BAB III METODE PENELITIAN
H. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis data Pearson Product Moment yang dioperasikan menggunakan bantuan program aplikasi komputer SPSS Statistic 16 for Windows. Metode analisis data ini bertujuan untuk mencari tahu hubungan antara dua buah variabel (Field, 2009).
Untuk melakukan uji korelasi Pearson Product Moment, data yang terkumpul harus memenuhi asumsi normalitas dan juga linearitas terlebih dahulu. Untuk itu dilakukan uji asumsi sebagai berikut:
1. Uji Normalitas
Uji asumsi normalitas dilakukan dengan analisis Kolmogorov-Smirnov. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian masing-masing variabel tergantung (cyberloafing) dan variabel bebas (job demand) telah menyebar secara normal. Data penelitian telah dapat dikatakan menyebar secara normal jika nilai signifikansinya berada di atas 0,05 (p > 0.05).
2. Uji Linearitas
Uji asumsi linearitas dilakukan dengan analisis Means: Test for Linearity dan analisis grafik scatterplot. Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah data variabel cyberloafing berkorelasi secara linear terhadap variabel job demand. Asumsi linearitas dianggap terpenuhi apabila nilai signifikansinya berada di bawah 0,05 (p < 0,05).
3. Uji Korelasi
Uji korelasi dilakukan dengan Pearson Product Moment. Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel job demand dan cyberloafing. Kedua variabel dikatakan berkorelasi jika p < 0,05. Adapun kriteria penilaian korelasi menurut Sugiyono (2010), yaitu:
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00-0,199 Sangat Rendah
0,20-0,399 Rendah
0,40-0,599 Sedang
0,60-0,799 Kuat
39
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas keseluruhan hasil penelitian, yang dimulai dengan gambaran umum subjek penelitian, dilanjutkan dengan hasil penelitian hingga pembahasan mengenai hasil analisa data.
A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN
Responden dalam penelitian ini adalah seluruh guru di Pucca Learning Center Medan. Hal ini sesuai dengan metode pengambilan sampel yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu nonprobability sampling, khususnya total sampling yaitu teknik sampling yang menggunakan seluruh anggota populasi untuk dijadikan sampel (Sugiyono, 2010). Data dari 70 responden yang merupakan guru di Pucca Learning Center dikategorikan dalam jenis kelamin, jenjang pengajaran, dan masa kerja. Penggolongan yang dilakukan terhadap responden dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai gambaran responden sebagai objek penelitian. Gambaran umum dari responden sebagai objek penelitian tersebut satu per satu dapat diuraikan seperti pada bagian berikut:
1. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Penyebaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat melalui tabel berikut:
40
Tabel 5 - Sebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Pria 12 17,14%
Wanita 58 82,86%
Total 70 100%
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa jumlah responden pria adalah sebanyak 12 orang (17,14%) dan responden wanita berjumlah 58 orang (82,86%).
2. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenjang Pengajaran
Penyebaran subjek penelitian berdasarkan jenjang pengajaran dapat dilihat melalui tabel berikut:
Tabel 6 - Sebaran Subjek Berdasarkan Jenjang Pengajaran
Jenjang Pengajaran Jumlah Persentase
Lower level 20 28,57%
Higher level 50 71,43%
Total 70 100%
Di Pucca Learning Center, terdapat dua kelompok guru dengan jenjang pengajaran berbeda, yaitu lower level dan higher level. Guru-guru yang mengajar lower level termasuk guru PAUD. Sedangkan guru-guru yang mengajar kelas SD, SMP, dan SMA disebut dengan guru-guru higher level. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa jumlah responden yang mengajar tingkat balita hingga TK adalah sebanyak 20 orang (28,57%) sedangkan responden yang mengajar tingkat SD hingga SMA terdiri atas 50 orang responden (71,43%).
3. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia
Penyebaran subjek penelitian berdasarkan usia dapat dilihat melalui tabel berikut:
41
Tabel 7 - Sebaran Subjek Berdasarkan Usia
Usia Jumlah Persentase
19 tahun - 22 tahun 39 55,71%
23 tahun - 32 tahun 31 44,29%
Total 70 100%
Berdasarkan tabel di atas, 39 orang responden (55,71%) adalah guru yang berusia 18 hingga 21 tahun. Sebanyak 31 responden (44,29%) berusia 21 hingga 40 tahun.
