PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA KARYAWAN PT TELEKOMUNIKASI
INDONESIA TBK MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Oleh: YULIAN ASTRI
101301071
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA KARYAWAN PT TELEKOMUNIKASI
INDONESIA TBK MEDAN
Yulian Astri dan Siti Zahreni, M. Psi, psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku cyberloafing karyawan di perusahaan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik incidental sampling dan jumlah subjek penelitian ini adalah 81 karyawan yang bekerja menggunakan fasilitas komputer dengan internet perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan. Data penelitian ini diungkap dari skala perilaku cyberloafing yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori Lim & Teo (rxx’ = 0,840) dan skala iklim organisasi yang disusun oleh penelitian berdasarkan teori Stringer (rxx’ = 0,910). Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh iklim organisasi terhadap frekuensi perilaku cyberloafing dengan nilai p = 0.019 (p < 0.05) dan koefisien determinan (R- square/ R2) sebesar 0.147 (14.7%).
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan ucapan syukur saya panjatkan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa atas berkat, kemampuan, kesehatan, dan kekuatan yang telah dilimpahkanNya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan salah satu
syarat dalam menyelesaikan studi pada program Sarjana Psikologi Universitas
Sumatera Utara. Penulis tetap mempercayakan setiap tahap dalam penelitian ini di
dalam nama Tuhan.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah
sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan
kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati selaku dekan Fakultas Psikologi USU.
2. Kakak Siti Zahreni, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan dukungan, bimbingan, nasehat, dan dengan penuh
kesabaran membimbing penulis selama dalam proses menyelesaikan
skripsi ini sehingga penulis lebih bersemangat dan pantang menyerah.
3. Ibu Emmy Mariatin, M.A., PhD., psikolog dan Ibu Gustiarti Leila, M.Psi,
M.Kes, psikolog selaku dosen penguji yang bersedia meluangkan waktu
untuk menguji penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.
4. Ibu Dian Ulfasari, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing akademis
yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan di Fakultas
Psikologi USU.
5. Kedua orangtua penulis yaitu papa Ir. Ridwan Halim dan mama Saulina
Purba yang telah memberikan kasih sayang tiada henti dan dukungan baik
secara moril maupun materil serta doa yang tiada henti-hentinya kepada
penulis. Juga tak lupa pada ama tercinta yang selalu mengingatkan penulis
untuk menjaga kesehatan dan tetap semangat dalam mengerjakan skripsi.
6. Abang dan adik penulis yaitu Dimas Adrian, SE dan Raymond Saptahari
yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis.
7. Michael Mario Sinaga yang selalu menemani penulis dan selalu
memberikan dukungan serta masukan kepada penulis.
8. Sahabat terbaik penulis Elienz Vidella Tarigan, Eva Violesia Bangun, Olga
Septania Simatupang, Karin Natalia Ambarita, Yoseva Okta Naibaho, dan
Sri Saputri terima kasih atas kebersamaan, kasih sayang, bantuan,
pengertian, tawa, tangis, diskusi, dan dukungannya selama ini. Sukses
untuk SLG selalu.
9. Segenap staf pengajar di Fakultas Psikologi USU yang sangat berjasa
dalam mengajarkan saya seluruh konsep dan pemahaman yang mendalam
dari ilmu psikologi. Tanpa jasa dari Bapak dan Ibu Dosen saya tidak dapat
10. Staf administrasi dan pendidikan khususnya Pak Aswan yang sangat
ramah, bersahabat, dan selalu membantu saya dalam pengaturan
administrasi selama menjalani masa perkuliahan.
11. Seluruh mahasiswa angkatan 2010 yang telah berjuang menjalani
kehidupan akademik dan kepanitiaan bersama. Semoga semua
teman-teman cepat lulus dan sukses ke depannya.
13. Ibu Lenny R. Marlina selaku POH Mgr HR Witel Sumut Barat Telkom
cabang Sumatra yang telah mengizinkan penulis untuk mengambil data di
perusahaan Telkom dan seluruh karyawan yang telah meluangkan
waktunya untuk menjadi subjek dalam penelitian ini.
14. Semua pihak yang telah membantu baik ketika menjalani masa
perkuliahan maupun ketika menjalani proses penulisan skripsi. Dengan
banyaknya bantuan yang diterima, penulis meminta maaf
sedalam-dalamnya karena tidak dapat menyebutkan satu per satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam
penelitian ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran
yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini
agar menjadi lebih baik lagi. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
Medan, Juli 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR GRAFIK ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I. PENDAHULUAN... ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... ... 14
A. Perilaku Cyberloafing ... 14
1. Definisi Perilaku Cyberloafing ... 14
2. Jenis-Jenis Perilaku Cyberloafing ... 16
3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberloafing . 18 B. Iklim Organisasi ... 23
1. Definisi Iklim Organisasi ... 23
C. Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Perilaku Cyberloafing ... 26
D. Hipotesa Penelitian ... 29
BAB III. METODE PENELITIAN ... 30
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... ... 30
B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian... ... 30
1. Perilaku Cyberloafing ... 31
2. Iklim Organisasi ... 31
C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel ... 32
1. Populasi dan Sampel ………. ... 32
2. Metode Pengambilan Sampel ... 33
3. Jumlah Sampel... ... 34
D. Metode Pengumpulan Data ……….. 34
1. Skala Perilaku Cyberloafing ... 35
2. Skala Iklim Organisasi ... 36
E. Uji Instrumen Penelitian ……….…….... ... 38
1. Validitas Alat Ukur ... 39
2. Uji Daya Beda Item ... 39
3. Reliabilitas Alat Ukur ... 40
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 41
1. Hasil Uji Coba Skala Perilaku Cyberloafing ... 41
2. Hasil Uji Coba Skala Iklim Organisasi ... 42
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 43
2. Pelaksanaan Penelitian ... 45
3. Pengolahan Data ... 45
H. Metode Analisa Data . ... 45
1. Uji Normalitas... ... 46
2. Uji Linearitas... ... 47
BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 48
A. Analisa Data... ... 48
1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 48
2. Hasil Uji Asumsi Penelitian... ... 50
3. Hasil Penelitian... 52
4. Deskripsi Data Penelitian... 54
B. Pembahasan... ... 58
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 61
A. Kesimpulan... ... ... 61
B. Saran... ... 62
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1Blueprint skala perilaku cyberloafing sebelum uji coba.. . 36
Tabel 3.2Blueprint skala iklim organisasi sebelum uji coba ... 37
Tabel 3.3Blueprint skala perilaku cyberloafing setelah uji coba ... 41
Tabel 3.4Blueprint skala iklim organisasi setelah uji coba ... 42
Tabel 4.1 Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin ... 48
Tabel 4.2 Penyebaran subjek berdasarkan masa kerja ... 49
Tabel 4.3 Hasil uji asumsi normalitas ... 50
Tabel 4.4 Tabel anova perilaku cyberloafing ... 52
Tabel 4.5 Tabel koefisien determinan (�2) ... 53
Tabel 4.6 Hasil regresi iklim organisasi dengan perilaku cyberloafing ... 54
Tabel 4.7 Perbandingan mean empirik dengan mean hipotetik ... 55
Tabel 4.8 Norma kategorisasi data penelitian ... 56
Tabel 4.9 Kategori data penelitian perilaku cyberloafing ... 56
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A Uji Coba dan Hasil Uji Coba
1. Tabulasi skor uji coba skala perilaku cyberloafing
2. Tabulasi skor uji coba skala iklim organisasi
3. Reliabilitas skala perilaku cyberloafing
4. Reliabilitas skala iklim organisasi
LAMPIRAN B Hasil Penelitian 1. Skala
2. Uji Asumsi
3. Uji Hipotesis
PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA KARYAWAN PT TELEKOMUNIKASI
INDONESIA TBK MEDAN
Yulian Astri dan Siti Zahreni, M. Psi, psikolog
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku cyberloafing karyawan di perusahaan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik incidental sampling dan jumlah subjek penelitian ini adalah 81 karyawan yang bekerja menggunakan fasilitas komputer dengan internet perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan. Data penelitian ini diungkap dari skala perilaku cyberloafing yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori Lim & Teo (rxx’ = 0,840) dan skala iklim organisasi yang disusun oleh penelitian berdasarkan teori Stringer (rxx’ = 0,910). Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh iklim organisasi terhadap frekuensi perilaku cyberloafing dengan nilai p = 0.019 (p < 0.05) dan koefisien determinan (R- square/ R2) sebesar 0.147 (14.7%).
