• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Karyawan PT Telekomunikasi Indonesia TBK Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Karyawan PT Telekomunikasi Indonesia TBK Medan"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA KARYAWAN PT TELEKOMUNIKASI

INDONESIA TBK MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Oleh: YULIAN ASTRI

101301071

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA KARYAWAN PT TELEKOMUNIKASI

INDONESIA TBK MEDAN

Yulian Astri dan Siti Zahreni, M. Psi, psikolog

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku cyberloafing karyawan di perusahaan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik incidental sampling dan jumlah subjek penelitian ini adalah 81 karyawan yang bekerja menggunakan fasilitas komputer dengan internet perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan. Data penelitian ini diungkap dari skala perilaku cyberloafing yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori Lim & Teo (rxx’ = 0,840) dan skala iklim organisasi yang disusun oleh penelitian berdasarkan teori Stringer (rxx’ = 0,910). Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh iklim organisasi terhadap frekuensi perilaku cyberloafing dengan nilai p = 0.019 (p < 0.05) dan koefisien determinan (R- square/ R2) sebesar 0.147 (14.7%).

(3)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan ucapan syukur saya panjatkan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa atas berkat, kemampuan, kesehatan, dan kekuatan yang telah dilimpahkanNya

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan salah satu

syarat dalam menyelesaikan studi pada program Sarjana Psikologi Universitas

Sumatera Utara. Penulis tetap mempercayakan setiap tahap dalam penelitian ini di

dalam nama Tuhan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah

sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan

kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya

kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati selaku dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Kakak Siti Zahreni, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah memberikan dukungan, bimbingan, nasehat, dan dengan penuh

kesabaran membimbing penulis selama dalam proses menyelesaikan

skripsi ini sehingga penulis lebih bersemangat dan pantang menyerah.

3. Ibu Emmy Mariatin, M.A., PhD., psikolog dan Ibu Gustiarti Leila, M.Psi,

M.Kes, psikolog selaku dosen penguji yang bersedia meluangkan waktu

untuk menguji penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

(4)

4. Ibu Dian Ulfasari, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing akademis

yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan di Fakultas

Psikologi USU.

5. Kedua orangtua penulis yaitu papa Ir. Ridwan Halim dan mama Saulina

Purba yang telah memberikan kasih sayang tiada henti dan dukungan baik

secara moril maupun materil serta doa yang tiada henti-hentinya kepada

penulis. Juga tak lupa pada ama tercinta yang selalu mengingatkan penulis

untuk menjaga kesehatan dan tetap semangat dalam mengerjakan skripsi.

6. Abang dan adik penulis yaitu Dimas Adrian, SE dan Raymond Saptahari

yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis.

7. Michael Mario Sinaga yang selalu menemani penulis dan selalu

memberikan dukungan serta masukan kepada penulis.

8. Sahabat terbaik penulis Elienz Vidella Tarigan, Eva Violesia Bangun, Olga

Septania Simatupang, Karin Natalia Ambarita, Yoseva Okta Naibaho, dan

Sri Saputri terima kasih atas kebersamaan, kasih sayang, bantuan,

pengertian, tawa, tangis, diskusi, dan dukungannya selama ini. Sukses

untuk SLG selalu.

9. Segenap staf pengajar di Fakultas Psikologi USU yang sangat berjasa

dalam mengajarkan saya seluruh konsep dan pemahaman yang mendalam

dari ilmu psikologi. Tanpa jasa dari Bapak dan Ibu Dosen saya tidak dapat

(5)

10. Staf administrasi dan pendidikan khususnya Pak Aswan yang sangat

ramah, bersahabat, dan selalu membantu saya dalam pengaturan

administrasi selama menjalani masa perkuliahan.

11. Seluruh mahasiswa angkatan 2010 yang telah berjuang menjalani

kehidupan akademik dan kepanitiaan bersama. Semoga semua

teman-teman cepat lulus dan sukses ke depannya.

13. Ibu Lenny R. Marlina selaku POH Mgr HR Witel Sumut Barat Telkom

cabang Sumatra yang telah mengizinkan penulis untuk mengambil data di

perusahaan Telkom dan seluruh karyawan yang telah meluangkan

waktunya untuk menjadi subjek dalam penelitian ini.

14. Semua pihak yang telah membantu baik ketika menjalani masa

perkuliahan maupun ketika menjalani proses penulisan skripsi. Dengan

banyaknya bantuan yang diterima, penulis meminta maaf

sedalam-dalamnya karena tidak dapat menyebutkan satu per satu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam

penelitian ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran

yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini

agar menjadi lebih baik lagi. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak

pihak.

Medan, Juli 2014

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GRAFIK ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN... ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... ... 14

A. Perilaku Cyberloafing ... 14

1. Definisi Perilaku Cyberloafing ... 14

2. Jenis-Jenis Perilaku Cyberloafing ... 16

3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberloafing . 18 B. Iklim Organisasi ... 23

1. Definisi Iklim Organisasi ... 23

(7)

C. Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Perilaku Cyberloafing ... 26

D. Hipotesa Penelitian ... 29

BAB III. METODE PENELITIAN ... 30

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... ... 30

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian... ... 30

1. Perilaku Cyberloafing ... 31

2. Iklim Organisasi ... 31

C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel ... 32

1. Populasi dan Sampel ………. ... 32

2. Metode Pengambilan Sampel ... 33

3. Jumlah Sampel... ... 34

D. Metode Pengumpulan Data ……….. 34

1. Skala Perilaku Cyberloafing ... 35

2. Skala Iklim Organisasi ... 36

E. Uji Instrumen Penelitian ……….…….... ... 38

1. Validitas Alat Ukur ... 39

2. Uji Daya Beda Item ... 39

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 40

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 41

1. Hasil Uji Coba Skala Perilaku Cyberloafing ... 41

2. Hasil Uji Coba Skala Iklim Organisasi ... 42

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 43

(8)

2. Pelaksanaan Penelitian ... 45

3. Pengolahan Data ... 45

H. Metode Analisa Data . ... 45

1. Uji Normalitas... ... 46

2. Uji Linearitas... ... 47

BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Analisa Data... ... 48

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 48

2. Hasil Uji Asumsi Penelitian... ... 50

3. Hasil Penelitian... 52

4. Deskripsi Data Penelitian... 54

B. Pembahasan... ... 58

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

A. Kesimpulan... ... ... 61

B. Saran... ... 62

(9)

DAFTAR GRAFIK

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1Blueprint skala perilaku cyberloafing sebelum uji coba.. . 36

Tabel 3.2Blueprint skala iklim organisasi sebelum uji coba ... 37

Tabel 3.3Blueprint skala perilaku cyberloafing setelah uji coba ... 41

Tabel 3.4Blueprint skala iklim organisasi setelah uji coba ... 42

Tabel 4.1 Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin ... 48

Tabel 4.2 Penyebaran subjek berdasarkan masa kerja ... 49

Tabel 4.3 Hasil uji asumsi normalitas ... 50

Tabel 4.4 Tabel anova perilaku cyberloafing ... 52

Tabel 4.5 Tabel koefisien determinan (�2) ... 53

Tabel 4.6 Hasil regresi iklim organisasi dengan perilaku cyberloafing ... 54

Tabel 4.7 Perbandingan mean empirik dengan mean hipotetik ... 55

Tabel 4.8 Norma kategorisasi data penelitian ... 56

Tabel 4.9 Kategori data penelitian perilaku cyberloafing ... 56

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Uji Coba dan Hasil Uji Coba

1. Tabulasi skor uji coba skala perilaku cyberloafing

2. Tabulasi skor uji coba skala iklim organisasi

3. Reliabilitas skala perilaku cyberloafing

4. Reliabilitas skala iklim organisasi

LAMPIRAN B Hasil Penelitian 1. Skala

2. Uji Asumsi

3. Uji Hipotesis

(12)

PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA KARYAWAN PT TELEKOMUNIKASI

INDONESIA TBK MEDAN

Yulian Astri dan Siti Zahreni, M. Psi, psikolog

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku cyberloafing karyawan di perusahaan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik incidental sampling dan jumlah subjek penelitian ini adalah 81 karyawan yang bekerja menggunakan fasilitas komputer dengan internet perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan. Data penelitian ini diungkap dari skala perilaku cyberloafing yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori Lim & Teo (rxx’ = 0,840) dan skala iklim organisasi yang disusun oleh penelitian berdasarkan teori Stringer (rxx’ = 0,910). Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh iklim organisasi terhadap frekuensi perilaku cyberloafing dengan nilai p = 0.019 (p < 0.05) dan koefisien determinan (R- square/ R2) sebesar 0.147 (14.7%).