A. HASIL UJI ASUMSI PENELITIAN
Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment. Sebelum melakukan analisis tersebut maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yang bertujuan untuk melihat distribusi data penelitian. Uji asumsi meliputi uji normalitas dan uji linearitas.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah data yang dianalisis sudah terdistribusi dengan normal. Pengujian akan dilakukan dengan bantuan SPSS Statistic 16 for Windows dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Asumsi normalitas pada penelitian ini akan terbukti ketika nilai signifikansi variabel data lebih besar dari 0,05. Hasil uji asumsi normalitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 8 - Hasil Uji Asumsi Normalitas
42
Job Demand 0,161 Normal
Cyberloafing 0,070 Normal
Berdasarkan tabel di atas, nilai signifikansi job demand yaitu p (0,161) > 0,05 dan nilai signifikansi cyberloafing yakni p (0,070) > 0,05 menunjukkan data berdistribusi dengan normal. Hasil uji SPSS dapat dilihat pada lampiran 7.
2. Uji Linearitas
Untuk mengetahui apakah variabel bebas (job demand), berkorelasi secara linear atau tidak terhadap variabel tergantung (cyberloafing) maka perlu dilakukan uji linearitas.Variabel bebas dengan variabel tergantung adalah linear apabila p < 0,05 untuk linearity dan p > 0,05 untuk deviation from linearity. Hasil uji SPSS dapat dilihat pada lampiran 8.
Tabel 9 - Hasil Uji Asumsi Linearitas Variabel p Deviation from
Linearity Keterangan Cyberloafing *
Job Demand 0,00 0,41 linear
Tabel di atas menunjukkan hasil uji linearitas pada kedua variabel yang memperoleh nilai p = 0,00. Dengan nilai linearity p (0,00) < 0,05 dan deviation from linearity p (0,41) > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang linear. Selain itu, hasil analisis scatterplot menunjukkan hubungan linear yang arahnya negatif. Gambar scatterplot dapat dilihat pada lampiran.
43
B. HASIL UTAMA PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara job demand dengan cyberloafing. Hipotesa yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu ada hubungan negatif job demand dengan cyberloafing. Hipotesa statistik dalam penelitian ini adalah:
H0: r=0, artinya tidak ada hubungan negatif antara job demand dengan cyberloafing
H1: r≠0, artinya ada hubungan negatif antara job demand dengan
cyberloafing
Hasil uji korelasi Pearson Product Moment dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 10 - Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment Analisis Pearson Correlation (r)
Korelasi Pearson Product Moment -0,751
Sesuai pernyataan Field (2009), kedua variabel dikatakan memiliki hubungan apabila nilai r ≠ 0. Dari hasil pengolahan data, didapatkan hasil korelasi sebesar r = -0,751. Karena itu, hasil uji korelasi memiliki arti bahwa H0 ditolak dengan nilai r = -0,751 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang kuat antara job demand dengan cyberloafing. Hasil uji SPSS dapat dilihat pada lampiran 9.
44
Penyebaran subjek berdasarkan kategori skor akan dilampirkan pada deskripsi data penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh, maka perbandingan data empiris dan hipotetik dari variabel cyberloafing dan job demand dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 11 - Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Variabel Nilai Empirik Nilai Hipotetik
Min Max Mean SD Min Max Mean SD
Cyberloafing 1 21 6,87 5,19 0 48 24 8
Job Demand 31 60 48,32 5,71 22 88 55 11
Kategorisasi dalam penelitian ini menggunakan dua jenis norma untuk variabel yang berbeda. Norma untuk job demand terbagi atas tiga kategori yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan norma untuk cyberloafing terbagi atas tiga kategori yaitu: jarang, kadang-kadang, dan sering.
1. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Job Demand
Norma kategorisasi data penelitian job demand yang digunakan adalah menggunakan rumus standar deviasi sebagai berikut:
Tabel 12 - Norma Kategorisasi Data Penelitian Job Demand
Rentang Nilai Kategorisasi
X < (μ -1.0 SD) Rendah
(μ -1.0SD) ≤ X ≤ (μ +1.0 SD) Sedang
X > (μ +1.0 SD) Tinggi
Berdasarkan norma di atas, kategorisasi skor job demand secara umum adalah sebagai berikut:
Tabel 13 - Kategorisasi Data Penelitian Job Demand
Rentang Nilai Kategorisasi Jumlah Persentase (%)
45
44 – 66 Sedang 57 81,42
> 66 Tinggi 0 0
Total 70 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa tidak ada subjek yang memiliki tingkat job demand yang tinggi. Sebanyak 18,57% reponden masuk dalam kategori tingkat job demand yang rendah, dan sisanya, yakni sebesar 81,42% berada dalam kategori tingkat job demand yang sedang.
