inang dari hasil kloning gen NS3 JEV (Utama ➫➲ al➳ 2000).

Penambahan Isopropylβ➵ ➸➵

thiogalactopyranosid➫ (IPTG) bertujuan untuk menginduksi ekspresi enzim pada fase

10

logaritmik hingga fase stasioner ( Utama➺➻ al➼ 2000).

Setelah penginduksian ekspresi enzim dilakukan pengoleksian pelet. Pengoleksian pelet tersebut berguna untuk stabilitas penyimpanan bakteri Esch➺➽ichia coli yang telah diinduksi dan mengekspresikan gen NS3 helikase untuk pengujian selanjutnya.

Pemurnian RNA helikase virus japanese encephalitis dilakukan untuk mendapatkan RNA helikase virus japanese encephalitis yang murni dari hasil ekspresi gen NS3 helikase japanese encephalitis yang telah diklonkan dalam bakteri BL21(DE3)pLysS sehingga dapat digunakan dalam penentuan aktivitas inhibisi.

Hasil SDS PAGE menunjukkan pita tunggal pada elusi 2 yang menunjukkan bahwa pemurnian RNA helikase japanese encephalitis berhasil. Bobot molekul dari RNA helikase virus japanese encephalitis adalah 54 kDa. Berdasarkan data Rf yang diperoleh dari hasil elusi, didapatkan nilai Rf sampel yang sesuai dengan Rf standar yaitu sebesar 0,216. Hal ini berarti bahwa hasil yang diperoleh sesuai dengan literatur yang melaporkan bahwa bobot molekul RNA helikase virus japanese encephalitis memiliki bobot molekul 54 kDa (Utama➺➻ al➼ 2000). Tujuan menganalisis sampel dengan SDS PAGE adalah agar yakin bahwa enzim yang diperoleh dari hasil ekspresi dan purifikasi merupakan RNA helikase virus japanese encephalitis. Sampel yang dianalisis dengan

SDS PAGE terdiri dari innr volu➾ ➺

(supernatan hasil sentrifugasi dengan resin talon),washing 1 (supernatan hasil sentrifigasi dengan buffer B), elusi 1, elusi 2, elusi 3, resin, dan marker (Gambar 4).

Gambar 4 SDS PAGE RNA helikase

virus japanese encephalitis (IV:Inn➺➽ volu➾ ➺, W:Washing, E: Elusi, RE: Resin, M: Marker).

Proses purifikasi RNA helikase japanese encephalitis diawali dengan proses pemecahan sel yang terdiri atas dua metode yaitu

pencairbekuan dan sonikasi. Proses

pencairbekuan dalam pemurnian RNA

helikase japanese encephalitis bertujuan untuk

memecah sel bakteri Esch➺➽ichia coli

BL21(DE3)pLysS karena RNA helikase JEV bersifat intraseluler. Sonikasi merupakan tahapan selanjutnya dari proses pemecahan sel. Proses sentrifugasi yang dilakukan pada tahapan setelah pemecahan sel bertujuan memisahkan antara supernatan dengan sel debris dari hasil pemecahan sel. Supernatan

yang mengandung beberapa komponen

intraseluler dikoleksi sebagian untuk proses identifikasi dengan menggunakan SDS PAGE sehingga dapat dilihat hasil proses pemurnian RNA helikase japanese encephalitis.

Kromatografi afinitas metal amobilisasi merupakan tahapan purifikasi RNA helikase selanjutnya. Proses ini menggunakan resin TALON ➾➺➻al affinity yang secara spesifik dapat menangkap enzim yang memiliki His- tag. RNA helikase yang telah terekspresi dalam bakteri Eschricia coli BL21 ini memiliki karakteristik yaitu label 6xHis-tag sehingga dapat terikat secara spesifik oleh resin TALON ➾ ➺➻al affinity. Pengikatan residu His dilakukan oleh logam Co2+ yang terdapat dalam resin TALON. Penanda yang terdapat pada enzim RNA helikase yaitu ujung His dilakukan pada saat konstruksi gen NS3 yang akan disisipkan padaEcoli. Proses pengikatan resin terhadap RNA helikase japanese encephalitis menggunakan proses rotasi dan sentrifugasi sehingga pengikatan resin dengan enzim tersebut dapat diperoleh secara maksimal. Penambahan buffer B pH 8.5 (10 mM Tris-HCl buffer pH 8.5, 100 mM NaCl, 0.25% Tween 20) dilakukan untuk memisahkan antara enzim RNA helikase

dengan komponen intraseluler lainnya.

