• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas ekstrak mikroalga sebagai Inhibitor RNA helikase virus japanese encephalitis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas ekstrak mikroalga sebagai Inhibitor RNA helikase virus japanese encephalitis"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

MARCEL DAMIANUS. Aktivitas Ekstrak Mikroalga sebagai Inhibitor RNA

Helikase Virus Japanese Encephalitis. Dibimbing oleh SYAMSUL FALAH dan

DWI SUSILANINGSIH.

Virus japanese encephalitis merupakan agen penyebab penyakit radang saraf

pusat yang parah. Terapi target seluler merupakan salah satu cara penanggulangan

penyakit virus japanese encephalitis yang sedang dikembangkan. Ekstrak

mikroalga diduga memiliki kemampuan untuk menghambat virus japanese

encephalitis melalui mekanisme penghambatan NS3 helikase. Isolat mikroalga

yang digunakan berasal dari perairan Batam, Pari, dan Ciater. Masing-masing

isolat diekstraksi dengan 4 pelarut (metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, dan

etil asetat 80%) sehingga dihasilkan 101 isolat. Metode yang digunakan untuk

mengukur nilai inhibisi adalah kolorimetri ATPase

assay

, sedangkan uji toksisitas

dilakukan dengan metode

Brine Shrimp Lethality Test

. Hasil analisis

menunjukkan bahwa terdapat 5 ekstrak mikroalga yang memiliki aktivitas inhibisi

tertinggi yaitu CTR 07-09 etil asetat 80% (97,19331%), CTR 07-10 etil asetat

80% (95,61652%), CTR 07-01 etil asetat 80% (95,1661%), CTR 06-08 etil asetat

80% (94,54431%), dan CTR 07-07 etil asetat 80% (94,22955%). Kelima ekstrak

mikroalga tersebut kemudian diuji toksisitasnya untuk menghitung nilai LC

50

.

(2)

1

PENDAHULUAN

Penyakit Japanese encephalitis (JE)

merupakan salah satu penyakit infeksi yang serius karena menyebabkan infeksi akut sistem saraf pusat. Sekitar 30% dari pasien yang sembuh masih mengalami kelumpuhan, kerusakan otak, dan penyakit serius lainnya. Penelitian vaksin telah dikembangkan sejak tahun 1960, tetapi belum ditemukan obat yang

efektif untuk penanganan penyakit ini.

Penularan penyakit ini melalui perantara nyamuk ulex tritaeniorinchus dan daerah

penyebarannya di Asia terutama Asia

Tenggara. Daerah di Indonesia yang termasuk

endemik yaitu Kalimantan, Bali, Nusa

Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Lombok. WHO mencatat di seluruh dunia terdapat sekitar 50.000 orang terinfeksi Japanese encephalitis virus (JEV) (Spicer 2006).

Virus japanese encephalitis termasuk

dalam genus flavivirus. Terapi untuk

menangani infeksi flavivirus hanya terbatas pada vaksin dan belum dapat mengobati penyakit secara efektif. Vaksin yang tersedia untuk manusia hanya dari tiga jenis flavivirus yaitu Yellow Fever Virus (YFV), JEV, dan Tick-Borne Encephalitis Virus (TBEV) (Ray & Shi 2006). Peneliti kesehatan berusaha untuk mengembangkan dan mendapatkan vaksin senyawa antivirus untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi flavivirus secara lebih efektif.

Beberapa upaya telah dilakukan untuk menemukan obat penyakit yang disebabkan oleh flavivirus, diantaranya yaitu pencarian inhibitor enzim yang esensial pada replikasi virus tersebut, seperti enzim protease, helikase, dan polimerase (Borowski et al

2001). Kebutuhan yang mendesak untuk menemukan inhibitor yang selektif dan sangat spesifik bagi replikasi flavivirus (Paeshuyseet a

l

✁ 2006).

Banyak pendekatan telah dilakukan untuk mendapatkan senyawa kemoterapi antivirus diantaranya adalah dengan mendesain struktur kristal tiga dimensi dari protein-protein viral atau struktur sekunder/tersier dari genom RNA viral, menapis sejumlah besar senyawa yang berpotensi sebagai agen antivirus, menguji larutan inhibitor yang telah dikenal dari virus lain, memodifikasi secara kimiawi inhibitor virus supaya fungsinya lebih optimal, dan imunoglobulin intravenus (Ray & Shi 2006). Pencarian inhibitor enzim RNA helikase merupakan salah satu teknik untuk mengembangkan pengobatan terhadap virus

tersebut sehingga menjadi salah satu target penemuan obat antivirus.

Terapi yang waktu ini sedang berkembang adalah terapi berdasarkan target seluler/

molekular. Salah satu yang sedang

dikembangkan adalah terapi inhibitor NS3 helikase yang berperan penting dalam siklus hidup virus. NS3 helikase merupakan salah satu target dalam terapi berdasarkan target molekular selain NS2 dan NS3 protease, NS5B RNA dependent polymerase , ribozim, dan oligonukleotida antisense.

Studi sebelumnya menjelaskan bahwa gen helikase dari JEV telah berhasil dikloning ke

dalam plasmid pET-21b (komponen

pembangunnya yaitu pET-21b/HCV NS3 hel dan pET-21b/JEV NS3 hel). Enzim ini dapat diekpresikan pada ✂✁ coli BL21(DE3)pLysS

dengan induksi ✄sopropyl β -D

th

iogalactopyranoside (IPTG) (Utama et al

2000; Hatsu et al 2002). Enzim murni

helikase dapat diperoleh melalui purifikasi dari biakan ✂✁ coli BL21(DE3)pLysS dengan menggunakan kromatografi afinitas. Enzim akan digunakan sebagai substrat pencarian senyawa inhibitor terhadap enzim tersebut.

Kinerja dari RNA helikase dapat dihambat oleh suatu inhibitor yang dapat diperoleh dari senyawa kimia, ekstrak tanaman, dan hasil metabolit sekunder organisme tertentu yang dihasilkan secara alami, misalnya dari mikroalga. Mikroalga merupakan fitoplankton yang hidup di air tawar maupun air laut. Kandungan senyawa kimianya yang lengkap selama ini sudah banyak dimanfaatkan sebagai antibakteri, pengurangan akumulasi

(antifouling ), kosmetik, pewarna makanan

alami, antivirus, dan bahan bakar nabati.

Beberapa penelitian mikroalga sebagai

antivirus yang telah dilakukan adalah antivirus terhadap virus herpes simpleks (HSV) yang diperoleh dari Dunaliella primolecta , anti enterovirus dari isolat☎pirulina plantesis , dan anti retrovirus dari ✆horphyridium sp. (Borowitzka & Lesley 1988).

Tujuan dari penelitian ini adalah menguji aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga terhadap

enzim RNA helikase virus japanese

encephalitis. Hasil pengujian ekstrak

(3)

2

ekstrak mikroalga sebagai inhibitor RNA helikase virus japanese encephalitis dan mengetahui tingkat toksisitasnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Japanese Encephalitis Virus (JEV)

✝ ✞panese encephalitis virus (JEV) adalah

suatu virus yang dibungkus oleh protein

en

velope (E) yang memiliki satu atau dua sisi

aktif yang terglikosilasi (Chambers et al✟ 1991). Glikosilasi pada protein E sangat penting untuk konformasi alami dari epitop protein tersebut (Lad et al 2000). Virus ini

memiliki diameter sekitar 50 nm, dan termasuk dalam famili Flaviviridae. Virus ini merupakan virus RNA positif, dengan genom RNA utas tunggal dan panjang sekitar 11 kb. Genom RNA tersebut ditranslasikan ke dalam

prekursor poliprotein tunggal yang

selanjutnya diproses untuk menghasilkan tiga protein struktural C (capsid ), M (matrix ), dan

E (envelope ) yang membentuk viral kapsid

dan glikoprotein, serta tujuh protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5) yang bertanggung jawab dalam replikasi viral genomnya. Poliprotein tersebut tersusun sebagai berikut: NH2-C- PrM-E-NS1-NS2A-NS2B-NS3-NS4A-NS4B-NS5-COOH. Pembungkus intinya berdiameter sekitar 30 nm terdiri atas kapsid dan genom RNA yang dikelilingi oleh suatu lipida lapis ganda tempat pembungkus viral dan protein membran terikat (Gambar 1) (Borowskiet al

2001).

Virus japanese encephalitis termasuk famili virus Flaviviridae. Famili Flaviviridae terdiri atas tiga genus, yaitu genus flavivirus, pestivirus, dan hepacivirus. Genus flavivirus terdiri atas lebih dari 70 jenis virus yang pada umumnya ditularkan melalui perantaraan nyamuk atau arthropoda. Genus flavivirus diantaranya adalah virus demam berdarah (DENV), Japanese Encephalitis Virus (JEV),

Tick-Borne encephalitis virus (TBEV),

Yellow Fever Virus (YFV), West Nile Virus (WNV), Murray Valley Encephalitis Virus (MVEV), dan St. Louis Encephalitis Virus (SLEV).

Gambar 1 Struktur virus japanese

encephalitis (Miller 2003).

Flavivirus merupakan patogen yang sangat penting dan bertanggungjawab terhadap banyak penyakit pada manusia dan hewan, dan menyebabkan banyak kematian (Ray & Shi 2006).

