60
61
Lampiran 1: Aitem Skala Job Demand Sebelum Uji Coba
No. Pernyataan
1. Saya merasa pekerjaan saya tidak ada habisnya.
2. Saya harus mengajar lebih dari waktu mengajar demi memastikan murid saya sudah mengerti
3. Pekerjaan yang saya miliki melebihi waktu kerja saya
4. Saya kurang memahami tugas-tugas yang diharapkan dalam pekerjaan saya 5. Saya merasa lelah karena pekerjaan saya membutuhkan konsentrasi secara terus
menerus
6. Saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya walau sebentar
7. Saya terpaksa mempelajari hal-hal yang di luar kapasitas saya karena tuntutan pekerjaan saya yang rumit
8. Kelas / sekolah dimana saya mengajar ribut sehingga saya tidak dapat mengajar dengan tenang
9. Orang –orang di sekeliling saya bersikap ketus
10. Saya merasa nyaman bekerja di institusi pendidikan ini
11. Saya memiliki waktu senggang untuk beristirahat selagi mengajar 12. Saya merasa tertekan selama bekerja di institusi pendidikan ini
13. Saya berusaha bersabar menghadapi orang-orang yang bekerja di sekeliling saya meskipun saya merasa kesal padanya
14. Saya merasa santai dalam melakukan pekerjaan saya
15. Orang-orang di sekeliling saya mengganggu saya dalam menyelesaikan pekerjaan saya saat mengajar
16. Tuntutan pekerjaan saya tergolong lebih mudah dibandingkan dengan kemampuan saya
17. Saya merasa diasingkan di institusi pendidikan ini
18. Lingkungan kerja saya membuat saya bersemangat untuk bekerja 19. Saya dapat mengerjakan hal lain selain pekerjaan sambil mengajar 20. Saya tidak diburu oleh waktu dalam mengajar
21. Tuntutan pekerjaan saya tidak membebani pikiran saya 22. Saya merasa terancam dengan lingkungan kerja saya
23. Saya dapat permasalahan dalam mengajar sesuai dengan pengetahuan yang saya miliki
24. Saya senang bekerja sama dengan orang-orang di sekeliling saya 25. Saya mengerjakan pekerjaan saya sesuai job description dari sekolah 26. Kinerja saya menurun seiring peningkatan beban kerja saya
27. Pekerjaan saya menuntut ketelitian yang tinggi
28. Pekerjaan saya tidak mentolerir kesalahan sekecil apapun 29. Saya harus mengawasi pekerjaan saya terus menerus
62
Lampiran 2: Aitem Skala Cyberloafing Sebelum Uji Coba
No. Pernyataan
1. Mengunjungi situs berita online yang tidak berhubungan dengan pekerjaan 2. Mengunjungi situs hiburan dan infotainment
3. Mengakses sosial media (Contoh: Instagram, Path, Facebook, Twitter, Snapchat, Periscope, Seventeen, Pinterest, Blog, Tumblr, Flickr, Ask.Fm) 4. Belanja online
5. Memeriksa, mengirim atau membalas email pribadi 6. Mengunjungi situs tentang hobi
7. Berkomunikasi lewat pesan instan (Contoh: Line, BBM, WhatsApp, Facebook Messenger, Skype, Wechat, KakaoTalk, Kik)
8. Menonton video / film online 9. Bermain game online
10. Mengunjungi situs wisata
63
Lampiran 3: Hasil Uji Coba Reliabilitas Aitem Job Demand
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based on
Standardized
Items N of Items
64
Lampiran 4: Hasil Uji Coba Daya Beda Aitem Job Demand
65
q24 66.2286 56.759 .444 . .808
q25 65.9714 57.419 .343 . .812
q26 65.0857 60.282 .061 . .822
q27 64.6143 58.182 .335 . .813
q28 65.9714 58.144 .310 . .813
q29 65.2571 59.875 .127 . .819
66
Lampiran 5: Hasil Uji Coba Reliabilitas Aitem Cyberloafing
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based on
Standardized
Items N of Items
67
Lampiran 6: Hasil Uji Coba Daya Beda Aitem Cyberloafing
68
Lampiran 7: Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
jd cl
N 70 70
Normal Parametersa,,b Mean 48.3286 6.8714
Std. Deviation 5.71223 5.19733
Most Extreme Differences Absolute .134 .155
Positive .089 .155
Negative -.134 -.129
Kolmogorov-Smirnov Z 1.123 1.296
Asymp. Sig. (2-tailed) .161 .070
a. Test distribution is Normal.
69
Lampiran 8: Hasil Uji Linearitas
ANOVA Table
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
cl
*
jd
Between
Groups
(Combined) 1326.048 23 57.654 4.931 .000
Linearity 1052.060 1 1052.060 89.987 .000
Deviation from
Linearity
273.988 22 12.454 1.065 .415
Within Groups 537.795 46 11.691
Total 1863.843 69
70
Lampiran 9: Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment
Correlations
jd cl
Jd Pearson Correlation 1 -.751**
Sig. (1-tailed) .000
N 70 70
Cl Pearson Correlation -.751** 1
Sig. (1-tailed) .000
N 70 70
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
71
Lampiran 10: Skala Penelitian
SKALA PENELITIAN
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
IDENTITAS DIRI
Nama/Inisial :
Usia :
Jenis Kelamin : Laki-Laki/Perempuan (coret yang tidak perlu)
PETUNJUK PENGISIAN:
Anda diharapkan menjawab setiap pernyataan dalam skala ini sesuai dengan keadaan, perasaan dan pikiran Anda yang sebenarnya dengan cara memilih: SS : Bila Anda merasa sangat setuju dengan pernyataan tersebut S : Bila Anda merasa setuju dengan pernyataan tersebut
TS : Bila Anda merasa tidak setuju dengan pernyataan tersebut
STS : Bila Anda merasa sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut Berikan tanda silang (X) pada kolom jawaban yang anda anggap paling sesuai dengan diri Anda.
Contoh pengisian skala:
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Saya adalah orang yang
bertanggung jawab X
NB: Jika Anda ingin memperbaiki jawaban, anda cukup membuat tanda sama dengan (=) di tengah-tengah tanda silang, lalu pilih kembali jawaban Anda.
73 mengajar demi menyelesaikan materi pelajaran untuk anak didik
3. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan materi pelajaran terlalu singkat
4. Saya harus konsentrasi secara terus menerus selama mengajar
5. Saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya walau sebentar
6. Saya terpaksa mempelajari hal-hal baru karena tuntutan pekerjaan saya yang rumit
7. Suasana di kelas ribut sehingga saya tidak dapat mengajar dengan tenang
8. Orang – orang di sekeliling saya bersikap sinis
9. Saya merasa nyaman bekerja di kursus ini
10. Saya merasa tertekan selama bekerja di kursus ini
11. Saya merasa kesal pada orang-orang di kursus ini
74
14. Lingkungan kerja saya membuat saya bersemangat untuk bekerja
15. Saya dapat mengobrol sambil mengajar
16. Saya tidak perlu terburu-buru dalam mengajarkan materi pelajaran
17. Saya merasa terancam dengan lingkungan kerja saya
18. Saya senang bekerja sama dengan orang-orang di sekeliling saya
19. Saya mengerjakan pekerjaan saya sesuai job description
20. Pekerjaan saya menuntut ingatan yang baik 21. Pekerjaan saya harus diawasi terus menerus
22. Pekerjaan saya tidak mentolerir kesalahan sekecil apapun
SKALA II
Dalam satu hari, seberapa sering Anda melakukan hal berikut menggunakan akses Internet (misal: wi-fi) dari kursus pada saat mengajar?
Keterangan:
TP : Tidak Pernah
JR : 1 kali
KK : 2 - 5 kali
SR : > 5 kali
75
2. Mengunjungi situs hiburan dan infotainment
5. Memeriksa, mengirim atau membalas email pribadi
6. Mengunjungi situs tentang hobi
7.
