• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda mengenai cyberloafing (Weatherbee, 2010). Selain cyberloafing ada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda mengenai cyberloafing (Weatherbee, 2010). Selain cyberloafing ada"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. CYBERLOAFING

1. Pengertian Cyberloafing

Banyak pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan dalam organisasi. Perbedaan pendekatan-pendekatan ini menyebabkan munculnya istilah, definisi, dan label yang berbeda mengenai cyberloafing (Weatherbee, 2010). Selain cyberloafing ada istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan perilaku penggunaan internet untuk kepentingan pribadi, seperti Cyberslacking dan PWU (Personal Web Use). Cyberslacking yang diartikan sebagai penggunaan internet dan e-mail yang tidak berkaitan dengan pekerjaan di kantor yang seharusnya ditujukan untuk pekerjaan (Philips & Reddie, 2007).

Istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena penggunaan internet di tempat kerja yang tidak berkaitan dengan pekerjaan, misalnya non-work related computing, cyberloafing, dan cyberslacking. Semua istilah ini menggambarkan penggunaan internet yang tidak produktif di tempat kerja (Jiang and Thsou. 2014).

Block (2001) mendefinisikan cyberloafing sebagai tindakan karyawan yang melaksanakan aktivitas internet non-business di jam kerja dengan menggunakan sumber daya perusahaan. Lim (2002) menjelaskan bahwa

(2)

cyberloafing merupakan salah satu bentuk dari Deviant Workplace Behavior. Cyberloafing diartikan sebagai tindakan yang sengaja dilakukan karyawan untuk menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaannya.

Cyberloafing didefinisikan sebagai penggunaan e-mail dan internet organisasi untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja (Blanchard and Henle, 2008). Blanchard & Henle (2008) mengemukakan bahwa terdapat dua level dari cyberloafing yakni minor dan serius. Aktivitas yang meliputi cyberloafing minor meliputi mengirim atau menerima e-mail pribadi pada saat bekerja, mengunjungi situs berita, keuangan, dan olahraga. Aktivitas Cyberloafing serius meliputi perilaku yang abusive dan kegiatan-kegiatan yang ilegal seperti perjudian online, mengunngah musik, dan mengunjungi situs-situs dewasa (Blanchard & Henle, 2008).

Penggunaan internet selama jam kerja untuk kepentingan pribadi juga disebut sebagai Non-Work Related Computing ( Bock & Ho, 2009). Non-Work Related Computing terdiri dari dua, yakni Junk Computing dan cyberloafing. Junk Computing merupakan pernggunaan internet organisasi yang dilakukan karyawan untuk tujuan pribadi dan tidak berkaitan langsung dengan tujuan organisasi.

Cyberloafing diartikan sebagai penggunaan internet pada saat jam kerja dengan menggunakan internet organisasi. Namun cyberloafing tidak hanya menggunakan internet milik organisasi namun juga milik pribadi. Definisi ini dikemukakan oleh Henle dan Kedharnath (2012) yaitu penggunaan teknologi

(3)

internet selama jam kerja untuk tujuan personal. Teknologi yang dimaksud bisa teknologi yang disediakan perusahaan dan juga miliki pribadi yang dibawa karyawan selama bekerja (misalnya, smartphone, iPad).

Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa cyberloafing merupakan perilaku yang menggunakan internet pada saat jam kerja untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan dan dilakukan dengan internet milik perusahaan ataupun milik pribadi.

2. Jenis-Jenis Cyberloafing

Lim dan Teo (2005) mengelompokkan perilaku cyberloafing menjadi dua kategori utama yaitu aktivitas browsing dan emailing. Aktivitas yang termasuk dalam aktivitas browsing adalah menggunakan internet perusahaan untuk melihat hal-hal yang tidak berhuubungan dengan kerja pada saat jam kerja. Sementara itu aktivitas mailing merupakan aktivitas mengirim, menerima, dan memeriksa e-mail yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pada saat jam kerja.