Infeksi flavivirus YFV dan DENV dapat menyebabkan demam berdarah dan ensefalitis serta kerusakan saraf otak (pada JEV, TBEV, WNV, SLEV, dan MVEV). Pada umumnya flavivirus yang paling mematikan yaitu JEV, YFV, TBEV, dan DENV yang memiliki tingkat mortalitas antara 5-30% (Ray & Shi 2006).

Protein-protein non struktural dalam

genom virus berperan dalam proses replikasi virus. NS1 yang berinteraksi dengan NS4A dibutuhkan untuk replikasi RNA (Lindenbach & Rice 1997; Lindenbach & Rice 1999). NS2A yang bersifat hidrofobik berfungsi dalam perakitan virion dan pelepasan partikel virus yang infeksius. NS2B membentuk suatu kompleks dengan NS3 dan diperlukan sebagai kofaktor bagi fungsi serin protease dari NS3 (Chamberset al✟ 1991; Chamberset al ✟ 1993; Falgout et al 1993). Fungsi dari membran

yang berasosiasi antara NS4A dan NS4B sampai saat ini belum diketahui. NS5 berperan

dalam aktivitas RNA-dependent RNA

polymerase (RdRp) dan metiltransferase. NS3

adalah suatu protein multifungsi yang

berperan dalam aktivitas enzimatik dari serin protease dengan adanya NS2B, nukleotida trifosfatase (NTPase), dan RNA helikase (Bartelma et al 2002; Borowskiet al 2001; Li et al 1999). Serin protease, NTPase, dan

RNA helikase merupakan enzim yang sangat penting karena berperan dalam proses replikasi virus (Levin & Patel 1999; Borowski

et al 2003).

✝ ✞panese ncephalitis Virus (JEV) adalah

penyakit epidemik ensefalitis yang disebabkan oleh virus yang paling banyak terjadi di dunia, sebanyak 50.000 kasus dengan 15.000 orang meninggal per tahunnya. Galur JEV prototipe Nakayama pertama kali diisolasi pada tahun 1935. Kasus epidemis dan sporadis dari JEV banyak terjadi di daerah yang mempunyai empat iklim dan di daerah tropis di Asia, diantaranya Kamboja, China, Indonesia, India, Jepang, Malaysia, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Vietnam, bagian tenggara Rusia, dan Australia (Hannaet al 1996). JEV

(4)

3

mortalitas antara 20-30% (Borowski et al

2001).

RNA Helikase

Enzim helikase adalah enzim yang terlibat dalam hampir semua aspek metabolisme DNA dan RNA. Pengetahuan mekanisme kerja dari enzim-enzim telah mengalami kemajuan,

tetapi adanya resolusi yang terbatas

menyebabkan mekanisme rinci seperti

penataan ulang struktur asam nukleat hingga pengikatan dan hidrolisis ATP yang dilakukan pasangan enzim helikase ini tidak dapat diketahui (Dumontet al 2006). Fungsi enzim

helikase adalah untuk membuka utas ganda DNA atau RNA menjadi untai tunggal, dan bergerak sepanjang untai nukleotida pada arah 3’ menuju 5’ (Gambar 2). Seluruh helikase virus memiliki aktivitas NTP/ATPase yang tergantung pada keberadaan NTP dan kation divalen berupa Mg2+. Produk hidrolisis NTP pada setiap pengkajian helikase adalah NDP/ADP dan Pi (Fanet al✡ 2008).

Enzim helikase diperlukan untuk proses replikasi genom organisme tersebut. Enzim helikase dapat dibagi menjadi DNA helikase dan RNA helikase, sesuai dengan genom yang dimiliki organisme tersebut. JEV yang merupakan virus RNA memiliki RNA helikase. Helikase bekerja secara katalitik memisahkan untai ganda DNA atau RNA menggunakan energi yang dihasilkan dari hidrolisis nukleosida trifosfat dan merupakan target pencarian obat karena dibutuhkan dalam replikasi virus. (Utamaet al 2000).

Gambar 2 Mekanisme kerja enzim RNA helikase (Utamaet al✡ 2000).

Aktivitas NTP/ATP helikase secara umum distimulasikan oleh keberadaan asam nukleat untai tunggal. Hal ini memungkinkan enzim berikatan dengan untai RNA dengan energi yang dihasilkan dari hidrolisis ATP untuk memisahkan ikatan hidrogen pasangan basa dari struktur dupleks (Utamaet al 2000).

Ikatan asam nukleat dapat menginduksi konformasi protein yang terkarakterisasi dengan pengembangan situs aktif dari domain

NTP/ATPase dari NTP/ATP. Aktivitas

NTP/ATPase tidak dapat distimulasi pada kadar garam tinggi. Hal ini disebabkan kondisi kekuatan ionik kuat asam nukleat tidak dapat terikat dengan enzim dan enzim membentuk konformasi untuk pelepasan untaian. Mekanisme kerja enzim RNA atau DNA helikase adalah pertama-tama helikase akan mengikat untai RNA atau DNA utas ganda pada ujung 3’, selanjunya ATP akan berikatan pada suatu sisi aktif dari RNA atau DNA helikase tersebut. Gugus ATP akan dihidrolisis oleh enzim RNA atau DNA helikase menjadi ADP dan fosfat inorganik. Proses hidrolisis ini akan terlepas energi yang kemudian digunakan oleh enzim RNA atau DNA helikase untuk menguraikan utas ganda RNA atau DNA menjadi utas tunggal RNA atau DNA (Utamaet al 2000).

Enzim helikase dapat mengurai RNA atau DNA utas ganda melalui pemutusan ikatan hidrogen yang mengikat kedua utas tersebut. Reaksi ini berhubungan dengan hidrolisis ATP, dimana energi yang dilepaskan selama hidrolisis ATP dibutuhkan dalam proses penguraian RNA atau DNA (Shuman 1992; Wagneret al 1998).

Enzim helikase juga dapat berperan dalam fungsi selular lainnya seperti membantu

proses translasi, mengkoordinasi

pembentukan poliprotein, memutus interaksi RNA-protein, serta menyusun RNA di dalam pembungkus viral (Lam & Frick 2006). Enzim helikase juga memiliki aktivitas ikatan RNA

(R☛☞ binding ) dan ATPase (R☛☞-stimulated

Tase ), dan kedua aktivitas ini berpengaruh terhadap aktivitas RNA helikase. Enzim ini menjadi target yang potensial untuk penemuan obat antivirus karena penemuan inhibitor RNA helikase dapat dilakukan dengan penemuan inhibitor terhadap aktivitas

R☛☞ binding atau ATPase (Utama et al

(5)

4

Mikroalga

Mikroalga adalah mikroorganisme

fotosintetik dengan morfologi sel yang

bervariasi, baik uniseluler maupun

multiseluler (membentuk koloni kecil).

Sebagian besar mikroalga tumbuh secara fototrofik, meskipun tidak sedikit jenis yang mampu tumbuh secara heterotrofik. Ganggang hijau-biru prokariotik (✍yanobacteria ) juga termasuk dalam kelompok mikroalga (Becker 1994). Mikroalga sudah hidup sejak 3.6 juta tahun lalu dalam siklus fotosintesis alamiah. Mikroalga banyak ditemukan pada perairan darat maupun laut, ukuran diameter antara 3-30 μm, tanpa akar, batang, dan daun. Biasanya ditemukan hidup secara individual ataupun berkelompok. Mikroalga bergerak secara pasif dengan mengikuti arus air. Morfologi selnya sangat bervariasi, baik bersel tunggal maupun

bersel banyak, Mikroalga juga memiliki

bentuk yang bervariasi seperti filamen atau lembaran, spiral, dan bulat (Borowitzka & Lesley 1988).

Mikroalga terbagi menjadi 11 kelompok,

yaitu Cyanophyta (alga hijau-biru),

Prochlorophyta (bright -green algae ), Glaucophyta (alga air tawar mikroskopis), Rhodophyta (alga merah), Heterokontophyta

(alga coklat keemasan yang hidupnya

motil/bergerak aktif), Haptophyta (alga yang memiliki organel unik bernama haptonema), Cryptophyta (alga yang termasuk dalam kelompok uniseluler yang unik dan tidak memiliki kedekatan dengan kelompok alga lainnya), Dinophyta (suatu kelompok besar alga perairan yang berflagella), Euglenophyta (organisme yang motil dan memiliki 1-3

flagella di bagian anteriornya),

Chlorarachniophyta (kelompok kecil alga yang biasanya ditemukan di laut tropis), dan Chlorophyta (alga hijau) (Van Den Hoeket al . 2002).

Biomassa mikroalga mengandung

berbagai macam komposisi kimia, misalnya protein, karbohidrat, pigmen (klorofil dan

karotenoid), asam amino, lipid, dan

hidrokarbon. Mikroalga mempunyai

kemampuan untuk mensintesis semua asam amino, baik esensial maupun non esensial. Karbohidrat yang dihasilkan dapat ditemukan dalam bentuk pati, glukosa, gula, dan polisakarida lainnya. Kandungan lipid dari mikroalga sangat bervariasi berkisar antara 1%-90%. Lemak mikroalga pada umumnya terdiri dari asam lemak tidak jenuh, seperti linoleat, asam eikosapentanoat✎ dan asam

dokosaheksanoat. Mikroalga mengandung

lemak dalam jumlah yang besar terutama

asam arakidonat (AA) yang mencapai 36% dari total asam lemak dan sejumlah asam eikosapentaenoat (EPA). Lemak mikroalga juga kaya akan asam lemak politidakjenuh (PUFA) dengan 4 atau lebih ikatan rangkap. Asam lemak yang sering dijumpai yaitu asam

ekosapantenoat (EPA, C20:5) dan asam

dokosaheksanoat (DHA, C22:6). Mikroalga menghasilkan beberapa vitamin penting, seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, E, nikotinamida, biotin, asam folat, dan asam pantotenat. Pigmen yang dihasilkan meliputi klorofil (0.5% sampai 1% dari berat kering), karotenoid (0.1% sampai 14% dari berat kering), dan fikobiliprotein (Becker 1994).

