• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. PERILAKU CYBERLOAFING 1. Definisi Perilaku Cyberloafing - Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Karyawan PT Telekomunikasi Indonesia TBK Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "A. PERILAKU CYBERLOAFING 1. Definisi Perilaku Cyberloafing - Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Karyawan PT Telekomunikasi Indonesia TBK Medan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

permasalahan. Pada bab ini akan memuat landasan teori tentang definisi, jenis dan faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing serta pengertian dan dimensi

dari iklim organisasi. Tujuan dari bab ini adalah membahas teori-teori dan penelitian yang terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian.

A. PERILAKU CYBERLOAFING 1. Definisi Perilaku Cyberloafing

Cyberloafing masih merupakan topik baru dalam literatur ilmiah. Berbagai

definisi digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Selain cyberloafing, terdapat beberapa terminologi yang memiliki pengertian teoritikal yang sama seperti

cyberdeviance, cyberslacking, dan cyberslouching.

Block (2001) berpendapat bahwa cyberloafing merupakan karyawan yang melaksanakan aktifitas internet non-business di jam kantor menggunakan sumber

daya perusahaan. Menurut Lim (2002) cyberloafing adalah tindakan karyawan secara sengaja menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di saat jam kerja. Lim mengungkapkan bahwa

cyberloafing merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan kerja. Aktifitas

non-work yang dimaksud oleh Lim adalah aktifitas mengecek e-mail personal

(2)

pendapat lain mengatakan bahwa cyberslacking adalah kesempatan menggunakan

internet dan email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di kantor yang seharusnya ditujukan untuk tujuan bekerja (Phillips & Reddie, 2007).

Sementara menurut Blanchard & Henle (2008) cyberloafing adalah

penggunaan email dan internet kantor yang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh karyawan secara sengaja saat bekerja. Blanchard dan Henle (2008) membagi

cyberloafing menjadi dua level yaitu cyberloafing minor dan serius. Cyberloafing minor terdiri dari mengirim atau menerima email pribadi saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shopping online. Cyberloafing serius

terdiri dari mengunjungi situs internet dewasa, memantau situs internet milik pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui chat rooms, blog, dan iklan

personal, bermain permainan online dan mengunduh musik.

Bock dan Ho (2009) menjelaskan pengunaan internet selama bekerja untuk kepentingan pribadi disebut sebagai Non-Work Related Computing

(NWRC). NWRC merupakan istilah kolektif dan berisi Junk Computing dan

Cyberloafing. Junk Computing adalah penggunaan internet servis organisasi yang

dilakukan oleh karyawan untuk kepentingan pribadi dan tidak berhubungan dengan dengan tujuan organisasi (Bock & Ho, 2009). Baik Junk Computing

maupun Cyberloafing merupakan penggunaan sumber daya organisasi untuk

kepentingan pribadi, namun cyberloafing bertujuan untuk pengunaan internet pribadi sedangkan junk computing merupakan penggunaan pribadi offline melalui

(3)

Berdasarkan penjelasan definisi perilaku cyberloafing yang telah

dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku karyawan menggunakan akses internet kantor untuk keperluan pribadi dan diluar pekerjaan seperti mengecek dan membalas email personal, membuka

jejaring sosial seperti facebook, twitter, youtube, blog, tumblr, bermain game

online, berbelanja online, mencari berita atau entertainment dan mengunduh data

yang tidak berhubungan dengan kerja.

2. Jenis-Jenis Perilaku Cyberloafing

Li dan Chung (2006) membagi perilaku cyberloafing menjadi empat,

yaitu:

a. Aktifitas sosial yaitu penggunaan internet untuk berkomunikasi dengan teman.

Aktifitas sosial yang melibatkan pengekspresian diri (facebook, twitter, dll) atau berbagi informasi via blog (blogger).

b. Aktifitas informasi yaitu menggunakan internet untuk mendapatkan informasi.

Aktifitas informasional yang terdiri dari pencarian informasi seperti site berita (CNN).

c. Aktifitas kenikmatan yaitu internet untuk menghibur. Aktifitas kesenangan yang terdiri dari aktifitas bermain permainan online atau mengunduh musik (youtube) atau software (Torrent-site) untuk tujuan kesenangan.

d. Aktifitas emosi virtual yaitu sisa dari aktifitas online internet lainnya seperti berjudi atau berkencan. Aktifitas emosi virtual mendeskripsikan aktifitas online

yang tidak dapat dikategorisasikan dengan aktifitas lainnya seperti berbelanja

(4)

Lim dan Teo (2005) mengelompokkan perilaku cyberloafing menjadi dua

kategori utama yaitu aktifitas browsing dan emailing. Aktifitas browsing adalah aktifitas menggunakan internet perusahaan untuk melihat hal-hal yang tidak berhubungan dengan kerja di situs internet saat bekerja. Aktifitas emailing

merupakan aktifitas mengirim, menerima, dan memeriksa email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saat bekerja.