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pada era modern ini, internet menjadi salah satu teknologi yang

berkembang sangat pesat. Internet menjadi kebutuhan bagi kalangan banyak

karena mampu mengakses dan mendapatkan informasi dengan cepat dan mudah

seperti masyarakat umum, pemerintah, pelajar, ibu rumah tangga, karyawan

perusahaan, dan lain-lain. Jumlah pengguna internet di dunia pada tahun 2012

berkisar 2,4 miliar juta jiwa (Royal Pingdom, 2013). Pengguna internet terbanyak

berasal dari Asia yaitu 44,8% dan diikuti 21,5% Eropa, kemudian disusul

Amerika Utara 11,4% (International Telecommunications Union, 2012). Besarnya jumlah pengguna internet di negara Asia sangatlah wajar mengingat lebih dari

55% penduduk dunia berada di benua Asia. Indonesia menduduki urutan ke-4

sebagai negara dengan pengguna internet terbanyak di Asia yakni mencapai 55

juta jiwa pengguna (International World Stats, 2012). Tempat mengakses internet di Indonesia kebanyakan dari kantor (52,4%), warnet/cafe/rental (35,1%), rumah

(27,6%), sekolah/kampus (7,2%), rumah teman/saudara (3,7%), perpustakaan

(2,8%), dan hp (0,4%) (Indonesian Consumer Profile, 2009). Hasil data survey tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan internet tertinggi adalah di kantor.

Akses internet menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan kinerja dan

produktifitas karyawan dalam suatu perusahaan. Internet memiliki banyak

(14)

kegiatan operasional perusahaan dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien.

Internet menjadi fasilitas komunikasi yang mudah dengan biaya yang lebih murah

dalam melakukan pemasaran dan publikasi, berhubungan dengan banyak klien di

luar negeri, mencari karyawan baru dan lain sebagainya. Penyediaan akses

internet oleh perusahaan meningkatkan kreatifitas, fleksibilitas, dan membantu

perkembangan pembelajaran lingkungan karyawan (Blanchard dan Henle, 2008)

sehingga sejumlah manfaat yang diberikan oleh internet dapat meningkatkan daya

saing perusahaan dari kompetitor. Memiliki dan menyediakan akses internet di

perusahaan tidak hanya memberikan keuntungan namun internet telah menjadi

begitu melekat dalam fungsi perusahaan sehingga menjadi suatu kebutuhan

(Bharadwaj, 2000).

Internet memang memberikan banyak manfaat bagi perusahaan namun

penggunaan internet juga memberikan dampak negatif walaupun telah menjadi

kebutuhan perusahaan. Karyawan dapat menunda kewajiban dalam melaksanakan

tugas perusahaan akibat penggunaan internet. Karyawan menghabiskan waktu

untuk mengakses internet di tempat kerja untuk penggunaan pribadi sambil

berpura-pura melakukan tugas wajib perusahaan. Hal ini disebut dengan perilaku

cyberloafing. Cyberloafing merupakan tindakan sengaja dari karyawan menggunakan akses internet perusahaan untuk kepentingan yang tidak

berhubungan dengan pekerjaan di saat jam kerja (Lim, 2002). Berdasarkan hasil

penelitian yang telah di terbitkan jurnal Computers in Human Behaviour, diperkirakan sekitar 60 hingga 80 persen karyawan menggunakan akses internet

(15)

bahwa 40% karyawan mengakses internet setiap hari, 88% diantaranya mengakses

internet bukan untuk kepentingan pekerjaan, 66% karyawan tiap kali mengakses

internet selama sepuluh menit dan rata-rata satu jam tiap harinya (eMarketer

dalam Henle & Blanchard, 2008). Bloxx (2008) memperkirakan karyawan

menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk aktivitas internet yang tidak

berhubungan dengan kerja. Rata-rata pengguna internet perusahaan menghabiskan

waktu selama dua jam untuk online (Elisa dan Giuseppe, 2006). 31% diantaranya

menggunakannya untuk hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. 70%

karyawan membuka situs dan 30% lainnya membuka email personal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

Perilaku cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan membawa sejumlah dampak negatif. Perilaku cyberloafing yang tidak terkontrol pada akhirnya berujung pada tindakan tidak disiplin, penghentian atau kehilangan karyawan,

pelanggaran kerahasiaan perusahaan dan hilangnya reputasi atau privasi personal,

pertanggungjawaban personal dan perusahaan, biaya asosiasi legal, hilangnya

milliaran dollar karena kurangnya produktifitas (Weatherbee, 2010). Kerugian

milliaran dollar yang dialami oleh perusahaan merupakan jumlah kerugian yang

sangat fantastis sehingga perilaku cyberloafing perlu diperhatikan. Cyberloafing

dapat mengurangi produktifitas dan inefisien dalam penggunaan sumberdaya

network, dan berakhir sebagai organisasi yang tidak kompetitif (Liberman et al,

(16)

Penurunan kinerja karyawan yang terjadi akibat cyberloafing adalah sebanyak 30 sampai 40 persen yang mengakibatkan perusahaan menjadi rugi

(Conlin, 2000). Penggunaan akses internet perusahaan untuk kepentingan pribadi

karyawan dapat menurunkan kinerja sistem internet di kantor (Sipior dan Ward,

2002). Perilaku cyberloafing membuat perusahaan dalam posisi rugi karena karyawan berfokus kepada kegiatan diluar pekerjaan daripada memperhatikan

pekerjaan mereka saat mereka menggunakan internet. Diperkirakan antara 20

sampai 30 persen perusahaan telah memecat karyawan karena perilaku

cyberloafing seperti mengakses situs porno, judi online, dan belanja online (Case & Young, 2002; Greenfield & Davis, 2002). Selain itu perilaku cyberloafing dapat membuat perusahaan rentan terkena virus, hacking, serta tanggung jawab hukum

dalam bentuk pelecehan. Dengan kata lain, perusahaan telah kehilangan waktu,

biaya dan produktivitas akibat ulah karyawan yang menggunakan akses internet

untuk keperluan pribadi.

Perilaku cyberloafing tidak selalu membawa dampak negatif bagi perusahaan. Perilaku cyberloafing ini dapat menjadi hal yang positif seperti mengurangi kebosanan, kelelahan atau stress, memberikan kepuasan pekerjaan

dan kreatifitas, meningkatkan well-being, rekreasi, dan recovery (Vitak et al, 2011). Cyberloafing berfungsi sebagai “office toy” untuk menurunkan stress kerja dan inspirasi kreatifitas (Anandarajan & Simmers, 2005). Cyberloafing dapat menurunkan stress kerja karena perilaku ini dianggap sebagai salah satu bentuk

istirahat. Istirahat ini berbeda dengan istirahat makan siang ataupun istirahat

(17)

produktif ketika perusahaan memberikan istirahat kecil. Karyawan dapat

menyegarkan pikiran dan menjadi lebih kreatif.

Penelitian Lim dan Don Chen (2012) menunjukkan bahwa karyawan yang

melakukan surfing internet saat bekerja jauh lebih produktif dan efektif dalam mengerjakan tugas-tugas mereka dibandingkan dengan karyawan yang

menggunakan waktu luang dengan kegiatan lain seperti ke kantin dan atau coffee break. Karyawan yang melakukan cyberloafing merasakan kelelahan mental dan kebosanan yang lebih rendah. Hasil penelitian lain juga menemukan bahwa

karyawan yang memiliki emosi negatif di pagi hari dan melakukan cyberloafing

selama jam kerja merasakan emosi yang lebih positif dari sebelumnya. Perilaku

cyberloafing tidak menjadi suatu ancaman atau masalah bagi perusahaan selama karyawan dapat membatasi diri dan tidak menggunakan internet untuk merugikan

beban kerja mereka.