Pengoleksian sebagian kecil hasil pemisahan tersebut disimpan untuk identifikasi dengan menggunakan SDS PAGE.

Proses pemisahan tersebut dilakukan 2 kali untuk mendapatkan RNA helikase japanese encephalitis yang murni dari komponen intraseluler lainnya. Penambahan buffer elusi pH 8.5 (imidazol dalam buffer B) berfungsi sebagai eluen dalam proses elusi RNA helikase japanese encephalitis yang berikatan dengan resin. Imidazol yang merupakan komponen penyusun buffer tersebut berfungsi sebagai analog pengganti residu His enzim yang diikat oleh logam Co2+, sehingga resin tersebut akan memutus ikatannya dengan 50 kDa 75 kDa 100 kDa 150 kDa 250 k Da kkDa 54 kDa

11

enzim RNA helikse dan mengikat imidazol sebagai penggantinya.

Hasil pemisahan antara sel debris dan komponen intraseluler (supernatan), hasil pemisahan antara elusi, resin, dan RNA helikase virus japanese encephalitis hasil purifikasi (enzim) yang telah dikoleksi sebagian diidentifikasi dengan menggunakan SDS PAGE untuk melihat apakah enzim yang digunakan merupakan enzim RNA helikase virus japanese encephalitis yang murni. Inn➚ ➪ volu➶➚ adalah supernatan hasil sentrifugasi dengan pelet resin yang telah diputar dengan

rotator selama 3 jam. Washing adalah

supernatan hasil pencucian pelet resin dengan buffer B. Proses washing ini dilakukan sebanyak 2 kali.

Pengukuran Aktivitas Inhibisi Ekstrak Mikroalga terhadap RNA Helikase

Ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat CTR 07-09 sebesar 32.503% (Gambar 5). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga

tersebut memiliki kemampuan untuk

menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 32.503%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol negatif berupa pelarut metanol 80% (pelarut

ekstraksi). Penggunaan kontrol negatif

bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut

yang digunakan dalam mengekstrak

mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Dari hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80%

memiliki potensi yang rendah dalam

menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis. Pelarut metanol yang digunakan dalam proses ekstraksi mikroalga tidak diuapkan terlebih dahulu.

Nilai aktivitas yang rendah dari ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80% disebabkan karena sifat dari pelarut metanol adalah polarprotic. Pelarut polarprotic adalah pelarut yang menunjukkan ikatan hidrogen. Dengan adanya ikatan hidrogen tersebut, maka konformasi struktur kimianya menjadi lebih kuat. Selain itu titik didih dari metanol sebesar 650C. Hal ini turut berperan dalam mengekstrak senyawa dari mikroalga karena

pada saat proses ekstraksi mikroalga

dilakukan evaporasi terhadap pelarut dengan memperhatikan titik didihnya dan bertujuan agar didapatkan ekstrak yang bebas dari campuran pelarut dan agar ekstrak tersebut

tahan lama penyimpanan karena memiliki kadar air yang rendah.

-20 -10 0 10 20 30 40 C T R 0 6 -0 1 C T R 0 6 -0 2 C T R 0 6 -0 4 C T R 0 6 -0 7 C T R 0 6 -0 8 C T R 0 6 -1 1 C T R 0 7 -0 1 C T R 0 7 -0 5 C T R 0 7 -0 7 C T R 0 7 -0 8 C T R 0 7 -0 9 C T R 0 7 -1 0 C T R 0 7 -1 2 B T M 0 3 B T M 0 4 B T M 1 1 N il a i in h ib is i (% ) Ekstrakmikroalga

Gambar 5 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis (CTR: Ciater, BTM: Batam).

Ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat BTM 11 sebesar 11.513% (Gambar 6). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga

tersebut memiliki kemampuan untuk

menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 11.513%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol

negatif berupa pelarut aseton 80%.

Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan dalam mengekstrak mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80% memiliki potensi yang sangat rendah dalam menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis.

Nilai aktivitas yang sangat rendah dari ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80% disebabkan karena sifat dari pelarut aseton adalah polar aprotic. Pelarut polar aprotic adalah pelarut yang tidak menunjukkan ikatan hidrogen. Tidak adanya ikatan hidrogen tersebut, maka konformasi struktur kimianya menjadi tidak kuat. Selain itu titik didih dari aseton sebesar 560C. Hal ini turut berperan dalam mengekstrak senyawa dari mikroalga karena pada saat proses ekstraksi mikroalga dilakukan evaporasi terhadap pelarut dengan memperhatikan titik didihnya dan bertujuan agar didapatkan ekstrak yang bebas dari campuran pelarut dan agar ekstrak tersebut tahan lama penyimpanan karena memiliki kadar air yang rendah.

12 -30 -20 -10 0 10 20 N il a i in h ib is i (% ) Ekstrakmikroalga

Gambar 6 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis (CTR: Ciater, BTM: Batam).

Ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat CTR 06-02 sebesar 83.117% (Gambar 7). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga

tersebut memiliki kemampuan untuk

menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 83.117%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol

negatif berupa pelarut heksan 80%.

Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan dalam mengekstrak mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80% memiliki potensi yang tinggi dalam menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis.

Nilai aktivitas yang tinggi dari ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80% disebabkan karena sifat dari pelarut heksan adalah nonpolar. Pelarut nonpolar adalah pelarut yang tidak dapat bercampur dengan air

(hidrofobik). Pelarut ini tidak dapat

bercampur dengan pelarut lain yang sifatnya polar. Titik didih dari heksan sebesar 690C. Hal ini turut berperan dalam mengekstrak senyawa dari mikroalga karena pada saat

proses ekstraksi mikroalga dilakukan

evaporasi terhadap pelarut dengan

memperhatikan titik didihnya dan bertujuan agar didapatkan ekstrak yang bebas dari campuran pelarut dan agar ekstrak tersebut tahan lama penyimpanan karena memiliki kadar air yang rendah.

-20 0 20 40 60 80 100 C T R 0 7- 0 1 B T M 1 1 C T R 0 6- 0 1 C T R 0 6- 0 4 C T R 0 6- 0 7 C T R 0 6- 1 1 C T R 0 7- 0 5 C T R 0 7- 0 7 C T R 0 7- 0 9 C T R 0 7- 1 2 B T M 0 4 P A R I 5 N il a i in h ib is i (% ) Ekstrak mikroalga

Gambar 7 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis (CTR: Ciater, BTM: Batam).

Ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat CTR 07-09 sebesar 97.193% (Gambar 8). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga tersebut memiliki kemampuan untuk menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 97.193%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol negatif berupa pelarut etil asetat 80%. Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan dalam mengekstrak mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80% memiliki potensi yang sangat tinggi dalam menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis.

Nilai aktivitas yang sangat tinggi dari ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80% disebabkan karena sifat dari pelarut etil asetat adalah semipolar. Pelarut semipolar adalah pelarut yang dapat melarutkan air hingga 3% dan larut dalam air hingga kelarutan 8%. Kelarutannya akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Titik didih dari etil asetat sebesar 770C. Hal ini turut berperan dalam mengekstrak senyawa dari mikroalga karena pada saat proses ekstraksi mikroalga dilakukan evaporasi terhadap pelarut dengan memperhatikan titik didihnya dan bertujuan agar didapatkan ekstrak yang bebas dari campuran pelarut dan agar ekstrak tersebut tahan lama penyimpanan karena memiliki kadar air yang rendah.