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada era modern ini, internet menjadi salah satu teknologi yang
berkembang sangat pesat. Internet menjadi kebutuhan bagi kalangan banyak
karena mampu mengakses dan mendapatkan informasi dengan cepat dan mudah
seperti masyarakat umum, pemerintah, pelajar, ibu rumah tangga, karyawan
perusahaan, dan lain-lain. Jumlah pengguna internet di dunia pada tahun 2012
berkisar 2,4 miliar juta jiwa (Royal Pingdom, 2013). Pengguna internet terbanyak
berasal dari Asia yaitu 44,8% dan diikuti 21,5% Eropa, kemudian disusul
Amerika Utara 11,4% (International Telecommunications Union, 2012). Besarnya jumlah pengguna internet di negara Asia sangatlah wajar mengingat lebih dari
55% penduduk dunia berada di benua Asia. Indonesia menduduki urutan ke-4
sebagai negara dengan pengguna internet terbanyak di Asia yakni mencapai 55
juta jiwa pengguna (International World Stats, 2012). Tempat mengakses internet di Indonesia kebanyakan dari kantor (52,4%), warnet/cafe/rental (35,1%), rumah
(27,6%), sekolah/kampus (7,2%), rumah teman/saudara (3,7%), perpustakaan
(2,8%), dan hp (0,4%) (Indonesian Consumer Profile, 2009). Hasil data survey tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan internet tertinggi adalah di kantor.
Akses internet menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan kinerja dan
produktifitas karyawan dalam suatu perusahaan. Internet memiliki banyak
kegiatan operasional perusahaan dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien.
Internet menjadi fasilitas komunikasi yang mudah dengan biaya yang lebih murah
dalam melakukan pemasaran dan publikasi, berhubungan dengan banyak klien di
luar negeri, mencari karyawan baru dan lain sebagainya. Penyediaan akses
internet oleh perusahaan meningkatkan kreatifitas, fleksibilitas, dan membantu
perkembangan pembelajaran lingkungan karyawan (Blanchard dan Henle, 2008)
sehingga sejumlah manfaat yang diberikan oleh internet dapat meningkatkan daya
saing perusahaan dari kompetitor. Memiliki dan menyediakan akses internet di
perusahaan tidak hanya memberikan keuntungan namun internet telah menjadi
begitu melekat dalam fungsi perusahaan sehingga menjadi suatu kebutuhan
(Bharadwaj, 2000).
Internet memang memberikan banyak manfaat bagi perusahaan namun
penggunaan internet juga memberikan dampak negatif walaupun telah menjadi
kebutuhan perusahaan. Karyawan dapat menunda kewajiban dalam melaksanakan
tugas perusahaan akibat penggunaan internet. Karyawan menghabiskan waktu
untuk mengakses internet di tempat kerja untuk penggunaan pribadi sambil
berpura-pura melakukan tugas wajib perusahaan. Hal ini disebut dengan perilaku
cyberloafing. Cyberloafing merupakan tindakan sengaja dari karyawan menggunakan akses internet perusahaan untuk kepentingan yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan di saat jam kerja (Lim, 2002). Berdasarkan hasil
penelitian yang telah di terbitkan jurnal Computers in Human Behaviour, diperkirakan sekitar 60 hingga 80 persen karyawan menggunakan akses internet
bahwa 40% karyawan mengakses internet setiap hari, 88% diantaranya mengakses
internet bukan untuk kepentingan pekerjaan, 66% karyawan tiap kali mengakses
internet selama sepuluh menit dan rata-rata satu jam tiap harinya (eMarketer
dalam Henle & Blanchard, 2008). Bloxx (2008) memperkirakan karyawan
menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk aktivitas internet yang tidak
berhubungan dengan kerja. Rata-rata pengguna internet perusahaan menghabiskan
waktu selama dua jam untuk online (Elisa dan Giuseppe, 2006). 31% diantaranya
menggunakannya untuk hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. 70%
karyawan membuka situs dan 30% lainnya membuka email personal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
Perilaku cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan membawa sejumlah dampak negatif. Perilaku cyberloafing yang tidak terkontrol pada akhirnya berujung pada tindakan tidak disiplin, penghentian atau kehilangan karyawan,
pelanggaran kerahasiaan perusahaan dan hilangnya reputasi atau privasi personal,
pertanggungjawaban personal dan perusahaan, biaya asosiasi legal, hilangnya
milliaran dollar karena kurangnya produktifitas (Weatherbee, 2010). Kerugian
milliaran dollar yang dialami oleh perusahaan merupakan jumlah kerugian yang
sangat fantastis sehingga perilaku cyberloafing perlu diperhatikan. Cyberloafing
dapat mengurangi produktifitas dan inefisien dalam penggunaan sumberdaya
network, dan berakhir sebagai organisasi yang tidak kompetitif (Liberman et al,
Penurunan kinerja karyawan yang terjadi akibat cyberloafing adalah sebanyak 30 sampai 40 persen yang mengakibatkan perusahaan menjadi rugi
(Conlin, 2000). Penggunaan akses internet perusahaan untuk kepentingan pribadi
karyawan dapat menurunkan kinerja sistem internet di kantor (Sipior dan Ward,
2002). Perilaku cyberloafing membuat perusahaan dalam posisi rugi karena karyawan berfokus kepada kegiatan diluar pekerjaan daripada memperhatikan
pekerjaan mereka saat mereka menggunakan internet. Diperkirakan antara 20
sampai 30 persen perusahaan telah memecat karyawan karena perilaku
cyberloafing seperti mengakses situs porno, judi online, dan belanja online (Case & Young, 2002; Greenfield & Davis, 2002). Selain itu perilaku cyberloafing dapat membuat perusahaan rentan terkena virus, hacking, serta tanggung jawab hukum
dalam bentuk pelecehan. Dengan kata lain, perusahaan telah kehilangan waktu,
biaya dan produktivitas akibat ulah karyawan yang menggunakan akses internet
untuk keperluan pribadi.
Perilaku cyberloafing tidak selalu membawa dampak negatif bagi perusahaan. Perilaku cyberloafing ini dapat menjadi hal yang positif seperti mengurangi kebosanan, kelelahan atau stress, memberikan kepuasan pekerjaan
dan kreatifitas, meningkatkan well-being, rekreasi, dan recovery (Vitak et al, 2011). Cyberloafing berfungsi sebagai “office toy” untuk menurunkan stress kerja dan inspirasi kreatifitas (Anandarajan & Simmers, 2005). Cyberloafing dapat menurunkan stress kerja karena perilaku ini dianggap sebagai salah satu bentuk
istirahat. Istirahat ini berbeda dengan istirahat makan siang ataupun istirahat
produktif ketika perusahaan memberikan istirahat kecil. Karyawan dapat
menyegarkan pikiran dan menjadi lebih kreatif.
Penelitian Lim dan Don Chen (2012) menunjukkan bahwa karyawan yang
melakukan surfing internet saat bekerja jauh lebih produktif dan efektif dalam mengerjakan tugas-tugas mereka dibandingkan dengan karyawan yang
menggunakan waktu luang dengan kegiatan lain seperti ke kantin dan atau coffee break. Karyawan yang melakukan cyberloafing merasakan kelelahan mental dan kebosanan yang lebih rendah. Hasil penelitian lain juga menemukan bahwa
karyawan yang memiliki emosi negatif di pagi hari dan melakukan cyberloafing
selama jam kerja merasakan emosi yang lebih positif dari sebelumnya. Perilaku
cyberloafing tidak menjadi suatu ancaman atau masalah bagi perusahaan selama karyawan dapat membatasi diri dan tidak menggunakan internet untuk merugikan
beban kerja mereka.