Blanchard and Henle (2008) mengemukakan 2 jenis dari cyberloafing yaitu minor dan serious.

a. Minor Cyberloafing meliputi penggunaan email dan internet pada saat kerja. Contohnya mengirim dan menerima pesan pribadi atau mengunjungi situs berita, keuangan, dan olahraga. Dengan demikian minor cyberloafing mirip dengan perilaku lain yang tidak sesuai dengan pekerjaan namun diberi toleransi. Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa minor

(4)

cyberloafing tidak memiliki dampak yang merugikan bagi organsisasi, seperti mengurangi produktivitas.

b. Serious Cyberloafing merupakan bentuk cyberloafing lain yang terdiri dari bentuk-bentuk cyberloafing yang lebih serius. Perilaku ini kasar dan berpotensi melakukan hal-hal yang tidak sah seperi perjudian on line, mengunduh lagu, membuka situs-situs dewasa. Jenis cyberloafing ini memiliki dampak yang serius bagi organisasi.

Karyawan yang melakukan minor cyberloafing biasanya tidak percaya bahwa mereka melakukan hal yang menyimpang. Sementara itu karyawan yang melakukan serious cyberloafing menyadari bahwa perbuatannya menyimpang dan mungkin tidak akan dimaafkan dan diterima di tempat kerja (Blanchard&Henle, 2008).

Sementara itu, Li and Chung (2006) membagi cyberloafing kedalam empat jenis yakni :

a. Aktivitas sosial yaitu penggunaan internet untuk berkomunikasi dengan teman. Aktivitas sosial yang melibatkan pengekspresian diri (facebook, twitter, dll) atau berbagi informasi via blog (blogger).

b. Aktivitas informasi yaitu menggunakan internet untuk mendapatkan informasi. Aktivitas ini terdiri dari pencarian informasi seperti situs berita. c. Aktivitas kenikmatan yaitu internet untuk menghibur. Aktivitas kesenangan ini terdiri dari aktivitas game online atau mengunduh musik (youtube) atau software untuk tujuan kesenangan.

(5)

d. Aktivitas emosi virtual yaitu sisa dari aktivitas internet lainnya seperti berjudi atau berkencan. Aktivitas emosi virtual mendeskripsikan aktivitas online yang tidak dapat dikategorisasikan dengan aktivitas lainnya seperti berbelanja online atau mencari pacar secara online.

Adapun jenis cyberloafing yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah jenis cyberloafing yang dikemukakan oleh Lim & Chen yaitu emailing dan browsing.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Cyberloafing

a. Faktor Individual

1. Persepsi dan Sikap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki sikap yang positif terhadap komputer cenderung untuk menggunakan komputer untuk alasan personal dan ada hubungan positif antara favorable attitude towards cyberloafing dengan cyberloafing (Liberman, Seidman, McKenna, 2011). Karyawan yang mempersepsikan penggunaan internet mendatangkan keuntungan bagi performa kerjanya secara keseluruhan lebih cenderung terlibat dalam cyberloafing dibanding karyawan yang lain (Vitak et al, 2011).

2. Personal Trait

Menurut Johnson and Culpa (dalam Ozler & Polat, 2012)Perilaku pengguna internet merefleksikan motif psikologis yang bervariasi. Karakter pribadi seperti malu, kesepian, isolasi, kontrol diri, self-esteem, dan locus of control bisa mempengaruhi pola penggunaan internet. Individu yang memiliki

(6)

kontrol diri yang rendah memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan penyimpangan di tempat kerja (Restubog, 2011). Orang-orang yang berorientasi eksternal atau mereka yang meyakini bahwa orang lain memiliki kontrol terhadap dirinya ditemukan kurang mampu dalam mengontrol penggunaan internet (Chak and Leung, 2004).