Perilaku cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan dalam perusahaan disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu individu, situasi dan organisasi (Ozler dan

Polat, 2012). Faktor yang pertama adalah faktor individu. Penelitian telah

mencoba mengidentifikasi karyawan yang lebih mungkin terlibat cyberloafing

dari pada yang tidak (Vitak et al, 2011:1752). Persepsi dan sikap terhadap

cyberloafing dan penggunaan internet, personal traits, kebiasaan dan kecanduan internet, faktor demografi, intensi terlibat cyberloafing, dan norma sosial termasuk faktor individu yang mempengaruhi kecenderungan perilaku cyberloafing. Faktor yang kedua adalah faktor situasi. Kondisi yang mendukung merupakan hal yang

(18)

karena lingkungan mencegah tindakan tersebut muncul. Situasi yang dimaksud

adalah adanya akses internet, kehadiran atasan secara fisik, serta kebijakan formal

dan sanksi organisasi bagi siapa saja yang terlibat perilaku cyberloafing. Ditemukan bahwa ada hubungan positif kondisi yang memfasilitasi munculnya

cyberloafing dan perilaku cyberloafing karyawan (Woon dan Pee, 2004:81). Faktor yang ketiga adalah faktor organisasi. Ada beberapa faktor organisasi yang

mempengaruhi karyawan dalam melakukan cyberloafing. Managerial support, norma sosial, pembatasan penggunaan internet, konsekuensi positif dan negatif

dan sikap kerja mempengaruhi perilaku cyberloafing.

Lingkungan kerja masing-masing perusahaan memiliki sifat ataupun

ciri-ciri yang berbeda sehingga hal inilah yang membedakan satu perusahaan dengan

perusahaan lainnya. Lingkungan kerja ini akan menentukan bagaimana suasana

kerja dan perilaku karyawan di dalamnya. Lingkungan kerja yang menyenangkan

membuat sikap pegawai positif dan memberi dorongan untuk bekerja lebih tekun

dan lebih baik. Sebaliknya, jika situasi lingkungan tidak menyenangkan mereka

cenderung meninggalkan lingkungan tersebut. Litwin dan Stringer (1968)

menyebut lingkungan kerja ini dengan istilah iklim organisasi.

Litwin dan Stringer (dalam Hidayat, 2001) mendefinisikan iklim

organisasi sebagai satu set ciri yang dapat diukur tentang lingkungan kerja, yang

bergantung pada persepsi manusia yang bekerja di dalam organisasi tersebut, baik

secara langsung maupun tidak langsung, dan dianggap dapat mempengaruhi

motivasi dan perilaku mereka. Iklim organisasi memainkan peran yang penting

(19)

ini diperkuatkan dengan pendapat M. P. O’Driscoll (1988) yang mendefinisikan

iklim organisasi sebagai persepsi, perilaku dan sikap individu yang mempengaruhi

kebijakan, prosedur dan tindakan sehari-hari anggota organisasi.

Iklim organisasi yang mendukung akan menciptakan lingkungan kerja

yang baik. Begitu pula sebaliknya. Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel (dalam

Rajali, 2011) menyebutkan ada dua tipe iklim organisasi, yaitu iklim organisasi

terbuka dan iklim organisasi tertutup. Pada iklim organisasi terbuka, semangat

kerja pegawai sangat tinggi, dorongan pimpinan untuk memotivasi pegawainya

agar berprestasi sangat besar, sedangkan rutinitas administrasi rendah, pegawai

yang meninggalkan pekerjaan seperti bolos, ijin dan sebagainya juga rendah,

perasaan terpaksa untuk bekerja juga rendah. Sebaliknya, pada iklim organisasi

yang tertutup, semangat kerja pegawai sangat rendah, dorongan pimpinan untuk

memotivasi pegawainya berprestasi sangat rendah, sedangkan rutinitas

administratif tinggi, pegawai yang meninggalkan pekerjaan tinggi, perasaan

terpaksa untuk bekerja juga tinggi.

Iklim organisasi penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi

seseorang tentang apa yang diberikan oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi

penentuan tingkah laku anggota selanjutnya (Rajali, 2011). Iklim ditentukan oleh

seberapa baik anggota diarahkan, dibangun dan dihargai oleh organisasi. Indikator

sebuah iklim organisasi yang positif dapat dilihat dari komformitas, penghargaan,

kejelasan organisasi, kehangatan, dukungan kepemimpinan, serta adanya

tanggung jawab. Iklim organisasi yang baik dalam bekerja menimbulkan

(20)

Iklim yang ada di dalam organisasi akan berdampak kepada perilaku yang

ditunjukkan oleh karyawan, artinya semakin baik iklim organisasi akan semakin

baik pula perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan dan demikian pula sebaliknya.

Ketika harapan karyawan terpenuhi dengan tujuan organisasi dan mereka merasa

mendapatkan dukungan dari organisasi, mereka merasaka iklim organisasi yang

positif, sehingga menunjukkan perilaku positif (Pelin Kanten et al., 2013). Di sisi

lain, ketika harapan mereka tidak sesuai dengan misi organisasi dan mereka

menganggap kondisi kerja yang tidak menyenangkan, mereka cenderung

menunjukkan perilaku counterproductive work behavior (Pelin Kanten et al., 2013).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Davis dan Newstrom (1994) yang

menyatakan bahwa iklim organisasi dapat menentukan sejauh mana individu

merasa betah menjadi anggota suatu organisasi dan dapat mempengaruhi tinggi

rendahnya produktivitas dan kualitas hasil kerjanya. Para peneliti lain juga

menemukan iklim organisasi memiliki hubungan dengan perilaku positif seperti

perilaku inovatif, organizational citizenship behavior, dan perilaku negatif seperti

counterproductive work behavior (Bellou and Andronikidis, 2009; Scheuer, 2010; Farooqui, 2012; Fagbohungbe et al., 2012; Al-Saudi, 2012; Wolf et al., 2012).

Penelitian-penelitian telah dilakukan untuk melihat perilaku cyberloafing

ini terkait dengan faktor organisasi. Peneliti terdahulu dilakukan oleh Ahmad Said

(21)

perilaku cyberloafing. Human resources practices itu sendiri terdiri dari empat yaitu performance appraisal, compensation practices, employment security, dan

career advancement. Hasil penelitian Ahmad dkk menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang menguntungkan penting dalam memunculkan perilaku

kerja yang positif.

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Liao et al. (2009) yang

menyatakan bahwa faktor yang berhubungan dengan kebijakan seperti hukuman

ditemukan tidak siginifikan dalam menentukan sikap karyawan, kontrol perilaku,

dan norma subjektif dalam penyalahgunaan internet. Penyalahgunaan internet

dapat dihindari dengan lebih efektif ketika terbentuk lingkungan kerja yang

menyenangkan. Hasil penelitian serupa juga diungkapkan oleh Liberman et al.

(2011) bahwa atasan seharusnya menciptakan lingkungan kerja yang mendukung

para karyawan sehingga mereka merasa bahwa pekerjaan mereka berarti dan

memberikan kontribusi bagi organisasi.

Peneliti akan melakukan penelitian pada PT Telekomunikasi Indonesia

Tbk atau yang bisa dikenal sebagai PT Telkom. Telkom Group adalah

satu-satunya BUMN telekomunikasi serta penyelenggara layanan telekomunikasi dan

jaringan terbesar di Indonesia. PT Telkom merupakan perusahaan yang bergerak

dibidang telekomunikasi, informasi, media dan edutainment (TIME). Telkom

Group melayani jutaan pelanggan di seluruh Indonesia dengan rangkaian lengkap

layanan telekomunikasi yang mencakup sambungan telepon kabel tidak bergerak

dan telepon nirkabel tidak bergerak, komunikasi seluler, layanan jaringan dan

(22)

menyediakan layanan internet tentunya akan memiliki jaringan internet pula

dalam melaksanakan pekerjaan.

Perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan menggunakan

internet tanpa batas atau aturan pemakaian karena perusahaan ini sendiri

menggunakan internet untuk melaksanakan perkerjaan, bahkan untuk melakukan

absensi pun dilaksanakan dengan login menggunakan internet. Situasi dengan

internet tanpa batas tidak menutup kemungkinan karyawan melakukan

cyberloafing. Namun PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan memiliki tuntutan kerja yang tinggi sehingga para karyawan tidak memiliki waktu yang banyak

dalam melakukan cyberloafing. Ketika perilaku cyberloafing dilakukan untuk relaksasi dan menghilangkan kepenatan bekerja maka perilaku cyberloafing tidak menjadi ancaman bagi perusahaan. Sebaliknya, perilaku cyberloafing dapat merugikan perusahaan ketika karyawan menyampingkan pekerjaan dan

kewajibannya akibat terlalu fokus melakukan cyberloafing.