Perilaku cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan dalam perusahaan disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu individu, situasi dan organisasi (Ozler dan
Polat, 2012). Faktor yang pertama adalah faktor individu. Penelitian telah
mencoba mengidentifikasi karyawan yang lebih mungkin terlibat cyberloafing
dari pada yang tidak (Vitak et al, 2011:1752). Persepsi dan sikap terhadap
cyberloafing dan penggunaan internet, personal traits, kebiasaan dan kecanduan internet, faktor demografi, intensi terlibat cyberloafing, dan norma sosial termasuk faktor individu yang mempengaruhi kecenderungan perilaku cyberloafing. Faktor yang kedua adalah faktor situasi. Kondisi yang mendukung merupakan hal yang
karena lingkungan mencegah tindakan tersebut muncul. Situasi yang dimaksud
adalah adanya akses internet, kehadiran atasan secara fisik, serta kebijakan formal
dan sanksi organisasi bagi siapa saja yang terlibat perilaku cyberloafing. Ditemukan bahwa ada hubungan positif kondisi yang memfasilitasi munculnya
cyberloafing dan perilaku cyberloafing karyawan (Woon dan Pee, 2004:81). Faktor yang ketiga adalah faktor organisasi. Ada beberapa faktor organisasi yang
mempengaruhi karyawan dalam melakukan cyberloafing. Managerial support, norma sosial, pembatasan penggunaan internet, konsekuensi positif dan negatif
dan sikap kerja mempengaruhi perilaku cyberloafing.
Lingkungan kerja masing-masing perusahaan memiliki sifat ataupun
ciri-ciri yang berbeda sehingga hal inilah yang membedakan satu perusahaan dengan
perusahaan lainnya. Lingkungan kerja ini akan menentukan bagaimana suasana
kerja dan perilaku karyawan di dalamnya. Lingkungan kerja yang menyenangkan
membuat sikap pegawai positif dan memberi dorongan untuk bekerja lebih tekun
dan lebih baik. Sebaliknya, jika situasi lingkungan tidak menyenangkan mereka
cenderung meninggalkan lingkungan tersebut. Litwin dan Stringer (1968)
menyebut lingkungan kerja ini dengan istilah iklim organisasi.
Litwin dan Stringer (dalam Hidayat, 2001) mendefinisikan iklim
organisasi sebagai satu set ciri yang dapat diukur tentang lingkungan kerja, yang
bergantung pada persepsi manusia yang bekerja di dalam organisasi tersebut, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dan dianggap dapat mempengaruhi
motivasi dan perilaku mereka. Iklim organisasi memainkan peran yang penting
ini diperkuatkan dengan pendapat M. P. O’Driscoll (1988) yang mendefinisikan
iklim organisasi sebagai persepsi, perilaku dan sikap individu yang mempengaruhi
kebijakan, prosedur dan tindakan sehari-hari anggota organisasi.
Iklim organisasi yang mendukung akan menciptakan lingkungan kerja
yang baik. Begitu pula sebaliknya. Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel (dalam
Rajali, 2011) menyebutkan ada dua tipe iklim organisasi, yaitu iklim organisasi
terbuka dan iklim organisasi tertutup. Pada iklim organisasi terbuka, semangat
kerja pegawai sangat tinggi, dorongan pimpinan untuk memotivasi pegawainya
agar berprestasi sangat besar, sedangkan rutinitas administrasi rendah, pegawai
yang meninggalkan pekerjaan seperti bolos, ijin dan sebagainya juga rendah,
perasaan terpaksa untuk bekerja juga rendah. Sebaliknya, pada iklim organisasi
yang tertutup, semangat kerja pegawai sangat rendah, dorongan pimpinan untuk
memotivasi pegawainya berprestasi sangat rendah, sedangkan rutinitas
administratif tinggi, pegawai yang meninggalkan pekerjaan tinggi, perasaan
terpaksa untuk bekerja juga tinggi.
Iklim organisasi penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi
seseorang tentang apa yang diberikan oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi
penentuan tingkah laku anggota selanjutnya (Rajali, 2011). Iklim ditentukan oleh
seberapa baik anggota diarahkan, dibangun dan dihargai oleh organisasi. Indikator
sebuah iklim organisasi yang positif dapat dilihat dari komformitas, penghargaan,
kejelasan organisasi, kehangatan, dukungan kepemimpinan, serta adanya
tanggung jawab. Iklim organisasi yang baik dalam bekerja menimbulkan
Iklim yang ada di dalam organisasi akan berdampak kepada perilaku yang
ditunjukkan oleh karyawan, artinya semakin baik iklim organisasi akan semakin
baik pula perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan dan demikian pula sebaliknya.
Ketika harapan karyawan terpenuhi dengan tujuan organisasi dan mereka merasa
mendapatkan dukungan dari organisasi, mereka merasaka iklim organisasi yang
positif, sehingga menunjukkan perilaku positif (Pelin Kanten et al., 2013). Di sisi
lain, ketika harapan mereka tidak sesuai dengan misi organisasi dan mereka
menganggap kondisi kerja yang tidak menyenangkan, mereka cenderung
menunjukkan perilaku counterproductive work behavior (Pelin Kanten et al., 2013).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Davis dan Newstrom (1994) yang
menyatakan bahwa iklim organisasi dapat menentukan sejauh mana individu
merasa betah menjadi anggota suatu organisasi dan dapat mempengaruhi tinggi
rendahnya produktivitas dan kualitas hasil kerjanya. Para peneliti lain juga
menemukan iklim organisasi memiliki hubungan dengan perilaku positif seperti
perilaku inovatif, organizational citizenship behavior, dan perilaku negatif seperti
counterproductive work behavior (Bellou and Andronikidis, 2009; Scheuer, 2010; Farooqui, 2012; Fagbohungbe et al., 2012; Al-Saudi, 2012; Wolf et al., 2012).
Penelitian-penelitian telah dilakukan untuk melihat perilaku cyberloafing
ini terkait dengan faktor organisasi. Peneliti terdahulu dilakukan oleh Ahmad Said
perilaku cyberloafing. Human resources practices itu sendiri terdiri dari empat yaitu performance appraisal, compensation practices, employment security, dan
career advancement. Hasil penelitian Ahmad dkk menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang menguntungkan penting dalam memunculkan perilaku
kerja yang positif.
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Liao et al. (2009) yang
menyatakan bahwa faktor yang berhubungan dengan kebijakan seperti hukuman
ditemukan tidak siginifikan dalam menentukan sikap karyawan, kontrol perilaku,
dan norma subjektif dalam penyalahgunaan internet. Penyalahgunaan internet
dapat dihindari dengan lebih efektif ketika terbentuk lingkungan kerja yang
menyenangkan. Hasil penelitian serupa juga diungkapkan oleh Liberman et al.
(2011) bahwa atasan seharusnya menciptakan lingkungan kerja yang mendukung
para karyawan sehingga mereka merasa bahwa pekerjaan mereka berarti dan
memberikan kontribusi bagi organisasi.
Peneliti akan melakukan penelitian pada PT Telekomunikasi Indonesia
Tbk atau yang bisa dikenal sebagai PT Telkom. Telkom Group adalah
satu-satunya BUMN telekomunikasi serta penyelenggara layanan telekomunikasi dan
jaringan terbesar di Indonesia. PT Telkom merupakan perusahaan yang bergerak
dibidang telekomunikasi, informasi, media dan edutainment (TIME). Telkom
Group melayani jutaan pelanggan di seluruh Indonesia dengan rangkaian lengkap
layanan telekomunikasi yang mencakup sambungan telepon kabel tidak bergerak
dan telepon nirkabel tidak bergerak, komunikasi seluler, layanan jaringan dan
menyediakan layanan internet tentunya akan memiliki jaringan internet pula
dalam melaksanakan pekerjaan.
Perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan menggunakan
internet tanpa batas atau aturan pemakaian karena perusahaan ini sendiri
menggunakan internet untuk melaksanakan perkerjaan, bahkan untuk melakukan
absensi pun dilaksanakan dengan login menggunakan internet. Situasi dengan
internet tanpa batas tidak menutup kemungkinan karyawan melakukan
cyberloafing. Namun PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan memiliki tuntutan kerja yang tinggi sehingga para karyawan tidak memiliki waktu yang banyak
dalam melakukan cyberloafing. Ketika perilaku cyberloafing dilakukan untuk relaksasi dan menghilangkan kepenatan bekerja maka perilaku cyberloafing tidak menjadi ancaman bagi perusahaan. Sebaliknya, perilaku cyberloafing dapat merugikan perusahaan ketika karyawan menyampingkan pekerjaan dan
kewajibannya akibat terlalu fokus melakukan cyberloafing.
Iklim organisasi mempengaruhi efektifitas organisasi (P. E. Mudrack,
1989) dan motivasi dan perilaku individu (E.T. Moran, 1992). Iklim organisasi
selalu mempengaruhi seluruh kondisi dasar dan perilaku individu dalam
perusahaan. Hal ini terjadi karena orang cenderung untuk menerima dan
menginternalisasi iklim organisasi dimana mereka bekerja, dan persepsi mereka
mengenai iklim organisasi mempengaruhi perilaku mereka (Vardi, 2001). Jika
individu merasa bahwa organisasi berdiri di belakang mereka, mereka lebih
mungkin gigih, inovatif, dan membantu ketika berhadapan dengan masalah yang
melakukan perilaku cyberloafing untuk hal-hal yang positif dan menurunkan stress sehingga meningkatkan produktifitas dan tidak merugikan perusahaan
namun tetap fokus pada pekerjaan dan kewajiban.
Oleh karena uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat pengaruh iklim
organisasi terhadap perilaku cyberloafing pada karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah yang
dijadikan fokus penelitian adalah apakah iklim organisasi berpengaruh pada
perilaku cyberloafing pada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh iklim organisasi
terhadap perilaku cyberloafing pada karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya temuan di
dalam ilmu Psikologi khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi
mengenai iklim organisasi dan perilaku cyberloafing.
b. Hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan perilaku
2. Manfaat Praktis
Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada perusahaan berupa iklim organisasi dalam perusahaan, data perilaku
cyberloafing, serta mengetahui kotribusi iklim organisasi perilaku cyberloafing
karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I : Pendahuluan
Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
permasalahan. Memuat landasan teori tentang iklim organisasi dan
perilaku cyberloafing. Bab III : Metode Penelitian
Berisi identifikasi variabel, definisi operasional, populasi dan
metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, dan
metode analisa data penelitian.
Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan
Dalam analisa data akan dipaparkan mengenai hasil deskripsi data
penelitian, uji hipotesa utama dan uji hipotesa tambahan dan
menginterpretasikan data-data masukan atau data-data tambahan
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Dalam kesimpulan terdapat jawaban atas masalah yang diajukan.
Kesimpulan dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data, dan
saran dibuat dengan mepertimbangkan hasil penelitian yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
permasalahan. Pada bab ini akan memuat landasan teori tentang definisi, jenis dan
faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing serta pengertian dan dimensi dari iklim organisasi. Tujuan dari bab ini adalah membahas teori-teori dan
penelitian yang terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian.
A. PERILAKU CYBERLOAFING 1. Definisi Perilaku Cyberloafing
Cyberloafing masih merupakan topik baru dalam literatur ilmiah. Berbagai definisi digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Selain cyberloafing, terdapat beberapa terminologi yang memiliki pengertian teoritikal yang sama seperti
cyberdeviance, cyberslacking, dan cyberslouching.
Block (2001) berpendapat bahwa cyberloafing merupakan karyawan yang melaksanakan aktifitas internet non-business di jam kantor menggunakan sumber daya perusahaan. Menurut Lim (2002) cyberloafing adalah tindakan karyawan secara sengaja menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan di saat jam kerja. Lim mengungkapkan bahwa
cyberloafing merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan kerja. Aktifitas
pendapat lain mengatakan bahwa cyberslacking adalah kesempatan menggunakan internet dan email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di kantor yang seharusnya ditujukan untuk tujuan bekerja (Phillips & Reddie, 2007).
Sementara menurut Blanchard & Henle (2008) cyberloafing adalah penggunaan email dan internet kantor yang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh karyawan secara sengaja saat bekerja. Blanchard dan Henle (2008) membagi
cyberloafing menjadi dua level yaitu cyberloafing minor dan serius. Cyberloafing minor terdiri dari mengirim atau menerima email pribadi saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shopping online. Cyberloafing serius terdiri dari mengunjungi situs internet dewasa, memantau situs internet milik
pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui chat rooms, blog, dan iklan personal, bermain permainan online dan mengunduh musik.
Bock dan Ho (2009) menjelaskan pengunaan internet selama bekerja
untuk kepentingan pribadi disebut sebagai Non-Work Related Computing
(NWRC). NWRC merupakan istilah kolektif dan berisi Junk Computing dan
Cyberloafing. Junk Computing adalah penggunaan internet servis organisasi yang dilakukan oleh karyawan untuk kepentingan pribadi dan tidak berhubungan
dengan dengan tujuan organisasi (Bock & Ho, 2009). Baik Junk Computing
Berdasarkan penjelasan definisi perilaku cyberloafing yang telah dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku karyawan menggunakan akses internet kantor untuk keperluan pribadi
dan diluar pekerjaan seperti mengecek dan membalas email personal, membuka jejaring sosial seperti facebook, twitter, youtube, blog, tumblr, bermain game
online, berbelanja online, mencari berita atau entertainment dan mengunduh data yang tidak berhubungan dengan kerja.
2. Jenis-Jenis Perilaku Cyberloafing
Li dan Chung (2006) membagi perilaku cyberloafing menjadi empat, yaitu:
a. Aktifitas sosial yaitu penggunaan internet untuk berkomunikasi dengan teman.
Aktifitas sosial yang melibatkan pengekspresian diri (facebook, twitter, dll) atau
berbagi informasi via blog (blogger).
b. Aktifitas informasi yaitu menggunakan internet untuk mendapatkan informasi.
Aktifitas informasional yang terdiri dari pencarian informasi seperti site berita
(CNN).
c. Aktifitas kenikmatan yaitu internet untuk menghibur. Aktifitas kesenangan
yang terdiri dari aktifitas bermain permainan online atau mengunduh musik (youtube) atau software (Torrent-site) untuk tujuan kesenangan.
d. Aktifitas emosi virtual yaitu sisa dari aktifitas online internet lainnya seperti berjudi atau berkencan. Aktifitas emosi virtual mendeskripsikan aktifitas online
yang tidak dapat dikategorisasikan dengan aktifitas lainnya seperti berbelanja
Lim dan Teo (2005) mengelompokkan perilaku cyberloafing menjadi dua kategori utama yaitu aktifitas browsing dan emailing. Aktifitas browsing adalah aktifitas menggunakan internet perusahaan untuk melihat hal-hal yang tidak
berhubungan dengan kerja di situs internet saat bekerja. Aktifitas emailing
merupakan aktifitas mengirim, menerima, dan memeriksa email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saat bekerja.
Sedangkan Blanchard dan Henle (2008) membedakan cyberloafing
menjadi dua level, yaitu cyberloafing minor dan serius.
a. Cyberloafing minor terdiri dari perilaku mengirim atau menerima email pribadi saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shoppingonline. b. Cyberloafing serius terdiri dari perilaku mengunjungi situs internet dewasa, memantau situs internet milik pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui
chat rooms, blog, iklan personal, bermain permainan online, hacking, menyebar virus dan mengunduh musik atau file pribadi.
Beberapa peneliti menggunakan istilah cyberloafing mengarah kepada perilaku serius seperti menyebar virus dan hacking namun perilaku yang akan
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberloafing
Perilaku cyberloafing dapat muncul pada saat bekerja karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Derya Ergun Ozler dkk. (2012) ada tiga faktor
yang mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing, yaitu: a. Faktor individual
Faktor individu terdiri dari persepsi dan sikap, personal trait, kebiasaan dan
kecanduan internet, serta demografi.