Landers dan Lounsbury (2006) meneliti kaitan kepribadian Big-Five dengan Penggunaan internet. Hasilnya tidak ada hubungan antara neuroticism dan

openness dengan penggunaan internet. Akan tetapi, Agreeableness,

Conscientiousness, dan extraversion berhubungan negatif dengan penggunaan internet. Orang dengan agreeableness yang rendah lebih sering menggunakan internet. Orang-orang conscientiousness yang tinggi cenderung terorganisir dan rendah dalam penggunaan internet. Orang dengan kepribadian introverted lebih sering online daripada kepribadian extraversion. Hal ini karena orang-orang extraversion terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial (tidak termasuk aktivitas komputer).

3. Kebiasaan dan Adiksi Internet

Kebiasaan (habit) merupakan rangkaian perilaku dan situasi yang terjadi secara otomatis tanpa instruksi diri, kognisi, dan pertimbangan dalam merespon lingkungan (Woon and Pee, 2008). Diperkirakan, lebih dari setengah perilaku di media merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010). Hubungan antara kebiasaan media dan cyberloafing memiliki peran yang signifikan dalam memprediksi perilaku tersebut. Tingginya adiksi terhadap internet bisa menyebabkan penyalahgunaan internet (Chen, Ross, Yang, 2008).

(7)

4. Faktor Demografis

Garret dan Danziger (2008) menemukan bahwa status pekerjaan, persepsi otonomi dalam organisasi, tingkat pemasukan, dan gender merupakan prediktor cyberloafing yang signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang berpendidikan cenderung melibatkan dirinya dalam aktivitas-aktivitas seperti mencari informasi secara online, sementara orang-orang yang berpendidikan rendah cenderung menggunakan internet untuk bermain game online (Chak and Leung, 2004). Penelitian lain menunjukkan bahwa pria cenderung melakukan cyberloafing lebih sering dan durasi yang lebih lam dibanding perempuan (Lim and Chen, 2012).

5. Intention to Engage, Social Norms and Personal Ethical Codes

Intention merupakan prediktor yang akurat untuk perilaku dalam banyak studi. Meskipun demikian penelitian juga menunjukkan bahwa intentions tidak selalu berujung pada munculnya sebuah perilaku, namun hubungan antara intention dan perilaku merupakan sebuah hubungan kompleks. Persepsi tentang pentingnya larangan etis akan cyberloafing berhubungan negatif dengan perilaku cyberloafing. Belief normative seseorang (misalnya, secara moral cyberloafing salah) mengurangi intensi untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak et al, 2011).

(8)

b. Faktor Organisasional

1. Pembatasan Penggunaan Internet

Meskipun tidak ada persetujuan umum bahwa cyberloafing memiliki dampak negatif, banyak organisasi menggunakan internet policy untuk membatasi penggunaan internet. Tujuannya adalah untuk mengatur perilaku karyawan dan terbukti memiliki peran yang penting dalam cyberloafing (Doorn, 2011)

Dengan membatasi penggunaan internet karyawan, pemimpin organisasi mengurangi kemungkinan penggunaan internet untuk kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan karyawan (Garret dan Danziger, 2008). Demikian sebaliknya, karyawan yang akan menerima hukuman yang berat apabila melakukan perbuatan yang menyimpang akan memiliki kecenderungan cyberloafing rendah (Vitak et al, 2011).

2. Anticipated Outcome

Penelitian menunjukkan bahwa karyawan cenderung tidak melakukan cyberloafing yang mereka persepsikan memiliki konsekuensi yang negatif kepada organisasi maupun dirinya sendiri (Lim and Teo, 2005).

3. Dukungan Manajerial

Dukungan manajerial untuk penggunaan internet pada jam kerja tanpa menentukan bagaimana harusnya hal tersebut dilakukan cenderung meningkatkan penggunaan internet untuk kegiatan bisnis maupun aktivitas personal oleh karyawan. Dukungan ini bisa disalahartikan oleh karyawan yang menganggap bahwa dukungan tersebut mensahkan semua jenis penggunaan internet, termasuk

(9)

cyberloafing (Garret and Danziger, 2008). Dukungan manajerial termasuk didalamnya kebijaksanaan yang ditetapkan oleh organisasi.