Kandungan senyawa kimia mikroalga

tergantung pada spesies dan kondisi

pengulturan. Pertumbuhan mikroalga

dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti salinitas, cahaya, suhu, derajat keasaman, nitrogen, karbondioksida, dan nutrien. Kisaran suhu 25oC-30oC merupakan kondisi umum bagi pertumbuhan mikroalga. Derajat salinitas bergantung pada tiap spesies mikroalga.

Cahaya diperlukan bagi pertumbuhan

mikroalga dan berperan dalam proses

metabolisme sel seperti fotosintesis. Kisaran derajat keasaman (pH) bervariasi mulai dari pH 6-8 (Borowitzka & Lesley 1988).

Mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati, kosmetik, antifouling, pewarna makanan alami, sumber makanan

baru, dan dalam bidang kesehatan.

Pemanfaatan mikroalga dalam bidang

kesehatan meliputi antibakteri, antijamur, dan antivirus. Mikroalga dapat digunakan sebagai antibakteri pada bakteri Gram positif seperti✏ ✑

a ureus

✎ maupun Gram negatif seperti✒✑ coli

dan✓acillus substilis (Becker 1994).

Pada

tahap budidaya, perkembangbiakan

mikroalga meningkat 2.5 kali bila ke dalam kolam airnya dipasok CO2, dibandingkan hanya dengan aerasi atau suplai O2 (Boyer 1986). Hal ini berarti bahwa kultivasi mikroalga berpeluang mengatasi masalah lungkungan global karena selama ini CO2

menjadi gas pencemar dominan yang

menyebabkan efek rumah kaca penyebab

pemanasan global. Kultivasi mikroalga

memperhatikan kondisi fisika-kimia yang terdiri atas nutrisi/medium kultur, cahaya, pH,

aerasi/pengadukan, suhu, dan salinitas

(Borowitzka & Lesley 1988).

(6)

5

nm karena sampel mikroalga berwarna hijau dan panjang gelombang yang spesifik untuk warna tersebut adalah kisaran 680 nm. Dasar pemakaian spektrofotometer ini adalah untuk mengukur kerapatan optik dari suatu zat yang berwarna (Borowitzka & Lesley 1988).

Lima fase pertumbuhan mikroalga, yaitu fase lag, fase logaritma atau eksponensial, fase stasioner, fase transisional, dan fase death

(kematian). Fase lag ditandai dengan ukuran sel meningkat, namun kepadatan belum bertambah; kultur mulai menyerap nutrien yang terdapat pada medium kultur. Fase logaritma atau eksponensial mempunyai ciri sel bereproduksi dengan cepat. Pada fase stasioner jumlah atau kepadatan populasi kultur stabil, reproduksi seimbang dengan kematian. Fase transisional ditandai dengan laju pertumbuhan populasi kultur menurun. Pada fase death (kematian) kepadatan sel menurun, laju kematian sel melebihi laju pertumbuhan sel (Gambar 3) (Borowitzka & Lesley 1988).

Media tumbuh mikroalga merupakan media yang berisi komponen-komponen yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Mikroalga dapat hidup dan bereplikasi karena adanya bermacam-macam substrat yang terdiri atas natrium, kalium, magnesium, kalsium, dan unsur logam lain seperti besi, seng, tembaga, dan kobalt yang terdapat dalam media. Media tumbuh mikroalga yang digunakan dalam penelitian ini termasuk media cair yaitu media IMK (IMK-Ciater dan IMK-✔ea Water (SW)) yang terdiri atas larutan yang mengandung bermacam-macam substrat yang dibutuhkan mikroalga tersebut (Borowitzka & Lesley 1988).

Gambar 3 Kurva pertumbuhan mikroalga (Borowitzka & Lesley 1988).

Pada media tumbuh mikroalga dilakukan poses bubling (pemasukan udara ke dalam media) dengan diberiir paump yang bertujuan

agar mikroalga dalam keadaan selalu

tercampur dengan media (mikroalga tidak mengendap di dasar media), selain itu proses

bubling ini juga berfungsi sebagai sumber

CO2 bagi pertumbuhan mikroalga

(Borowitzka & Lesley 1988).

Toksisitas

Toksisitas merupakan suatu sifat relatif dari senyawa kimia dan sejauh menyangkut diri manusia secara langsung atau tidak langsung. Toksisitas selalu menunjuk ke arah berbahaya atas mekanisme biologi tertentu. Uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua golongan, golongan pertama terdiri atas uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronis, dan uji toksisitas kronis. Uji ini merupakan uji

toksikologi yang dirancang untuk

mengevaluasi keseluruhan akibat umum suatu

senyawa pada hewan eksperimental,

sedangkan golongan yang kedua dari uji toksikologi (terdiri atas uji potensi, uji teratogenik, uji reproduksi, uji mutagenik, uji tumorigenisitas, dan uji perilaku) yang

merupakan uji yang dirancang untuk

mengevaluasi dengan rinci toksisitas spesifik. Suatu senyawa kimia yang mampu menimbulkan akibat yang jelas, seperti misalnya kematian organismenya, atau sel hewan itu sepenuhnya sembuh dalam periode waktu tertentu, maka dosis atau kadar senyawa kimia itu dapat dipilih agar dapat

menimbulkan akibat tersebut. Derajat

toksisitas dapat dibedakan menjadi sangat toksik (LC50 < 30 µg/mL), toksik (LC50 30-1000 μg/mL) dan tidak toksik (LC50> 1000 μg/mL) (Meyeret al✕ 1982).

Artemia salina Leach

Hewan uji yang digunakan dalam metode BSLT ini adalah ✖rtemia salina Leach. ✖rtemia salina merupakan kelompok udang-udangan dari kelas Branchiopoda. Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti Copepoda dan Daphnia (kutu air). ✖✕

sa lin

a hidup di danau-danau garam (berair

asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari hampir tawar sampai jenuh garam. Secara alamiah salinitas perairan tempat mereka hidup sangat bervariasi, tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Kadar garam kurang dari 6 ppt

(part per thausand ), telur artemia akan

(7)

6

Kondisi ini terjadi apabila air tawar banyak

masuk ke dalam perairan pada musim

penghujan. Kadar garam lebih dari 25 ppt, telur akan tetap berada dakam kondisi tersuspensi sehingga dapat menetas normal.

Secara taksonomi ✗✘ ✙alina

diklasifikasikan menjadi✚in gdom (Animalia), filum (Arthropoda), kelas (Branchiopoda), ordo (Anostraca), famili (Artemiidae), genus (✗rtemia ), dan spesies (✗rtemia salina ). Siklus hidup ✗✘ salina dapat dimulai dari waktu penetasan kista atau telur. Kista akan menetas menjadi embrio setelah 15-20 jam dalam air dengan suhu 250C. Embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista selama beberapa jam. Embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupili yang sudah bisa berenang bebas pada fase ini. Awalnya naupili akan berwarna jingga kecokelatan akibat masih mengandung kuning telur.✗rtemia yang baru menetas tidak akan makan karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas, ✗rtemia akan mengganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan dengan pakan berupa mikroalga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Naupili akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm.

Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan ✗✘ salina .✗✘ salina akan berwarna kuning atau merah jambu dengan masukan oksigen yang baik. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengonsumsi mikroalga. Apabila kadar oksigen dalam air rendah dan air banyak mengandung bahan organik, atau apabila salinitas meningkat, ✗✘ salina akan memakan bakteria, detritus, dan sel-sel khamir (yeast). Kondisi ini akan menyebabkan ✗rtemia memproduksi hemoglobin sehingga tampak berwarna merah atau jingga. Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi kista.

Kista ✗✘ salina dapat ditetaskan secara optimal apabila syarat-syarat yang diperlukan dapat dipenuhi, yaitu salinitas antara 20-30 ppt atau 1-2 sendok teh garam per liter air tawar. Suhu air (26-28)0C. Penyinaran selama penetasan untuk merangsang proses. Aerasi yang cukup untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm. Nilai pH 8.0 atau lebih, apabila pH turun di bawah 7.0 dapat ditambahkan Na2CO3 untuk menaikkan pH. Kepadatan

kista sekitar 2 gram per liter. Penetasan dapat

dilakukan pada semua jenis wadah.

Dekapsulasi dapat meningkatkan persentase

keberhasilan penetasan sampai 10%.

Dekapsulasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari kista artemia yang ”keras” (korion). Di samping itu proses ini juga merupakan proses disinfeksi terhadap kontaminan seperti bakteri dan jamur (Meyeret al 1982).

Elektroforesis Gel SDS Poliakrilamid

Elektroforesis gel Sodium Dodesil Sulfat (SDS) poliakrilamid adalah suatu teknik yang banyak digunakan dalam bidang biokimia, forensik, genetika, dan biologi molekuler untuk memisahkan protein sesuai dengan mobilitas elektroforesis mereka (fungsi dari

panjang rantai polipeptida atau bobot

molekul). Sampel elektroforesis gel SDS memiliki muatan identik per satuan massa akibat pengikatan sampel dengan SDS dan sampel elektroforesis tersebut di fraksinasi berdasarkan ukuran (Gam & Latiff 2005).