Iklim organisasi mempengaruhi efektifitas organisasi (P. E. Mudrack,

1989) dan motivasi dan perilaku individu (E.T. Moran, 1992). Iklim organisasi

selalu mempengaruhi seluruh kondisi dasar dan perilaku individu dalam

perusahaan. Hal ini terjadi karena orang cenderung untuk menerima dan

menginternalisasi iklim organisasi dimana mereka bekerja, dan persepsi mereka

mengenai iklim organisasi mempengaruhi perilaku mereka (Vardi, 2001). Jika

individu merasa bahwa organisasi berdiri di belakang mereka, mereka lebih

mungkin gigih, inovatif, dan membantu ketika berhadapan dengan masalah yang

(23)

melakukan perilaku cyberloafing untuk hal-hal yang positif dan menurunkan stress sehingga meningkatkan produktifitas dan tidak merugikan perusahaan

namun tetap fokus pada pekerjaan dan kewajiban.

Oleh karena uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat pengaruh iklim

organisasi terhadap perilaku cyberloafing pada karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah yang

dijadikan fokus penelitian adalah apakah iklim organisasi berpengaruh pada

perilaku cyberloafing pada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh iklim organisasi

terhadap perilaku cyberloafing pada karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya temuan di

dalam ilmu Psikologi khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi

mengenai iklim organisasi dan perilaku cyberloafing.

b. Hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan bagi

penelitian-penelitian selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan perilaku

(24)

2. Manfaat Praktis

Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada perusahaan berupa iklim organisasi dalam perusahaan, data perilaku

cyberloafing, serta mengetahui kotribusi iklim organisasi perilaku cyberloafing

karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

permasalahan. Memuat landasan teori tentang iklim organisasi dan

perilaku cyberloafing. Bab III : Metode Penelitian

Berisi identifikasi variabel, definisi operasional, populasi dan

metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, dan

metode analisa data penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Dalam analisa data akan dipaparkan mengenai hasil deskripsi data

penelitian, uji hipotesa utama dan uji hipotesa tambahan dan

menginterpretasikan data-data masukan atau data-data tambahan

(25)

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Dalam kesimpulan terdapat jawaban atas masalah yang diajukan.

Kesimpulan dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data, dan

saran dibuat dengan mepertimbangkan hasil penelitian yang

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

permasalahan. Pada bab ini akan memuat landasan teori tentang definisi, jenis dan

faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing serta pengertian dan dimensi dari iklim organisasi. Tujuan dari bab ini adalah membahas teori-teori dan

penelitian yang terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian.

A. PERILAKU CYBERLOAFING 1. Definisi Perilaku Cyberloafing

Cyberloafing masih merupakan topik baru dalam literatur ilmiah. Berbagai definisi digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Selain cyberloafing, terdapat beberapa terminologi yang memiliki pengertian teoritikal yang sama seperti

cyberdeviance, cyberslacking, dan cyberslouching.

Block (2001) berpendapat bahwa cyberloafing merupakan karyawan yang melaksanakan aktifitas internet non-business di jam kantor menggunakan sumber daya perusahaan. Menurut Lim (2002) cyberloafing adalah tindakan karyawan secara sengaja menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan yang tidak

berhubungan dengan pekerjaan di saat jam kerja. Lim mengungkapkan bahwa

cyberloafing merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan kerja. Aktifitas

(27)

pendapat lain mengatakan bahwa cyberslacking adalah kesempatan menggunakan internet dan email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di kantor yang seharusnya ditujukan untuk tujuan bekerja (Phillips & Reddie, 2007).

Sementara menurut Blanchard & Henle (2008) cyberloafing adalah penggunaan email dan internet kantor yang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh karyawan secara sengaja saat bekerja. Blanchard dan Henle (2008) membagi

cyberloafing menjadi dua level yaitu cyberloafing minor dan serius. Cyberloafing minor terdiri dari mengirim atau menerima email pribadi saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shopping online. Cyberloafing serius terdiri dari mengunjungi situs internet dewasa, memantau situs internet milik

pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui chat rooms, blog, dan iklan personal, bermain permainan online dan mengunduh musik.

Bock dan Ho (2009) menjelaskan pengunaan internet selama bekerja

untuk kepentingan pribadi disebut sebagai Non-Work Related Computing

(NWRC). NWRC merupakan istilah kolektif dan berisi Junk Computing dan

Cyberloafing. Junk Computing adalah penggunaan internet servis organisasi yang dilakukan oleh karyawan untuk kepentingan pribadi dan tidak berhubungan

dengan dengan tujuan organisasi (Bock & Ho, 2009). Baik Junk Computing

(28)

Berdasarkan penjelasan definisi perilaku cyberloafing yang telah dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku karyawan menggunakan akses internet kantor untuk keperluan pribadi

dan diluar pekerjaan seperti mengecek dan membalas email personal, membuka jejaring sosial seperti facebook, twitter, youtube, blog, tumblr, bermain game

online, berbelanja online, mencari berita atau entertainment dan mengunduh data yang tidak berhubungan dengan kerja.

2. Jenis-Jenis Perilaku Cyberloafing

Li dan Chung (2006) membagi perilaku cyberloafing menjadi empat, yaitu:

a. Aktifitas sosial yaitu penggunaan internet untuk berkomunikasi dengan teman.

Aktifitas sosial yang melibatkan pengekspresian diri (facebook, twitter, dll) atau

berbagi informasi via blog (blogger).

b. Aktifitas informasi yaitu menggunakan internet untuk mendapatkan informasi.

Aktifitas informasional yang terdiri dari pencarian informasi seperti site berita

(CNN).

c. Aktifitas kenikmatan yaitu internet untuk menghibur. Aktifitas kesenangan

yang terdiri dari aktifitas bermain permainan online atau mengunduh musik (youtube) atau software (Torrent-site) untuk tujuan kesenangan.

d. Aktifitas emosi virtual yaitu sisa dari aktifitas online internet lainnya seperti berjudi atau berkencan. Aktifitas emosi virtual mendeskripsikan aktifitas online

yang tidak dapat dikategorisasikan dengan aktifitas lainnya seperti berbelanja

(29)

Lim dan Teo (2005) mengelompokkan perilaku cyberloafing menjadi dua kategori utama yaitu aktifitas browsing dan emailing. Aktifitas browsing adalah aktifitas menggunakan internet perusahaan untuk melihat hal-hal yang tidak

berhubungan dengan kerja di situs internet saat bekerja. Aktifitas emailing

merupakan aktifitas mengirim, menerima, dan memeriksa email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saat bekerja.

Sedangkan Blanchard dan Henle (2008) membedakan cyberloafing

menjadi dua level, yaitu cyberloafing minor dan serius.

a. Cyberloafing minor terdiri dari perilaku mengirim atau menerima email pribadi saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shoppingonline. b. Cyberloafing serius terdiri dari perilaku mengunjungi situs internet dewasa, memantau situs internet milik pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui

chat rooms, blog, iklan personal, bermain permainan online, hacking, menyebar virus dan mengunduh musik atau file pribadi.

Beberapa peneliti menggunakan istilah cyberloafing mengarah kepada perilaku serius seperti menyebar virus dan hacking namun perilaku yang akan

(30)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberloafing

Perilaku cyberloafing dapat muncul pada saat bekerja karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Derya Ergun Ozler dkk. (2012) ada tiga faktor

yang mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing, yaitu: a. Faktor individual

Faktor individu terdiri dari persepsi dan sikap, personal trait, kebiasaan dan

kecanduan internet, serta demografi.

1. Persepsi dan sikap

Individu dengan sikap komputer yang positif lebih mungkin menggunakan

komputer dalam bekerja untuk kepentingan pribadi. Karyawan yang terlibat

cyberloafing minor tidak percaya bahwa mereka terlibat dalam perilaku tidak pantas atau menyimpang mengingat karyawan yang terlibat dalam cyberloafing

yang seriuslah yang menyimpang dan tidak dapat dimaafkan.