13 -20 0 20 40 60 80 100 120 C T R 0 6- 1 1 C T R 0 7- 0 7 C T R 0 6- 0 1 C T R 0 7- 1 2 C T R 0 6- 0 8 C T R 0 7- 0 5 C T R 0 7- 0 9 B T M 0 3 B T M 1 1 C T R 0 6- 0 8 C T R 0 7- 1 0 P A R I 5 N il a i in h ib is i (% ) Ekstrak mikroalga

Gambar 8 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis

(CTR: Ciater, BTM: Batam). Metode kolorimetri ATPase assay yang digunakan dalam penelitian ini disebabkan karena metode ini yang paling mudah karena ATP bersifat lebih stabil. Selain itu, ATP dalam proses RNA helikase berfungsi sebagai donor energi yang akan digunakan untuk proses replikasi virus. Oleh karena itu harus dihambat ATPnya.

Sebanyak 17 isolat mikroalga masing- masing diekstraksi dengan pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, dan etil asetat 80%. Hasilnya adalah pada mikroalga yang diekstrak dengan pelarut heksan 80% dan etil asetat 80% terbentuk dua fase, yaitu fase polar dan nonpolar. Kedua fase tersebut dipisahkan dan diuji aktivitas inhibisinya. Jumlah total ekstrak mikroalga yang akan diuji aktivitas inhibisinya menggunakan uji kolorimetri ATPase sebanyak 101 sampel. Sampel ekstrak mikroalga yang berpelarut heksan 80% dan etil asetat 80% sebelum diuji ATPase, terlebih dahulu diuapkan kemudian ditambahkan dengan pelarut metanol 80% atau metanol 100%. Hal ini disebabkan karena pelarut heksan dan etil asetat tidak dapat bercampur dengan master mix yang berisi air.

Uji ATPase merupakan metode yang digunakan untuk menghitung pelepasan fosfat inorganik yang berasal dari ATP dengan bantuan enzim ATPase. Uji ini dinamakan kolorimetri ATPase assay karena uji ini digunakan untuk beberapa enzim yang

bergantung pada keberadaan ATP/NTP

sebagai donor energi untuk aktivitas enzim tersebut (Utama➹ ➘ al➴ 2000).

Uji ini dapat dijadikan metode untuk mengukur nilai inhibisi RNA helikase virus

japanese encephalitis karena RNA helikase japanese encephalitis membutuhkan substrat berupa ATP (adenosin trifosfat) untuk membuka untaian ganda pada RNA yang

merupakan material genetik dari virus

japanese encephalitis. Larutan campuran

utama (master mix) yang terdapat dalam pengujian kolorimetri ATPase assay berguna sebagai blanko. Keberadaan MOPS (Asam 4- morfolinopropana sulfonat) adalah sebagai

buffer dalam campuran utama. Mg2+ dan

Mn2+ diperlukan sebagai kofaktor RNA

helikase sehingga MgCl2 berfungsi sebagai donor kofaktor dalam campuran utama (Utama➹➘ al. 2000).

Reaksi RNA helikase dengan ATP akan menghasilkan ADP (adenosin difosfat) dan fosfat bebas. Fosfat bebas akan membentuk kompleks warna dengan pereaksi warna dari kolorimetri ATPase assay yang terdiri dari akuades, hijau malakit, polivinil alkohol, dan amonium molibdat. Warna yang dihasilkan berkorelasi dengan jumlah fosfat bebas yang dihasilkan dari reaksi RNA helikase dengan ATP. Semakin hijau warna campuran reaksi, maka semakin besar aktivitas RNA helikase bekerja. Mikroalga yang berfungsi sebagai inhibitor akan menghambat reaksi tersebut.