Berkomunikasi lewat pesan instan (Contoh: Line, BBM, WhatsApp, Facebook Messenger, Skype, Wechat, KakaoTalk, Kik) 8. Menonton video / film online 9. Bermain game online
10. Mengunjungi situs wisata
11. Mengunduh file yang tidak berkaitan dengan pekerjaan
DAFTAR PUSTAKA
Adcock, A.B. (2000). Effects of cognitive load on processing and performance. University of Memphis Instructional Media Lab. Akses: 27 Mei 2015 http://aimlab.memphis.edu/amyscogpaper.pdf.
Anandarajan, M., & Simmers, C.A. (2005). Developing human capital through personal web use in the workplace: Mapping employee perceptions. Communications of the Association for Information Systems, 15 (41),
776-791.
Anwarsyah, W.I., Salendu A., Radikun T.B.S. (2012). Hubungan antara job demands dengan workplace well-being pada pekerja shift. Jurnal Psikologi PITUTUR, 1 (1), 29-40.
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik. (Edisi Revisi). Jakarta: Salemba Medika
Askew, K. (2009). Testing the plausibility of a series of casual minor cyberloafing models. Dissertations. University of South Florida.
Askew, K. (2012). The relationship between cyberloafing and task performance and an examination of the theory of planned behavior as a model of cyberloafing. Dissertations. University of South Florida.
Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar. ________. (2010). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Barrouilet P., Bernardin S., Portrat S., Vergauwe E., Camos V. (2007). Job time and cognitive load in working memory. Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory, and Cognition, American Psychological
Association, 33 (3), 570-585.
Bennet, R.J. & Robinson S.L.,(2000). Development of a measure of workplace deviance. Journal of Applied Psychology, 85 (3), 349-360.
Blanchard, A. & Henle, C. (2008a). Correlates of different forms of cyberloafing: The role of norms and external locus of control. Computers in Human Behavior, 24, 1067-1084.
Blanchard, A. & Henle, C. (2008b). The interaction of work stressors and organizational sanctions on cyberloafing. Journal of Managerial Issues, 20 (3), 383-400.
Blau, G., Yang, Y., & Ward-Cook, K. (2004). Testing a measure of cyberloafing. Journal of Allied Health, 35(1), 9-17.
Block, W.E. (2001). Cyberslacking, business ethics and managerial economics. Journal of Business Ethic, 33, 225-234
Buckingham, D. A. (2004). Assosiation among stress, work overload, role conflict, and self-efficacy in maine principals. Thesis. The University of Maine
Farhadi, H., Fatimah, O., Nasir,R., & Wan Shahrazad, W.S. (2012). Agreeableness and conscientiousness as antecedents of deviant behavior in workplace. Asian Social Science, 8 (9), 1-7.
Field, A. (2009). Discovering Statistics Using SPSS. British: Sage Publication Ltd.
Garrett, K., & Danziger J. (2008). Disaffection or expected outcomes: understanding personal internet use during work. Journal of Computer-Mediated Communication, 13, 937–958.
Greenfield, D.N., & Davis, R.A. (2002). Lost in cyberspace: the web @ work. Journal of CyberPsychology and Behavior, 5, 347–353.
Greengard, S. (2002). The high cost of cyberslacking. Workforce.12(December), 22-24
Guthrie, R., & Gray, P. (1996). Junk computing: is it bad for an organization?. Information Systems Management, 13 (1), 23-28.
Hart, C. S. (2010). Assessing the impact of low workload in supervisory control of networked unmanned vehicles. Dissertations. Massachusetts Institute of Technology.
Henle,C.A., & Kedharnath, U. (2012). Cyberloafing in the workplace. In Z. Yan, Encyclopaedia of Research on Cyber Behaviour. 1, 560-573.
Herlianto, A.W. (2013). Pengaruh stress kerja pada cyberloafing. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Manajemen Surabaya, 1 (2).
Karasek, R.A. (1979). Job demands, job decision latitude, and mental strain: implications for job design”. Administrative Science Quarterly, 24, 285-308.
Karasek, R.A. (1998). Demand/Control Model: a social, emotional, and physiological approach to stress risk and active behaviour development, in Stellman, J.M. (Ed.), Encyclopaedia of Occupational Health And Safety, ILO, Geneva, 34, 06-14.
Kay, Bart, Johnson,Y., Chern,A., & Kangas,A.H. (2009), “Cyberloafing: a
modern workplace phenomenon”,
http://www.alanchern.com/documents/Loafing.
Kim, S.J., & Byrne, S. (2011). Conceptualizing personal web usage in work contexts: a preliminary framework. Computers in Human Behavior, 27, 2271–2283.
Kurniawati, V. H. (2012). Perilaku pemanfaatan media internet sebagai
sumber belajar pada mata pelajaran sosiologi di SMA. Jurnal Sosialitas, 2(1).
LaRose, R., & Eastin, M.S. (2004). A social cognitive theory of internet uses and gratifications: toward a new model of media attendance. Journal of Broadcasting and Electronic Media, 48 (3).
Lim, V.K.G. (2002). The IT way of loafing on the job: Cyberloafing, neutralizing, and organizational justice. Journal of Organizational Behavior, 23, 675-694.
Lim, V.K.G., & Teo, T.S.H. (2005). Prevalence, perceived seriousness, justification and regulation of cyberloafing in Singapore: An exploratory study. Journal of Information and Management, 42, 1081-1093.
Lim, V.K.G. & Chen D.J.Q. (2012). Cyberloafing at the Workplace: Gain or Drain on work?. Behaviour and Information Technology, 31(4).
MacDonald, W. (2003). The impact of job demands and workload on stress and fatigue. Australian Psychologist, 38(2), 102-117
Mahatanankoon,P., Anandarajan,M., & Igbaria,M. (2004). Development of a measure of personal web usage in the workplace. CyberPsychology & Behavior.7(1), 93–104.
Malachowski, D. (2005). Wasted time at work costing companies billions. Akses,15Mei2015:http://www.salary.com/careers/layoutscripts/crel_displa y.asp?tab=cre&cat=no_cat
Malachowski, D. (2006). Wasted time at work still costing companies billions in 2006. Akses, 15 Mei 2015: http://www.salary.com/wasted-time-at-work- still-costing-companies-billions-in-2006
Mills, J. E., Hu, B., Beldona, S., & Clay, J. (2001). Cyberslacking! A wired workplace liability issue. Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly, 42, 34–47.
Norsilan, N., Omar Z., & Ahmad A. (2014). Workplace deviant behavior: does employee psychological job demand and lack of job resources influence employee workplace deviant behavior. Jurnal Psikologi Malaysia, 28 (2), 39-62.
Ozler, D.E., & Polat, G. (2012). Cyberloafing phenomenon in organizations: Determinants and impacts. International Journal of e-Bussiness and eGovernment Studies, 4(2), 1-15.
Page, D. (2015). Teacher’s personal web use at work. Journal of Behavior and
Information Technology, 34 (5), 443-453.
Reijseger, G., Schaufeli, W.B., Peeters, M. C. W., Taris, T.W., van Beek I., & Ouweneel, E. (2012). Watching the paint dry: Initial validation of the Dutch Boredom Scale. Anxiety, Stress & Coping: An International Journal, 26 (5), 508-525.
Robbins, S. P. & Judge T. (2007). Organizational Behavior. Upper Saddle River, N.J: Pearson/ Prentice Hall.
Roman, L. A. (1996). Survey: employees traveling in cyberspace while on the clock. Memphis Business Journal, 10, 2-3.
Schaufeli, W. B. & Bakker, A.B. (2004). Job demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: a multi-sample study. Journal of Organizational Behavior, 25, 293–315.