2. Personal trait

Personal trait seperti pemalu, penyendiri, terisolasi, self control, self esteem, dan locus of control mempengaruhi bentuk penggunaann internet. Individu dengan self-esteem rendah dilaporkan dapat mengurangi self control

dalam penggunaan internet. Individu dengan orientasi eksternal kurang dapat

mengontrol penggunaan internet mereka.

3. Kebiasaan dan kecanduan internet

Kebiasaan mengacu pada urutan situasi-perilaku yang sedang atau telah

(31)

Telah diperkirakan bahwa lebih dari setengah perilaku media adalah kebiasaan

(LaRose, 2010). Derajat kecanduan internet yang tinggi lebih memungkinkan

untuk melakukan penyalahgunaan internet.

4. Demografis

Tingkat pendapatan, pendidikan, dan gender merupakan prediktor

cyberloafing. Individu dengan pendidikan yang tinggi menggunakan internet untuk mencari informasi, sedangkan individu dengan pendidikan yang rendah

cenderung menggunakan internet untuk bermain permainan online. Pria lebih sering melakukan cyberloafing dan melakukannya lebih lama apabila dibandingkan dengan wanita. Pria lebih sering menggunakan internet untuk

permainan online sedangkan wanita lebih tertarik untuk melakukan komunikasi

online.

b. Faktor situasi

Perilaku kecenderungan cyberloafing biasanya berhubungan dengan individu ketika adanya akses internet saat bekerja dan hal tersebut menjadi situasi

yang menstimulus, atau efek konteks yang memediasi perilaku dan akibat. Situasi

yang dimaksud adalah adanya akses internet, kehadiran atasan secara fisik, serta

kebijakan formal dan sanksi organisasi bagi siapa saja yang terlibat perilaku

cyberloafing. c. Faktor organisasi

Ergun dkk. (2012) menyatakan ada beberapa faktor organisasi yang dapat

(32)

managerial support, norma perilaku cyberloafing rekan kerja, sikap kerja karyawan, ketidakadilan, komitmen pekerjaan, dan karakteristik pekerjaan.

1. Pembatasan penggunaan internet

Dengan membatasi karyawan dalam penggunaan komputer di saat bekerja

melalui peraturan, atau melalui pembatasan teknologi, atau keduanya, dapat

mengurangi penggunaan akses internet pada karyawan.

2. Merasakan akibat

Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung akan lebih sedikit

untuk terlibat dalam kegiatan cyberloafing ketika mereka menganggap memiliki konsekuensi negatif yang serius bagi organisasi mereka dan menyakiti

kepentingan pribadi mereka(e.g. Lim and Teo 2005, Blanchard and Henle 2008;

Lim and Chen, 2012; Vitak et al, 2011; Woon and Pee, 2004).

3. Managerial support

Managerial support dalam penggunaan internet saat bekerja tanpa spesifikasi yang khusus bagaimana menggunakan internet dapat meningkatkan

bentuk penggunaan internet pada karyawan antara untuk bisnis dan pribadi.

Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai dukungan semua jenis

penggunaan internet, termasuk perilaku cyberloafing (Garrett and Danziger, 2008; Vitak et al., 2011; Liberman et al, 2011).

4. Persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja (Perceived coworker

cyberloafingnorms)

(33)

cyberloafing dipelajari melalui meniru perilaku yang mereka lihat dari individu lain dalam lingkungan organisasi mereka.

5. Sikap kerja karyawan

Tindakan penyimpangan ditempat kerja seperti cyberloafing telah terbukti menjadi respon emosional terhadap frustasi pada pekerjaan, oleh karena itu telah

disepakati bahwa sikap pekerjaan mungkin mempengaruhi cyberloafing

(Lieberman et al, 2011). Karyawan lebih mungkin melakukan cyberloafing atau perilaku yang tidak pantas ketika karyawan ketika mereka memegang sikap kerja

yang tidak baik (Garrett and Danziger, 2008).

6. Ketidakadilan

Pada tingkat organisasi, keadilan organisasi telah ditemukan untuk

menjadi kecenderungan munculnya perilaku cyberloafing oleh beberapa peneliti dimana keadilan organisasional yang lebih rendah memiliki dampak yang

signifikan terhadap cyberloafing (Lim, 2002; Lim dan Teo, 2005). Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan merasakan beberapa bentuk ketidakadilan

dalam pekerjaan mereka, salah satu cara untuk berusaha untuk mengembalikan

keseimbangan adalah melalui cyberloafing. 7. Komitmen pekerjaan

Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi tempat mereka

bekerja akan menemukan kurang sesuai penggunaan internet dengan rutinitas

pekerjaan daripada mereka yang tidak (Garrett dan Danziger, 2008). Individu

yang berkomitmen terhadap pekerjaan mereka kurang mungkin untuk terlibat

(34)

8. Kepuasan kerja

Karyawan dengan kepuasan kerja yang tinggi mempengaruhi secara positif

terhadap penyalahgunaan internet. Pelaku penyalahgunaan internet lebih mungkin

adalah karyawan dengan kepuasan yang tinggi. Dalam studi lebih lanjut, beberapa

responden mengungkapkan bahwa mereka melihat penggunaan internet diluar

pekerjaan terkait dengan tujuan sebagai bentuk manfaat sampingan yang dapat

membantu meringankan stres kerja (Woon dan Pee, 2004). Menurut Vitak et al.

(2011), kepuasan yang mmenurun, kemungkinan terlibat dalam kegiatan

cyberloafing meningkat. Stanton (2002) menemukan bahwa pelaku penyalahgunaan internet lebih mungkin pada karyawan yang memiliki kepuasan

yang tinggi (Ugrin et al, 2008). Dalam beberapa penelitian, kepuasan pekerjaan

gagal menghasilkan korelasi yang signifikan dengan dimensi personal web use. Garrett dan Danziger (2007) tidak menemukan hubungan antara kepuasan

pekerjaan dan cyberloafing. Hasilnya bisa berarti bahwa karyawan yang terlibat dalam penggunaan web pribadi belum tentu orang-orang yang kurang puas

dengan pekerjaan mereka (Mahatanankon et al, 2004)

9. Karakteristik pekerjaan

Ketika karyawan menghabiskan waktu singkat pada tugas-tugas yang tidak

berhubungan dengan pekerjaan dapat terbebas dari kebosanan, kelelahan atau

stres, kepuasan kerja yang lebih besar atau kreativitas, meningkatkan dalam

kesejahteraan, rekreasi dan pemulihan, dan karyawan lebih bahagia secara

keseluruhan. Karakteristik pekerjaan spesifik dapat mempengaruhi munculnya

(35)

Di sisi lain, pekerjaan yang kreatif yang lebih memiliki banyak tuntutan dan lebih

sedikit membosankan lebih kurang mungkin termotivasi untuk melakukan

cyberslacking (Vitak et al., 2011).

Managerial support, persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja, ketidakadilan, komitmen pekerjaan, dan karakteristik pekerjaan merupakan faktor

organisasi. Beberapa faktor organisasi yang disebutkan di atas merupakan bagian

dari iklim organisasi. Selanjutnya akan lebih dijelaskan mengenai definisi dan

dimensi iklim organisasi.

B. IKLIM ORGANISASI 1. Definisi Iklim Organisasi

Ada beberapa pandangan beberapa para ahli mengenai iklim organisasi.

Steers (1989) memandang iklim organisasi sebagai suatu kepribadian organisasi

seperti apa yang dilihat para anggotanya. Lunenburg dan Ornstein (1991)

mengemukakan iklim organisasi sebagai kualitas lingkungan total dalam sebuah

organisasi. Iklim organisasi dapat dinyatakan dengan kata sifat seperti terbuka,

ramai, santai, informal, dingin, impersonal, bermusuhan, kaku, dan tertutup. Davis

dan Newstrom (1994) mendefinisikan iklim organisasi sebagai lingkungan dimana

para karyawan suatu organisasi melakukan pekerjaan mereka. Iklim mengitari dan

mempengaruhi segala hal yang bekerja dalam organisasi sehingga iklim dikatakan

sebagai suatu konsep yang dinamis.

Menurut Higgins (1982) iklim organisasi adalah kumpulan dari persepsi

karyawan termasuk mengenai pengaturan karyawan, keinginan dari pekerjaan

(36)

merupakan harapan-harapan serta cara pandang individu terhadap organisasi.