2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Cyberloafing
Norma kategorisasi data penelitian perilaku cyberloafing yang digunakan adalah menggunakan rumus standar deviasi sebagai berikut:
Tabel 14- Norma Kategorisasi Data Penelitian Cyberloafing
Rentang Nilai Kategorisasi
X < (μ -1.0 SD) Jarang
(μ -1.0SD) ≤ X ≤ (μ +1.0 SD) Kadang-Kadang
X > (μ +1.0 SD) Sering
Kategorisasi skor cyberloafing secara umum adalah sebagai berikut:
Tabel 15 - Kategorisasi Data Penelitian Cyberloafing
Rentang Nilai Kategorisasi Jumlah Persentase (%)
< 12 Jarang 56 80
12 – 32 Kadang-Kadang 14 20
> 32 Sering 0 0
Total 70 100
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa terdapat sebanyak 80% subjek yang jarang melakukan cyberloafing, dan sekitar 20% subjek penelitian yang kadang-kadang melakukan cyberloafing. Tidak satupun subjek penelitian melakukan cyberloafing dengan sering.
46
E. PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada guru di Pucca Learning Center Medan, dengan jumlah 70 orang guru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu job demand dan cyberloafing. Dalam uji asumsi hipotesis, ditemukan hubungan linear yang arahnya negatif. Hal ini berarti bahwa kenaikan dari satu variabel diikuti oleh penurunan variabel lainnya. Hasil utama penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang kuat antara job demand dengan cyberloafing dengan koefisien korelasi sebesar 0,751.
Hubungan negatif tersebut artinya semakin rendah job demand maka semakin tinggi frekuensi cyberloafing. Dalam penelitian Hart (2010), ditemukan bahwa job demand yang rendah mempengaruhi perhatian seseorang dalam bekerja, dimana karyawan dengan job demand yang rendah cenderung terdistraksi secara kognitif saat bekerja dengan melakukan hal-hal seperti membaca, mengirim SMS, memeriksa email dan browsing. Maka dari itu, distraksi juga dapat dialami oleh guru-guru dengan job demand yang rendah sehingga melakukan cyberloafing saat mengajar sehingga menyebabkan frekuensi cyberloafing yang tinggi.
Beberapa penelitian terdahulu sebenarnya telah menemukan adanya hubungan antara job demand dengan cyberloafing. Namun, variabel job demand diantarai oleh variabel stres (Blanchard & Henle, 2008b). Dalam
47
penelitian tersebut stres yang disebabkan oleh tingginya job demand meningkatkan perilaku penyimpangan di tempat kerja seperti cyberloafing. Di sisi lain, job demand yang rendah juga dapat menyebabkan stres. Hal ini sesuai dengan kurva Yerkes-Dodson Law yang berbentuk ‘U’ terbalik dalam
menjelaskan hubungan workload dengan performa kerja (Hart, 2010). Stres akibat rendahnya job demand membuat karyawan mengkompensasi emosi negatif tersebut dengan melakukan withdrawal, salah satu caranya adalah dengan melakukan cyberloafing (Askew, 2009).
Berdasarkan hasil kategorisasi job demand, dapat dilihat bahwa tingkat job demand pada guru di Pucca Learning Center Medan berada pada kategori sedang yaitu 81,42% dan sisanya yaitu 18,57% berada pada kategori rendah. Kategori ini menunjukkan bahwa guru di Pucca Learning Center Medan memiliki work overload, emotional load dan cognitive load yang sedang. Padahal, guru di Pucca Learning Center Medan memiliki agenda untuk mengulangi pelajaran hingga sempurna untuk beberapa pertemuan. Selain itu, pimpinan Pucca Learning Center Medan telah membagi guru - guru ke dalam dua tingkatan yaitu lower level dan higher level sesuai dengan tingkat kemampuan dan pengalaman guru. Sehingga jumlah maksimal murid yang ditangani satu orang guru adalah enam murid. Namun alasan dari hasil kategorisasi yang sedang tersebut adalah tidak adanya pembagian job desk yang jelas sebab selain agenda topik pengajaran yang disediakan, guru-guru dibebaskan untuk memberikan aktivitas yang berhubungan dengan materi
48
pelajaran dan murid-murid dapat menanyakan mengenai pelajaran sekolah berupa pekerjaan rumah maupun ujian.