Kolorimetri ATPase assay juga dapat mengukur konsentrasi dengan menghitung serapan panjang gelombang dari campuran reaksi dengan RNA helikase dan ekstrak

mikroalga. Panjang gelombang yang

digunakan ada dua macam yaitu 620 nm dan 405 nm. Kedua panjang gelombang itu digunakan agar perhitungan reaksi RNA

helikase dengan substratnya akurat.

Konsentrasi ATP yang berubah karena adanya

inhibitor dapat dihitung dengan

membandingkan serapan panjang gelombang RNA helikase.

Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui

kolorimetri ATPase assay menunjukkan

bahwa esktrak mikroalga CTR 07-09 dengan pelarut etil asetat 80% yang diuapkan lalu ditambahkan dengan metanol 100% memiliki nilai inhibisi tertinggi terhadap RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 97.193%. Pengujian aktivitas inhibisi terhadap sampel

ekstrak mikroalga dilakukan secara

berkelompok berdasarkan pelarutnya.

Tujuannya adalah untuk menghitung berapa besar nilai pelarut yang digunakan untuk mengekstrak mikroalga (kontrol negatif). Kontrol negatif juga diukur agar kita yakin bahwa nilai inhibisi yang diperoleh adalah murni dari hasil sampel ekstrak mikroalga tanpa adanya pengaruh dari pelarut yang

14

mengekstraknya (metanol, aseton, heksan, dan etil asetat). Kontrol positif tidak digunakan dalam penelitian ini karena sampai saat ini belum ada obat yang secara efektif dapat mengobati penyakit akibat infeksi virus japanese encephalitis. Adanya vaksin dalam mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus japanese encephalitis masih kurang efektif dalam menghambat replikasi

dari virus tersebut. Akibatnya setelah

pengobatan dengan vaksin tersebut, penderita masih mengalami sakit atau gejala yang yang menyisakan. Hal ini disebabkan vaksin yang telah ada saat ini tidak menghambat kerja

replikasi virus japanese encephalitis.

melainkan hanya menghilangkan rasa sakit sementara sehingga infeksi dari virus tersebut masih berlangsung.

Perbedaan nilai aktivitas inhibisi yang ditunjukkan oleh beberapa ekstrak mikroalga dimungkinkan karena sifat dari pelarut yang digunakan untuk mengekstrak mikroalga berbeda-beda. Senyawa kimia yang dimiliki ekstrak mikroalga tersebut juga berbeda-beda

tergantung dari pelarutnya, tetapi

kemungkinan secara umum yang dapat menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis adalah senyawa berupa protein.

Potensi mikroalga sebagai antivirus lain selain virus japanese encephalitis cukup

banyak dilakukan, antara lain untuk

pengobatan virus herpes simplex, retrovirus, dan enterovirus. Mikroalga yang digunakan untuk pengobatan virus herpes simplex adalah mikroalga jenis ➷unali➬ ➮la priol➬ ✃ ❐a, sedangkan untuk retrovirus adalah jenis Porphyridiu➱ sp., dan untuk enterovirus adalah jenis ❒pirulina plantsis. Pengobatan

antivirus ini tergantung dari senyawa

metabolit sekunder yang terkandung dari masing-masing jenis mikroalga serta pelarut yang mengekstraknya.

Uji Toksisitas Brine Shrimp Lethality Test

(BSLT)

Ekstrak mikroalga yang diuji toksisitasnya adalah yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap RNA helikase JEV yang paling tinggi. Ekstrak mikroalga yang diambil sebanyak 5 isolat, diantaranya CTR 07-09 dengan pelarut etil asetat 80% (97.193%), CTR 07-01 dengan pelarut etil asetat 80% (95.166%), CTR 07-10 dengan pelarut etil asetat 80% (95.617%), CTR 07-07 dengan pelarut etil asetat 80% (94.230%), dan CTR 06-08 dengan pelarut etil asetat 80% (94.544%) (Tabel 1).