Prinsip elektroforesis gel SDS

poliakrilamid adalah protein yang akan dianalisis dicampur dengan SDS yang merupakan sebuah deterjen anionik. Sodium dodesil sulfat mendenaturasi struktur tersier,

sekunder dan ikatan non-disulfida.

Elektroforesis gel SDS poliakrilamid

menerapkan muatan negatif untuk setiap protein dalam proporsi dengan massanya. Pemanasan sampel pada suhu kurang lebih 60 ºC mengguncang molekul dan membantu SDS untuk mengikat. Penanda berupa pewarna dapat ditambahkan ke dalam larutan protein

untuk memungkinkan eksperimen dapat

melacak migrasi protein melalui gel selama elektroforesis dijalankan. Pewarna berukuran lebih kecil dibandingkan ukuran protein (Jovanovicet al 2007).

(8)

7

Pewarna yang digunakan dalam teknik ini terdiri atas dua macam yaitu ✛oomassie

rilliant lue atau pewarna perak. Pewarna

oomassie rilliat nlue biasanya dapat

mendeteksi sebuah band 50 ng protein. Pewarnaan perak meningkatkan sensitivitas pewarnaan biasanya 50 kali. Banyak variabel yang dapat mempengaruhi intensitas warna.

Setiap protein memiliki karakteristik

pewarnaan sendiri (Jovanovicet al 2007).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan untuk

ekstraksi mikroalga adalah mikroalga yang diisolasi dari perairan laut Batam (BTM 03, BTM 04, BTM 11), perairan laut Pari (PARI 5), Ciater (CTR 01, CTR 02, CTR 06-04, CTR 06-07, CTR 06-08, CTR 06-11, CTR 07-01, CTR 07-05, CTR 07-07, CTR 07-08, CTR 07-09, CTR 07-10, dan CTR 07-12), pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, etil asetat 80%, media IMK (NaNO3, Na2HPO4, K2HPO4, NH4Cl, Fe-EDTA,

Mn-EDTA, Na2-EDTA, ZnSO4.7H2O,

CoSO4.7H2O, Na2MoO4-H2O, CuSO4.5H2O, H2SeO3, Thiamin HCl, Biotin, Vitamin B12, MnCl2.4H2O), air laut, air Ciater, dan mili-Q.

Bahan-bahan yang digunakan untuk ekspresi, pemurnian, dan pengujian inhibisi RNA helikase JEV adalah bakteri✣scerichia

coli BL21 (DE3) pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase virus japanese encephalitis dalam plasmid 21b (koleksi Andi Utama,

Puslit Bioteknologi LIPI), media Luria

Bertani (LB), akuades, ampisilin, IPTG (isopropil β-D-thiogalaktopiranoside), buffer B (10 mM Tris HCl pH 8.5, 100 mM NaCl, dan 0.25% Tween 20), resin Talon, dan buffer elusi (400 mM imidazole dalam buffer B), 0.1 mM ATP (Adenosin trifosfat), 0.1 mM MOPS (asam 4-morfolinopropana sulfonat), 1 mM MgCl2, larutan hijau malachite, 2.3% polivinil alkohol, amonium molibdat, natrium sitrat,

akuades, sukrosa, TEMED, akrilamid,

amonium persulfat, coomassie brilliant blue , dan marker protein 250 kDa untuk analisis bobot molekul RNA helikase.

Bahan-bahan yang digunakan untuk uji

rine rimhpethality Test adalah air laut dan

telur ✦rtemia salina . Air laut digunakan sebagai media pertumbuhan✦✢ salina .

Alat-alat yang digunakan untuk ekstraksi mikroalga adalah botol aqua 1 liter, neraca analitik, peralatan gelas, pipa kapiler, air p

ump , sonikator, evaporator, tabung ulir,

sentrifugasi, pipet volumetrik, sonikator, dan ultrasentrifugasi Sorvall RC-26 plus.

Alat-alat yang digunakan untuk ekspresi, pemurnian, dan pengujian inhibisi RNA

helikase JEV adalah sonikator,

ultrasentrifugasi Sorvall RC-26 plus,

inkubator bergoyang, spin down , rotator, tabung sentrifus, Erlenmeyer, 96-well

microtiter (Nalge Nunc), pipet mikro, neraca analitik, peralatan gelas, microplate reader

(Multiscan EX Termo), pemanas plat, tabung falcon, vial, dan elektroforesis kit.

Alat-alat yang digunakan untuk uji✜rine

hrimpethality Test adalah aerator,

akuarium kecil, vial BSLT, lampu, dan pipet mikro.

Metode Penelitian

Ekstraksi Mikroalga (Modifikasi Kusmiyati & Agustini 2007)

Isolat mikrolaga dikulturkan selama 2-3 bulan. Hasil pengulturan dipanen dengan cara disentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm

selama 10 menit. Pelet diambil dan

ditambahkan dengan 10 mL mili-Q, dikocok, lalu disentrifugasi kembali dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit. Pelet diambil dan ditambahkan dengan 10 mL mili-Q. Pelet tersebut disonikasi selama 1 menit dan 1 menit istirahat dengan empat kali ulangan. Hasil sonikasi dibagi menjadi empat dengan volume yang sama rata dan diekstraksi dengan pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, dan etil asetat 80%. Hasil ekstraksi disentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm selama 10 menit untuk diambil supernatannya. Supernatan tersebut merupakan ekstrak alga yang akan dievaporasi pada suhu 50-60˚C dalam keadaan vakum. Ekstrak alga hasil evaporasi dipipet dan dimasukkan pada tabung ulir kecil.

Ekspresi RNA Helikase Virus Japanese Encephalitis (Utamaet al. 2000)

Sebanyak 10 mL prekultur enzim

(9)

8

Kultur enzim yang telah didapatkan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Kultur tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm pada suhu 4ºC selama 10 menit. Pelet yang didapatkan dicuci dengan media LB, kemudian campuran pelet dan media tersebut disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm, suhu 4ºC selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan dari proses sentrifugasi disimpan pada suhu -20ºC.

Pemurnian RNA Helikase Virus Japanese Encephalitis (Utamaet al. 2000)

Pelet yang dihasilkan pada proses koleksi pelet dicairbekukan (freeze thaw) selama 30 menit dengan tiga kali ulangan. Hasil proses

pencairbekuan tersebut diresuspensi

menggunakan buffer B pH 8.5 (10 mM Tris-HCl buffer pH 8.5, 100 mM NaCl, 0.25% Tween 20). Campuran tersebut dipecah menggunakan proses sonikasi selama 15 detik dengan tiga kali ulangan dan interval 1 menit dalam es, kemudian hasil sonikasi tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 20 menit. Supernatan yang diperoleh digunakan untuk tahap selanjutnya yaitu purifikasi menggunakan kromatografi afinitas resin TALONetal amffinity .

Resin didapatkan melalui proses kalibrasi dengan buffer B. Proses tersebut diawali dengan pencampuran 400 μL resin BD-Talon dengan 600 μL buffer B dalam tabung Eppendorf. Campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit. Larutan jenih berupa buffer B dari campuran tersebut dibuang. Resin yang telah mengalami

kalibrasi dicampurkan dengan sampel

menggunakan rotator dalam lemari pendingin (4ºC) selama 3 jam.

Campuran yang telah dihomogenisasi disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 7 menit. Supernatan yang dihasilkan

(inner volume ) disimpan pada suhu 4ºC untuk

dianalisis dengan menggunakan elektroforesis gel SDS-poliakrilamid (SDS PAGE). Pelet yang didapat (resin binding ) diresuspensi dengan 15 mL larutan buffer B dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu 4ºC selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh dari pencucian dengan buffer B (washing 1) kemudian dikoleksi sebanyak

100 μL untuk dianalisis SDS PAGE,

kemudian pelet yang dihasilkan diresuspensi kembali dengan 5 mL buffer B dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh dari pencucian dengan buffer B (washing 2)

kemudian dikoleksi sebanyak 100 μL untuk dianalisis SDS PAGE.

Resin yang merupakan hasil pencucian kedua dielusi dengan menambahkan buffer elusi pH 8.5 (400 mM imidazol dalam buffer B) dan diinkubasi dengan rotator di lemari pendingin selama 1 malam. Sampel kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 7 menit pada suhu 4ºC. Supernatan yang dihasilkan mengandung enzim dan dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf yang baru dan steril dan disimpan pada lemari pendingin dengan suhu 4ºC.

Pengujian Inhibisi RNA Helikase Virus Japanese Encephalitis (Utamaet al. 2000)

Pengujian aktivitas inhibisi enzim helikase virus japanese encephalitis dengan sampel ekstrak mikroalga menggunakan uji ATPase kolorimetri. Pengujian ini dapat mengukur jumlah fosfat bebas yang dilepaskan dari hidrolisis senyawa ATP menjadi ADP. Metode ini diawali dengan pembuatan master mix yang terdiri dari 38.5 μL akuades steril,

5.0 µL 0.1 mM MOPS, 0.5 μL 0.1 M MgCl2,

dan 1 μL 0.1 M ATP.