Beberapa kebijakan dalam organisasi bisa menjadi faktor yang mempengaruhi cyberloafing. Salah satu kebijaksanaan mengenai hal ini adalah BYOH yaitu kebijaksanaan yang mengizinkan karyawan untuk menggunakan perangkat pribadi selain perangkat yang disediakan oleh organisasi/perusahaan. Kebijaksaan ini bisa meningkatkan perilaku cyberloafing karena karyawan menggunakan perangkat mereka sendiri (Doorn, 2011).

Kebijaksanaan lain yaitu fleksibilitas kerja baik waktu maupun tempat. Kebijaksanaan ini memungkinkan karyawan untuk bekerja di luar kantor. Kebijaksanaan ini memang memiliki efek pada performa karyawan. Namun, kerugiannya adalah beberapa organisasi menetapkan kebijaksanaan ini tanpa memberikan aturan yang jelas pada karyawannya sehingga hal ini bisa meningkatkan cyberloafing karyawan (Doorn, 2011).

4. Perceived Coworker Cyberloafing Norms

Penelitian menunjukkan bahwa norma rekan sejawat dan supervisor yang mendukung cyberloafing berhubungan positif dengan cyberloafing. Blau (2006) menunjukkan bahwa karyawan melihat karyawan lain yang berpotensi menjadi role model mereka dalam organisasi dan cyberloafing dipelajari dari perilaku yang mereka lihat dari orang tersebut (Liberman et al, 2011). Selain itu, Lim dan Teo (2005) mengemukakan bahwa individu menggunakan iklim normatif sebagai penyesuaian untuk melakukan perilaku yang dilakukan rekannya.

(10)

5. Employee Job Attitude

Cyberloafing merupakan respon emosional terhadap pekerjaan yang membuat frustasi, oleh sebab itu sikap terhadap pekerjaan bisa mempengaruhi munculnya cyberloafing (Liberman et al, 2011). Penelitian lain menemukan bahwa karyawan cenderung melakukan perbuatan yang tidak sesuai ketika mereka memiliki sikap yang tidak baik (Garret and Danziger, 2008). Adapun yang termasuk dalam job attitude adalah kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan prejudice dalam tempat kerja (Greenberg, 1998).

6. Job Demands and Resources

Studi menemukan bahwa ketika individu memiliki tuntutan kerja yang rendah kemungkinan untuk cyberloafing tinggi, hal ini dikarenakan waktu luang yang dimiliki. Ketika karyawan tidak memiliki banyak pekerjaan, mereka akan terlibat dalam aktivitas cyberloafing untuk mengahabiskan waktu (Doorn, 2011). c. Faktor Situasional

Penyalahgunaan komputer biasanya terjadi ketika individu memiliki akses internet dalam pekerjaannya, hal ini disebut sebagai pemicu situasional yaitu efek keadaan yang memoderasi perilaku dan hasilnya (Weatherbee, 2010). Kondisi fasilitas merupakan hal yang penting, sehingga individu yang memiliki intensi untuk melakukan sebuah tindakan tidak mampu melakukannya karena lingkungannya tidak memungkinkan untuk dilakukannya tindakan tersebut. Studi menemukan bahwa ada hubungan positif antara kondisi cyberloafing dengan perilaku cyberloafing itu sendiri (Woon and Pee, 2004).

(11)

Dari faktor-faktor tersebut dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku cyberloafing adalah sikap karyawan yaitu komitmen organisasi.

B. KOMITMEN ORGANISASI

1. Pengertian Komitmen Organisasi

Allen dan Meyer (1990) mendefiniskan komitmen organisasi sebagai kondisi psikologis yang menunjukkan hubungan antara karyawan dan organisasi yang berimplikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan keanggotaan dalam organisasi. Allen dan Meyer menambahkan bahwa komitmen organisasi adalah kondisi psikologis yang mengikat individu dengan organisasi.

Berdasarkan uraian definisi diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah kondisi psikologis antara individu dan organisasi yang meliputi internalisasi peran dalam organisasi, evaluasi positif terhadap organisasi dan tanggungjawab terhadap organisasi yang menimbulkan keinginan untuk berkontribusi terhadap organisasi.