Berdasarkan kategorisasi cyberloafing, mayoritas guru yaitu 80% jarang melakukan cyberloafing dan sisanya 20% kadang-kadang melakukan cyberloafing. Tidak satupun subjek penelitian melakukan cyberloafing dengan frekuensi sering. Kategori ini menunjukkan bahwa guru di Pucca Learning Center Medan memiliki frekuensi cyberloafing yang rendah. Rendahnya frekuensi cyberloafing merupakan pengaruh dari larangan penggunaan internet berupa himbauan yang ditetapkan oleh pimpinan sekolah untuk tidak menggunakan gadget atau telepon genggam pada jam mengajar terkecuali untuk hal yang berhubungan dengan proses belajar mengajar atau keperluan mendesak.
Seperti yang diulas oleh Ozler dan Polat (2012), aturan mengenai penggunaan internet dapat mempengaruhi aktivitas cyberloafing. Frekuensi cyberloafing cenderung berkurang apabila perusahaan memiliki regulasi mengenai penggunaan internet. Dalam populasi penelitian ini, peraturan yang dibuat hanya berupa himbauan dalam bentuk verbal dan poster. Hal ini menyebabkan aktivitas cyberloafing masih terjadi meskipun dalam taraf yang rendah. Menurut Vitak et al. (2011), sanksi juga dapat mempengaruhi frekuensi seseorang dalam melakukan cyberloafing. Selain himbauan, pimpinan Pucca Learning Center tidak memberikan sanksi untuk aktivitas cyberloafing.
Berdasarkan kategorisasi hasil penelitian juga ditemukan bahwa proporsi subjek pria dan wanita tidak seimbang, yaitu subjek wanita 65% lebih
49
banyak daripada subjek pria. Namun, Weatherbee (2010) menemukan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang kuat dengan cyberloafing sehingga hal tersebut dapat dikesampingkan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 44,29% guru di Pucca Learning Center Medan berusia antara 22 hingga 40 tahun dan sisanya yaitu 55,71% berusia 18 hingga 21 tahun. Usia memiliki korelasi yang lemah dalam menentukan perilaku cyberloafing sehingga hal ini juga dapat diabaikan (Weatherbee, 2010).
Meskipun hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif yang kuat antara kedua variabel, hasil kategorisasi justru memberi gambaran yang berbeda. Menurut tabel kategorisasi, tingkat job demand yang sedang menghasilkan frekuensi cyberloafing yang rendah, berbeda dengan hasil komputasi korelasi yang menunjukkan bahwa semakin rendahnya job demand seseorang, maka semakin tinggi pula frekuensi cyberloafing. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat job demand seseorang, semakin rendah frekuensi cyberloafing. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan dengan peranan variabel karakteristik pekerjaan. Pernyataan tersebut dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vitak et al. (2011) dimana karakteristik pekerjaan yang kurang bervariasi dan membosankan membuat individu termotivasi untuk melakukan cyberloafing. Tingkat job demand yang sedang menunjukkan bahwa para guru di Pucca Learning Center memiliki karakteristik pekerjaan yang dianggap cukup bervariasi sehingga dalam melakukan tugasnya, frekuensi cyberloafing menjadi jarang terjadi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran dalam penelitian ini. Hasil penelitian diuraikan dalam bentuk poin-poin begitu pula saran bagi penelitian yang akan datang dengan topik yang serupa.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan data yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada hubungan negatif antara job demand dengan cyberloafing yang artinya, semakin rendah job demand karyawan maka semakin tinggi frekuensi seseorang melakukan cyberloafing. Sebaliknya, semakin tinggi job demand karyawan maka semakin rendah frekuensi seseorang melakukan cyberloafing.
2. Secara keseluruhan, guru di Pucca Learning Center Medan memiliki job demand dalam kategori sedang yaitu sebesar 81,42% dan sebesar 18,58% pada kategori rendah.