Pengujian kolorimetri ATPase assay

dibagi atas tiga bagian, yaitu: (a) campuran reaksi (master mix ) sebanyak 50 µL dengan 3 kali ulangan; (b) campuran reaksi (master mix) dan enzim sebanyak 50 µL dengan 3 kali ulangan; (c) campuran reaksi (master mix), enzim, dan pelarut ekstraksi sebanyak 50 µL dengan 3 kali ulangan; dan (d) campuran reaksi (master mix ), enzim, dan sampel sebanyak 50 µL dengan 3 kali ulangan, kemudian proses inkubasi dilakukan selama 45 menit pada suhu ruang. Saat 15 menit

sebelum waktu inkubasi habis, dibuat

pewarna.

Pewarna terdiri dari akuades, 0.081%

m a la

chite green , 2.3% polivinil alkohol, dan

5.7% amonium molibdat dengan

perbandingan 2:2:1:1. Sebanyak 100 µL pewarna dimasukkan ke dalam masing-masing sumur. Larutan tersebut diinkubasi lagi selama 5 menit. Setelah waktu inkubasi

habis, sebanyak 25 μL natrium sitrat

ditambahkan ke dalam microtiter plate untuk menghentikan reaksi warna. Larutan tersebut

diukur absorbansinya dengan panjang

(10)

9

Uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Modifikasi Nurhayatiet al. 2006)

Sebanyak 0.1 g telur✧rtemia salina Leach ditumbuhkan ke dalam 500 mL air laut selama 48 jam. Stok larutan ekstak alga sebanyak 500 mg dilarutkan dalam 50 mL air laut sehingga volumenya menjadi 50,31 mL. Konsentrasi larutan yang digunakan 0 ppm (kontrol); 9,938 ppm; 99,384 ppm; 198,768 ppm; 500,232 ppm; dan 1000,464 ppm. Air laut dan ekstrak alga yang dimasukkan ke dalam vial BSLT menggunakan rumus perhitungan V1xM1=V2xM2. Nilai Molaritas 1 (M1) sebesar 9938,382 ppm (stok konsentrasi alga).

Larutan konsentasi 9,938 ppm, sebanyak 2.997 mL air laut ditambahkan dengan 3 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor ✧rtemia salina . Sebanyak 2.97 mL air laut ditambahkan dengan 30 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT dan dimasukkan 10 ekor

rtemia salina untuk pengujian toksisitas dengan konsentrasi 99,384 ppm. Larutan konsentrasi 198,768 ppm, sebanyak 2.94 mL air laut ditambahkan dengan 60 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor✧rtemia salina . Sebanyak 2.849 mL air laut ditambahkan dengan 151 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT dan dimasukkan 10 ekor ✧rtemia salina

untuk pengujian toksisitas dengan konsentrasi 500,232 ppm. Larutan konsentasi 1000,464 ppm, sebanyak 2.698 mL air laut ditambahkan dengan 302 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor

rtemia salina . Pengamatan dilakukan setelah 48 jam dengan menghitung jumlah larva yang mati dari total larva yang dimasukkan ke dalam vial. Pengamatan memakai bantuan

lampu neon. Pengolahan data persen

mortalitas dan log konsentrasi digunakan untuk menghitung nilai LC50 dan regresi kematian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kultivasi dan Ekstraksi Mikroalga

Isolat mikroalga yang digunakan berasal dari perairan laut Batam, Pari, Ciater. Semuanya berjumlah 17 isolat. Isolat ini dipih karena diduga bahwa mikroalga ini memiliki senyawa aktif yang memiliki potensi untuk menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis. Senyawa aktif tersebut diduga berupa senyawa protein. Masing-masing isolat mikroalga diekstraksi dengan pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, dan etil asetat 80%. Keempat pelarut ini

adalah pelarut umum yang digunakan dalam bidang biokimia. Sifat dari pelarut metanol dan aseton adalah polar, sedangkan pelarut etil asetat bersifat semipolar. Untuk pelarut heksan bersifat nonpolar. Hasil ekstraksi dengan pelarut heksan 80% dan etil asetat 80% menghasilkan dua fase, yaitu fase polar dan nonpolar. Kedua fase tersebut dipisahkan sehingga keseluruhan isolat yang akan diuji berjumlah 101 isolat.

Semua isolat tersebut ditumbuhkan dalam media IMK. Mikroalga yang berasal dari laut Pari dan laut Batam menggunakan media IMK-Sea Water (IMK-SW) sebagai media

tumbuhnya, sedangkan mikroalga yang

berasal dari Ciater menggunakan media IMK-Ciater. Lamanya pengkulturan mikroalga bervariasi tergantung dari laju pertumbuhan

masing-masing mikroalga. Dalam

pengkulturan mikroalga, diukur juga nilai OD dan banyaknya biomassa (Lampiran 7). Rendemen dari biomassa mikroalga tidak dihitung karena ekstrak mikroalga yang diuji berupa larutan atau cairan.

Mikroalga tersebut dapat dipanen apabila kurva pertumbuhannya telah mencapai fase stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroalga sudah mencapai puncaknya. Dilihat dari kurva pertumbuhan

yang diperoleh, menunjukkan bahwa

mikroalga BTM 04 dan BTM 11 memiliki waktu yang lebih singkat untuk mencapai fase stasioner karena hanya membutuhkan waktu sampai dengan 42 hari, sedangkan untuk mikroalga PARI 5, CTR 06-01, CTR 06-02, CTR 06-04, dan CTR 07-01 memiliki waktu yang lebih panjang untuk mencapai fase stasioner karena membutuhkan waktu sampai dengan 134 hari.

Ekstrak mikroalga yang diuji aktivitivitas inhibisinya berjumlah 101 isolat. Semuanya diuji aktivitas inhibisi untuk mengetahui seberapa besar potensi yang dimiliki ekstrak mikroalga tersebut untuk menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis (Lampiran 8-Lampiran 16).

Ekspresi dan Pemurnian RNA Helikase Virus Japanese Encephalitis

Ekspresi RNA helikase virus japanese encephalitis dilakukan untuk mendapatkan RNA helikase virus japanese encephalitis yang dihasilkan oleh bakteri★scherichia coli BL21 (DE3)pLysS sebagai inang dari hasil kloning gen NS3 JEV (Utama et al✩ 2000).

Penambahan ✪sopropyl

-D-th

iogalactopyranoside (IPTG) bertujuan untuk

(11)

9

Uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Modifikasi Nurhayatiet al. 2006)

Sebanyak 0.1 g telur✫rtemia salina Leach ditumbuhkan ke dalam 500 mL air laut selama 48 jam. Stok larutan ekstak alga sebanyak 500 mg dilarutkan dalam 50 mL air laut sehingga volumenya menjadi 50,31 mL. Konsentrasi larutan yang digunakan 0 ppm (kontrol); 9,938 ppm; 99,384 ppm; 198,768 ppm; 500,232 ppm; dan 1000,464 ppm. Air laut dan ekstrak alga yang dimasukkan ke dalam vial BSLT menggunakan rumus perhitungan V1xM1=V2xM2. Nilai Molaritas 1 (M1) sebesar 9938,382 ppm (stok konsentrasi alga).

Larutan konsentasi 9,938 ppm, sebanyak 2.997 mL air laut ditambahkan dengan 3 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor ✫rtemia salina . Sebanyak 2.97 mL air laut ditambahkan dengan 30 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT dan dimasukkan 10 ekor

rtemia salina untuk pengujian toksisitas dengan konsentrasi 99,384 ppm. Larutan konsentrasi 198,768 ppm, sebanyak 2.94 mL air laut ditambahkan dengan 60 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor✫rtemia salina . Sebanyak 2.849 mL air laut ditambahkan dengan 151 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT dan dimasukkan 10 ekor ✫rtemia salina

untuk pengujian toksisitas dengan konsentrasi 500,232 ppm. Larutan konsentasi 1000,464 ppm, sebanyak 2.698 mL air laut ditambahkan dengan 302 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor

rtemia salina . Pengamatan dilakukan setelah 48 jam dengan menghitung jumlah larva yang mati dari total larva yang dimasukkan ke dalam vial. Pengamatan memakai bantuan

lampu neon. Pengolahan data persen

mortalitas dan log konsentrasi digunakan untuk menghitung nilai LC50 dan regresi kematian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kultivasi dan Ekstraksi Mikroalga

Isolat mikroalga yang digunakan berasal dari perairan laut Batam, Pari, Ciater. Semuanya berjumlah 17 isolat. Isolat ini dipih karena diduga bahwa mikroalga ini memiliki senyawa aktif yang memiliki potensi untuk menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis. Senyawa aktif tersebut diduga berupa senyawa protein. Masing-masing isolat mikroalga diekstraksi dengan pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, dan etil asetat 80%. Keempat pelarut ini

adalah pelarut umum yang digunakan dalam bidang biokimia. Sifat dari pelarut metanol dan aseton adalah polar, sedangkan pelarut etil asetat bersifat semipolar. Untuk pelarut heksan bersifat nonpolar. Hasil ekstraksi dengan pelarut heksan 80% dan etil asetat 80% menghasilkan dua fase, yaitu fase polar dan nonpolar. Kedua fase tersebut dipisahkan sehingga keseluruhan isolat yang akan diuji berjumlah 101 isolat.