2. Komponen Komitmen Organisasi

Allen dan Meyer (1990) mengemukakan tiga komponen komitmen organisasi yaitu affective, normative, dan continuance. Masing-masing komponen ini terdapat dalam diri individu dengan kadar yang berbeda-beda. Affective Commitment merupakan komitmen yang berkaitan dengan seberapa besar keinginan individu untuk berada di organisasi. Continuance commitment merupakan kesadaran akan kerugian apabila meninggalkan organisasi. Normative

(12)

commitment berkaitan dengan perasaan akan adanya kewajiban untuk tetap berada di organisasi. Karyawan yang memiliki normative commitment yang tinggi cenderung merasa dirinya harus tetap berada di organisasi.

a. Affective Commitment

Beberapa studi menggambarkan Affective Commitment sebagai orientasi afektif karyawan terhadap organisasi. Karyawan dengan Affective Commitment bekerja untuk organisasi karena mereka memang ingin melakukannya. Porter dan Mowday (1979) menggambarkan pendekatan ini sebagai kekuatan relatif indentifikasi dan keterlibatan individu dalam sebuah organisasi.

Affective commitment adalah kelekatan emosional, identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi. Komponen ini merupakan orientasi terhadap organisasi yang menghubungkan identitas seseorang dengan organisasi (Meyer &Allen, 1997). Orang dengan Affective Commitment mendukung tujuan organisasi dan berjuang untuk mencapai misi organisasi tersebut. Ketika sebuah organisasi mengalami sebuah perubahan, karyawan akan mempertanyakan apakah nilai yang dimilikinya masih sesuai dengan nilai organisasi. Apabila mereka merasa tidak sesuai maka mereka akan memutuskan untuk resign (Greenberg, 1997).

Affective commitment dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni tantangan pekerjaan, kejelasan peran, kejelasan tujuan, kesulitan tujuan, penerimaan oleh manajemen, kelekatan rekan, kesamaan, kepentingan pribadi, feedback, partisipasi, dan ketergantungan (Meyer & Allen, 1997).

(13)

Individu dengan affective commitment memiliki karakter sebagai berikut (Allen & Meyer, 1993) :

a. Setia dan tidak melihat kualitas hubungan berdasarkan perhitungan ekonomi.

b. Terlibat dalam hubungan organisasi dan berpartisipasi dalam pengembangan organisasi.

c. Memiliki kelekatan emosional dengan organisasi

d. Memiliki keinginan untuk mempertahankan hubungan dengan organisasi.

b. Continuance Commitment

Ketika seseorang memasuki sebuah organisasi, mereka mempertahankan hubungan dengan organisasi tersebut karena kurangnya alternatif untuk kesempatan yang lain apabila ia meninggalkan organisasi tersebut. Hal ini didefinisikan oleh Meyer & Allen (1990) yang menyatakan bahwa Continuance Commitment didasarkan pada dua faktor, yakni :

1) Investasi yang telah mereka buat di organisasi, dan 2) Persepsi bahwa tidak ada alternatif lain.

Meyer & Allen (1990) mendefinisikan continuance commitment sebagai kesadaran akan kerugian apabila meninggalkan organisasi. Continuance commitment dapat dikatakan sebagai kelekatan instrumental terhadap organisasi karena asosiasi individu dengan organisasi didasarkan pada perhitungan keuntungan ekonomi yang bisa diperoleh (Beck & Wilson, 2000). Dalam hal ini,

(14)

anggota sebuah organisasi memiliki sebuah komitmen karena adanya penghargaan ekstrinsik yang diperoleh bukan karena mengidentifikasikan dirinya terhadap nilai dan tujuan organisasi.

