• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Cyberloafing

2. Tabulasi skor uji coba skala iklim organisasi 3. Reliabilitas skala perilaku cyberloafing

4. Reliabilitas skala iklim organisasi

LAMPIRAN B Hasil Penelitian 1. Skala

2. Uji Asumsi 3. Uji Hipotesis

PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA KARYAWAN PT TELEKOMUNIKASI

INDONESIA TBK MEDAN

Yulian Astri dan Siti Zahreni, M. Psi, psikolog

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku cyberloafing karyawan di perusahaan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik incidental sampling dan jumlah subjek penelitian ini adalah 81 karyawan yang bekerja menggunakan fasilitas komputer dengan internet perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan. Data penelitian ini diungkap dari skala perilaku cyberloafing yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori Lim & Teo (rxx’ = 0,840) dan skala iklim organisasi yang disusun oleh penelitian berdasarkan teori Stringer (rxx’ = 0,910). Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh iklim organisasi terhadap frekuensi perilaku cyberloafing dengan nilai p = 0.019 (p < 0.05) dan koefisien determinan (R- square/ R2) sebesar 0.147 (14.7%).

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pada era modern ini, internet menjadi salah satu teknologi yang berkembang sangat pesat. Internet menjadi kebutuhan bagi kalangan banyak karena mampu mengakses dan mendapatkan informasi dengan cepat dan mudah seperti masyarakat umum, pemerintah, pelajar, ibu rumah tangga, karyawan perusahaan, dan lain-lain. Jumlah pengguna internet di dunia pada tahun 2012 berkisar 2,4 miliar juta jiwa (Royal Pingdom, 2013). Pengguna internet terbanyak berasal dari Asia yaitu 44,8% dan diikuti 21,5% Eropa, kemudian disusul Amerika Utara 11,4% (International Telecommunications Union, 2012). Besarnya jumlah pengguna internet di negara Asia sangatlah wajar mengingat lebih dari 55% penduduk dunia berada di benua Asia. Indonesia menduduki urutan ke-4 sebagai negara dengan pengguna internet terbanyak di Asia yakni mencapai 55 juta jiwa pengguna (International World Stats, 2012). Tempat mengakses internet di Indonesia kebanyakan dari kantor (52,4%), warnet/cafe/rental (35,1%), rumah (27,6%), sekolah/kampus (7,2%), rumah teman/saudara (3,7%), perpustakaan (2,8%), dan hp (0,4%) (Indonesian Consumer Profile, 2009). Hasil data survey tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan internet tertinggi adalah di kantor.

Akses internet menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan kinerja dan produktifitas karyawan dalam suatu perusahaan. Internet memiliki banyak manfaat untuk mencapai tujuan dari perusahaan karena dengan adanya internet

kegiatan operasional perusahaan dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien. Internet menjadi fasilitas komunikasi yang mudah dengan biaya yang lebih murah dalam melakukan pemasaran dan publikasi, berhubungan dengan banyak klien di luar negeri, mencari karyawan baru dan lain sebagainya. Penyediaan akses internet oleh perusahaan meningkatkan kreatifitas, fleksibilitas, dan membantu perkembangan pembelajaran lingkungan karyawan (Blanchard dan Henle, 2008) sehingga sejumlah manfaat yang diberikan oleh internet dapat meningkatkan daya saing perusahaan dari kompetitor. Memiliki dan menyediakan akses internet di perusahaan tidak hanya memberikan keuntungan namun internet telah menjadi begitu melekat dalam fungsi perusahaan sehingga menjadi suatu kebutuhan (Bharadwaj, 2000).