Schaufeli, W. B. (2006). The balance of give and take: Toward a social exchange model of burnout. International Review of Social Psychology, 19, 87-131. Schaufeli, W.B. & Salanova, M. (2014). Burnout, boredom and engagement at the
workplace. People at work: An Introduction to Contemporary Work Psychology (1st ed, 293-320) Edited by Maria C. W. Peeters, Jan de Jonge and Toon W. Taris, Chichester: John Wiley & Sons, Ltd
Sharma, P. & Maleyeff,J. (2003). Internet education: potential problems and solutions. International Journal of Educational Management, 17(1),19-25. Spector, P. E., Fox, S., Penney, L. M., Bruursema, K., Goh, A., & Kessler, S.
(2006). The dimensionality of counterproductivity: Are all counterproductive behaviors created equal?. Journal of Vocational Behavior,68 (3), 446–460
Sugiyono. (2010). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta
Ugrin, J. C., Pearson, J. M., & Odom, M. D. (2007). Profiling cyber-slackers in the workplace: demographic, cultural and workplace factors. Journal of Internet Commerce, 6 (3), 75-89.
Ugrin, J. C., Pearson, J. M., & Odom, M. D. (2008). Cyber-slacking: Self-control, prior behavior and the impact of deterrence measures. Review of Business Information Systems, 12(1), 75-87.
(2002). Specific relations between psychosocial job conditions and job-related stress: a three-level analytic approach. Work & Stress, 16, 207– 228.
Venkatraman, S. (2008). The “darth” side of technology use: cyberdeviant
workplace behaviors. Dissertation. University of Arkansas.
Vitak, J., Crouse, J., & Larouse, R. (2011). Personal internet use at work: Understanding cyberslacking. Computers in Human Behavior, 27, 1751- 1759.
Walter, L. (2013). Get Back to Work: How to Prevent “Cyberloafing” in the Workplace. Akses 21 April 2015: http://ehstoday.com/safety/get-back-work-how-to-prevent -cyberloafing-workplace
Weatherbee, T. G. (2010). Counterproductive use of technology at work: Information and communications technologies and cyberdeviancy. Human Resource Management Review, 20(1), 35-44.
Woods, F. (2014). A study into the relationship between cyberloafing, procrastination and conscientiousness in the workplace. Thesis. Department of Psychology. DBS School of Arts. Dublin. Akses: http://esource.dbs.ie/bitstream/handle/10788/2074/hdip_woods_f_2014.pd f?sequence=1
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian melibatkan pengumpulan data, analisa data dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam penelitian ini meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, prosedur penelitian dan metode analisis (Sugiyono, 2010).
A. IDENTIFIKASI VARIABLE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu: Variabel tergantung : Cyberloafing Variabel bebas : Job Demand
B. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati agar variabel-variabel penelitian tersebut tidak ambigu. Oleh karena itu, perlu dirumuskan definisi operasional mengenai variabel penelitian sebagai berikut:
diukur dengan skala yang dikembangkan peneliti dari skala Lim dan Chen (2012), yang mana skor yang tinggi menunjukkan seseorang memiliki frekuensi cyberloafing yang tinggi, sebaliknya skor yang rendah menunjukkan seseorang memiliki frekuensi cyberloafing yang rendah. 2. Job demand adalah jumlah/beban pekerjaan yang harus diselesaikan
karyawan ditinjau dari beban kerja fisik, emosi atau kognitif yang dapat menyebabkan kelelahan fisik atau psikologis. Variabel ini akan diukur menggunakan skala yang dikembangkan oleh peneliti dari skala Van Veldhoven (2002) yang terdiri dari dimensi: work overload, emotional load, dan cognitive load. Skor pada skala ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi job demand karyawan. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah job demand karyawan.
C. SUBJEK PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah guru di Pucca Learning Center yang berjumlah 70 orang. Apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya menjadi penelitian populasi (Arikunto, 2010).
D. METODE PENGUMPULAN DATA
(Azwar, 2010). Terdapat dua skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala job demand dan skala cyberloafing.
1. Skala Job Demand
Metode pengambilan data job demand dilakukan dengan menggunakan skala yang dikembangkan dari Questionnaire on the Experience and Evaluation of Work (QEEW) oleh Van Veldhoven (2002). Skala tersebut berisi
Tabel 1-Blue Print Skala Job Demand Sebelum Uji Coba No Dimensi Indikator Perilaku Butir Aitem Jumlah Jumlah
(%)
(Tidak Pernah) sampai dengan nilai 4 untuk jawaban SS (Sangat Sering). Skor pada skala ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi frekuensi cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah frekuensi cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan. Aitem skala cyberloafing sebelum diuji coba dapat dilihat pada lampiran 2. Blue print
skala cyberloafing dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2-Blue Print Skala CyberloafingSebelum Uji Coba
No. Kategori Jenis Aitem Jumlah Jumlah
1. Validitas Alat Ukur
mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan isi objek yang hendak diukur atau sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. Pengujian validitas ini dilakukan dengan cara analisis rasional atau professional judgement dengan dosen pembimbing dan pihak-pihak yang
ahli di bidangnya.
2. Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas alat ukur mengacu pada konsistensi alat ukur (Azwar, 2010). Tes yang reliabel adalah tes yang memiliki konsistensi tinggi di antara komponen-komponen. Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat konsistensi internal dari setiap variabel yaitu koefisien Cronbach Alpha. Suatu alat ukur dapat disebut reliabel apabila memiliki
korelasi minimal α > 0.070 (Azwar, 2003). Penelitian ini menggunakan
bantuan SPSS Statistic 16 for Windows untuk komputasi koefisien reliabilitas.
3. Uji Daya Diskriminasi Aitem
mengungkap perbedaan individual. Pengujian daya beda aitem ini bantu dengan program SPSS Statistic 16 for Windows.
F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR
Uji coba alat ukur dalam penelitian ini dilakukan secara online dengan jumlah responden sebanyak 70 orang guru kursus di kota Medan sejak tanggal 20 Desember 2015 hingga 23 Desember 2015. Peneliti kemudian mengolah data uji coba yang terkumpul untuk melihat daya diskriminasi aitem dan reliabilitas dari kedua skala tersebut dengan menggunakan program SPSS Statistic 16 for Windows. Kriteria pemilihan aitem adalah aitem-aitem yang memiliki nilai koefisien korelasi dengan batasan setidaknya 0,30 (rix ≥ 0.30). Aitem yang memiliki koefisien korelasi minimal 0,30 dianggap memiliki daya pembeda yang memuaskan (Azwar, 2010).
1. Hasil Uji Coba Skala Job Demand
demand dapat dilihat pada lampiran 3 dan hasil uji coba daya diskriminasi
aitem job demand dilihat pada lampiran 4. Blue print skala job demand yang akan digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3-Distribusi Aitem Skala Job Demand Setelah Uji Coba No Dimensi Indikator Perilaku Butir Aitem Jumlah Jumlah
(%)
2. Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing
hingga 0,811. Hasil uji coba reliabilitas aitem cyberloafing dapat dilihat pada lampiran 5 dan hasil uji coba daya beda aitem cyberloafing dapat dilihat pada lampiran 6. Blue print skala cyberloafing yang akan digunakan dalam penelitian tidak berubah dan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4-Distribusi Aitem Skala Cyberloafing Setelah Uji Coba
No Kategori Jenis Aitem Jumlah Jumlah
Terdapat tiga tahap dalam menjalankan prosedur penelitian, yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pengolahan data.