1. Persepsi dan sikap
Individu dengan sikap komputer yang positif lebih mungkin menggunakan
komputer dalam bekerja untuk kepentingan pribadi. Karyawan yang terlibat
cyberloafing minor tidak percaya bahwa mereka terlibat dalam perilaku tidak pantas atau menyimpang mengingat karyawan yang terlibat dalam cyberloafing
yang seriuslah yang menyimpang dan tidak dapat dimaafkan.
2. Personal trait
Personal trait seperti pemalu, penyendiri, terisolasi, self control, self esteem, dan locus of control mempengaruhi bentuk penggunaann internet. Individu dengan self-esteem rendah dilaporkan dapat mengurangi self control
dalam penggunaan internet. Individu dengan orientasi eksternal kurang dapat
mengontrol penggunaan internet mereka.
3. Kebiasaan dan kecanduan internet
Kebiasaan mengacu pada urutan situasi-perilaku yang sedang atau telah
Telah diperkirakan bahwa lebih dari setengah perilaku media adalah kebiasaan
(LaRose, 2010). Derajat kecanduan internet yang tinggi lebih memungkinkan
untuk melakukan penyalahgunaan internet.
4. Demografis
Tingkat pendapatan, pendidikan, dan gender merupakan prediktor
cyberloafing. Individu dengan pendidikan yang tinggi menggunakan internet untuk mencari informasi, sedangkan individu dengan pendidikan yang rendah
cenderung menggunakan internet untuk bermain permainan online. Pria lebih sering melakukan cyberloafing dan melakukannya lebih lama apabila dibandingkan dengan wanita. Pria lebih sering menggunakan internet untuk
permainan online sedangkan wanita lebih tertarik untuk melakukan komunikasi
online.
b. Faktor situasi
Perilaku kecenderungan cyberloafing biasanya berhubungan dengan individu ketika adanya akses internet saat bekerja dan hal tersebut menjadi situasi
yang menstimulus, atau efek konteks yang memediasi perilaku dan akibat. Situasi
yang dimaksud adalah adanya akses internet, kehadiran atasan secara fisik, serta
kebijakan formal dan sanksi organisasi bagi siapa saja yang terlibat perilaku
cyberloafing. c. Faktor organisasi
Ergun dkk. (2012) menyatakan ada beberapa faktor organisasi yang dapat
managerial support, norma perilaku cyberloafing rekan kerja, sikap kerja karyawan, ketidakadilan, komitmen pekerjaan, dan karakteristik pekerjaan.
1. Pembatasan penggunaan internet
Dengan membatasi karyawan dalam penggunaan komputer di saat bekerja
melalui peraturan, atau melalui pembatasan teknologi, atau keduanya, dapat
mengurangi penggunaan akses internet pada karyawan.
2. Merasakan akibat
Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung akan lebih sedikit
untuk terlibat dalam kegiatan cyberloafing ketika mereka menganggap memiliki konsekuensi negatif yang serius bagi organisasi mereka dan menyakiti
kepentingan pribadi mereka(e.g. Lim and Teo 2005, Blanchard and Henle 2008;
Lim and Chen, 2012; Vitak et al, 2011; Woon and Pee, 2004).
3. Managerial support
Managerial support dalam penggunaan internet saat bekerja tanpa spesifikasi yang khusus bagaimana menggunakan internet dapat meningkatkan
bentuk penggunaan internet pada karyawan antara untuk bisnis dan pribadi.
Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai dukungan semua jenis
penggunaan internet, termasuk perilaku cyberloafing (Garrett and Danziger, 2008; Vitak et al., 2011; Liberman et al, 2011).
4. Persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja (Perceived coworker
cyberloafingnorms)
cyberloafing dipelajari melalui meniru perilaku yang mereka lihat dari individu lain dalam lingkungan organisasi mereka.
5. Sikap kerja karyawan
Tindakan penyimpangan ditempat kerja seperti cyberloafing telah terbukti menjadi respon emosional terhadap frustasi pada pekerjaan, oleh karena itu telah
disepakati bahwa sikap pekerjaan mungkin mempengaruhi cyberloafing
(Lieberman et al, 2011). Karyawan lebih mungkin melakukan cyberloafing atau perilaku yang tidak pantas ketika karyawan ketika mereka memegang sikap kerja
yang tidak baik (Garrett and Danziger, 2008).
6. Ketidakadilan
Pada tingkat organisasi, keadilan organisasi telah ditemukan untuk
menjadi kecenderungan munculnya perilaku cyberloafing oleh beberapa peneliti dimana keadilan organisasional yang lebih rendah memiliki dampak yang
signifikan terhadap cyberloafing (Lim, 2002; Lim dan Teo, 2005). Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan merasakan beberapa bentuk ketidakadilan
dalam pekerjaan mereka, salah satu cara untuk berusaha untuk mengembalikan
keseimbangan adalah melalui cyberloafing. 7. Komitmen pekerjaan
Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi tempat mereka
bekerja akan menemukan kurang sesuai penggunaan internet dengan rutinitas
pekerjaan daripada mereka yang tidak (Garrett dan Danziger, 2008). Individu
yang berkomitmen terhadap pekerjaan mereka kurang mungkin untuk terlibat
8. Kepuasan kerja
Karyawan dengan kepuasan kerja yang tinggi mempengaruhi secara positif
terhadap penyalahgunaan internet. Pelaku penyalahgunaan internet lebih mungkin
adalah karyawan dengan kepuasan yang tinggi. Dalam studi lebih lanjut, beberapa
responden mengungkapkan bahwa mereka melihat penggunaan internet diluar
pekerjaan terkait dengan tujuan sebagai bentuk manfaat sampingan yang dapat
membantu meringankan stres kerja (Woon dan Pee, 2004). Menurut Vitak et al.
(2011), kepuasan yang mmenurun, kemungkinan terlibat dalam kegiatan
cyberloafing meningkat. Stanton (2002) menemukan bahwa pelaku penyalahgunaan internet lebih mungkin pada karyawan yang memiliki kepuasan
yang tinggi (Ugrin et al, 2008). Dalam beberapa penelitian, kepuasan pekerjaan
gagal menghasilkan korelasi yang signifikan dengan dimensi personal web use. Garrett dan Danziger (2007) tidak menemukan hubungan antara kepuasan
pekerjaan dan cyberloafing. Hasilnya bisa berarti bahwa karyawan yang terlibat dalam penggunaan web pribadi belum tentu orang-orang yang kurang puas
dengan pekerjaan mereka (Mahatanankon et al, 2004)
9. Karakteristik pekerjaan
Ketika karyawan menghabiskan waktu singkat pada tugas-tugas yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan dapat terbebas dari kebosanan, kelelahan atau
stres, kepuasan kerja yang lebih besar atau kreativitas, meningkatkan dalam
kesejahteraan, rekreasi dan pemulihan, dan karyawan lebih bahagia secara
keseluruhan. Karakteristik pekerjaan spesifik dapat mempengaruhi munculnya
Di sisi lain, pekerjaan yang kreatif yang lebih memiliki banyak tuntutan dan lebih
sedikit membosankan lebih kurang mungkin termotivasi untuk melakukan
cyberslacking (Vitak et al., 2011).
Managerial support, persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja, ketidakadilan, komitmen pekerjaan, dan karakteristik pekerjaan merupakan faktor
organisasi. Beberapa faktor organisasi yang disebutkan di atas merupakan bagian
dari iklim organisasi. Selanjutnya akan lebih dijelaskan mengenai definisi dan
dimensi iklim organisasi.
B. IKLIM ORGANISASI 1. Definisi Iklim Organisasi
Ada beberapa pandangan beberapa para ahli mengenai iklim organisasi.