Internet memang memberikan banyak manfaat bagi perusahaan namun penggunaan internet juga memberikan dampak negatif walaupun telah menjadi kebutuhan perusahaan. Karyawan dapat menunda kewajiban dalam melaksanakan tugas perusahaan akibat penggunaan internet. Karyawan menghabiskan waktu untuk mengakses internet di tempat kerja untuk penggunaan pribadi sambil berpura-pura melakukan tugas wajib perusahaan. Hal ini disebut dengan perilaku

cyberloafing. Cyberloafing merupakan tindakan sengaja dari karyawan menggunakan akses internet perusahaan untuk kepentingan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di saat jam kerja (Lim, 2002). Berdasarkan hasil penelitian yang telah di terbitkan jurnal Computers in Human Behaviour, diperkirakan sekitar 60 hingga 80 persen karyawan menggunakan akses internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di kantor. Hasil studi lain menyatakan

bahwa 40% karyawan mengakses internet setiap hari, 88% diantaranya mengakses internet bukan untuk kepentingan pekerjaan, 66% karyawan tiap kali mengakses internet selama sepuluh menit dan rata-rata satu jam tiap harinya (eMarketer dalam Henle & Blanchard, 2008). Bloxx (2008) memperkirakan karyawan menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk aktivitas internet yang tidak berhubungan dengan kerja. Rata-rata pengguna internet perusahaan menghabiskan waktu selama dua jam untuk online (Elisa dan Giuseppe, 2006). 31% diantaranya menggunakannya untuk hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. 70% karyawan membuka situs dan 30% lainnya membuka email personal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

Perilaku cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan membawa sejumlah dampak negatif. Perilaku cyberloafing yang tidak terkontrol pada akhirnya berujung pada tindakan tidak disiplin, penghentian atau kehilangan karyawan, pelanggaran kerahasiaan perusahaan dan hilangnya reputasi atau privasi personal, pertanggungjawaban personal dan perusahaan, biaya asosiasi legal, hilangnya milliaran dollar karena kurangnya produktifitas (Weatherbee, 2010). Kerugian milliaran dollar yang dialami oleh perusahaan merupakan jumlah kerugian yang sangat fantastis sehingga perilaku cyberloafing perlu diperhatikan. Cyberloafing

dapat mengurangi produktifitas dan inefisien dalam penggunaan sumberdaya network, dan berakhir sebagai organisasi yang tidak kompetitif (Liberman et al, 2011). Perilaku cyberloafing juga dapat menyebabkan masalah pada keamanan sistem informasi dan fungsi yang tepat (Lara dan Mesa, 2010).

Penurunan kinerja karyawan yang terjadi akibat cyberloafing adalah sebanyak 30 sampai 40 persen yang mengakibatkan perusahaan menjadi rugi (Conlin, 2000). Penggunaan akses internet perusahaan untuk kepentingan pribadi karyawan dapat menurunkan kinerja sistem internet di kantor (Sipior dan Ward, 2002). Perilaku cyberloafing membuat perusahaan dalam posisi rugi karena karyawan berfokus kepada kegiatan diluar pekerjaan daripada memperhatikan pekerjaan mereka saat mereka menggunakan internet. Diperkirakan antara 20 sampai 30 persen perusahaan telah memecat karyawan karena perilaku

cyberloafing seperti mengakses situs porno, judi online, dan belanja online (Case & Young, 2002; Greenfield & Davis, 2002). Selain itu perilaku cyberloafing dapat membuat perusahaan rentan terkena virus, hacking, serta tanggung jawab hukum dalam bentuk pelecehan. Dengan kata lain, perusahaan telah kehilangan waktu, biaya dan produktivitas akibat ulah karyawan yang menggunakan akses internet untuk keperluan pribadi.

Perilaku cyberloafing tidak selalu membawa dampak negatif bagi perusahaan. Perilaku cyberloafing ini dapat menjadi hal yang positif seperti mengurangi kebosanan, kelelahan atau stress, memberikan kepuasan pekerjaan dan kreatifitas, meningkatkan well-being, rekreasi, dan recovery (Vitak et al, 2011). Cyberloafing berfungsi sebagai “office toy” untuk menurunkan stress kerja dan inspirasi kreatifitas (Anandarajan & Simmers, 2005). Cyberloafing dapat menurunkan stress kerja karena perilaku ini dianggap sebagai salah satu bentuk istirahat. Istirahat ini berbeda dengan istirahat makan siang ataupun istirahat merokok, namun merupakan istirahat relaksasi. Karyawan berpotensi lebih

produktif ketika perusahaan memberikan istirahat kecil. Karyawan dapat menyegarkan pikiran dan menjadi lebih kreatif.