1. Tahap Persiapan Penelitian
Terdapat beberapa tahap persiapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Pencarian referensi
Peneliti mencari referensi yang berhubungan dengan topik penelitian yaitu job demand dan cyberloafing melalui jurnal penelitian.
b. Mengumpulkan data
c. Pembuatan alat ukur
Peneliti membuat rancangan alat ukur berupa skala job demand dan cyberloafing melalui kajian teori dan hasil penelitian yang didapatkan
melalui referensi. Kemudian, peneliti menentukan dimensi atau aspek dari setiap variabel dan menjabarkannya menjadi beberapa indikator dilanjutkan dengan pembuatan blue print skala yang di dalamnya berisi aitem-aitem pernyataan. Setelah itu, peneliti meminta penilaian ahli atau professional judgment pada dosen yang ahli dalam masing-masing
variabel untuk dinilai relevansi aitem serta validitasnya. d. Uji coba alat ukur
Selanjutnya, uji coba alat ukur dilakukan dengan sistem online. Tujuan dari uji coba skala yang telah dibuat ini adalah untuk mengetahui reliabilitas dan validitas dari alat ukur. Peneliti menerima sebanyak 70 data dari responden dengan kriteria yang telah ditentukan. Dari hasil olah data ini, dapat diketahui kekurangan dari alat ukur yang dibuat sehingga peneliti dapat memperbaikinya.
e. Revisi alat ukur
Dari hasil uji coba alat ukur, peneliti merevisi alat ukur dengan cara memilih aitem-aitem yang reliabilitas dan validitasnya dianggap baik setelah diolah menggunakan bantuan aplikasi komputer SPSS Statistic 16 for Windows. Kemudian, aitem-aitem yang reliabel saja yang
f. Permohonan izin pengambilan data
Pada tahap ini, peneliti menentukan perusahaan atau instansi yang sesuai dengan fenomena atau latar belakang penelitian dimana peneliti akan mengambil data penelitian. Pada tanggal 10 Desember 2015, peneliti datang ke salah satu instansi pendidikan yang berlokasi di Medan yaitu Pucca Learning Center Medan untuk menjelaskan perihal penelitian dan kebutuhan untuk pengambilan data dari instansi tersebut dan mendapatkan izin untuk melakukan penelitian di instansi tersebut.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Tahap ini adalah tahap dimana penyebaran skala dilakukan. Peneliti memberikan skala penelitian terhadap perwakilan dari pihak Pucca Learning Center Medan pada tanggal 7 Januari 2016. Karena menggunakan skala penelitian populasi, peneliti memberikan skala sebanyak jumlah guru di Pucca Learning Center Medan, yakni 70 orang guru. Dalam waktu 10 hari, seluruh skala yang dibutuhkan diterima kembali oleh peneliti.
3. Tahap Pengolahan Data Penelitian
H. METODE ANALISIS DATA
Penelitian ini menggunakan metode analisis data Pearson Product Moment yang dioperasikan menggunakan bantuan program aplikasi komputer
SPSS Statistic 16 for Windows. Metode analisis data ini bertujuan untuk mencari tahu hubungan antara dua buah variabel (Field, 2009).
Untuk melakukan uji korelasi Pearson Product Moment, data yang terkumpul harus memenuhi asumsi normalitas dan juga linearitas terlebih dahulu. Untuk itu dilakukan uji asumsi sebagai berikut:
1. Uji Normalitas
Uji asumsi normalitas dilakukan dengan analisis Kolmogorov-Smirnov. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi
data penelitian masing-masing variabel tergantung (cyberloafing) dan variabel bebas (job demand) telah menyebar secara normal. Data penelitian telah dapat dikatakan menyebar secara normal jika nilai signifikansinya berada di atas 0,05 (p > 0.05).
2. Uji Linearitas
Uji asumsi linearitas dilakukan dengan analisis Means: Test for Linearity dan analisis grafik scatterplot. Uji linearitas dilakukan untuk
3. Uji Korelasi
Uji korelasi dilakukan dengan Pearson Product Moment. Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel job demand dan cyberloafing. Kedua variabel dikatakan berkorelasi jika p <
0,05. Adapun kriteria penilaian korelasi menurut Sugiyono (2010), yaitu:
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00-0,199 Sangat Rendah
0,20-0,399 Rendah
0,40-0,599 Sedang
0,60-0,799 Kuat
39
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas keseluruhan hasil penelitian, yang dimulai dengan gambaran umum subjek penelitian, dilanjutkan dengan hasil penelitian hingga pembahasan mengenai hasil analisa data.
A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN
Responden dalam penelitian ini adalah seluruh guru di Pucca Learning Center Medan. Hal ini sesuai dengan metode pengambilan sampel yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu nonprobability sampling, khususnya total sampling yaitu teknik sampling yang menggunakan seluruh anggota populasi untuk dijadikan sampel (Sugiyono, 2010). Data dari 70 responden yang merupakan guru di Pucca Learning Center dikategorikan dalam jenis kelamin, jenjang pengajaran, dan masa kerja. Penggolongan yang dilakukan terhadap responden dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai gambaran responden sebagai objek penelitian. Gambaran umum dari responden sebagai objek penelitian tersebut satu per satu dapat diuraikan seperti pada bagian berikut:
1. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
40
Tabel 5 - Sebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Pria 12 17,14%
Wanita 58 82,86%
Total 70 100%
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa jumlah responden pria adalah sebanyak 12 orang (17,14%) dan responden wanita berjumlah 58 orang (82,86%).
2. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenjang Pengajaran
Penyebaran subjek penelitian berdasarkan jenjang pengajaran dapat dilihat melalui tabel berikut:
Tabel 6 - Sebaran Subjek Berdasarkan Jenjang Pengajaran
Jenjang Pengajaran Jumlah Persentase
Lower level 20 28,57%
Higher level 50 71,43%
Total 70 100%
Di Pucca Learning Center, terdapat dua kelompok guru dengan jenjang pengajaran berbeda, yaitu lower level dan higher level. Guru-guru yang mengajar lower level termasuk guru PAUD. Sedangkan guru-guru yang mengajar kelas SD, SMP, dan SMA disebut dengan guru-guru higher level. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa jumlah responden yang
mengajar tingkat balita hingga TK adalah sebanyak 20 orang (28,57%) sedangkan responden yang mengajar tingkat SD hingga SMA terdiri atas 50 orang responden (71,43%).
3. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia
41
Tabel 7 - Sebaran Subjek Berdasarkan Usia
Usia Jumlah Persentase
19 tahun - 22 tahun 39 55,71%
23 tahun - 32 tahun 31 44,29%
Total 70 100%
Berdasarkan tabel di atas, 39 orang responden (55,71%) adalah guru yang berusia 18 hingga 21 tahun. Sebanyak 31 responden (44,29%) berusia 21 hingga 40 tahun.
A. HASIL UJI ASUMSI PENELITIAN
Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment. Sebelum melakukan analisis tersebut maka
terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yang bertujuan untuk melihat distribusi data penelitian. Uji asumsi meliputi uji normalitas dan uji linearitas.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah data yang dianalisis sudah terdistribusi dengan normal. Pengujian akan dilakukan dengan bantuan SPSS Statistic 16 for Windows dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Asumsi normalitas pada penelitian ini akan terbukti ketika nilai signifikansi variabel data lebih besar dari 0,05. Hasil uji asumsi normalitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 8 - Hasil Uji Asumsi Normalitas
42
Job Demand 0,161 Normal
Cyberloafing 0,070 Normal
Berdasarkan tabel di atas, nilai signifikansi job demand yaitu p (0,161) > 0,05 dan nilai signifikansi cyberloafing yakni p (0,070) > 0,05 menunjukkan data berdistribusi dengan normal. Hasil uji SPSS dapat dilihat pada lampiran 7.
2. Uji Linearitas
Untuk mengetahui apakah variabel bebas (job demand), berkorelasi secara linear atau tidak terhadap variabel tergantung (cyberloafing) maka perlu dilakukan uji linearitas.Variabel bebas dengan variabel tergantung adalah linear apabila p < 0,05 untuk linearity dan p > 0,05 untuk deviation from linearity. Hasil uji
SPSS dapat dilihat pada lampiran 8.