Steers (1989) memandang iklim organisasi sebagai suatu kepribadian organisasi
seperti apa yang dilihat para anggotanya. Lunenburg dan Ornstein (1991)
mengemukakan iklim organisasi sebagai kualitas lingkungan total dalam sebuah
organisasi. Iklim organisasi dapat dinyatakan dengan kata sifat seperti terbuka,
ramai, santai, informal, dingin, impersonal, bermusuhan, kaku, dan tertutup. Davis
dan Newstrom (1994) mendefinisikan iklim organisasi sebagai lingkungan dimana
para karyawan suatu organisasi melakukan pekerjaan mereka. Iklim mengitari dan
mempengaruhi segala hal yang bekerja dalam organisasi sehingga iklim dikatakan
sebagai suatu konsep yang dinamis.
Menurut Higgins (1982) iklim organisasi adalah kumpulan dari persepsi
karyawan termasuk mengenai pengaturan karyawan, keinginan dari pekerjaan
merupakan harapan-harapan serta cara pandang individu terhadap organisasi.
Mas’ud (2004) menyatakan iklim kerja adalah kesan, harapan dan perasaan yang
dimiliki oleh anggota suatu unit kerja, yang berpengaruh terhadap hubungan
antara bawahan dan atasan dan hubungan antara karyawan dengan rekan
sekerjanya maupun hubungan dengan orang-orang di unit kerja lain.
Sedangkan Robbins dan Timothy A (2011) mendefinisikan Iklim
organisasi sebagai persepsi bersama yang dimiliki anggota organisasi tentang
organisasi dan lingkungannya. Pemahaman tentang aturan tertulis, kebiasaan
dalam melakukan kerja dan birokrasi dalam menjalankan tugas, lingkungan kerja
dan batas wewenang dalam bekerja adalah lingkup dalam iklim organisasi.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iklim organisasi
adalah persepsi, harapan, kesan, perasaan dan keinginan karyawan perusahaan
mengenai organisasi dan lingkungan perusahaan yang mempengaruhi hubungan
sesama karyawan baik atasan maupun bawahan dan perilaku karyawan itu sendiri
dimana iklim organisasi bersifat dinamis dan unik sesuai dengan atmosfir
organisasi.
2. Dimensi Iklim Organisasi
Stringer (Wirawan, 2007) menyebutkan bahwa karakteristik atau dimensi
iklim organisasi dapat mempengaruhi motivasi anggota organisasi untuk
berperilaku tertentu. Ia juga mengatakan enam dimensi yang membentuk iklim
organisasi, yaitu:
jawab yang jelas dalam lingkungan organisasi. Struktur tinggi apabila anggota
organisasi merasa pekerjaan mereka didefinisikan secara baik dan jelas. Struktur
rendah ketika anggota organisasi merasa tidak ada kejelasan mengenai siapa yang
melakukan tugas dan tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Struktur
organisasi meliputi posisi karyawan dalam perusahaan.
b. Standar-standar (standards). Standar-standar dalam suatu organisasi mengukur perasaan tekanan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja serta derajat
kebanggaan yang dimiliki oleh anggota organisasi dalam melakukan pekerjaan
dengan baik. Standar-standar tinggi ketika anggota organisasi selalu berupaya
mencari jalan untuk meningkatkan kinerjanya. Standar-standar rendah apabila
anggota karyawan merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja.
Standar-standar meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan.
c. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi "pimpinan diri sendiri" dan tidak memerlukan
pendapat mengenai keputusannya untuk dilegitimasi oleh anggota organisasi
lainnya. Persepsi tanggung jawab tinggi ketika anggota organisasi merasa
didorong untuk memecahkan problemnya sendiri. Tanggung jawab rendah
menunjukkan bahwa pengambilan risiko dan percobaan terhadap pendekatan baru
tidak diharapkan. Tanggung jawab meliputi kemandirian dalam menyelesaikan
pekerjaan.
d. Penghargaan (recognition). Pengakuan atau penghargaan menggambarkan bahwa anggota organisasi merasa dihargai dan mendapatkan imbalan yang layak
dihadapkan dengan kritik dan hukuman atas penyelesaian pekerjaan. Iklim
organisasi yang menghargai kinerja dikarakteristikan dengan adanya
keseimbangan antara imbalan dan kritik atas penyelesaian pekerjaan. Penghargaan
rendah apabila penyelesaian pekerjaan dengan baik diberi imbalan secara tidak
konsisten. Penghargaan meliputi imbalan atau upah yang terima karyawan setelah
menyelesaikan pekerjaan.
e. Dukungan (support). Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan saling mendukung yang terus berlangsung diantara anggota kelompok kerja. Dukungan
tinggi apabila anggota organisasi merasa bahwa mereka bagian tim yang berfungsi
dengan baik dan merasa memperoleh bantuan dari atasannya jika mengalami kesulitan dalan menjalankan tugas. Dukungan rendah ditunjukkan ketika anggota
organisasi merasa terisolasi atau tersisih sendiri. Dukungan meliputi hubungan
dengan rekan kerja yang lain.
f. Komitmen (commitment). Komitmen merefleksikan perasaan bangga anggota organisasi terhadap organisasinya dan derajat keloyalan atau komitmen terhadap
pencapaian tujuan organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan
loyalitas personal. Level rendah komitmen ketika karyawan merasa apatis
terhadap organisasi dan tujuannya. Komitmen meliputi pemahaman karyawan
mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.
C. PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING
Internet telah memberikan banyak dampak bagi kehidupan manusia.
yang dibutuhkan. Internet bisa diakses dimana saja dan siapa saja. Hampir setiap
orang mengenal internet. Berbagai kalangan menggunakan internet seperti
masyarakat umum, pemerintah, pelajar, ibu rumah tangga, dan termasuk
karyawan perusahaan.
Perusahaan yang menyediakan akses internet dapat meningkatkan efisiensi
dan efektifitas kerja. Salah satu fenomena yang muncul karena adanya penyediaan
akses internet di perusahaan adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing
adalah tindakan karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan mereka
selama jam kerja yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
Beberapa penelitian mengenai perilaku cyberloafing lebih menekankan pada dampak negatif yang ditimbulkannya. Berdasarkan survey yang dilakukan
oleh SurfWatch (Lim, 2002) menunjukkan bahwa 84% karyawan berkirim email
untuk kepentingan pribadi dan 90% karyawan mengakses internet hanya untuk
rekreasi dan kesenangan pribadi. Hal ini mengakibatkan penurunan produktifitas
hingga sebesar 30 hingga 40 persen.
Walaupun perusahaan khawatir karyawan akan kehilangan produktifitas
yang diakibatkan perilaku cyberloafing, para peneliti menyebutkan bahwa perilaku cyberloafing dapat berfungsi sebagai sarana strategi coping melawan perasaan negatif di tempat bekerja seperti stress (Stanton 2002, Oravec 2002,
2004, Anadarajan dan Simmers 2002). Hal ini penting untuk karyawan agar dapat
bekerja dengan waktu yang lebih lama dan dapat bertahan dari efek negatif stress
refreshing dan relaksasi ketika bekerja. Lim dan Chen (2012) menemukan
melakukan cyberloafing tidak hanya membuat karyawan lebih fresh, tetapi juga membuat mereka lebih produktif daripada mereka menghabiskan waktu untuk
berbicara kepada rekan kerja lainnya. Jadi peneliti menekankan bahwa perilaku
cyberloafing dapat memberikan banyak manfaat apabila penggunaannya tepat yaitu hanya sebagai sarana relaksasi dan mencari inspirasi serta tidak fokus pada
perilaku cyberloafing.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah organisasi (Ozler dan Polat, 2012). Lingkungan kerja masing-masing perusahaan
memiliki sifat ataupun ciri-ciri yang berbeda sehingga hal inilah yang
membedakan satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Litwin dan Stringer
(1968) menyebutnya dengan istilah iklim organisasi. Iklim organisasi merupakan
persepsi anggota organisasi tentang norma yang berkaitan dengan aktivitas kerja
organisasi (Armansyah, 1997).