Penelitian Lim dan Don Chen (2012) menunjukkan bahwa karyawan yang melakukan surfing internet saat bekerja jauh lebih produktif dan efektif dalam mengerjakan tugas-tugas mereka dibandingkan dengan karyawan yang menggunakan waktu luang dengan kegiatan lain seperti ke kantin dan atau coffee break. Karyawan yang melakukan cyberloafing merasakan kelelahan mental dan kebosanan yang lebih rendah. Hasil penelitian lain juga menemukan bahwa karyawan yang memiliki emosi negatif di pagi hari dan melakukan cyberloafing

selama jam kerja merasakan emosi yang lebih positif dari sebelumnya. Perilaku

cyberloafing tidak menjadi suatu ancaman atau masalah bagi perusahaan selama karyawan dapat membatasi diri dan tidak menggunakan internet untuk merugikan beban kerja mereka.

Perilaku cyberloafing yang dilakukan oleh karyawan dalam perusahaan disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu individu, situasi dan organisasi (Ozler dan Polat, 2012). Faktor yang pertama adalah faktor individu. Penelitian telah mencoba mengidentifikasi karyawan yang lebih mungkin terlibat cyberloafing

dari pada yang tidak (Vitak et al, 2011:1752). Persepsi dan sikap terhadap

cyberloafing dan penggunaan internet, personal traits, kebiasaan dan kecanduan internet, faktor demografi, intensi terlibat cyberloafing, dan norma sosial termasuk faktor individu yang mempengaruhi kecenderungan perilaku cyberloafing. Faktor yang kedua adalah faktor situasi. Kondisi yang mendukung merupakan hal yang penting dalam intensi melakukan tindakan yang mungkin tidak dapat dilakukan

karena lingkungan mencegah tindakan tersebut muncul. Situasi yang dimaksud adalah adanya akses internet, kehadiran atasan secara fisik, serta kebijakan formal dan sanksi organisasi bagi siapa saja yang terlibat perilaku cyberloafing. Ditemukan bahwa ada hubungan positif kondisi yang memfasilitasi munculnya

cyberloafing dan perilaku cyberloafing karyawan (Woon dan Pee, 2004:81). Faktor yang ketiga adalah faktor organisasi. Ada beberapa faktor organisasi yang mempengaruhi karyawan dalam melakukan cyberloafing. Managerial support, norma sosial, pembatasan penggunaan internet, konsekuensi positif dan negatif dan sikap kerja mempengaruhi perilaku cyberloafing.

Lingkungan kerja masing-masing perusahaan memiliki sifat ataupun ciri-ciri yang berbeda sehingga hal inilah yang membedakan satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Lingkungan kerja ini akan menentukan bagaimana suasana kerja dan perilaku karyawan di dalamnya. Lingkungan kerja yang menyenangkan membuat sikap pegawai positif dan memberi dorongan untuk bekerja lebih tekun dan lebih baik. Sebaliknya, jika situasi lingkungan tidak menyenangkan mereka cenderung meninggalkan lingkungan tersebut. Litwin dan Stringer (1968) menyebut lingkungan kerja ini dengan istilah iklim organisasi.

Litwin dan Stringer (dalam Hidayat, 2001) mendefinisikan iklim organisasi sebagai satu set ciri yang dapat diukur tentang lingkungan kerja, yang bergantung pada persepsi manusia yang bekerja di dalam organisasi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dianggap dapat mempengaruhi motivasi dan perilaku mereka. Iklim organisasi memainkan peran yang penting dalam menentukan perilaku anggota-anggota yang terdapat dalam organisasi. Hal

ini diperkuatkan dengan pendapat M. P. O’Driscoll (1988) yang mendefinisikan iklim organisasi sebagai persepsi, perilaku dan sikap individu yang mempengaruhi kebijakan, prosedur dan tindakan sehari-hari anggota organisasi.