Tabel 9 - Hasil Uji Asumsi Linearitas
Variabel p Deviation from
Linearity Keterangan Cyberloafing *
Job Demand 0,00 0,41 linear
43
B. HASIL UTAMA PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara job demand dengan cyberloafing. Hipotesa yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu ada hubungan negatif job demand dengan cyberloafing. Hipotesa statistik dalam penelitian ini adalah:
H0: r=0, artinya tidak ada hubungan negatif antara job demand dengan cyberloafing
H1: r≠0, artinya ada hubungan negatif antara job demand dengan
cyberloafing
Hasil uji korelasi Pearson Product Moment dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 10 - Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment Analisis Pearson Correlation (r)
Korelasi Pearson Product Moment -0,751
Sesuai pernyataan Field (2009), kedua variabel dikatakan memiliki hubungan apabila nilai r ≠ 0. Dari hasil pengolahan data, didapatkan hasil korelasi sebesar r = -0,751. Karena itu, hasil uji korelasi memiliki arti bahwa H0 ditolak dengan nilai r = -0,751 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang kuat antara job demand dengan cyberloafing. Hasil uji SPSS dapat dilihat pada lampiran 9.
44
Penyebaran subjek berdasarkan kategori skor akan dilampirkan pada deskripsi data penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh, maka perbandingan data empiris dan hipotetik dari variabel cyberloafing dan job demand dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 11 - Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik
Variabel Nilai Empirik Nilai Hipotetik Min Max Mean SD Min Max Mean SD
Cyberloafing 1 21 6,87 5,19 0 48 24 8
Job Demand 31 60 48,32 5,71 22 88 55 11
Kategorisasi dalam penelitian ini menggunakan dua jenis norma untuk variabel yang berbeda. Norma untuk job demand terbagi atas tiga kategori yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan norma untuk cyberloafing terbagi atas tiga kategori yaitu: jarang, kadang-kadang, dan
sering.
1. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Job Demand
Norma kategorisasi data penelitian job demand yang digunakan adalah menggunakan rumus standar deviasi sebagai berikut:
Tabel 12 - Norma Kategorisasi Data Penelitian Job Demand
Rentang Nilai Kategorisasi
X < (μ -1.0 SD) Rendah
(μ -1.0SD) ≤ X ≤ (μ +1.0 SD) Sedang
X > (μ +1.0 SD) Tinggi
Berdasarkan norma di atas, kategorisasi skor job demand secara umum adalah sebagai berikut:
Tabel 13 - Kategorisasi Data Penelitian Job Demand
Rentang Nilai Kategorisasi Jumlah Persentase (%)
45
44 – 66 Sedang 57 81,42
> 66 Tinggi 0 0
Total 70 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa tidak ada subjek yang memiliki tingkat job demand yang tinggi. Sebanyak 18,57% reponden masuk dalam kategori tingkat job demand yang rendah, dan sisanya, yakni sebesar 81,42% berada dalam kategori tingkat job demand yang sedang.
2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Cyberloafing
Norma kategorisasi data penelitian perilaku cyberloafing yang digunakan adalah menggunakan rumus standar deviasi sebagai berikut:
Tabel 14- Norma Kategorisasi Data Penelitian Cyberloafing
Rentang Nilai Kategorisasi
X < (μ -1.0 SD) Jarang
(μ -1.0SD) ≤ X ≤ (μ +1.0 SD) Kadang-Kadang
X > (μ +1.0 SD) Sering
Kategorisasi skor cyberloafing secara umum adalah sebagai berikut:
Tabel 15 - Kategorisasi Data Penelitian Cyberloafing
Rentang Nilai Kategorisasi Jumlah Persentase (%)
< 12 Jarang 56 80
12 – 32 Kadang-Kadang 14 20
> 32 Sering 0 0
Total 70 100
46
E. PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada guru di Pucca Learning Center Medan, dengan jumlah 70 orang guru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu job demand dan cyberloafing. Dalam uji asumsi hipotesis, ditemukan hubungan linear yang arahnya negatif. Hal ini berarti bahwa kenaikan dari satu variabel diikuti oleh penurunan variabel lainnya. Hasil utama penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang kuat antara job demand dengan cyberloafing dengan koefisien korelasi sebesar 0,751.
Hubungan negatif tersebut artinya semakin rendah job demand maka semakin tinggi frekuensi cyberloafing. Dalam penelitian Hart (2010), ditemukan bahwa job demand yang rendah mempengaruhi perhatian seseorang dalam bekerja, dimana karyawan dengan job demand yang rendah cenderung terdistraksi secara kognitif saat bekerja dengan melakukan hal-hal seperti membaca, mengirim SMS, memeriksa email dan browsing. Maka dari itu, distraksi juga dapat dialami oleh guru-guru dengan job demand yang rendah sehingga melakukan cyberloafing saat mengajar sehingga menyebabkan frekuensi cyberloafing yang tinggi.
47
penelitian tersebut stres yang disebabkan oleh tingginya job demand meningkatkan perilaku penyimpangan di tempat kerja seperti cyberloafing. Di sisi lain, job demand yang rendah juga dapat menyebabkan stres. Hal ini sesuai dengan kurva Yerkes-Dodson Law yang berbentuk ‘U’ terbalik dalam menjelaskan hubungan workload dengan performa kerja (Hart, 2010). Stres akibat rendahnya job demand membuat karyawan mengkompensasi emosi negatif tersebut dengan melakukan withdrawal, salah satu caranya adalah dengan melakukan cyberloafing (Askew, 2009).
Berdasarkan hasil kategorisasi job demand, dapat dilihat bahwa tingkat job demand pada guru di Pucca Learning Center Medan berada pada kategori
48
pelajaran dan murid-murid dapat menanyakan mengenai pelajaran sekolah berupa pekerjaan rumah maupun ujian.
Berdasarkan kategorisasi cyberloafing, mayoritas guru yaitu 80% jarang melakukan cyberloafing dan sisanya 20% kadang-kadang melakukan cyberloafing. Tidak satupun subjek penelitian melakukan cyberloafing dengan
frekuensi sering. Kategori ini menunjukkan bahwa guru di Pucca Learning Center Medan memiliki frekuensi cyberloafing yang rendah. Rendahnya frekuensi cyberloafing merupakan pengaruh dari larangan penggunaan internet berupa himbauan yang ditetapkan oleh pimpinan sekolah untuk tidak menggunakan gadget atau telepon genggam pada jam mengajar terkecuali untuk hal yang berhubungan dengan proses belajar mengajar atau keperluan mendesak.
Seperti yang diulas oleh Ozler dan Polat (2012), aturan mengenai penggunaan internet dapat mempengaruhi aktivitas cyberloafing. Frekuensi cyberloafing cenderung berkurang apabila perusahaan memiliki regulasi
mengenai penggunaan internet. Dalam populasi penelitian ini, peraturan yang dibuat hanya berupa himbauan dalam bentuk verbal dan poster. Hal ini menyebabkan aktivitas cyberloafing masih terjadi meskipun dalam taraf yang rendah. Menurut Vitak et al. (2011), sanksi juga dapat mempengaruhi frekuensi seseorang dalam melakukan cyberloafing. Selain himbauan, pimpinan Pucca Learning Center tidak memberikan sanksi untuk aktivitas cyberloafing.
49
banyak daripada subjek pria. Namun, Weatherbee (2010) menemukan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang kuat dengan cyberloafing sehingga hal tersebut dapat dikesampingkan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 44,29% guru di Pucca Learning Center Medan berusia antara 22 hingga 40 tahun dan sisanya yaitu 55,71% berusia 18 hingga 21 tahun. Usia memiliki korelasi yang lemah dalam menentukan perilaku cyberloafing sehingga hal ini juga dapat diabaikan (Weatherbee, 2010).