Iklim organisasi mempengaruhi efektifitas organisasi (P. E. Mudrack,
1989) dan motivasi dan perilaku individu (E.T. Moran, 1992). Iklim organisasi
selalu mempengaruhi seluruh kondisi dasar dan perilaku individu dalam
perusahaan. Hal ini terjadi karena orang cenderung untuk menerima dan
menginternalisasi iklim organisasi dimana mereka bekerja, dan persepsi mereka
mengenai iklim organisasi mempengaruhi perilaku mereka (Vardi, 2001).Iklim
organisasi mempengaruhi bagaimana anggotanya berperilaku termasuk perilaku
Ahmad dkk (2013), lingkungan kerja yang baik dapat memunculkan perilaku
kerja yang positif dan mengurangi respon kerja negatif seperti cyberloafing. Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dapat diduga bahwa iklim
organisasi dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing.
D. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan uraian dalam kerangka berpikir di atas, maka hipotesa
penelitian ini adalah:
Ada pengaruh negatif antara iklim organisasi terhadap perilaku
cyberloafing dimana semakin baik iklim organisasi, maka akan berkontribusi terhadap penurunan perilaku cyberloafing. Demikian sebaliknya, semakin buruk iklim organisasi, maka akan berkontribusi terhadap peningkatan perilaku
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu
penelitian karena metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam
pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian
(Hadi, 2000).
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Dalam penelitian sosial dan psikologi, satu variabel tidak mungkin hanya
berkaitan dengan satu variabel lain saja melainkan selalu saling mempengaruhi
dengan dengan banyak variabel. Oleh karena itu peneliti perlu melakukan
identifikasi dahulu terhadap variabel penelitiannya (Azwar, 2010).
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel bebas (independent) : Iklim Organisasi 2. Variabel tergantung (dependent) : Perilaku Cyberloafing
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang
dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat
diamati (Azwar, 2010). Berikut definisi operasional dari variabel-variabel yang
1. Perilaku Cyberloafing
Perilaku Cyberloafing merupakan perilaku yang menggunakan internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saat bekerja di perusahaan. Perilaku ini
diukur berdasarkan dua tipe yaitu:
Perilaku Cyberloafing Emailing adalah perilaku karyawan yang menggunakan sumber daya perusahaan berupa akses internet untuk melakukan
aktifitas emailing yaitu mengecek email, menerima email, dan mengirim email
yang tidak berhubungan dengan kepentingan pekerjaan.
Perilaku Cyberloafing Browsing adalah perilaku karyawan yang menggunakan sumber daya perusahaan berupa akses internet untuk melakukan
aktifitas browsing mengunjungi atau membuka situs-situs yang tidak berhubungan dengan kepentingan pekerjaan.
Perilaku cyberloafing emailing dan browsing dapat diketahui dengan alat ukur berupa skala yang disusun berdasarkan kategori cyberloafing menurut Lim dan Teo (2005) yaitu aktifitas browsing dan email. Skor total dari tipe perilaku
cyberloafing emailing dan browsing akan menunjukkan perilaku cyberloafing
karyawan dalam perusahaan. Skor yang tinggi mengidentifikasikan individu
sering melakukan perilaku cyberloafing. Sebaliknya skor yang rendah mengidentifikasikan individu jarang melakukan perilaku cyberloafing.
2. Iklim Organisasi
Iklim organisasi merupakan persepsi individu mengenai keadaan atau
memperlakukan individu yang diwujudkan dalam perilaku karyawan dalam
organisasi.
Iklim organisasi dapat diukur menggunakan skala yang disusun
berdasarkan teori oleh Stringer (2002). Semakin tinggi skor total pada skala iklim
organisasi menunjukkan iklim organisasi yang kondusif dan baik. Skor rendah
pada total dimensi iklim organisasi menunjukkan bahwa iklim organisasi yang
buruk.
C. POPULASI, SAMPEL, DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel
Menurut Azwar (2010) populasi adalah kelompok subjek yang hendak
dikenai generalisasi hasil penelitian. Populasi memiliki karakteristik yang dapat
diperkirakan dan diklasifikasikan sesuai dengan keperluan penelitian. Mengingat
keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti
hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek
penelitian, atau yang dikenal dengan nama sampel.
Sampel merupakan bagian dari populasi, sehingga ia harus memiliki
ciri-ciri yang dimiliki oleh populasi. Selain itu, Hadi (2000) juga mengatakan bahwa
syarat utama agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan maka sebaiknya sampel
Karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Perusahaan memiliki akses internet
Peneliti memerlukan perusahaan dengan akses internet yang bebas tanpa
adanya pembatasan penggunaan internet sehingga lebih memungkinkan
karyawan untuk melakukan perilaku cyberloafing. b. Karyawan yang bekerja menggunakan laptop/komputer
Karyawan yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini adalah karyawan
yang menggunakan laptop/ komputer saat bekerja karena laptop/ komputer
merupakan instrumen yang digunakan oleh karyawan dalam melakukan
cyberloafing.
c. Minimal telah bekerja selama setahun
Karyawan yang akan menjadi sampel penelitian adalah karyawan yang
minimal telah bekerja selama setahun. Masa kerja minimal setahun menjadi
pertimbangan karena pada masa kerja tersebut karyawan sudah mampu
beradaptasi terhadap lingkungan dan situasi kerjanya (Siswanto, 2003).
2. Metode Pengambilan Sampel
Sampling adalah cara untuk menentukan sampel dalam suatu penelitian.
Penentuan sampel harus memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar
diperoleh sampel yang representatif atau benar-benar mewakili populasi.
Mengingat keterbatasan waktu, biaya dan tenaga, tidak mungkin untuk meneliti
keseluruhan populasi. Dari seluruh populasi yang ada hanya diambil sampel yang
Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
nonprobability sampling. Nonprobability sampling merupakan tehnik yang tidak memberikan peluang kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota
populasi untuk dipilih menjadi sampel. Salah satu tehnik nonprobability sampling
yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan menggunakan individu-individu yang telah memenuhi
karakteristik penelitian dan kebetulan dijumpai peneliti di PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk Medan (Hadi, 2000).
3. Jumlah Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel
merupakan bagian populasi yang hendak diteliti dan mewakili karakteristik
populasi. Apabila populasi penelitian berjumlah kurang dari 100 maka sampel
yang diambil adalah semuanya, namun apabila populasi penelitian berjumlah
lebih dari 100 maka sampel dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih
(Arikunto, 2010). Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebanyak 81 orang karyawan.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Alat ukur yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian
dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2000). Metode
pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah skala.
Metode skala adalah metode pengumpulan data yang memberikan suatu
(2007) mengungkapkan bahwa skala merupakan suatu alat ukur aspek afektif
yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek
kepribadian individu. Respon subjek pada setiap pernyataan tersebut kemudian
dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan skala ukur. Skala
ukur ini adalah suatu daftar yang berisi sejumlah pertanyaan yang diberikan
kepada subjek agar dapat mengungkapkan kondisi-kondisi yang ingin diketahui.
Skala ini disusun berdasarkan metode Skala Likert. Nilai skala setiap pertanyaan
diperoleh dari jawaban subjek yang menyatakan mendukung (favorable) atau yang
tidak mendukung (unfavorable).
1. Skala Perilaku Cyberloafing
Pengambilan data mengenai perilaku cyberloafing pada karyawan dilakukan dengan menggunakan skala perilaku cyberloafing yang disusun dengan format Likert berdasarkan teori mengenai jenis perilaku cyberloafing dari teori Lim dan Teo (2005), yaitu emailing activities dan browsing activities. Skala ini berisikan 18 aitem dengan 3 aitem favorable untuk emailing activities dan 15 aitem favorable untuk browsing activities. Aitem terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu: SS (Selalu), S (Sering), K (Kadang-kadang), J
(Jarang), dan TP (Tidak Pernah).
Untuk subskala favorable penilaiannya adalah SS (Selalu) akan diberi skor 5, S (Sering) akan diberi skor 4, K (Kadang-kadang) akan diberi skor 3, J (Jarang)
akan diberi skor 2, dan TP (Tidak Pernah) akan diberi skor 1. Sedangkan untuk
(Jarang) akan diberi skor 4, K (Kadang-kadang) akan diberi skor 3, S (Sering)
akan diberi skor 2, dan SS (Selalu) akan diberi skor 1. Distribusi aitem skala
perilaku cyberloafing dapat dilihat dalam blue print pada tabel 3.