Iklim organisasi yang mendukung akan menciptakan lingkungan kerja yang baik. Begitu pula sebaliknya. Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel (dalam Rajali, 2011) menyebutkan ada dua tipe iklim organisasi, yaitu iklim organisasi terbuka dan iklim organisasi tertutup. Pada iklim organisasi terbuka, semangat kerja pegawai sangat tinggi, dorongan pimpinan untuk memotivasi pegawainya agar berprestasi sangat besar, sedangkan rutinitas administrasi rendah, pegawai yang meninggalkan pekerjaan seperti bolos, ijin dan sebagainya juga rendah, perasaan terpaksa untuk bekerja juga rendah. Sebaliknya, pada iklim organisasi yang tertutup, semangat kerja pegawai sangat rendah, dorongan pimpinan untuk memotivasi pegawainya berprestasi sangat rendah, sedangkan rutinitas administratif tinggi, pegawai yang meninggalkan pekerjaan tinggi, perasaan terpaksa untuk bekerja juga tinggi.

Iklim organisasi penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diberikan oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi penentuan tingkah laku anggota selanjutnya (Rajali, 2011). Iklim ditentukan oleh seberapa baik anggota diarahkan, dibangun dan dihargai oleh organisasi. Indikator sebuah iklim organisasi yang positif dapat dilihat dari komformitas, penghargaan, kejelasan organisasi, kehangatan, dukungan kepemimpinan, serta adanya tanggung jawab. Iklim organisasi yang baik dalam bekerja menimbulkan kenyamanan, saling menghormati, dan kebersamaan dalam bekerja.

Iklim yang ada di dalam organisasi akan berdampak kepada perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan, artinya semakin baik iklim organisasi akan semakin baik pula perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan dan demikian pula sebaliknya. Ketika harapan karyawan terpenuhi dengan tujuan organisasi dan mereka merasa mendapatkan dukungan dari organisasi, mereka merasaka iklim organisasi yang positif, sehingga menunjukkan perilaku positif (Pelin Kanten et al., 2013). Di sisi lain, ketika harapan mereka tidak sesuai dengan misi organisasi dan mereka menganggap kondisi kerja yang tidak menyenangkan, mereka cenderung menunjukkan perilaku counterproductive work behavior (Pelin Kanten et al., 2013).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Davis dan Newstrom (1994) yang menyatakan bahwa iklim organisasi dapat menentukan sejauh mana individu merasa betah menjadi anggota suatu organisasi dan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas dan kualitas hasil kerjanya. Para peneliti lain juga menemukan iklim organisasi memiliki hubungan dengan perilaku positif seperti perilaku inovatif, organizational citizenship behavior, dan perilaku negatif seperti

counterproductive work behavior (Bellou and Andronikidis, 2009; Scheuer, 2010; Farooqui, 2012; Fagbohungbe et al., 2012; Al-Saudi, 2012; Wolf et al., 2012).

Penelitian-penelitian telah dilakukan untuk melihat perilaku cyberloafing

ini terkait dengan faktor organisasi. Peneliti terdahulu dilakukan oleh Ahmad Said dkk (2013) mencoba menunjukkan apakah human resources practices dapat mengurangi perilaku cyberloafing. Menurut Ahmad Said hanya beberapa peneliti yang mempertimbangkan faktor organisasi dalam menjelaskan munculnya

perilaku cyberloafing. Human resources practices itu sendiri terdiri dari empat yaitu performance appraisal, compensation practices, employment security, dan

career advancement. Hasil penelitian Ahmad dkk menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang menguntungkan penting dalam memunculkan perilaku kerja yang positif.

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Liao et al. (2009) yang menyatakan bahwa faktor yang berhubungan dengan kebijakan seperti hukuman ditemukan tidak siginifikan dalam menentukan sikap karyawan, kontrol perilaku, dan norma subjektif dalam penyalahgunaan internet. Penyalahgunaan internet dapat dihindari dengan lebih efektif ketika terbentuk lingkungan kerja yang menyenangkan. Hasil penelitian serupa juga diungkapkan oleh Liberman et al. (2011) bahwa atasan seharusnya menciptakan lingkungan kerja yang mendukung para karyawan sehingga mereka merasa bahwa pekerjaan mereka berarti dan memberikan kontribusi bagi organisasi.