Sedangkan Blanchard dan Henle (2008) membedakan cyberloafing

menjadi dua level, yaitu cyberloafing minor dan serius.

a. Cyberloafing minor terdiri dari perilaku mengirim atau menerima email pribadi

saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shoppingonline. b. Cyberloafing serius terdiri dari perilaku mengunjungi situs internet dewasa,

memantau situs internet milik pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui

chat rooms, blog, iklan personal, bermain permainan online, hacking, menyebar virus dan mengunduh musik atau file pribadi.

Beberapa peneliti menggunakan istilah cyberloafing mengarah kepada perilaku serius seperti menyebar virus dan hacking namun perilaku yang akan

diteliti adalah perilaku cyberloafing berupa aktifitas email (mengirim dan menerima email pribadi) dan aktifitas browsing (jejaring sosial, mengunduh file atau musik, dan mencari berita diluar pekerjaan). Jenis cyberloafing yang akan

(5)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberloafing

Perilaku cyberloafing dapat muncul pada saat bekerja karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Derya Ergun Ozler dkk. (2012) ada tiga faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing, yaitu:

a. Faktor individual

Faktor individu terdiri dari persepsi dan sikap, personal trait, kebiasaan dan

kecanduan internet, serta demografi. 1. Persepsi dan sikap

Individu dengan sikap komputer yang positif lebih mungkin menggunakan

komputer dalam bekerja untuk kepentingan pribadi. Karyawan yang terlibat

cyberloafing minor tidak percaya bahwa mereka terlibat dalam perilaku tidak

pantas atau menyimpang mengingat karyawan yang terlibat dalam cyberloafing

yang seriuslah yang menyimpang dan tidak dapat dimaafkan. 2. Personal trait

Personal trait seperti pemalu, penyendiri, terisolasi, self control, self esteem, dan locus of control mempengaruhi bentuk penggunaann internet.

Individu dengan self-esteem rendah dilaporkan dapat mengurangi self control

dalam penggunaan internet. Individu dengan orientasi eksternal kurang dapat mengontrol penggunaan internet mereka.

3. Kebiasaan dan kecanduan internet

Kebiasaan mengacu pada urutan situasi-perilaku yang sedang atau telah

(6)

Telah diperkirakan bahwa lebih dari setengah perilaku media adalah kebiasaan

(LaRose, 2010). Derajat kecanduan internet yang tinggi lebih memungkinkan untuk melakukan penyalahgunaan internet.

4. Demografis

Tingkat pendapatan, pendidikan, dan gender merupakan prediktor

cyberloafing. Individu dengan pendidikan yang tinggi menggunakan internet

untuk mencari informasi, sedangkan individu dengan pendidikan yang rendah cenderung menggunakan internet untuk bermain permainan online. Pria lebih sering melakukan cyberloafing dan melakukannya lebih lama apabila

dibandingkan dengan wanita. Pria lebih sering menggunakan internet untuk permainan online sedangkan wanita lebih tertarik untuk melakukan komunikasi

online.

b. Faktor situasi

Perilaku kecenderungan cyberloafing biasanya berhubungan dengan

individu ketika adanya akses internet saat bekerja dan hal tersebut menjadi situasi yang menstimulus, atau efek konteks yang memediasi perilaku dan akibat. Situasi

yang dimaksud adalah adanya akses internet, kehadiran atasan secara fisik, serta kebijakan formal dan sanksi organisasi bagi siapa saja yang terlibat perilaku

cyberloafing.

c. Faktor organisasi

Ergun dkk. (2012) menyatakan ada beberapa faktor organisasi yang dapat

(7)

managerial support, norma perilaku cyberloafing rekan kerja, sikap kerja

karyawan, ketidakadilan, komitmen pekerjaan, dan karakteristik pekerjaan. 1. Pembatasan penggunaan internet

Dengan membatasi karyawan dalam penggunaan komputer di saat bekerja

melalui peraturan, atau melalui pembatasan teknologi, atau keduanya, dapat mengurangi penggunaan akses internet pada karyawan.

2. Merasakan akibat

Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung akan lebih sedikit untuk terlibat dalam kegiatan cyberloafing ketika mereka menganggap memiliki

konsekuensi negatif yang serius bagi organisasi mereka dan menyakiti kepentingan pribadi mereka(e.g. Lim and Teo 2005, Blanchard and Henle 2008;

Lim and Chen, 2012; Vitak et al, 2011; Woon and Pee, 2004). 3. Managerial support

Managerial support dalam penggunaan internet saat bekerja tanpa

spesifikasi yang khusus bagaimana menggunakan internet dapat meningkatkan bentuk penggunaan internet pada karyawan antara untuk bisnis dan pribadi.

Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai dukungan semua jenis penggunaan internet, termasuk perilaku cyberloafing (Garrett and Danziger, 2008; Vitak et al., 2011; Liberman et al, 2011).

4. Persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja (Perceived coworker

cyberloafingnorms)

(8)

cyberloafing dipelajari melalui meniru perilaku yang mereka lihat dari individu

lain dalam lingkungan organisasi mereka. 5. Sikap kerja karyawan

Tindakan penyimpangan ditempat kerja seperti cyberloafing telah terbukti

menjadi respon emosional terhadap frustasi pada pekerjaan, oleh karena itu telah disepakati bahwa sikap pekerjaan mungkin mempengaruhi cyberloafing

(Lieberman et al, 2011). Karyawan lebih mungkin melakukan cyberloafing atau perilaku yang tidak pantas ketika karyawan ketika mereka memegang sikap kerja yang tidak baik (Garrett and Danziger, 2008).

6. Ketidakadilan

Pada tingkat organisasi, keadilan organisasi telah ditemukan untuk

menjadi kecenderungan munculnya perilaku cyberloafing oleh beberapa peneliti dimana keadilan organisasional yang lebih rendah memiliki dampak yang signifikan terhadap cyberloafing (Lim, 2002; Lim dan Teo, 2005). Lim (2002)

menemukan bahwa ketika karyawan merasakan beberapa bentuk ketidakadilan dalam pekerjaan mereka, salah satu cara untuk berusaha untuk mengembalikan

keseimbangan adalah melalui cyberloafing. 7. Komitmen pekerjaan

Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi tempat mereka

bekerja akan menemukan kurang sesuai penggunaan internet dengan rutinitas pekerjaan daripada mereka yang tidak (Garrett dan Danziger, 2008). Individu

(9)

8. Kepuasan kerja

Karyawan dengan kepuasan kerja yang tinggi mempengaruhi secara positif terhadap penyalahgunaan internet. Pelaku penyalahgunaan internet lebih mungkin adalah karyawan dengan kepuasan yang tinggi. Dalam studi lebih lanjut, beberapa

responden mengungkapkan bahwa mereka melihat penggunaan internet diluar pekerjaan terkait dengan tujuan sebagai bentuk manfaat sampingan yang dapat

membantu meringankan stres kerja (Woon dan Pee, 2004). Menurut Vitak et al. (2011), kepuasan yang mmenurun, kemungkinan terlibat dalam kegiatan

cyberloafing meningkat. Stanton (2002) menemukan bahwa pelaku penyalahgunaan internet lebih mungkin pada karyawan yang memiliki kepuasan yang tinggi (Ugrin et al, 2008). Dalam beberapa penelitian, kepuasan pekerjaan

gagal menghasilkan korelasi yang signifikan dengan dimensi personal web use. Garrett dan Danziger (2007) tidak menemukan hubungan antara kepuasan pekerjaan dan cyberloafing. Hasilnya bisa berarti bahwa karyawan yang terlibat

dalam penggunaan web pribadi belum tentu orang-orang yang kurang puas dengan pekerjaan mereka (Mahatanankon et al, 2004)

9. Karakteristik pekerjaan

Ketika karyawan menghabiskan waktu singkat pada tugas-tugas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dapat terbebas dari kebosanan, kelelahan atau

stres, kepuasan kerja yang lebih besar atau kreativitas, meningkatkan dalam kesejahteraan, rekreasi dan pemulihan, dan karyawan lebih bahagia secara

(10)

Di sisi lain, pekerjaan yang kreatif yang lebih memiliki banyak tuntutan dan lebih

sedikit membosankan lebih kurang mungkin termotivasi untuk melakukan cyberslacking (Vitak et al., 2011).

Managerial support, persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja, ketidakadilan, komitmen pekerjaan, dan karakteristik pekerjaan merupakan faktor organisasi. Beberapa faktor organisasi yang disebutkan di atas merupakan bagian

dari iklim organisasi. Selanjutnya akan lebih dijelaskan mengenai definisi dan dimensi iklim organisasi.

B. IKLIM ORGANISASI 1. Definisi Iklim Organisasi

Ada beberapa pandangan beberapa para ahli mengenai iklim organisasi.