Mas’ud (2004) menyatakan iklim kerja adalah kesan, harapan dan perasaan yang

dimiliki oleh anggota suatu unit kerja, yang berpengaruh terhadap hubungan

antara bawahan dan atasan dan hubungan antara karyawan dengan rekan

sekerjanya maupun hubungan dengan orang-orang di unit kerja lain.

Sedangkan Robbins dan Timothy A (2011) mendefinisikan Iklim

organisasi sebagai persepsi bersama yang dimiliki anggota organisasi tentang

organisasi dan lingkungannya. Pemahaman tentang aturan tertulis, kebiasaan

dalam melakukan kerja dan birokrasi dalam menjalankan tugas, lingkungan kerja

dan batas wewenang dalam bekerja adalah lingkup dalam iklim organisasi.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iklim organisasi

adalah persepsi, harapan, kesan, perasaan dan keinginan karyawan perusahaan

mengenai organisasi dan lingkungan perusahaan yang mempengaruhi hubungan

sesama karyawan baik atasan maupun bawahan dan perilaku karyawan itu sendiri

dimana iklim organisasi bersifat dinamis dan unik sesuai dengan atmosfir

organisasi.

2. Dimensi Iklim Organisasi

Stringer (Wirawan, 2007) menyebutkan bahwa karakteristik atau dimensi

iklim organisasi dapat mempengaruhi motivasi anggota organisasi untuk

berperilaku tertentu. Ia juga mengatakan enam dimensi yang membentuk iklim

organisasi, yaitu:

(37)

jawab yang jelas dalam lingkungan organisasi. Struktur tinggi apabila anggota

organisasi merasa pekerjaan mereka didefinisikan secara baik dan jelas. Struktur

rendah ketika anggota organisasi merasa tidak ada kejelasan mengenai siapa yang

melakukan tugas dan tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Struktur

organisasi meliputi posisi karyawan dalam perusahaan.

b. Standar-standar (standards). Standar-standar dalam suatu organisasi mengukur perasaan tekanan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja serta derajat

kebanggaan yang dimiliki oleh anggota organisasi dalam melakukan pekerjaan

dengan baik. Standar-standar tinggi ketika anggota organisasi selalu berupaya

mencari jalan untuk meningkatkan kinerjanya. Standar-standar rendah apabila

anggota karyawan merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja.

Standar-standar meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan.

c. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi "pimpinan diri sendiri" dan tidak memerlukan

pendapat mengenai keputusannya untuk dilegitimasi oleh anggota organisasi

lainnya. Persepsi tanggung jawab tinggi ketika anggota organisasi merasa

didorong untuk memecahkan problemnya sendiri. Tanggung jawab rendah

menunjukkan bahwa pengambilan risiko dan percobaan terhadap pendekatan baru

tidak diharapkan. Tanggung jawab meliputi kemandirian dalam menyelesaikan

pekerjaan.

d. Penghargaan (recognition). Pengakuan atau penghargaan menggambarkan bahwa anggota organisasi merasa dihargai dan mendapatkan imbalan yang layak

(38)

dihadapkan dengan kritik dan hukuman atas penyelesaian pekerjaan. Iklim

organisasi yang menghargai kinerja dikarakteristikan dengan adanya

keseimbangan antara imbalan dan kritik atas penyelesaian pekerjaan. Penghargaan

rendah apabila penyelesaian pekerjaan dengan baik diberi imbalan secara tidak

konsisten. Penghargaan meliputi imbalan atau upah yang terima karyawan setelah

menyelesaikan pekerjaan.

e. Dukungan (support). Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan saling mendukung yang terus berlangsung diantara anggota kelompok kerja. Dukungan

tinggi apabila anggota organisasi merasa bahwa mereka bagian tim yang berfungsi

dengan baik dan merasa memperoleh bantuan dari atasannya jika mengalami kesulitan dalan menjalankan tugas. Dukungan rendah ditunjukkan ketika anggota

organisasi merasa terisolasi atau tersisih sendiri. Dukungan meliputi hubungan

dengan rekan kerja yang lain.

f. Komitmen (commitment). Komitmen merefleksikan perasaan bangga anggota organisasi terhadap organisasinya dan derajat keloyalan atau komitmen terhadap

pencapaian tujuan organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan

loyalitas personal. Level rendah komitmen ketika karyawan merasa apatis

terhadap organisasi dan tujuannya. Komitmen meliputi pemahaman karyawan

mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.

C. PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING

Internet telah memberikan banyak dampak bagi kehidupan manusia.

(39)

yang dibutuhkan. Internet bisa diakses dimana saja dan siapa saja. Hampir setiap

orang mengenal internet. Berbagai kalangan menggunakan internet seperti

masyarakat umum, pemerintah, pelajar, ibu rumah tangga, dan termasuk

karyawan perusahaan.

Perusahaan yang menyediakan akses internet dapat meningkatkan efisiensi

dan efektifitas kerja. Salah satu fenomena yang muncul karena adanya penyediaan

akses internet di perusahaan adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing

adalah tindakan karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan mereka

selama jam kerja yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

Beberapa penelitian mengenai perilaku cyberloafing lebih menekankan pada dampak negatif yang ditimbulkannya. Berdasarkan survey yang dilakukan

oleh SurfWatch (Lim, 2002) menunjukkan bahwa 84% karyawan berkirim email

untuk kepentingan pribadi dan 90% karyawan mengakses internet hanya untuk

rekreasi dan kesenangan pribadi. Hal ini mengakibatkan penurunan produktifitas

hingga sebesar 30 hingga 40 persen.

Walaupun perusahaan khawatir karyawan akan kehilangan produktifitas

yang diakibatkan perilaku cyberloafing, para peneliti menyebutkan bahwa perilaku cyberloafing dapat berfungsi sebagai sarana strategi coping melawan perasaan negatif di tempat bekerja seperti stress (Stanton 2002, Oravec 2002,

2004, Anadarajan dan Simmers 2002). Hal ini penting untuk karyawan agar dapat

bekerja dengan waktu yang lebih lama dan dapat bertahan dari efek negatif stress

(40)

refreshing dan relaksasi ketika bekerja. Lim dan Chen (2012) menemukan

melakukan cyberloafing tidak hanya membuat karyawan lebih fresh, tetapi juga membuat mereka lebih produktif daripada mereka menghabiskan waktu untuk

berbicara kepada rekan kerja lainnya. Jadi peneliti menekankan bahwa perilaku

cyberloafing dapat memberikan banyak manfaat apabila penggunaannya tepat yaitu hanya sebagai sarana relaksasi dan mencari inspirasi serta tidak fokus pada

perilaku cyberloafing.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah organisasi (Ozler dan Polat, 2012). Lingkungan kerja masing-masing perusahaan

memiliki sifat ataupun ciri-ciri yang berbeda sehingga hal inilah yang

membedakan satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Litwin dan Stringer

(1968) menyebutnya dengan istilah iklim organisasi. Iklim organisasi merupakan

persepsi anggota organisasi tentang norma yang berkaitan dengan aktivitas kerja

organisasi (Armansyah, 1997).

Iklim organisasi mempengaruhi efektifitas organisasi (P. E. Mudrack,

1989) dan motivasi dan perilaku individu (E.T. Moran, 1992). Iklim organisasi

selalu mempengaruhi seluruh kondisi dasar dan perilaku individu dalam

perusahaan. Hal ini terjadi karena orang cenderung untuk menerima dan

menginternalisasi iklim organisasi dimana mereka bekerja, dan persepsi mereka

mengenai iklim organisasi mempengaruhi perilaku mereka (Vardi, 2001).Iklim

organisasi mempengaruhi bagaimana anggotanya berperilaku termasuk perilaku

(41)

Ahmad dkk (2013), lingkungan kerja yang baik dapat memunculkan perilaku

kerja yang positif dan mengurangi respon kerja negatif seperti cyberloafing. Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dapat diduga bahwa iklim

organisasi dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing.

D. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan uraian dalam kerangka berpikir di atas, maka hipotesa

penelitian ini adalah:

Ada pengaruh negatif antara iklim organisasi terhadap perilaku

cyberloafing dimana semakin baik iklim organisasi, maka akan berkontribusi terhadap penurunan perilaku cyberloafing. Demikian sebaliknya, semakin buruk iklim organisasi, maka akan berkontribusi terhadap peningkatan perilaku

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu

penelitian karena metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam

pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian

(Hadi, 2000).