3. Secara keseluruhan, 80 % guru di Pucca Learning Center Medan memiliki tingkat frekuensi cyberloafing yang jarang dan sisanya yaitu 20% kadang-kadang melakukan cyberloafing.
B. SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran yang berguna bagi studi ilmiah yang akan datang dan kursus Pucca Learning Center Medan. Saran-saran ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu saran metodologis dan saran praktis:
1. Saran Metodologis
a. Aktivitas yang digolongkan sebagai cyberloafing berbeda dari satu organisasi dengan lainnya. Maka peneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih memperhatikan alat ukur cyberloafing yang akan digunakan sehingga sesuai dengan populasi penelitian.
b. Mengingat cyberloafing termasuk sebagai deviant behavior (perilaku menyimpang di tempat kerja), terdapat social desirability yang tinggi pada aitem. Akibatnya, terdapat kemungkinan responden melakukan faking seperti memilih tingkatan frekuensi aitem cyberloafing yang lebih rendah dari yang sebenarnya terjadi. Peneliti selanjutnya disarankan menggunakan bermacam-macam metode (misalnya: observasi atau rating rekan kerja) untuk mendapatkan data yang paling nyata.
c. Melihat hasil kategorisasi data penelitian yang berbeda dengan hasil penelitian, peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian lebih lanjut mengenai variabel lain yang memoderasi antara variabel job demand dan cyberloafing.
d. Peneliti selanjutnya yang akan meneliti topik yang serupa dapat meneliti subjek seperti guru pada sekolah negeri/swasta atau dosen universitas sehingga dapat dibandingkan tingkat job demand dan cyberloafing dengan guru kursus.
2. Saran Praktis
Meskipun sebenarnya kursus telah melakukan langkah preventif, namun cyberloafing tidak dapat dihapus dengan sepenuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peluang peningkatan cyberloafing di masa depan. Maka dari itu, peneliti menyarankan kepada kursus Pucca Learning Center untuk mengambil langkah-langkah yang dapat menghapus cyberloafing di kelas, dengan menetapkan sanksi untuk pelaku cyberloafing atau supervisi manajer untuk mengurangi cyberloafing.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. CYBERLOAFING 1. Definisi Cyberloafing
Survei-survei mengenai penggunaan internet pada waktu kerja telah dimulai sejak tahun 1990-an (Roman, 1996). Penelitian cyberloafing pertama kali dilakukan oleh Guthrie dan Gray pada tahun 1996 dengan istilah junk computing. Beragam istilah dan definisi yang digunakan untuk penggunaan internet pribadi yaitu non-work related computing, cyberloafing, cyberslacking, cyberbludging, on-line loafing, internet deviance, problematic internet use, personel web usage at work, internet dependency, internet abuse, internet addiction dan internet addiction disorder (Kim & Bryne, 2011). Berbagai terminologi tersebut mengarah pada hal yang sama yaitu penggunaan internet untuk keperluan pribadi di tempat kerja yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan cyberloafing.
Menurut Lim (2002), cyberloafing merupakan tindakan karyawan yang disengaja dengan penggunaan akses internet milik perusahaan untuk hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja. Lebih jauh lagi, definisi konstruk cyberloafing diperjelas menjadi tindakan karyawan yang disengaja dengan penggunaan akses internet milik perusahaan selama jam kerja untuk browsing situs-situs untuk tujuan pribadi dan memeriksa
12 (termasuk menerima dan mengirim) e-mail personal. Kelompok situs
hiburan seperti Facebook, YouTube, dan ESPN dikategorikan sebagai “situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan”.
Blanchard & Henle (2008a) mendefinisikan cyberloafing sebagai penggunaan email dan internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh karyawan secara sengaja saat bekerja. Lebih jelas lagi, Henle dan Kedharnath (2012) mendefinisikan cyberloafing sebagai penggunaan internet secara sengaja selama jam kerja untuk keperluan pribadi dengan teknologi internet yang disediakan oleh perusahaan maupun yang karyawan bawa ke tempat kerja (misalnya: smartphone, iPad). Askew (2012) mendefinisikan cyberloafing sebagai perilaku yang muncul ketika seorang karyawan non-telekomunikasi menggunakan komputer jenis apa saja (desktop, smartphone, tablet) di tempat kerja untuk aktivitas non-destruktif namun juga tidak dinilai berhubungan dengan pekerjaan oleh atasannya.