Meskipun hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif yang kuat antara kedua variabel, hasil kategorisasi justru memberi gambaran yang berbeda. Menurut tabel kategorisasi, tingkat job demand yang sedang menghasilkan frekuensi cyberloafing yang rendah, berbeda dengan hasil komputasi korelasi yang menunjukkan bahwa semakin rendahnya job demand seseorang, maka semakin tinggi pula frekuensi cyberloafing. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat job demand seseorang, semakin rendah frekuensi cyberloafing. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan dengan peranan variabel
karakteristik pekerjaan. Pernyataan tersebut dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vitak et al. (2011) dimana karakteristik pekerjaan yang kurang bervariasi dan membosankan membuat individu termotivasi untuk melakukan cyberloafing. Tingkat job demand yang sedang menunjukkan bahwa para guru
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran dalam penelitian ini. Hasil penelitian diuraikan dalam bentuk poin-poin begitu pula saran bagi penelitian yang akan datang dengan topik yang serupa.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan data yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada hubungan negatif antara job demand dengan cyberloafing yang artinya, semakin rendah job demand karyawan maka semakin tinggi frekuensi seseorang melakukan cyberloafing. Sebaliknya, semakin tinggi job demand karyawan maka semakin rendah frekuensi seseorang melakukan cyberloafing.
2. Secara keseluruhan, guru di Pucca Learning Center Medan memiliki job demand dalam kategori sedang yaitu sebesar 81,42% dan sebesar
18,58% pada kategori rendah.
B. SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran yang berguna bagi studi ilmiah yang akan datang dan kursus Pucca Learning Center Medan. Saran-saran ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu saran metodologis dan saran praktis:
1. Saran Metodologis
a. Aktivitas yang digolongkan sebagai cyberloafing berbeda dari satu organisasi dengan lainnya. Maka peneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih memperhatikan alat ukur cyberloafing yang akan digunakan sehingga sesuai dengan populasi penelitian.
b. Mengingat cyberloafing termasuk sebagai deviant behavior (perilaku menyimpang di tempat kerja), terdapat social desirability yang tinggi pada aitem. Akibatnya, terdapat kemungkinan responden melakukan faking seperti memilih tingkatan frekuensi aitem cyberloafing yang
lebih rendah dari yang sebenarnya terjadi. Peneliti selanjutnya disarankan menggunakan bermacam-macam metode (misalnya: observasi atau rating rekan kerja) untuk mendapatkan data yang paling nyata.
d. Peneliti selanjutnya yang akan meneliti topik yang serupa dapat meneliti subjek seperti guru pada sekolah negeri/swasta atau dosen universitas sehingga dapat dibandingkan tingkat job demand dan cyberloafing dengan guru kursus.
2. Saran Praktis
Meskipun sebenarnya kursus telah melakukan langkah preventif, namun cyberloafing tidak dapat dihapus dengan sepenuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peluang peningkatan cyberloafing di masa depan. Maka dari itu, peneliti menyarankan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. CYBERLOAFING
1. Definisi Cyberloafing
Survei-survei mengenai penggunaan internet pada waktu kerja telah dimulai sejak tahun 1990-an (Roman, 1996). Penelitian cyberloafing pertama kali dilakukan oleh Guthrie dan Gray pada tahun 1996 dengan istilah junk computing. Beragam istilah dan definisi yang digunakan untuk penggunaan internet pribadi yaitu non-work related computing, cyberloafing, cyberslacking, cyberbludging, on-line loafing, internet
deviance, problematic internet use, personel web usage at work, internet
dependency, internet abuse, internet addiction dan internet addiction
disorder (Kim & Bryne, 2011). Berbagai terminologi tersebut mengarah
pada hal yang sama yaitu penggunaan internet untuk keperluan pribadi di tempat kerja yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan cyberloafing.
12 (termasuk menerima dan mengirim) e-mail personal. Kelompok situs
hiburan seperti Facebook, YouTube, dan ESPN dikategorikan sebagai “situs
yang tidak berkaitan dengan pekerjaan”.
Blanchard & Henle (2008a) mendefinisikan cyberloafing sebagai penggunaan email dan internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh karyawan secara sengaja saat bekerja. Lebih jelas lagi, Henle dan Kedharnath (2012) mendefinisikan cyberloafing sebagai penggunaan internet secara sengaja selama jam kerja untuk keperluan pribadi dengan teknologi internet yang disediakan oleh perusahaan maupun yang karyawan bawa ke tempat kerja (misalnya: smartphone, iPad). Askew (2012) mendefinisikan cyberloafing sebagai perilaku yang muncul ketika seorang karyawan non-telekomunikasi menggunakan komputer jenis apa saja (desktop, smartphone, tablet) di tempat kerja untuk aktivitas non-destruktif namun juga tidak dinilai berhubungan dengan pekerjaan oleh atasannya.
Berdasarkan paparan definisi cyberloafing yang telah dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku aktivitas karyawan menggunakan akses internet perusahaan menggunakan komputer jenis apa saja untuk keperluan pribadi dan tidak berhubungan dengan pekerjaan.
2. Aktivitas-aktivitas Cyberloafing
13 saat bekerja sedangkan emailing merupakan aktivitas seperti mengirim dan menerima email pribadi pada saat bekerja.
Aktivitas cyberloafing yang akan diteliti adalah aktivitas cyberloafing berupa mengirim dan menerima email pribadi dan aktifitas
browsing (jejaring sosial, mengunduh file atau musik, dan mencari berita
diluar pekerjaan) yang dikemukakan oleh Lim dan Chen (2012).
3. Faktor-faktor Perilaku Cyberloafing
Menurut Ozler dan Polat (2012), faktor pemicu munculnya perilaku cyberloafing terbagi menjadi tiga, yaitu: faktor individual, faktor
organisasional dan faktor situasional. a. Faktor individual
Beberapa faktor individual yang menyebabkan cyberloafing adalah: 1) Persepsi dan Sikap
Individu dengan persepsi dan sikap yang positif terhadap komputer cenderung menggunakan komputer untuk kepentingan pribadi (Liberman, Seidman, McKenna & Buffardi, 2011). Persepsi bahwa internet membawa keuntungan bagi pekerjaan membuat karyawan cenderung melakukan cyberloafing (Vitak, Crouse & LaRose, 2011). Selain itu, persepsi karyawan
14 2) Kepribadian
Kepribadian seseorang mempengaruhi cara penggunaan internet. Individu dengan kepribadian yang pemalu cenderung melakukan cyberloafing sedangkan individu dengan kepercayaan diri rendah dan
individu dengan orientasi eksternal kurang dapat mengontrol penggunaan internet (Ozler & Polat, 2012). Penelitian menunjukkan hubungan negatif antara conscientiousness dan penyimpangan perilaku kerja (Farhadi, Fatimah, Nasir & Wan Shahrazad, 2012) dimana individu dengan conscientiousness yang semakin rendah akan melakukan cyberloafing.
Sejalan dengan penelitian tersebut, Woods (2014) menemukan hubungan positif antara penundaan dan kepribadian conscientiousness dengan cyberloafing.
3) Kebiasaan dan Kecanduan Internet
Karyawan yang terbiasa menggunakan internet atau mengalami kecanduan menggunakan internet lebih besar peluangnya melakukan penyalahgunaan internet (Vitak et al., 2011).