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Dalam penelitian sosial dan psikologi, satu variabel tidak mungkin hanya

berkaitan dengan satu variabel lain saja melainkan selalu saling mempengaruhi

dengan dengan banyak variabel. Oleh karena itu peneliti perlu melakukan

identifikasi dahulu terhadap variabel penelitiannya (Azwar, 2010).

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel bebas (independent) : Iklim Organisasi 2. Variabel tergantung (dependent) : Perilaku Cyberloafing

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang

dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat

diamati (Azwar, 2010). Berikut definisi operasional dari variabel-variabel yang

(43)

1. Perilaku Cyberloafing

Perilaku Cyberloafing merupakan perilaku yang menggunakan internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saat bekerja di perusahaan. Perilaku ini

diukur berdasarkan dua tipe yaitu:

Perilaku Cyberloafing Emailing adalah perilaku karyawan yang menggunakan sumber daya perusahaan berupa akses internet untuk melakukan

aktifitas emailing yaitu mengecek email, menerima email, dan mengirim email

yang tidak berhubungan dengan kepentingan pekerjaan.

Perilaku Cyberloafing Browsing adalah perilaku karyawan yang menggunakan sumber daya perusahaan berupa akses internet untuk melakukan

aktifitas browsing mengunjungi atau membuka situs-situs yang tidak berhubungan dengan kepentingan pekerjaan.

Perilaku cyberloafing emailing dan browsing dapat diketahui dengan alat ukur berupa skala yang disusun berdasarkan kategori cyberloafing menurut Lim dan Teo (2005) yaitu aktifitas browsing dan email. Skor total dari tipe perilaku

cyberloafing emailing dan browsing akan menunjukkan perilaku cyberloafing

karyawan dalam perusahaan. Skor yang tinggi mengidentifikasikan individu

sering melakukan perilaku cyberloafing. Sebaliknya skor yang rendah mengidentifikasikan individu jarang melakukan perilaku cyberloafing.

2. Iklim Organisasi

Iklim organisasi merupakan persepsi individu mengenai keadaan atau

(44)

memperlakukan individu yang diwujudkan dalam perilaku karyawan dalam

organisasi.

Iklim organisasi dapat diukur menggunakan skala yang disusun

berdasarkan teori oleh Stringer (2002). Semakin tinggi skor total pada skala iklim

organisasi menunjukkan iklim organisasi yang kondusif dan baik. Skor rendah

pada total dimensi iklim organisasi menunjukkan bahwa iklim organisasi yang

buruk.

C. POPULASI, SAMPEL, DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel

Menurut Azwar (2010) populasi adalah kelompok subjek yang hendak

dikenai generalisasi hasil penelitian. Populasi memiliki karakteristik yang dapat

diperkirakan dan diklasifikasikan sesuai dengan keperluan penelitian. Mengingat

keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti

hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek

penelitian, atau yang dikenal dengan nama sampel.

Sampel merupakan bagian dari populasi, sehingga ia harus memiliki

ciri-ciri yang dimiliki oleh populasi. Selain itu, Hadi (2000) juga mengatakan bahwa

syarat utama agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan maka sebaiknya sampel

(45)

Karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Perusahaan memiliki akses internet

Peneliti memerlukan perusahaan dengan akses internet yang bebas tanpa

adanya pembatasan penggunaan internet sehingga lebih memungkinkan

karyawan untuk melakukan perilaku cyberloafing. b. Karyawan yang bekerja menggunakan laptop/komputer

Karyawan yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini adalah karyawan

yang menggunakan laptop/ komputer saat bekerja karena laptop/ komputer

merupakan instrumen yang digunakan oleh karyawan dalam melakukan

cyberloafing.

c. Minimal telah bekerja selama setahun

Karyawan yang akan menjadi sampel penelitian adalah karyawan yang

minimal telah bekerja selama setahun. Masa kerja minimal setahun menjadi

pertimbangan karena pada masa kerja tersebut karyawan sudah mampu

beradaptasi terhadap lingkungan dan situasi kerjanya (Siswanto, 2003).

2. Metode Pengambilan Sampel

Sampling adalah cara untuk menentukan sampel dalam suatu penelitian.

Penentuan sampel harus memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar

diperoleh sampel yang representatif atau benar-benar mewakili populasi.

Mengingat keterbatasan waktu, biaya dan tenaga, tidak mungkin untuk meneliti

keseluruhan populasi. Dari seluruh populasi yang ada hanya diambil sampel yang

(46)

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah

nonprobability sampling. Nonprobability sampling merupakan tehnik yang tidak memberikan peluang kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota

populasi untuk dipilih menjadi sampel. Salah satu tehnik nonprobability sampling

yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan menggunakan individu-individu yang telah memenuhi

karakteristik penelitian dan kebetulan dijumpai peneliti di PT Telekomunikasi

Indonesia Tbk Medan (Hadi, 2000).

3. Jumlah Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel

merupakan bagian populasi yang hendak diteliti dan mewakili karakteristik

populasi. Apabila populasi penelitian berjumlah kurang dari 100 maka sampel

yang diambil adalah semuanya, namun apabila populasi penelitian berjumlah

lebih dari 100 maka sampel dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih

(Arikunto, 2010). Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebanyak 81 orang karyawan.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Alat ukur yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian

dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2000). Metode

pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah skala.

Metode skala adalah metode pengumpulan data yang memberikan suatu

(47)

(2007) mengungkapkan bahwa skala merupakan suatu alat ukur aspek afektif

yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek

kepribadian individu. Respon subjek pada setiap pernyataan tersebut kemudian

dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Metode

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan skala ukur. Skala

ukur ini adalah suatu daftar yang berisi sejumlah pertanyaan yang diberikan

kepada subjek agar dapat mengungkapkan kondisi-kondisi yang ingin diketahui.

Skala ini disusun berdasarkan metode Skala Likert. Nilai skala setiap pertanyaan

diperoleh dari jawaban subjek yang menyatakan mendukung (favorable) atau yang

tidak mendukung (unfavorable).

1. Skala Perilaku Cyberloafing

Pengambilan data mengenai perilaku cyberloafing pada karyawan dilakukan dengan menggunakan skala perilaku cyberloafing yang disusun dengan format Likert berdasarkan teori mengenai jenis perilaku cyberloafing dari teori Lim dan Teo (2005), yaitu emailing activities dan browsing activities. Skala ini berisikan 18 aitem dengan 3 aitem favorable untuk emailing activities dan 15 aitem favorable untuk browsing activities. Aitem terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu: SS (Selalu), S (Sering), K (Kadang-kadang), J

(Jarang), dan TP (Tidak Pernah).

Untuk subskala favorable penilaiannya adalah SS (Selalu) akan diberi skor 5, S (Sering) akan diberi skor 4, K (Kadang-kadang) akan diberi skor 3, J (Jarang)

akan diberi skor 2, dan TP (Tidak Pernah) akan diberi skor 1. Sedangkan untuk

(48)

(Jarang) akan diberi skor 4, K (Kadang-kadang) akan diberi skor 3, S (Sering)

akan diberi skor 2, dan SS (Selalu) akan diberi skor 1. Distribusi aitem skala

perilaku cyberloafing dapat dilihat dalam blue print pada tabel 3.

Tabel 3.1

Blue Print Skala Perilaku Cyberloafing Sebelum Uji Coba

No. Kategori

Pernyataan

Jumlah F% Favorable Unfavorable

1.

Emailing activities

1, 2, 3 - 3 16,67

2.

Browsing activities

4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,

11, 12, 13, 14, 15,

16, 17,18

- 15 83,33

Total 18 100

2. Skala Iklim Organisasi

Pengambilan data iklim organisasi dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan skala iklim organisasi yang disusun dengan format Likert

(49)

berisikan 30 aitem dengan 21 aitem favorable dan 9 aitem unfavorable. Aitem

terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu: SS (Sangat Setuju), S

(Setuju), N (Netral), TS (Tidak Setuju) dan STS (Sangat Tidak Setuju).