Berdasarkan paparan definisi cyberloafing yang telah dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku aktivitas karyawan menggunakan akses internet perusahaan menggunakan komputer jenis apa saja untuk keperluan pribadi dan tidak berhubungan dengan pekerjaan.
2. Aktivitas-aktivitas Cyberloafing
Lim dan Chen (2012) membagi perilaku cyberloafing menjadi dua yaitu browsing dan emailing. Browsing adalah penggunaan internet milik perusahaan untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pada
13 saat bekerja sedangkan emailing merupakan aktivitas seperti mengirim dan menerima email pribadi pada saat bekerja.
Aktivitas cyberloafing yang akan diteliti adalah aktivitas cyberloafing berupa mengirim dan menerima email pribadi dan aktifitas browsing (jejaring sosial, mengunduh file atau musik, dan mencari berita diluar pekerjaan) yang dikemukakan oleh Lim dan Chen (2012).
3. Faktor-faktor Perilaku Cyberloafing
Menurut Ozler dan Polat (2012), faktor pemicu munculnya perilaku cyberloafing terbagi menjadi tiga, yaitu: faktor individual, faktor organisasional dan faktor situasional.
a. Faktor individual
Beberapa faktor individual yang menyebabkan cyberloafing adalah: 1) Persepsi dan Sikap
Individu dengan persepsi dan sikap yang positif terhadap komputer cenderung menggunakan komputer untuk kepentingan pribadi (Liberman, Seidman, McKenna & Buffardi, 2011). Persepsi bahwa internet membawa keuntungan bagi pekerjaan membuat karyawan cenderung melakukan cyberloafing (Vitak, Crouse & LaRose, 2011). Selain itu, persepsi karyawan mengenai perilaku cyberloafing di organisasi membuat karyawan yang terlibat cyberloafing minor merasa bahwa itu bukan perilaku menyimpang (Blanchard & Henle, 2008a).
14 2) Kepribadian
Kepribadian seseorang mempengaruhi cara penggunaan internet. Individu dengan kepribadian yang pemalu cenderung melakukan cyberloafing sedangkan individu dengan kepercayaan diri rendah dan individu dengan orientasi eksternal kurang dapat mengontrol penggunaan internet (Ozler & Polat, 2012). Penelitian menunjukkan hubungan negatif antara conscientiousness dan penyimpangan perilaku kerja (Farhadi, Fatimah, Nasir & Wan Shahrazad, 2012) dimana individu dengan conscientiousness yang semakin rendah akan melakukan cyberloafing. Sejalan dengan penelitian tersebut, Woods (2014) menemukan hubungan positif antara penundaan dan kepribadian conscientiousness dengan cyberloafing.
3) Kebiasaan dan Kecanduan Internet
Karyawan yang terbiasa menggunakan internet atau mengalami kecanduan menggunakan internet lebih besar peluangnya melakukan penyalahgunaan internet (Vitak et al., 2011).
4) Demografis
Tingkat pendapatan, pendidikan, dan gender merupakan prediktor cyberloafing. Individu dengan pendidikan yang tinggi menggunakan internet untuk mencari informasi, sedangkan individu dengan pendidikan yang rendah cenderung menggunakan internet untuk bermain permainan online. Gender dan usia dapat mempengaruhi frekuensi dan tipe cyberloafing. Hal ini didukung penelitian dari Garrett & Danziger (2008) dimana jenis kelamin
15 pria dan usia yang lebih muda cenderung melakukan cyberloafing. Pria lebih sering melakukan cyberloafing dan melakukannya lebih lama apabila dibandingkan dengan wanita. Pria lebih sering menggunakan internet untuk permainan online sedangkan wanita lebih tertarik untuk melakukan komunikasi online (Lim & Chen, 2012). Studi lainnya menyatakan bahwa pria dan wanita sama-sama beresiko melakukan cyberloafing (Ugrin et al., 2008). Pada beberapa penelitian, faktor usia hanya memiliki korelasi yang lemah dengan cyberloafing (Weatherbee, 2010).
5) Intensi, Norma Sosial dan Etika Pribadi
Intensi dianggap sebagai prediktor perilaku yang baik. Namun, penyalahgunaan internet adalah perilaku yang dikontrol norma-norma perusahaan sehingga tindakan tersebut cenderung dilakukan karena dorongan dari luar (Woon & Pee, 2004). Persepsi seseorang mengenai