Peneliti akan melakukan penelitian pada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk atau yang bisa dikenal sebagai PT Telkom. Telkom Group adalah satu-satunya BUMN telekomunikasi serta penyelenggara layanan telekomunikasi dan jaringan terbesar di Indonesia. PT Telkom merupakan perusahaan yang bergerak dibidang telekomunikasi, informasi, media dan edutainment (TIME). Telkom Group melayani jutaan pelanggan di seluruh Indonesia dengan rangkaian lengkap layanan telekomunikasi yang mencakup sambungan telepon kabel tidak bergerak dan telepon nirkabel tidak bergerak, komunikasi seluler, layanan jaringan dan interkoneksi serta layanan internet dan komunikasi data. Perusahaan yang

menyediakan layanan internet tentunya akan memiliki jaringan internet pula dalam melaksanakan pekerjaan.

Perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan menggunakan internet tanpa batas atau aturan pemakaian karena perusahaan ini sendiri menggunakan internet untuk melaksanakan perkerjaan, bahkan untuk melakukan absensi pun dilaksanakan dengan login menggunakan internet. Situasi dengan internet tanpa batas tidak menutup kemungkinan karyawan melakukan

cyberloafing. Namun PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan memiliki tuntutan kerja yang tinggi sehingga para karyawan tidak memiliki waktu yang banyak dalam melakukan cyberloafing. Ketika perilaku cyberloafing dilakukan untuk relaksasi dan menghilangkan kepenatan bekerja maka perilaku cyberloafing tidak menjadi ancaman bagi perusahaan. Sebaliknya, perilaku cyberloafing dapat merugikan perusahaan ketika karyawan menyampingkan pekerjaan dan kewajibannya akibat terlalu fokus melakukan cyberloafing.

Iklim organisasi mempengaruhi efektifitas organisasi (P. E. Mudrack, 1989) dan motivasi dan perilaku individu (E.T. Moran, 1992). Iklim organisasi selalu mempengaruhi seluruh kondisi dasar dan perilaku individu dalam perusahaan. Hal ini terjadi karena orang cenderung untuk menerima dan menginternalisasi iklim organisasi dimana mereka bekerja, dan persepsi mereka mengenai iklim organisasi mempengaruhi perilaku mereka (Vardi, 2001). Jika individu merasa bahwa organisasi berdiri di belakang mereka, mereka lebih mungkin gigih, inovatif, dan membantu ketika berhadapan dengan masalah yang tidak diharapkan. Dengan kata lain, ketika iklim organisasi baik maka karyawan

melakukan perilaku cyberloafing untuk hal-hal yang positif dan menurunkan stress sehingga meningkatkan produktifitas dan tidak merugikan perusahaan namun tetap fokus pada pekerjaan dan kewajiban.

Oleh karena uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku cyberloafing pada karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dijadikan fokus penelitian adalah apakah iklim organisasi berpengaruh pada perilaku cyberloafing pada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku cyberloafing pada karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya temuan di dalam ilmu Psikologi khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengenai iklim organisasi dan perilaku cyberloafing.

b. Hasil penelitian ini bisa bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan bagi penelitian-penelitian selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan perilaku

2. Manfaat Praktis

Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perusahaan berupa iklim organisasi dalam perusahaan, data perilaku

cyberloafing, serta mengetahui kotribusi iklim organisasi perilaku cyberloafing

karyawan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Medan.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Memuat landasan teori tentang iklim organisasi dan perilaku cyberloafing.

Bab III : Metode Penelitian

Berisi identifikasi variabel, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, dan metode analisa data penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Dalam analisa data akan dipaparkan mengenai hasil deskripsi data penelitian, uji hipotesa utama dan uji hipotesa tambahan dan menginterpretasikan data-data masukan atau data-data tambahan dari statistik, serta pembahasan mengenai hasil penelitian.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Dalam kesimpulan terdapat jawaban atas masalah yang diajukan. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data, dan saran dibuat dengan mepertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Pada bab ini akan memuat landasan teori tentang definisi, jenis dan faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing serta pengertian dan dimensi dari iklim organisasi. Tujuan dari bab ini adalah membahas teori-teori dan penelitian yang terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian.

A. PERILAKU CYBERLOAFING 1. Definisi Perilaku Cyberloafing

Cyberloafing masih merupakan topik baru dalam literatur ilmiah. Berbagai definisi digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Selain cyberloafing, terdapat beberapa terminologi yang memiliki pengertian teoritikal yang sama seperti

cyberdeviance, cyberslacking, dan cyberslouching.