Untuk subskala favorable penilaiannya adalah SS (Sangat Setuju) akan diberi skor 5, S (Setuju) akan diberi skor 4, N (Netral) akan diberi skor 3, TS

(Tidak Setuju) akan diberi skor 2, dan STS (Sangat Tidak Setuju) akan diberi skor

1. Sedangkan untuk subskala unfavorable penilaiannya adalah STS (Sangat Tidak Setuju) akan diberi skor 5, TS (Tidak Setuju) akan diberi skor 4, N (Netral) akan

diberi skor 3, S (Setuju) akan diberi skor 2, dan SS (Sangat Setuju) akan diberi

skor 1. Distribusi aitem skala iklim organisasidapat dilihat dalam blue print pada tabel 3.2

Tabel 3.2

Blue Print Skala Iklim Organisasi Sebelum Uji Coba

No. Dimensi

Pernyataan

Jumlah F% Favorable Unfavorable

1. Struktur (Structure) 2, 17, 18, 19 3 5 16,6

2. Standar (Standards) 4, 6, 20, 21 5 5 16,6

3.

Tanggung Jawab

(Responsibility)

7, 8, 22, 23,

24

- 5 16,6

(50)

(Recognition)

5. Dukungan (Support) 28, 29 12, 13, 27 5 16,6

6. Komitmen (Commitment) 14, 15, 30 1, 16 5 16,6

Total 30 100

E. UJI INSTRUMEN PENELITIAN

Validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian sangat

menentukan keakuratan dan keobjektifan hasil penelitian yang dilakukan. Suatu

alat ukur yang tidak valid dan tidak reliabel akan memberikan informasi yang

tidak akurat mengenai keadaan subyek atau individu yang dikenai tes ini (Azwar,

2007). Oleh karena itu peneliti harus melakukan uji coba terhadap alat ukur.

Hadi (2000) mengemukakan beberapa tujuan dari uji coba, yaitu:

1. Menghindari pernyataan-pernyataan yang kurang jelas maksudnya.

2. Menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu akademik,

ataupun kata-kata yang menimbulkan kecurigaan.

3. Memperbaiki pernyataan-pernyataan yang biasa dilewati atau hanya

menimbulkan jawaban-jawaban dangkal.

4. Menambah aitem yang sangat perlu atau meniadakan aitem yang ternyata tidak

(51)

1. Validitas Alat Ukur

Menurut Azwar (2005), untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu

menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu

pengujian validitas. Suatu alat tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan

memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya

atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya

pengukuran tersebut.

Validitas alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah validitas isi

(content validity) yaitu validitas yang menunjukkan sejauh mana aitem dalam

skala mencakup keseluruhan isi yang hendak diungkap oleh tes tersebut. Hal ini

berarti isi alat ukur tersebut harus komprehensif dan memuat isi yang relevan serta

tidak keluar dari batasan alat ukur (Azwar, 2010).

Sebelum melakukan penyusunan alat ukur, peneliti menentukan terlebih

dahulu kawasan isi dari cyberloafing dan iklim organisasi. Kemudian peneliti akan membuat aitem-aitem yang bertujuan untuk mengungkap kawasan isi

tersebut. Selanjutnya peneliti melakukan pengujian validitas isi dengan

melakukan analisis rasional atau profesional judgement, dalam hal ini adalah dosen pembimbing peneliti.

2. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana item mampu

membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut

dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur. Dasar kerja yang digunakan

(52)

selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata lain, memilih item

yang mengukur hal yang sama dengan yang diukur oleh tes sebagai keseluruhan

(Azwar, 2010).

Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien

korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan

yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini menghasilkan koefisien

korelasi item total yang dapat dilakukan dengan menggunakan formula koefisien

korelasi Pearson Product Moment (Azwar, 2010). Aitem dianggap memuaskan bila koefisien korelasi minimal 0,30. Namun ketika aitem memiliki indeks daya

diskriminasi sama dengan atau lebih besar daripada 0,3 jumlahnya melebihi

jumlah aitem yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka dapat memiliki

aitem dengan daya diskriminasi tertinggi.

3. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas adalah indeks sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau

dapat diandalkan.Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat

keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa

kali pada kesempatan yang berbeda. Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari

koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi item-item yang dalam

menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama.

Uji reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal

dengan prosedur hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok

individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan

(53)

reliabilitas alat ukur ini adalah teknik reliabilitas koefisien Alpha Cronbach

dengan koefiesien lebih besar dari 0,05. Peneliti menggunakan bantuan program

SPSS versi 20.0 for Windows untuk menguji reliabilitas alat ukur.

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

1. Hasil Uji Coba Skala Perilaku Cyberloafing

Jumlah aitem yang diujicobakan sebanyak 18 aitem dan terdapat 16 aitem

yang memenuhi . indeks diskriminasi rix ≥ 0,3. Azwar (2007) menyatakan bahwa kriteria berdasarkan korelasi aitem total biasanya digunakan batasan rix ≥ 0,3. Semua aitem yang mencapai korelasi minimal 0,3 daya bedanya dianggap

memuaskan. Jumlah aitem yang dinyatakan gugur sebanyak 2, yaitu aitem dengan

nomor 1 dan 18. Aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi bergerak dari rix = 0,313 sampai dengan rix = 0,639. Distribusi aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.3

Blue Print Skala Perilaku Cyberloafing Setelah Uji Coba

No. Kategori

Pernyataan

Jumlah F% Favorable Unfavorable

1.

Emailing activities

1, 2 - 2 12,5

(54)

activities 10, 11, 12, 13 14

Total 16 100

Uji reliabilitas dilakukan terhadap 16 aitem tersebut. Hasil uji coba

reliabilitas aitem perilaku cyberloafing adalah sebesar 0,849.

2. Hasil Uji Coba Skala Iklim Organisasi

Jumlah aitem yang diujicobakan sebanyak 30 aitem dan terdapat 20 aitem

yang memenuhi indeks diskriminasi rix ≥ 0,3. Azwar (2007) menyatakan bahwa kriteria berdasarkan korelasi aitem total biasanya digunakan batasan rix ≥ 0,3. Semua aitem yang mencapai korelasi minimal 0,3 daya bedanya dianggap

memuaskan. Jumlah aitem yang dinyatakan gugur adalah sebanyak 10, yaitu

aitem nomor 3, 4, 5, 6, 7, 8, 12, 18, 23, dan 26. Aitem-aitem yang memiliki daya

beda tinggi bergerak dari rix = 0,317 sampai dengan rix = 0,702. Distribusi aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.4

Blue Print Skala Iklim Organisasi Setelah Uji Coba

No. Dimensi

Pernyataan

Jumlah F% Favorable Unfavorable

(55)

2. Standar (Standards) 5, 11 2 10

3.

Tanggung Jawab

(Responsibility)

4, 10 - 2 10

4.

Penghargaan

(Recognition)

15, 19 9, 3 4 20

5. Dukungan (Support) 2, 14 8, 18 4 20

6. Komitmen (Commitment) 7, 17, 20 1, 13 5 25

Total 20 100%

Uji reliabilitas dilakukan terhadap 20 aitem tersebut. Hasil uji coba

reliabilitas skala iklim organisasiadalah sebesar 0,910.

G. PROSEDUR PENELI

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan pribadi di saat jam kerja.. Perilaku ini

Dari dua hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, hanya satu yang terjawab yaitu terdapat pengaruh antara perilaku cyberloafing terhadap organizational

Berdasarkan penjelasan dari beberapa teori diatas, perilaku inovatif yang menjadi fokus penelitian ini adalah semua perilaku individu yang meliputi beberapa proses, yaitu

Cyberloafing adalah tindakan karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan mereka selama jam kerja yang tidak berhubungan

Pemilihan karakteristik kelompok subyek tersebut, berdasarkan pada definisi cyberloafing sebagai variabel terikat yaitu Ce yberloafing merupakan perilaku karyawan

Browsing activities merupakan aktivitas cyberloafing dimana karyawan dalam menggunakan internet untuk browsing di tempat kerja yang tidak berhubungan

Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa cyberloafing merupakan perilaku yang menggunakan internet pada saat jam kerja untuk kegiatan yang tidak

Menurut temuan peneliti bahwa dalam penelitian ini elektronik absensi dan perilaku cyberloafing terhadap produktivitas kerja karyawan PT.Pertamina dijelaskan dengan baik dan diterapkan