Semakin lama seseorang berada dalam sebuah organisasi semakin banyak investasi yang telah mereka buat dalam organsasi tersebut. Banyak orang berkomitmen untuk tetap bekerja dalam sebuah organisasi karena takut kehilangan investasi tersebut. Investasi yang dibuat bisa berupa hal-hal yang dianggap berharga oleh individu, misalnya rencana pensiun, keuntungan dari organisasi, status dan lain-lain yang mungkin akan hilang apabila dirinya meninggalkan organisasi sehingga dia memutuskan untuk tetap berada di organisasi (Greenberg, 1997).

Individu dengan continuance commitment dapat dilihat dengan karakteristik berikut (Meyer &Allen, 1993):

- Bekerja di sebuah organsasi adalah karena pertimbangan ekonomi dan sosial - Merasa rugi / kehilangan investasi apabila keluar dari organisasi tempat ia bekerja

- Menganggap bekerja pada organisasi merupakan suatu kebutuhan

- Merasa bahwa bekerja pada organisasi merupakan kesempatan / peluang yang terbaik

b. Normative Commitment

Normative commitment merupakan perasaan karyawan tentang kewajiban yang harus diberikan pada organisasi. Keinginan karyawan untuk berada di

(15)

organsiasi didasarkan pada tugas, loyalitas, dan kewajiban moral. Meyer & Allen (1990) mengemukakan bahwa Normative Commitment terjadi berdasarkan pengalaman sebelumnya, misalnya berdasarkan pengalaman keluarga (orangtua yang menekankan pada kesetiaan terhadap pekerjaan) atau berdasarkan pengalaman budaya (sanksi akan pergantian pekerjaan). Aspek normative menimbulkan persepsi individu akan kewajibannya untuk berada di sebuah organisasi. Normative Commitment merupakan hasil dari penerimaan keuntungan yang menimbulkan perasaan bahwa hal tersebut harus dibalas.

Normative Commitment juga diartikan sebagai perasaan tentang kewajiban untuk bekerja di sebuah organisasi karena adanya tekanan dari orang lain. Orang dengan Normative Commitment yang tinggi sangat memperhatikan pendapat oranglain apabila mereka keluar dari pekerjaannya. Mereka enggan mengecewakan pimpinan dan rekan kerjanya apabila mereka memutuskan untuk resign (Greenberg, 1996).

Snape dan Redman (2003) menyatakan bahwa affective commitment dan normative commitment berhubungan secara signifikan kepada intensi untuk berpartisipasi dalam pekerjaan. Meskipun demikian affective commitment memiliki dampak yang lebih kuat. Dibanding dengan continuance dan normative, affective commitment adalah komponen komitmen organisasi yang diharapkan untuk dimiliki oleh karyawan (He, 2008).

Karakteristik individu dengan normative commitment adalah sebagai berikut (Meyer&Allen, 1993) :

(16)

- Tidak tertarik pada tawaran organisasi lain yang mungkin lebih baik dari tempat ia bekerja

- Mempunyai rasa kesetiaan pada organisasi tempat ia bekerja, Tidak keluar masuk pekerjaan/menjadi satu dengan organisasi

- Berkeinginan untuk menghabiskan sisa karirnya pada organisasi tempat ia bekerja

C. HUBUNGAN KOMPONEN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP

CYBERLOAFING

Lim (2002) mendefinisikan cyberloafing sebagai penggunaan internet perusahaan untuk kepentingan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja. Cyberloafing menjadi cara yang biasa yang digunakan karyawan untuk menghabiskan waktu dalam pekerjaannya. Oleh sebab itu cyberloafing mengurangi produktivitas karyawan.

Munculnya cyberloafing dipengaruhi oleh sikap karyawan terhadap organisasi (Ozler, 2012). Sikap karyawan meliputi kepuasan kerja, prejudice, dan komitmen organisasi. Komitmen organisasi merupakan persepsi individu terhadap derajat hubungannya dengan organisasi tempat dia bekerja. Rogojan (2009) menemukan bahwa komitmen organisasi berkorelasi negatif dengan workplace deviant behavior. Komitmen Organisasi terdiri dari tiga komponen yakni komponen affective, continuance, dan normative.