Block (2001) berpendapat bahwa cyberloafing merupakan karyawan yang melaksanakan aktifitas internet non-business di jam kantor menggunakan sumber daya perusahaan. Menurut Lim (2002) cyberloafing adalah tindakan karyawan secara sengaja menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di saat jam kerja. Lim mengungkapkan bahwa

cyberloafing merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan kerja. Aktifitas

non-work yang dimaksud oleh Lim adalah aktifitas mengecek e-mail personal ataupun mengunjungi situs internet yang tidak berhubungan dengan kerja. Adapun

pendapat lain mengatakan bahwa cyberslacking adalah kesempatan menggunakan internet dan email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di kantor yang seharusnya ditujukan untuk tujuan bekerja (Phillips & Reddie, 2007).

Sementara menurut Blanchard & Henle (2008) cyberloafing adalah penggunaan email dan internet kantor yang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh karyawan secara sengaja saat bekerja. Blanchard dan Henle (2008) membagi

cyberloafing menjadi dua level yaitu cyberloafing minor dan serius. Cyberloafing minor terdiri dari mengirim atau menerima email pribadi saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shopping online. Cyberloafing serius terdiri dari mengunjungi situs internet dewasa, memantau situs internet milik pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui chat rooms, blog, dan iklan personal, bermain permainan online dan mengunduh musik.

Bock dan Ho (2009) menjelaskan pengunaan internet selama bekerja untuk kepentingan pribadi disebut sebagai Non-Work Related Computing

(NWRC). NWRC merupakan istilah kolektif dan berisi Junk Computing dan

Cyberloafing. Junk Computing adalah penggunaan internet servis organisasi yang dilakukan oleh karyawan untuk kepentingan pribadi dan tidak berhubungan dengan dengan tujuan organisasi (Bock & Ho, 2009). Baik Junk Computing

maupun Cyberloafing merupakan penggunaan sumber daya organisasi untuk kepentingan pribadi, namun cyberloafing bertujuan untuk pengunaan internet pribadi sedangkan junk computing merupakan penggunaan pribadi offline melalui sumber daya organisasi dan tidak relevan dengan penelitian ini.

Berdasarkan penjelasan definisi perilaku cyberloafing yang telah dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku karyawan menggunakan akses internet kantor untuk keperluan pribadi dan diluar pekerjaan seperti mengecek dan membalas email personal, membuka jejaring sosial seperti facebook, twitter, youtube, blog, tumblr, bermain game

online, berbelanja online, mencari berita atau entertainment dan mengunduh data yang tidak berhubungan dengan kerja.

2. Jenis-Jenis Perilaku Cyberloafing

Li dan Chung (2006) membagi perilaku cyberloafing menjadi empat, yaitu:

a. Aktifitas sosial yaitu penggunaan internet untuk berkomunikasi dengan teman. Aktifitas sosial yang melibatkan pengekspresian diri (facebook, twitter, dll) atau berbagi informasi via blog (blogger).

b. Aktifitas informasi yaitu menggunakan internet untuk mendapatkan informasi. Aktifitas informasional yang terdiri dari pencarian informasi seperti site berita (CNN).

c. Aktifitas kenikmatan yaitu internet untuk menghibur. Aktifitas kesenangan yang terdiri dari aktifitas bermain permainan online atau mengunduh musik (youtube) atau software (Torrent-site) untuk tujuan kesenangan.

d. Aktifitas emosi virtual yaitu sisa dari aktifitas online internet lainnya seperti berjudi atau berkencan. Aktifitas emosi virtual mendeskripsikan aktifitas online

yang tidak dapat dikategorisasikan dengan aktifitas lainnya seperti berbelanja

Lim dan Teo (2005) mengelompokkan perilaku cyberloafing menjadi dua kategori utama yaitu aktifitas browsing dan emailing. Aktifitas browsing adalah aktifitas menggunakan internet perusahaan untuk melihat hal-hal yang tidak berhubungan dengan kerja di situs internet saat bekerja. Aktifitas emailing

merupakan aktifitas mengirim, menerima, dan memeriksa email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saat bekerja.

Sedangkan Blanchard dan Henle (2008) membedakan cyberloafing

Dokumen terkait