Tabel 1 Nilai LC50 ekstrak mikroalga Ekstrak mikroalga LC50 (ppm) Kategori CTR 07-09 297166,603 Tidak toksik CTR 07-01 845,279 Toksik CTR 07-10 6870,684 Tidak toksik CTR 07-07 91,833 Toksik CTR 06-08 3334,264 Tidak toksik Hasil dari nilai LC50 selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 17. Uji BSLT

merupakan uji pendahuluan untuk mengetahui seberapa tingkat toksik suatu senyawa yang masuk ke dalam tubuh makhluk hidup. Uji ini hanya terbatas pada tingkat konsentrasi sehingga apabila akan diterapkan pada manusia juga harus dilihat pengaruh dosis dari suatu senyawa tersebut. Uji ini dilakukan untuk mendukung hasil uji ATPase pada ekstrak mikroalga yang mempunyai potensi (aktivitas inhibisi paling besar). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah uji toksisitas menggunakanArt➬ ➱ia salina Leach. Uji ini merupakan metode yang paling sederhana dalam menentukan sifat toksisitas sebagai indikator biologi yang berguna

kaitannya dalam aktivitas biologi

(bioaktivitas).

Uji toksisitas diperoleh dari konsentrasi ekstrak mikroalga yang dapat menyebabkan kematian sebesar 50%A salina Leach (LC50). Hal ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara nilai inhibisi dengan nilai toksisitas. Besarnya nilai inhibisi berbeda dengan besarnya nilai LC50. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan senyawa bioaktif yang terkandung dalam masing-masing ekstrak mikroalga sehingga mengakibatkan perbedaan tingkat toksisitasnya.

Hasil analisis uji BSLT terhadap ekstrak mikroalga memperlihatkan semakin tinggi konsentrasi yang diujikan, maka cenderung semakin banyak Asalina yang mati. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1987) bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka sifat toksiknya akan semakin tinggi.

Derajat/kategori toksisitas dapat dibedakan menjadi sangat toksik (LC50 < 30 µg/mL), toksik (LC5030-1000 μg/mL) dan tidak toksik (LC50 > 1000 μg/mL) (Meyer ➬❐ al❮ 1982).

Perhitungan nilai LC50 diperoleh dari

perhitungan persentase mortalitas, kemudian dibuat grafik regresi kematian A salina

15

diperoleh persamaan garis dan nilai koefisien determinasinya. Nilai variabel x dimasukkan sebesar 50 ke dalam persamaan garis y. Hasil dari y diantilogkan sehingga diperoleh nilai LC50 yang mencerminkan kategori ekstrak tersebut toksik atau tidak toksik berdasarkan kategori toksisitas menurut Meyer ❰ Ï alÐ (1982).

Nilai LC50 yang diperoleh merupakan uji pendahuluan untuk melihat tingkat toksisitas dari ekstrak mikroalga yang diteliti. Untuk dijadikan suatu obat yang dapat mengobati

penyakit akibat infeksi virus japanese

encephalitis masih harus dilihat nilai LD50 dan LT50. LD50 adalah letal dosis, sedangkan LT50 adalah letal tiÑ❰ (waktu paruh). Selain itu, perlu dilakukan uji farmakologis lainnya untuk memastikan produk yang berasal dari ekstrak mikroalga ini aman untuk dikonsumsi dan kandungan manfaatnya tidak hilang atau berkurang.

Berdasarkan hasil uji aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga terhadap RNA helikase

virus japanese encephalitis dan uji

toksisitasnya dapat dikatakan bahwa ekstrak mikroalga CTR 07-09 berpotensi sebagai obat untuk mengobati infeksi penyakit virus japanese encephalitis karena ekstrak tersebut memiliki aktivitas inhibisi paling tinggi sebesar 97.193% dan bersifat tidak toksik. Dalam penelitian ini uji aktivitas inhibisi

terhadap RNA helikase virus japanese

encephalitis dilakukan secarain vitro, apabila ingin digunakan untuk produk obat, maka perlu dilakukan uji secarain vivo.

Dokumen terkait