Meskipun demikian tidak semua komponen komitmen organisasi bisa mendatangkan keuntungan bagi organisasi (Kirmizi and Deniz, 2009). Hal ini

(17)

juga didukung oleh penelitian Boehman (2006) yang menemukan bahwa ada korelasi negatif antara komitmen affective dan komitmen continuance. Demikian juga, ada korelasi positif antara komitmen affective dan komitmen normative. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada hubungan ketiga komponen komitmen organisasi terhadap cyberloafing.

Komponen komitmen affective, continuance, dan normative bisa menimbulkan produktivitas yang berbeda (Phips, Prieto, Ndinguri, 2013). Scechter (1985) menyatakan orang dengan komitmen affective yang tinggi memiliki performa yang lebih baik dalam pekerjaannya dibanding dengan orang yang memiliki komitmen continuance. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara affective dan normative commitment dengan perilaku yang diinginkan di organisasi. Sementara itu continuance commitment berhubungan negatif dengan perilaku yang diinginkan dalam organisasi (Meyer and Allen, 1991).

Berdasarkan hasil penelitian (Memari, Mahdieh, Marnani, 2013) ditemukan bahwa ketiga komponen komitmen organisasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan performa kerja karyawan. Penelitian lain yaitu penelitian meta analisa yang dilakukan oleh Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky (2002)yang menemukan bahwa diantara ketiga komponen komitmen organisasi, affective commitment memiliki korelasi yang paling kuat dan paling baik dengan faktor yang berkaitan dengan organisasi (kehadiran, performa, dan organizational citizenship behavior) dan faktor yang berkaitan dengan individu (stres dan work-family conflict). Normative commitment juga berhubungan dengan

(18)

perilaku yang diharapkan meskipun tidak sekuat affective commitment. Continuance commitment tidak berkaitan atau berkorelasi negatif dengan faktor tersebut.

Cyberloafing merupakan sebuah perilaku yang termasuk kedalam penyimpangan produktivitas yang dapat mengurangi tingkat performa kerja karyawan (Lim, 2002). Sementara itu efektivitas sebuah organisasi tidak hanya bergantung pada stabilitas kerja melainkan karyawan harus dapat diandalkan dalam melakukan pekerjaannya dan memiliki keinginan untuk melakukan usaha yang lebih untuk pekerjaannya. Hal ini merupakan bentuk dari komitmen organisasi itu sendiri. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara komponen komitmen Affective, Continuance, dan Normative terhadap cyberloafing.

D. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan dinamika kedua variabel yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah :

1. Affective Commitment berkorelasi negatif dengan cyberloafing. 2. Continuance commitment berkorelasi positif dengan cyberloafing. 3. Normative Commitment berkorelasi negatif dengan cyberloafing

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ini, diharapkan rumah sakit, tenaga kesehatan dan masyarakat dapat menambah informasi mengenai pentingnya mencegah kejadian bayi berat lahir rendah

Berdasarkan temuan penelitian dan analisis uji statistik dapat disimpulkan bahwa citra perusahaan, kepercayaan dan kemudahan penggunaan memiliki pengaruh yang

Kedua, Indonesia juga mengutus salah satu perwakilan biksu budha yang ada di Indonesia untuk berdiskusi dengan tokoh budha yang ada di Myanmar dan memberikan sebuah saran

Penelitian ini akan melihat fenomena yang terjadi terhadap peningkatan kapasitas pendinginan dari suatu model tabung vortex akibat adanya masukan udara dengan sengaja pada

Bararulya- Maaf seperti yang sudah kita kerj akan beberapa

Hasil: (1) sebanyak 46 orang (48,9%) mahasiswa mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, (2) sebanyak 63 orang (67%)mahasiswa rutin dalam melakukan SADARI , (3)

Data primer, yakni data yang didapat dari sumber pertama dari individu atau perseorangan, meliputi hasil angket tentang tahfidzul Qur’an yang bersumber dari

Melalui pembagian kelompok sosial tersebut dapat diketahui bahwa kepercayaan masyarakat terhadap kesenian Badut Topeng dalam hal ini lebih dominan dari pada yang tidak..