Semua isolat tersebut ditumbuhkan dalam media IMK. Mikroalga yang berasal dari laut Pari dan laut Batam menggunakan media IMK-Sea Water (IMK-SW) sebagai media

tumbuhnya, sedangkan mikroalga yang

berasal dari Ciater menggunakan media IMK-Ciater. Lamanya pengkulturan mikroalga bervariasi tergantung dari laju pertumbuhan

masing-masing mikroalga. Dalam

pengkulturan mikroalga, diukur juga nilai OD dan banyaknya biomassa (Lampiran 7). Rendemen dari biomassa mikroalga tidak dihitung karena ekstrak mikroalga yang diuji berupa larutan atau cairan.

Mikroalga tersebut dapat dipanen apabila kurva pertumbuhannya telah mencapai fase stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroalga sudah mencapai puncaknya. Dilihat dari kurva pertumbuhan

yang diperoleh, menunjukkan bahwa

mikroalga BTM 04 dan BTM 11 memiliki waktu yang lebih singkat untuk mencapai fase stasioner karena hanya membutuhkan waktu sampai dengan 42 hari, sedangkan untuk mikroalga PARI 5, CTR 06-01, CTR 06-02, CTR 06-04, dan CTR 07-01 memiliki waktu yang lebih panjang untuk mencapai fase stasioner karena membutuhkan waktu sampai dengan 134 hari.

Ekstrak mikroalga yang diuji aktivitivitas inhibisinya berjumlah 101 isolat. Semuanya diuji aktivitas inhibisi untuk mengetahui seberapa besar potensi yang dimiliki ekstrak mikroalga tersebut untuk menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis (Lampiran 8-Lampiran 16).

Ekspresi dan Pemurnian RNA Helikase Virus Japanese Encephalitis

Ekspresi RNA helikase virus japanese encephalitis dilakukan untuk mendapatkan RNA helikase virus japanese encephalitis yang dihasilkan oleh bakteri✬scherichia coli BL21 (DE3)pLysS sebagai inang dari hasil kloning gen NS3 JEV (Utama et al✭ 2000).

Penambahan ✮sopropyl

-D-th

iogalactopyranoside (IPTG) bertujuan untuk

(12)

10

logaritmik hingga fase stasioner ( Utamaet al

2000).

Setelah penginduksian ekspresi enzim dilakukan pengoleksian pelet. Pengoleksian pelet tersebut berguna untuk stabilitas penyimpanan bakteri ✰scherichia coli yang telah diinduksi dan mengekspresikan gen NS3 helikase untuk pengujian selanjutnya.

Pemurnian RNA helikase virus japanese encephalitis dilakukan untuk mendapatkan RNA helikase virus japanese encephalitis yang murni dari hasil ekspresi gen NS3 helikase japanese encephalitis yang telah diklonkan dalam bakteri BL21(DE3)pLysS sehingga dapat digunakan dalam penentuan aktivitas inhibisi.

Hasil SDS PAGE menunjukkan pita tunggal pada elusi 2 yang menunjukkan bahwa pemurnian RNA helikase japanese encephalitis berhasil. Bobot molekul dari RNA helikase virus japanese encephalitis adalah 54 kDa. Berdasarkan data Rf yang diperoleh dari hasil elusi, didapatkan nilai Rf sampel yang sesuai dengan Rf standar yaitu sebesar 0,216. Hal ini berarti bahwa hasil yang diperoleh sesuai dengan literatur yang melaporkan bahwa bobot molekul RNA helikase virus japanese encephalitis memiliki bobot molekul 54 kDa (Utamaet al 2000).

Tujuan menganalisis sampel dengan SDS PAGE adalah agar yakin bahwa enzim yang diperoleh dari hasil ekspresi dan purifikasi merupakan RNA helikase virus japanese encephalitis. Sampel yang dianalisis dengan

SDS PAGE terdiri dari inner vo lume

(supernatan hasil sentrifugasi dengan resin talon),washing 1 (supernatan hasil sentrifigasi dengan buffer B), elusi 1, elusi 2, elusi 3, resin, dan marker (Gambar 4).

Gambar 4 SDS PAGE RNA helikase

virus japanese encephalitis (IV:✱nner volume , W:Washing , E: Elusi, RE: Resin, M: Marker).

Proses purifikasi RNA helikase japanese encephalitis diawali dengan proses pemecahan sel yang terdiri atas dua metode yaitu

pencairbekuan dan sonikasi. Proses

pencairbekuan dalam pemurnian RNA

helikase japanese encephalitis bertujuan untuk memecah sel bakteri ✰scherichia coli BL21(DE3)pLysS karena RNA helikase JEV bersifat intraseluler. Sonikasi merupakan tahapan selanjutnya dari proses pemecahan sel. Proses sentrifugasi yang dilakukan pada tahapan setelah pemecahan sel bertujuan memisahkan antara supernatan dengan sel debris dari hasil pemecahan sel. Supernatan

yang mengandung beberapa komponen

intraseluler dikoleksi sebagian untuk proses identifikasi dengan menggunakan SDS PAGE sehingga dapat dilihat hasil proses pemurnian RNA helikase japanese encephalitis.

Kromatografi afinitas metal amobilisasi merupakan tahapan purifikasi RNA helikase selanjutnya. Proses ini menggunakan resin TALON metal affinity yang secara spesifik dapat menangkap enzim yang memiliki His-tag. RNA helikase yang telah terekspresi dalam bakteri ✰schericia coli BL21 ini memiliki karakteristik yaitu label 6xHis-tag sehingga dapat terikat secara spesifik oleh resin TALON metal affinity . Pengikatan residu His dilakukan oleh logam Co2+ yang terdapat dalam resin TALON. Penanda yang terdapat pada enzim RNA helikase yaitu ujung His dilakukan pada saat konstruksi gen NS3 yang akan disisipkan pada✰✯coli. Proses pengikatan resin terhadap RNA helikase japanese encephalitis menggunakan proses rotasi dan sentrifugasi sehingga pengikatan resin dengan enzim tersebut dapat diperoleh secara maksimal. Penambahan buffer B pH 8.5 (10 mM Tris-HCl buffer pH 8.5, 100 mM NaCl, 0.25% Tween 20) dilakukan untuk memisahkan antara enzim RNA helikase

dengan komponen intraseluler lainnya.

Pengoleksian sebagian kecil hasil pemisahan tersebut disimpan untuk identifikasi dengan menggunakan SDS PAGE.

Proses pemisahan tersebut dilakukan 2 kali untuk mendapatkan RNA helikase japanese encephalitis yang murni dari komponen intraseluler lainnya. Penambahan buffer elusi pH 8.5 (imidazol dalam buffer B) berfungsi sebagai eluen dalam proses elusi RNA helikase japanese encephalitis yang berikatan dengan resin. Imidazol yang merupakan komponen penyusun buffer tersebut berfungsi sebagai analog pengganti residu His enzim yang diikat oleh logam Co2+, sehingga resin tersebut akan memutus ikatannya dengan 50 kDa

75 kDa 100 kDa 150 kDa 250 k Da kkDa

(13)

11

enzim RNA helikse dan mengikat imidazol sebagai penggantinya.

Hasil pemisahan antara sel debris dan komponen intraseluler (supernatan), hasil pemisahan antara elusi, resin, dan RNA helikase virus japanese encephalitis hasil purifikasi (enzim) yang telah dikoleksi sebagian diidentifikasi dengan menggunakan SDS PAGE untuk melihat apakah enzim yang digunakan merupakan enzim RNA helikase virus japanese encephalitis yang murni.✲ernn

volume adalah supernatan hasil sentrifugasi

dengan pelet resin yang telah diputar dengan rotator selama 3 jam. Washing adalah supernatan hasil pencucian pelet resin dengan buffer B. Proses washing ini dilakukan sebanyak 2 kali.

Pengukuran Aktivitas Inhibisi Ekstrak Mikroalga terhadap RNA Helikase

Ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat CTR 07-09 sebesar 32.503% (Gambar 5). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga

tersebut memiliki kemampuan untuk

menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 32.503%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol negatif berupa pelarut metanol 80% (pelarut

ekstraksi). Penggunaan kontrol negatif

bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut

yang digunakan dalam mengekstrak

mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Dari hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80%

memiliki potensi yang rendah dalam

menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis. Pelarut metanol yang digunakan dalam proses ekstraksi mikroalga tidak diuapkan terlebih dahulu.

Nilai aktivitas yang rendah dari ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80% disebabkan karena sifat dari pelarut metanol adalah polarprotic . Pelarut polarprotic adalah pelarut yang menunjukkan ikatan hidrogen. Dengan adanya ikatan hidrogen tersebut, maka konformasi struktur kimianya menjadi lebih kuat. Selain itu titik didih dari metanol sebesar 650C. Hal ini turut berperan dalam mengekstrak senyawa dari mikroalga karena

pada saat proses ekstraksi mikroalga

dilakukan evaporasi terhadap pelarut dengan memperhatikan titik didihnya dan bertujuan agar didapatkan ekstrak yang bebas dari campuran pelarut dan agar ekstrak tersebut

tahan lama penyimpanan karena memiliki kadar air yang rendah.

-20 -10 0 10 20 30 40 C T R 0 6 -0 1 C T R 0 6 -0 2 C T R 0 6 -0 4 C T R 0 6 -0 7 C T R 0 6 -0 8 C T R 0 6 -1 1 C T R 0 7 -0 1 C T R 0 7 -0 5 C T R 0 7 -0 7 C T R 0 7 -0 8 C T R 0 7 -0 9 C T R 0 7 -1 0 C T R 0 7 -1 2 B T M 0 3 B T M 0 4 B T M 1 1 N il a i in h ib is i (% ) Ekstrakmikroalga

Gambar 5 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis (CTR: Ciater, BTM: Batam).

Ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat BTM 11 sebesar 11.513% (Gambar 6). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga

tersebut memiliki kemampuan untuk

menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 11.513%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol

negatif berupa pelarut aseton 80%.

Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan dalam mengekstrak mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80% memiliki potensi yang sangat rendah dalam menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis.

Nilai aktivitas yang sangat rendah dari ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80% disebabkan karena sifat dari pelarut aseton adalah polar aprotic . Pelarut polar aprotic

(14)

12 -30 -20 -10 0 10 20 N il a i in h ib is i (% ) Ekstrakmikroalga

Gambar 6 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis (CTR: Ciater, BTM: Batam).

Ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat CTR 06-02 sebesar 83.117% (Gambar 7). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga

tersebut memiliki kemampuan untuk

menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 83.117%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol

negatif berupa pelarut heksan 80%.

Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan dalam mengekstrak mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80% memiliki potensi yang tinggi dalam menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis.

Nilai aktivitas yang tinggi dari ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80% disebabkan karena sifat dari pelarut heksan adalah nonpolar. Pelarut nonpolar adalah pelarut yang tidak dapat bercampur dengan air

(hidrofobik). Pelarut ini tidak dapat

bercampur dengan pelarut lain yang sifatnya polar. Titik didih dari heksan sebesar 690C. Hal ini turut berperan dalam mengekstrak senyawa dari mikroalga karena pada saat

proses ekstraksi mikroalga dilakukan

evaporasi terhadap pelarut dengan

memperhatikan titik didihnya dan bertujuan agar didapatkan ekstrak yang bebas dari campuran pelarut dan agar ekstrak tersebut tahan lama penyimpanan karena memiliki kadar air yang rendah.

-20 0 20 40 60 80 100 C T R 0 7-0 1 B T M 1 1 C T R 0 6-0 1 C T R 0 6-0 4 C T R 0 6-0 7 C T R 0 6-1 1 C T R 0 7-0 5 C T R 0 7-0 7 C T R 0 7-0 9 C T R 0 7-1 2 B T M 0 4 P A R I 5 N il a i in h ib is i (% ) Ekstrak mikroalga

Gambar 7 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis (CTR: Ciater, BTM: Batam).

Ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat CTR 07-09 sebesar 97.193% (Gambar 8). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga tersebut memiliki kemampuan untuk menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 97.193%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol negatif berupa pelarut etil asetat 80%. Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan dalam mengekstrak mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80% memiliki potensi yang sangat tinggi dalam menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis.

(15)

13 -20 0 20 40 60 80 100 120 C T R 0 6-1 1 C T R 0 7-0 7 C T R 0 6-0 1 C T R 0 7-1 2 C T R 0 6-0 8 C T R 0 7-0 5 C T R 0 7-0 9 B T M 0 3 B T M 1 1 C T R 0 6-0 8 C T R 0 7-1 0 P A R I 5 N il a i in h ib is i (% ) Ekstrak mikroalga

Gambar 8 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis

(CTR: Ciater, BTM: Batam).

Metode kolorimetri ATPase ssaya yang digunakan dalam penelitian ini disebabkan karena metode ini yang paling mudah karena ATP bersifat lebih stabil. Selain itu, ATP dalam proses RNA helikase berfungsi sebagai donor energi yang akan digunakan untuk proses replikasi virus. Oleh karena itu harus dihambat ATPnya.

Sebanyak 17 isolat mikroalga masing-masing diekstraksi dengan pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, dan etil asetat 80%. Hasilnya adalah pada mikroalga yang diekstrak dengan pelarut heksan 80% dan etil asetat 80% terbentuk dua fase, yaitu fase polar dan nonpolar. Kedua fase tersebut dipisahkan dan diuji aktivitas inhibisinya. Jumlah total ekstrak mikroalga yang akan diuji aktivitas inhibisinya menggunakan uji kolorimetri ATPase sebanyak 101 sampel. Sampel ekstrak mikroalga yang berpelarut heksan 80% dan etil asetat 80% sebelum diuji ATPase, terlebih dahulu diuapkan kemudian ditambahkan dengan pelarut metanol 80% atau metanol 100%. Hal ini disebabkan karena pelarut heksan dan etil asetat tidak dapat bercampur dengan master mix yang berisi air.

Uji ATPase merupakan metode yang digunakan untuk menghitung pelepasan fosfat inorganik yang berasal dari ATP dengan bantuan enzim ATPase. Uji ini dinamakan kolorimetri ATPase assay karena uji ini digunakan untuk beberapa enzim yang

bergantung pada keberadaan ATP/NTP

sebagai donor energi untuk aktivitas enzim tersebut (Utamaet al 2000).

Uji ini dapat dijadikan metode untuk mengukur nilai inhibisi RNA helikase virus

japanese encephalitis karena RNA helikase japanese encephalitis membutuhkan substrat berupa ATP (adenosin trifosfat) untuk membuka untaian ganda pada RNA yang

merupakan material genetik dari virus

japanese encephalitis. Larutan campuran

utama (master mix) yang terdapat dalam pengujian kolorimetri ATPase assay berguna sebagai blanko. Keberadaan MOPS (Asam 4-morfolinopropana sulfonat) adalah sebagai

buffer dalam campuran utama. Mg2+ dan

Mn2+ diperlukan sebagai kofaktor RNA

helikase sehingga MgCl2 berfungsi sebagai donor kofaktor dalam campuran utama (Utamaet al . 2000).

Reaksi RNA helikase dengan ATP akan menghasilkan ADP (adenosin difosfat) dan fosfat bebas. Fosfat bebas akan membentuk kompleks warna dengan pereaksi warna dari kolorimetri ATPase assay yang terdiri dari akuades, hijau malakit, polivinil alkohol, dan amonium molibdat. Warna yang dihasilkan berkorelasi dengan jumlah fosfat bebas yang dihasilkan dari reaksi RNA helikase dengan ATP. Semakin hijau warna campuran reaksi, maka semakin besar aktivitas RNA helikase bekerja. Mikroalga yang berfungsi sebagai inhibitor akan menghambat reaksi tersebut.

Kolorimetri ATPase assay juga dapat mengukur konsentrasi dengan menghitung serapan panjang gelombang dari campuran reaksi dengan RNA helikase dan ekstrak

mikroalga. Panjang gelombang yang

digunakan ada dua macam yaitu 620 nm dan 405 nm. Kedua panjang gelombang itu digunakan agar perhitungan reaksi RNA

helikase dengan substratnya akurat.

Konsentrasi ATP yang berubah karena adanya

inhibitor dapat dihitung dengan

membandingkan serapan panjang gelombang RNA helikase.

Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui

kolorimetri ATPase assay menunjukkan

bahwa esktrak mikroalga CTR 07-09 dengan pelarut etil asetat 80% yang diuapkan lalu ditambahkan dengan metanol 100% memiliki nilai inhibisi tertinggi terhadap RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 97.193%. Pengujian aktivitas inhibisi terhadap sampel

ekstrak mikroalga dilakukan secara

berkelompok berdasarkan pelarutnya.

(16)

14

mengekstraknya (metanol, aseton, heksan, dan etil asetat). Kontrol positif tidak digunakan dalam penelitian ini karena sampai saat ini belum ada obat yang secara efektif dapat mengobati penyakit akibat infeksi virus japanese encephalitis. Adanya vaksin dalam mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus japanese encephalitis masih kurang efektif dalam menghambat replikasi

dari virus tersebut. Akibatnya setelah

pengobatan dengan vaksin tersebut, penderita masih mengalami sakit atau gejala yang yang menyisakan. Hal ini disebabkan vaksin yang telah ada saat ini tidak menghambat kerja

replikasi virus japanese encephalitis.

melainkan hanya menghilangkan rasa sakit sementara sehingga infeksi dari virus tersebut masih berlangsung.

Perbedaan nilai aktivitas inhibisi yang ditunjukkan oleh beberapa ekstrak mikroalga dimungkinkan karena sifat dari pelarut yang digunakan untuk mengekstrak mikroalga berbeda-beda. Senyawa kimia yang dimiliki ekstrak mikroalga tersebut juga berbeda-beda

tergantung dari pelarutnya, tetapi

kemungkinan secara umum yang dapat menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis adalah senyawa berupa protein.

Potensi mikroalga sebagai antivirus lain selain virus japanese encephalitis cukup

banyak dilakukan, antara lain untuk

pengobatan virus herpes simplex, retrovirus, dan enterovirus. Mikroalga yang digunakan untuk pengobatan virus herpes simplex adalah mikroalga jenis Dunaliella primolecta , sedangkan untuk retrovirus adalah jenis

orphyridium sp., dan untuk enterovirus

adalah jenis ✵pirulina plantesis . Pengobatan

antivirus ini tergantung dari senyawa

metabolit sekunder yang terkandung dari masing-masing jenis mikroalga serta pelarut yang mengekstraknya.

Uji Toksisitas Brine Shrimp Lethality Test

(BSLT)

Ekstrak mikroalga yang diuji toksisitasnya adalah yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap RNA helikase JEV yang paling tinggi. Ekstrak mikroalga yang diambil sebanyak 5 isolat, diantaranya CTR 07-09 dengan pelarut etil asetat 80% (97.193%), CTR 07-01 dengan pelarut etil asetat 80% (95.166%), CTR 07-10 dengan pelarut etil asetat 80% (95.617%), CTR 07-07 dengan pelarut etil asetat 80% (94.230%), dan CTR 06-08 dengan pelarut etil asetat 80% (94.544%) (Tabel 1).