Tabel 3.1
Blue Print Skala Perilaku Cyberloafing Sebelum Uji Coba
No. Kategori
Pernyataan
Jumlah F% Favorable Unfavorable
1.
Emailing activities
1, 2, 3 - 3 16,67
2.
Browsing activities
4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
11, 12, 13, 14, 15,
16, 17,18
- 15 83,33
Total 18 100
2. Skala Iklim Organisasi
Pengambilan data iklim organisasi dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan skala iklim organisasi yang disusun dengan format Likert
berisikan 30 aitem dengan 21 aitem favorable dan 9 aitem unfavorable. Aitem
terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu: SS (Sangat Setuju), S
(Setuju), N (Netral), TS (Tidak Setuju) dan STS (Sangat Tidak Setuju).
Untuk subskala favorable penilaiannya adalah SS (Sangat Setuju) akan diberi skor 5, S (Setuju) akan diberi skor 4, N (Netral) akan diberi skor 3, TS
(Tidak Setuju) akan diberi skor 2, dan STS (Sangat Tidak Setuju) akan diberi skor
1. Sedangkan untuk subskala unfavorable penilaiannya adalah STS (Sangat Tidak Setuju) akan diberi skor 5, TS (Tidak Setuju) akan diberi skor 4, N (Netral) akan
diberi skor 3, S (Setuju) akan diberi skor 2, dan SS (Sangat Setuju) akan diberi
skor 1. Distribusi aitem skala iklim organisasidapat dilihat dalam blue print pada tabel 3.2
Tabel 3.2
Blue Print Skala Iklim Organisasi Sebelum Uji Coba
No. Dimensi
Pernyataan
Jumlah F% Favorable Unfavorable
1. Struktur (Structure) 2, 17, 18, 19 3 5 16,6
2. Standar (Standards) 4, 6, 20, 21 5 5 16,6
3.
Tanggung Jawab
(Responsibility)
7, 8, 22, 23,
24
- 5 16,6
(Recognition)
5. Dukungan (Support) 28, 29 12, 13, 27 5 16,6
6. Komitmen (Commitment) 14, 15, 30 1, 16 5 16,6
Total 30 100
E. UJI INSTRUMEN PENELITIAN
Validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian sangat
menentukan keakuratan dan keobjektifan hasil penelitian yang dilakukan. Suatu
alat ukur yang tidak valid dan tidak reliabel akan memberikan informasi yang
tidak akurat mengenai keadaan subyek atau individu yang dikenai tes ini (Azwar,
2007). Oleh karena itu peneliti harus melakukan uji coba terhadap alat ukur.
Hadi (2000) mengemukakan beberapa tujuan dari uji coba, yaitu:
1. Menghindari pernyataan-pernyataan yang kurang jelas maksudnya.
2. Menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu akademik,
ataupun kata-kata yang menimbulkan kecurigaan.
3. Memperbaiki pernyataan-pernyataan yang biasa dilewati atau hanya
menimbulkan jawaban-jawaban dangkal.
4. Menambah aitem yang sangat perlu atau meniadakan aitem yang ternyata tidak
1. Validitas Alat Ukur
Menurut Azwar (2005), untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu
menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu
pengujian validitas. Suatu alat tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan
memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya
atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya
pengukuran tersebut.
Validitas alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah validitas isi
(content validity) yaitu validitas yang menunjukkan sejauh mana aitem dalam
skala mencakup keseluruhan isi yang hendak diungkap oleh tes tersebut. Hal ini
berarti isi alat ukur tersebut harus komprehensif dan memuat isi yang relevan serta
tidak keluar dari batasan alat ukur (Azwar, 2010).
Sebelum melakukan penyusunan alat ukur, peneliti menentukan terlebih
dahulu kawasan isi dari cyberloafing dan iklim organisasi. Kemudian peneliti akan membuat aitem-aitem yang bertujuan untuk mengungkap kawasan isi
tersebut. Selanjutnya peneliti melakukan pengujian validitas isi dengan
melakukan analisis rasional atau profesional judgement, dalam hal ini adalah dosen pembimbing peneliti.
2. Uji Daya Beda Aitem
Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana item mampu
membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut
dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur. Dasar kerja yang digunakan
selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata lain, memilih item
yang mengukur hal yang sama dengan yang diukur oleh tes sebagai keseluruhan
(Azwar, 2010).
Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien
korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan
yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini menghasilkan koefisien
korelasi item total yang dapat dilakukan dengan menggunakan formula koefisien
korelasi Pearson Product Moment (Azwar, 2010). Aitem dianggap memuaskan bila koefisien korelasi minimal 0,30. Namun ketika aitem memiliki indeks daya
diskriminasi sama dengan atau lebih besar daripada 0,3 jumlahnya melebihi
jumlah aitem yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka dapat memiliki
aitem dengan daya diskriminasi tertinggi.
3. Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas adalah indeks sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau
dapat diandalkan.Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat
keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa
kali pada kesempatan yang berbeda. Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari
koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi item-item yang dalam
menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama.
Uji reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal
dengan prosedur hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok
individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan
reliabilitas alat ukur ini adalah teknik reliabilitas koefisien Alpha Cronbach
dengan koefiesien lebih besar dari 0,05. Peneliti menggunakan bantuan program
SPSS versi 20.0 for Windows untuk menguji reliabilitas alat ukur.
F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR
1. Hasil Uji Coba Skala Perilaku Cyberloafing
Jumlah aitem yang diujicobakan sebanyak 18 aitem dan terdapat 16 aitem
yang memenuhi . indeks diskriminasi rix ≥ 0,3. Azwar (2007) menyatakan bahwa kriteria berdasarkan korelasi aitem total biasanya digunakan batasan rix ≥ 0,3. Semua aitem yang mencapai korelasi minimal 0,3 daya bedanya dianggap
memuaskan. Jumlah aitem yang dinyatakan gugur sebanyak 2, yaitu aitem dengan
nomor 1 dan 18. Aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi bergerak dari rix = 0,313 sampai dengan rix = 0,639. Distribusi aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 3.3
Blue Print Skala Perilaku Cyberloafing Setelah Uji Coba
No. Kategori
Pernyataan
Jumlah F% Favorable Unfavorable
1.
Emailing activities
1, 2 - 2 12,5
activities 10, 11, 12, 13 14
Total 16 100
Uji reliabilitas dilakukan terhadap 16 aitem tersebut. Hasil uji coba
reliabilitas aitem perilaku cyberloafing adalah sebesar 0,849.
2. Hasil Uji Coba Skala Iklim Organisasi
Jumlah aitem yang diujicobakan sebanyak 30 aitem dan terdapat 20 aitem
yang memenuhi indeks diskriminasi rix ≥ 0,3. Azwar (2007) menyatakan bahwa kriteria berdasarkan korelasi aitem total biasanya digunakan batasan rix ≥ 0,3. Semua aitem yang mencapai korelasi minimal 0,3 daya bedanya dianggap
memuaskan. Jumlah aitem yang dinyatakan gugur adalah sebanyak 10, yaitu
aitem nomor 3, 4, 5, 6, 7, 8, 12, 18, 23, dan 26. Aitem-aitem yang memiliki daya
beda tinggi bergerak dari rix = 0,317 sampai dengan rix = 0,702. Distribusi aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 3.4
Blue Print Skala Iklim Organisasi Setelah Uji Coba
No. Dimensi
Pernyataan
Jumlah F% Favorable Unfavorable
2. Standar (Standards) 5, 11 2 10
3.
Tanggung Jawab
(Responsibility)
4, 10 - 2 10
4.
Penghargaan
(Recognition)
15, 19 9, 3 4 20
5. Dukungan (Support) 2, 14 8, 18 4 20
6. Komitmen (Commitment) 7, 17, 20 1, 13 5 25
Total 20 100%
Uji reliabilitas dilakukan terhadap 20 aitem tersebut. Hasil uji coba
reliabilitas skala iklim organisasiadalah sebesar 0,910.