4) Demografis
Tingkat pendapatan, pendidikan, dan gender merupakan prediktor cyberloafing. Individu dengan pendidikan yang tinggi menggunakan internet
15 pria dan usia yang lebih muda cenderung melakukan cyberloafing. Pria lebih sering melakukan cyberloafing dan melakukannya lebih lama apabila dibandingkan dengan wanita. Pria lebih sering menggunakan internet untuk permainan online sedangkan wanita lebih tertarik untuk melakukan komunikasi online (Lim & Chen, 2012). Studi lainnya menyatakan bahwa pria dan wanita sama-sama beresiko melakukan cyberloafing (Ugrin et al., 2008). Pada beberapa penelitian, faktor usia hanya memiliki korelasi yang lemah dengan cyberloafing (Weatherbee, 2010).
5) Intensi, Norma Sosial dan Etika Pribadi
Intensi dianggap sebagai prediktor perilaku yang baik. Namun, penyalahgunaan internet adalah perilaku yang dikontrol norma-norma perusahaan sehingga tindakan tersebut cenderung dilakukan karena dorongan dari luar (Woon & Pee, 2004). Persepsi seseorang mengenai pentingnya larangan cyberloafing berhubungan negatif dengan penerimaan perilaku cyberloafing di tempat kerja. Penerimaan perilaku cyberloafing ini berhubungan positif dengan intensi penyalahgunaan internet. Penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara norma sosial dan intensi dimana kepercayaan normatif pribadi seseorang mengurangi intensi perilaku cyberloafing (Vitak et al., 2011). Selain itu, Ugrin et al. (2007) menemukan
bahwa karyawan dengan jabatan yang lebih tinggi memiliki kecenderungan cyberloafing untuk menyalurkan stress akibat pekerjaan. Sejalan dengan
16 lebih baik dan individu-individu dengan otonomi kerja yang lebih besar seperti ini cenderung melakukan cyberloafing.
b. Faktor Organisasional
Beberapa faktor organisasional yang menyebabkan cyberloafing adalah:
1) Larangan Penggunaan Internet
Peraturan perusahaan atas penggunaan internet atau mekanisme monitoring yang digunakan untuk menghalangi karyawan melakukan cyberloafing seperti pembatasan akses internet dapat mempengaruhi
aktifitas itu sendiri (Garrett & Danziger, 2008; Ugrin et al., 2007). Sanksi yang diberikan pada karyawan yang melakukan perilaku menyimpang dapat mengurangi kecenderungan cyberloafing (Vitak et al., 2011). 2) Hasil yang Diharapkan
Karyawan dalam melakukan cyberloafing akan membandingkan antara kepuasan pemenuhan kebutuhan individu dan konsekuensi yang didapatkan. Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung akan lebih jarang melakukan cyberloafing bila mempersepsikan konsekuensi negatif bagi organisasi dan kepentingan pribadi karyawan (Lim & Teo 2005; Blanchard & Henle 2008a).
3) Dukungan Manajerial
Belief atau rasa percaya karyawan mengenai penggunaan
17 2011). Tanpa adanya spesifikasi penggunaan internet dapat membuat karyawan salah paham terhadap dukungan manajerial sehingga karyawan menggunakan internet untuk keperluan bisnis dan pribadi yang termasuk cyberloafing (Garrett & Danziger, 2008; Vitak et al., 2011; Liberman et
al., 2011).
4) Persepsi Rekan Kerja Mengenai Norma Cyberloafing
Cyberloafing dapat dipelajari dengan meniru perilaku individu
lain dalam lingkungan kerja (Blau, Yang & Ward-Cook., 2004; Liberman et al., 2011). Karyawan yang menyelahgunakan internet karena meniru
rekan kerja mengganggap hal tersebut sebagai bentuk keadilan dalam organisasi (Lim & Teo, 2005).
5) Sikap Kerja karyawan
Sikap kerja seseorang terhadap pekerjaan berhubungan dengan ketidakpuasan di tempat kerja. Liberman et al. (2011) menyatakan bahwa sikap kerja mungkin mempengaruhi cyberloafing sebagai respon emosional seseorang terhadap pekerjaannya. Karyawan cenderung melakukan cyberloafing atau perilaku menyimpang bila memiliki sikap kerja yang tidak baik (Garrett & Danziger, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap kerja karyawan meliputi: i. Ketidakadilan
18 signifikan terhadap cyberloafing (Lim, 2002; Lim & Teo, 2005). Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan merasakan ketidakadilan dalam pekerjaan mereka, salah satu cara untuk mengembalikan keseimbangan adalah dengan melakukan cyberloafing.
ii. Komitmen Kerja
Penelitian dari Garrett dan Danziger (2008) menemukan bahwa karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi tempat mereka bekerja akan merasa penggunaan internet sebagai suatu hal yang kurang sesuai dengan keseharian pekerjaan, karena itu individu yang berkomitmen terhadap pekerjaan mereka kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam aktivitas cyberloafing selama bekerja. Hal ini dikarenakan aktivitas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan yang mengurangi produktivitas dianggap tidak konsisten dengan self-image dan merendahkan status kerja (LaRose & Eastin, 2004).
iii. Kepuasan Kerja
19 Hasilnya berarti bahwa karyawan yang terlibat dalam penggunaan internet untuk hal pribadi belum tentu orang-orang yang kurang puas dengan pekerjaan mereka (Mahatanankon et al., 2004). 6) Karakteristik Pekerjaan
Menghabiskan waktu singkat pada tugas-tugas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dapat membebaskan karyawan dari kebosanan, kelelahan atau stres, menghasilkan kepuasan kerja atau kreativitas yang lebih besar, meningkatkan kesejahteraan, menjadi rekreasi dan pemulihan, dan membuat karyawan lebih bahagia. Karakteristik pekerjaan spesifik dapat mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing untuk meningkatkan kreatifitas atau mengurangi kebosanan.
Di sisi lain, pekerjaan yang kreatif memiliki banyak tuntutan tidak terasa membosankan sehingga karyawan tidak termotivasi untuk melakukan cyberloafing (Vitak et al., 2011).
c. Faktor Situasional
Kondisi perusahaan misalnya ketersediaan fasilitas internet menjadi salah satu sumber yang biasanya memicu terjadinya cyberdeviant behavior (Weatherbee, 2010). Jarak fisik antara karyawan dan supervisor
20 Berdasarkan uraian di atas, salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah faktor organisasional yaitu karakteristik pekerjaan. Karakteristik pekerjaan terbagi atas dua yaitu job demand dan job control (Karasek, 1979). Menurut Lim (2002), karyawan melakukan
penyimpangan kerja (misalnya cyberloafing) adalah dikarenakan tuntutan pekerjaan yang melebihi sumber daya kerja. Karakteristik pekerjaan tanpa keanekaragaman keterampilan yang tinggi lebih monoton. Kebosanan yang dihasilkan dari karakteristik pekerjaan tersebut menunjukkan tuntutan pekerjaan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa job demand yang rendah dapat menjadi pemicu cyberloafing.
Berdasarkan pemaparan diatas, terlihat bahwa job demand adalah salah satu faktor yang berperan dalam menyebabkan perilaku cyberloafing. Maka itu, selanjutnya akan lebih dijelaskan mengenai
definisi dan dimensi dari job demand.
B. JOB DEMAND
1. Definisi Job Demand
Job demand pertama kali dikemukakan oleh Robert Karasek (1979)
21 tinggi, lingkungan kerja yang tidak disukai, dan interaksi yang emosional antara karyawan dengan klien.
Job demand tidak selalu bersifat negatif, tetapi ketika usaha yang
dituntut melebihi kapabilitas karyawan, energi karyawan akan habis dan mengakibatkan burnout dan masalah kesehatan lainnya (Schaufeli & Bakker, 2004). Robbins (2007) mengungkapkan bahwa job demand merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang dan dapat memberi tekanan pada orang jika job demand dirasakan berlebihan dan dapat meningkatkan kecemasan dan stres. Beberapa contoh job demand antara lain: konflik emosional, tekanan waktu, jam kerja shift, beban kerja fisik maupun desain kerja yang buruk. Selain menyebabkan stres dan burnout, job demand juga menyebabkan counter-productive behavior
(Schaufeli & Bakker, 2004).