Tabel 1 Nilai LC50 ekstrak mikroalga Ekstrak

mikroalga LC50 (ppm) Kategori

CTR 07-09 297166,603

Tidak toksik

CTR 07-01 845,279 Toksik

CTR 07-10 6870,684

Tidak toksik

CTR 07-07 91,833 Toksik

CTR 06-08 3334,264

Tidak toksik Hasil dari nilai LC50 selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 17. Uji BSLT

merupakan uji pendahuluan untuk mengetahui seberapa tingkat toksik suatu senyawa yang masuk ke dalam tubuh makhluk hidup. Uji ini hanya terbatas pada tingkat konsentrasi sehingga apabila akan diterapkan pada manusia juga harus dilihat pengaruh dosis dari suatu senyawa tersebut. Uji ini dilakukan untuk mendukung hasil uji ATPase pada ekstrak mikroalga yang mempunyai potensi (aktivitas inhibisi paling besar). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah uji toksisitas menggunakan✶rtemia sa lina Leach. Uji ini merupakan metode yang paling sederhana dalam menentukan sifat toksisitas sebagai indikator biologi yang berguna

kaitannya dalam aktivitas biologi

(bioaktivitas).

Uji toksisitas diperoleh dari konsentrasi ekstrak mikroalga yang dapat menyebabkan kematian sebesar 50%✶✷ salina Leach (LC50). Hal ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara nilai inhibisi dengan nilai toksisitas. Besarnya nilai inhibisi berbeda dengan besarnya nilai LC50. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan senyawa bioaktif yang terkandung dalam masing-masing ekstrak mikroalga sehingga mengakibatkan perbedaan tingkat toksisitasnya.

Hasil analisis uji BSLT terhadap ekstrak mikroalga memperlihatkan semakin tinggi konsentrasi yang diujikan, maka cenderung semakin banyak ✶✷ salina yang mati. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1987) bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka sifat toksiknya akan semakin tinggi.

Derajat/kategori toksisitas dapat dibedakan menjadi sangat toksik (LC50 < 30 µg/mL), toksik (LC5030-1000 μg/mL) dan tidak toksik (LC50 > 1000 μg/mL) (Meyer et al✷ 1982).

Perhitungan nilai LC50 diperoleh dari

perhitungan persentase mortalitas, kemudian dibuat grafik regresi kematian ✶✷ salina

(17)

15

diperoleh persamaan garis dan nilai koefisien determinasinya. Nilai variabel x dimasukkan sebesar 50 ke dalam persamaan garis y. Hasil dari y diantilogkan sehingga diperoleh nilai LC50 yang mencerminkan kategori ekstrak tersebut toksik atau tidak toksik berdasarkan kategori toksisitas menurut Meyer et al

(1982).

Nilai LC50 yang diperoleh merupakan uji pendahuluan untuk melihat tingkat toksisitas dari ekstrak mikroalga yang diteliti. Untuk dijadikan suatu obat yang dapat mengobati

penyakit akibat infeksi virus japanese

encephalitis masih harus dilihat nilai LD50 dan LT50. LD50 adalah letal dosis, sedangkan LT50 adalah letal time (waktu paruh). Selain itu, perlu dilakukan uji farmakologis lainnya untuk memastikan produk yang berasal dari ekstrak mikroalga ini aman untuk dikonsumsi dan kandungan manfaatnya tidak hilang atau berkurang.

Berdasarkan hasil uji aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga terhadap RNA helikase

virus japanese encephalitis dan uji

toksisitasnya dapat dikatakan bahwa ekstrak mikroalga CTR 07-09 berpotensi sebagai obat untuk mengobati infeksi penyakit virus japanese encephalitis karena ekstrak tersebut memiliki aktivitas inhibisi paling tinggi sebesar 97.193% dan bersifat tidak toksik. Dalam penelitian ini uji aktivitas inhibisi

terhadap RNA helikase virus japanese

encephalitis dilakukan secarain vitro , apabila ingin digunakan untuk produk obat, maka perlu dilakukan uji secarain vivo .

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ekstrak mikroalga terhadap RNA helikase virus japanese encephalitis memiliki nilai

aktivitas inhibisi yang tertinggi pada

mikroalga yang berasal dari Ciater (CTR 07-09) dengan pelarut etil asetat 80% sebesar

97,193%. Ekstrak mikroalga tersebut

memiliki nilai LC50 tertinggi yaitu sebesar

297166,603 ppm. Berdasarkan kategori

toksisitas, nilai LC50 tersebut bersifat tidak toksik.

Saran

Perlu dilakukan isolasi dan pemurnian senyawa lanjutan dari ekstrak mikroalga yang berpelarut metanol 80%, aseton 80%, dan heksan 80% agar diperoleh persentase nilai inhibisi yang lebih tinggi. Selain itu perlu

dilakukan optimasi suhu dan pH untuk

menentukan suhu dan pH optimum dari ekstrak mikroalga.

DAFTAR PUSTAKA

Bartelma G and Padmanabhan R. 2002.

Expression, purification, and

characterization of the RNA 5-triphosphatase activity of dengue virus type 2 nonstructural protein 3.

Virology 299:122-132.

Becker EW. 1994.✹icroalgaioteche nology

a n

d icrobiology . London:

Cambridge University.

Borowitzka MA and Lesley JB. 1988.✹icro

-a

lgae iotechnology . London:

Cambridge University Press.

Borowski P et al .. 2003. Halogenated

benzimidazoles and benzotriazoles as inhibitors of the NTPase/helicase activities of hepatitis C and related viruses. ✻ur ✼ ✺iochem . 270:1645-1653.

Borowski P et al .. 2001. Inhibition of the

helicase activity of HCV

NTPase/helicase by

1-β-D- ribofuranosyl-1,2,4-triazole-3-carboxamide-5’-triphosphate (ribavirin-TP). ✽ctaiochimicaolonica . 48:739-744.

Chambers TJ, Grakoui A, and Rice CM. 1991. Processing of the yellow fever virus

nonstructural polyprotein:a

catalytically active NS3 proteinase domain and NS2B are required for cleavages at dibasic sites. ✼✸ Virol . 65:6042-6050.

Chambers TJ, Nestorowicz A, Amberg SM, and Rice CM. 1993. Mutagenesis of the yellow fever virus NS2B protein: effects on proteolytic processing, NS2B-NS3 complex formation, and viral replication. ✼✸ Virol . 67:6797-6807.

Dumont Set al✸ ✸ 2006. RNA translocation and unwinding mechanism of HCV NS3 helicase and its coordination by ATP.

turea 439: 105-108.

(18)

15

diperoleh persamaan garis dan nilai koefisien determinasinya. Nilai variabel x dimasukkan sebesar 50 ke dalam persamaan garis y. Hasil dari y diantilogkan sehingga diperoleh nilai LC50 yang mencerminkan kategori ekstrak tersebut toksik atau tidak toksik berdasarkan kategori toksisitas menurut Meyer et al

(1982).

Nilai LC50 yang diperoleh merupakan uji pendahuluan untuk melihat tingkat toksisitas dari ekstrak mikroalga yang diteliti. Untuk dijadikan suatu obat yang dapat mengobati

penyakit akibat infeksi virus japanese

encephalitis masih harus dilihat nilai LD50 dan LT50. LD50 adalah letal dosis, sedangkan LT50 adalah letal time (waktu paruh). Selain itu, perlu dilakukan uji farmakologis lainnya untuk memastikan produk yang berasal dari ekstrak mikroalga ini aman untuk dikonsumsi dan kandungan manfaatnya tidak hilang atau berkurang.

Berdasarkan hasil uji aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga terhadap RNA helikase

virus japanese encephalitis dan uji

toksisitasnya dapat dikatakan bahwa ekstrak mikroalga CTR 07-09 berpotensi sebagai obat untuk mengobati infeksi penyakit virus japanese encephalitis karena ekstrak tersebut memiliki aktivitas inhibisi paling tinggi sebesar 97.193% dan bersifat tidak toksik.

Referensi

Dokumen terkait

Mengalami kesulitan dalam merawat rumah juga dialami oleh istri yang suaminya sedang menjalani penugasan, menjadi sub tema dari Mengalami kesulitan dalam merawat

Memperhatikan : Keputusan Musyawarah Kepala Sekolah, Dewan Guru, komite sekolah, Orangtua Peserta didik dan Perwakilan Peserta didik SD Negeri 1 Asemrudung pada tanggal

kripsikan tata surya dan jagad raya  Membuat laporan pengamatan benda-benda langit  Menganalisis teori terjadinya tata surya dan jagad raya  Menjelaskan perbedaan

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Efisiensi

Hak-hak untuk memperoleh HAKI dari kemajuan-kemajuan yang dibuat oleh salah satu Pihak selama pelaksanaan Persetujuan ini, tetapi bukan dari kegiatan-kegiatan kerjasama di

Lokasi panalungtikan pikeun meunangkeun data ngeunaan kasenian Bebegig Sukamantri nya éta di Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis. Sukamantri nya éta hiji kecamatan

(7) Bagi perusahaan angkutan laut nasional yang melakukan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf b, tidak diperlukan

- Mengerjakan soal dengan baik berkaitan dengan materi mengenai sistem koordinat di R -3, vektor posisi, vektor dalam bentuk kombinasi linear, aljabar vektor di R -3,