Berdasarkan penjelasan definisi job demand yang telah dijelaskan diatas, maka job demand adalah stimulus yang muncul selama bekerja yang memerlukan perhatian dan respon secara terus menerus dari karyawan sehingga dapat menyebabkan kelelahan fisik atau psikologis.
2. Dimensi Job Demand
Adapun dimensi job demand antara lain: a. Work overload
Work overload terdiri atas quantitative overload dan qualitative
22 menyelesaikan pekerjaan yang sangat banyak dalam waktu sempit. Qualitative overload terjadi ketika pekerjaan yang harus dilakukan oleh
karyawan terlalu sulit atau kompleks. Kebalikan work overload adalah work underload. Keduanya mengacu pada tuntutan pekerjaan dalam hal beban
kerja, kompleksitas dan tanggung jawab (Hill, 1998). Menurut Buckingham (2004), work overload adalah beban waktu kerja, pengorbanan waktu dan perasaan frustrasi dalam menyelesaikan tugas kerja dalam waktu yang diberikan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa work overload adalah jumlah beban yang dialami karyawan saat diberikan
kuantitas pekerjaan yang berlebihan dalam waktu yang singkat ataupun kualitas pekerjaan yang lebih kompleks dari kemampuannya.
b. Emotional load
Beban kerja yang berlebihan akan menimbulkan reaksi-reaksi emosional seperti mudah marah, merasa terancam, tersinggung dan lain sebagainya. Beban emosional biasanya berawal dari konflik dengan orang lain (Van Veldhoven, 2002). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa emotional load adalah beban yang dialami karyawan ketika berada pada situasi kerja yang tidak menyenangkan sehingga berujung pada reaksi emosional yang negatif seperti marah, merasa terancam, tersinggung dan sebagainya.
c. Cognitive load
Cognitive load adalah jumlah sumber daya mental yang diperlukan
23 seiring peningkatan beban memori pada waktu yang bersamaan, dan peningkatan apapun dari kesulitan proses akan menyebabkan informasi hilang dari memori jangka pendek (Barrouilet, 2007). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cognitive load adalah beban yang dialami karyawan karena kerja otak dalam memproses informasi yang melibatkan konsentrasi, ketepatan/presisi memori, atau atensi terus menerus.
C. HUBUNGAN JOB DEMAND DAN CYBERLOAFING
Cyberloafing adalah masalah yang sedang marak terjadi dalam
organisasi (Ozler & Polat, 2012). Sebagai deviant workplace behavior, cyberloafing memiliki dampak yang dimulai dari mengurangi produktivitas
kerja karyawan hingga mengancam nama baik organisasi (Blanchard & Henle, 2008a). Banyak penelitian yang telah menghubungkan antara cyberloafing dengan faktor individual maupun organisasional. Salah satu faktor organisasional yang berhubungan dengan deviant workplace behavior adalah job demand (Schaufeli & Bakker, 2004). Emosi negatif yang dihasilkan job
demand membuat karyawan berusaha mengatasinya dengan melakukan deviant
workplace behavior (Askew, 2009).
Aspek-aspek dari job demand terdiri dari work overload, emotional load dan cognitive load. Work overload meliputi kuantitas pekerjaan dan kualitas pekerjaan karyawan yang bersifat fisik sedangkan emotional load dan cognitive load adalah usaha psikologis dari karyawan. Workload yang tinggi
24 dihadapkan dengan beban kerja yang tinggi, karyawan tidak akan memiliki waktu luang untuk melakukan counter-productive behavior karena semakin banyak tugas karyawan, maka semakin sedikit pula waktu yang dapat digunakan untuk melakukan counter-productive behavior (Blanchard & Henle, 2008b). Sebaliknya, ketika beban kerja karyawan sifatnya rendah, maka karyawan tidak memerlukan usaha fisik atau psikologis. Ketika hal ini terjadi, maka karyawan memiliki waktu luang untuk melakukan counter-productive behavior, salah satunya adalah melakukan cyberloafing. Karyawan tentu selalu
memiliki tugas atau pekerjaan untuk diselesaikan, karena itu karyawan melakukan cyberloafing hanya saat mereka memiliki waktu senggang (Askew, 2009).
25 penelitian ini, peneliti akan melihat hubungan antara job demand dengan cyberloafing.
D. HIPOTESA PENELITIAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan internet telah memberi berbagai keuntungan dan kemudahan dalam kehidupan (Ozler & Polat, 2012). Kini telah banyak perusahaan yang menyediakan layanan internet di kantor untuk kegiatan operasional. Internet menjadi bagian penting dalam membantu jalannya aktivitas bisnis karena internet dapat memudahkan komunikasi perusahaan dengan pelanggan dalam hitungan detik. Selain itu, pihak perusahaan juga dapat mengakses informasi dengan cepat, misalnya melacak pengiriman produk. Tidak hanya itu, perusahaan juga dapat dikelola dari jarak jauh hanya melalui internet (Herlianto, 2012).
Selain untuk bisnis dan operasi perusahaan, dalam dunia pendidikan, internet juga dapat menjadi sumber informasi yang dapat digunakan oleh pendidik maupun anak didik (Sharma & Maleyeff, 2003). Pemanfaatan internet menjadi hal yang dianggap perlu dalam aktivitas akademik sehingga beberapa institusi pendidikan juga telah menyediakan akses internet. Akses internet dapat dimanfaatkan oleh para guru sebagai alat yang mendukung proses belajar mengajar di kelas (Santrock, 2004).
Dengan adanya sumber daya yang telah disediakan oleh perusahaan, diharapkan karyawan dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik. Namun
2
mudahnya akses internet untuk karyawan justru meningkatkan kecenderungan karyawan terhadap penggunaan internet untuk hiburan dan hal diluar pekerjaan (Greengard, 2002). Survei di Amerika Serikat menunjukkan bahwa karyawan menghabiskan rata-rata 1.8 jam setiap hari untuk aktivitas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, yang mana sebagian besar adalah dilakukan dengan internet (Malachowski, 2006). Penelitian oleh Griffiths di tahun 2003, menemukan bahwa 59% karyawan menggunakan internet di tempat kerjanya untuk hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Penelitian serupa oleh Kansas State University menemukan bahwa 60% - 80% pengguna internet pada awal tahun 2013 tidak menggunakan internet untuk hal yang berkaitan dengan pekerjaan (Walter, 2013). Sedangkan Greenfield & Davis (2002) menemukan bahwa karyawan menggunakan internet untuk keperluan pribadi sekitar 3 jam per minggu hingga 2.5 jam per hari (Mills, Hu, Beldona, & Clay, 2001).
Penggunaan internet oleh karyawan untuk hal pribadi ini disebut cyberloafing. Cyberloafing merupakan aktivitas menggunakan internet untuk
3
Cyberloafing adalah bentuk “deviant workplace behavior” atau perilaku penyimpangan di tempat kerja (Lim, 2002). Dampak negatif cyberloafing bagi perusahaan yaitu karyawan dapat melalaikan kewajiban
dalam melaksanakan tugas perusahaan karena aktivitas seperti browsing dan emailing yang dilakukan pada jam kerja menyebabkan penggunaan waktu
yang tidak produktif dan mengalihkan perhatian karyawan dari penyelesaian tuntutan pekerjaan (Lim & Chen, 2012). Aktivitas ini mempengaruhi kinerja karyawan karena menghambat karyawan dalam menyelesaikan tugasnya. Cyberloafing berbeda dengan bentuk kemalasan kerja lainnya (misalnya:
terlambat masuk kerja, makan siang yang terlalu lama) karena cyberloafing dapat dilakukan kapan saja oleh karyawan tanpa harus meninggalkan tempat.