Steers (1989) memandang iklim organisasi sebagai suatu kepribadian organisasi seperti apa yang dilihat para anggotanya. Lunenburg dan Ornstein (1991) mengemukakan iklim organisasi sebagai kualitas lingkungan total dalam sebuah

organisasi. Iklim organisasi dapat dinyatakan dengan kata sifat seperti terbuka, ramai, santai, informal, dingin, impersonal, bermusuhan, kaku, dan tertutup. Davis

dan Newstrom (1994) mendefinisikan iklim organisasi sebagai lingkungan dimana para karyawan suatu organisasi melakukan pekerjaan mereka. Iklim mengitari dan mempengaruhi segala hal yang bekerja dalam organisasi sehingga iklim dikatakan

sebagai suatu konsep yang dinamis.

Menurut Higgins (1982) iklim organisasi adalah kumpulan dari persepsi

(11)

merupakan harapan-harapan serta cara pandang individu terhadap organisasi.

Mas’ud (2004) menyatakan iklim kerja adalah kesan, harapan dan perasaan yang dimiliki oleh anggota suatu unit kerja, yang berpengaruh terhadap hubungan antara bawahan dan atasan dan hubungan antara karyawan dengan rekan

sekerjanya maupun hubungan dengan orang-orang di unit kerja lain.

Sedangkan Robbins dan Timothy A (2011) mendefinisikan Iklim

organisasi sebagai persepsi bersama yang dimiliki anggota organisasi tentang organisasi dan lingkungannya. Pemahaman tentang aturan tertulis, kebiasaan dalam melakukan kerja dan birokrasi dalam menjalankan tugas, lingkungan kerja

dan batas wewenang dalam bekerja adalah lingkup dalam iklim organisasi.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iklim organisasi

adalah persepsi, harapan, kesan, perasaan dan keinginan karyawan perusahaan mengenai organisasi dan lingkungan perusahaan yang mempengaruhi hubungan sesama karyawan baik atasan maupun bawahan dan perilaku karyawan itu sendiri

dimana iklim organisasi bersifat dinamis dan unik sesuai dengan atmosfir organisasi.

2. Dimensi Iklim Organisasi

Stringer (Wirawan, 2007) menyebutkan bahwa karakteristik atau dimensi iklim organisasi dapat mempengaruhi motivasi anggota organisasi untuk

berperilaku tertentu. Ia juga mengatakan enam dimensi yang membentuk iklim organisasi, yaitu:

(12)

jawab yang jelas dalam lingkungan organisasi. Struktur tinggi apabila anggota

organisasi merasa pekerjaan mereka didefinisikan secara baik dan jelas. Struktur rendah ketika anggota organisasi merasa tidak ada kejelasan mengenai siapa yang melakukan tugas dan tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Struktur

organisasi meliputi posisi karyawan dalam perusahaan.

b. Standar-standar (standards). Standar-standar dalam suatu organisasi mengukur

perasaan tekanan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja serta derajat kebanggaan yang dimiliki oleh anggota organisasi dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Standar-standar tinggi ketika anggota organisasi selalu berupaya

mencari jalan untuk meningkatkan kinerjanya. Standar-standar rendah apabila anggota karyawan merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja.

Standar-standar meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan. c. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi "pimpinan diri sendiri" dan tidak memerlukan

pendapat mengenai keputusannya untuk dilegitimasi oleh anggota organisasi lainnya. Persepsi tanggung jawab tinggi ketika anggota organisasi merasa

didorong untuk memecahkan problemnya sendiri. Tanggung jawab rendah menunjukkan bahwa pengambilan risiko dan percobaan terhadap pendekatan baru tidak diharapkan. Tanggung jawab meliputi kemandirian dalam menyelesaikan

pekerjaan.

d. Penghargaan (recognition). Pengakuan atau penghargaan menggambarkan

(13)

dihadapkan dengan kritik dan hukuman atas penyelesaian pekerjaan. Iklim

organisasi yang menghargai kinerja dikarakteristikan dengan adanya keseimbangan antara imbalan dan kritik atas penyelesaian pekerjaan. Penghargaan rendah apabila penyelesaian pekerjaan dengan baik diberi imbalan secara tidak

konsisten. Penghargaan meliputi imbalan atau upah yang terima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaan.

e. Dukungan (support). Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan saling mendukung yang terus berlangsung diantara anggota kelompok kerja. Dukungan tinggi apabila anggota organisasi merasa bahwa mereka bagian tim yang berfungsi

dengan baik dan merasa memperoleh bantuan dari atasannya jika mengalami kesulitan dalan menjalankan tugas. Dukungan rendah ditunjukkan ketika anggota

organisasi merasa terisolasi atau tersisih sendiri. Dukungan meliputi hubungan dengan rekan kerja yang lain.

f. Komitmen (commitment). Komitmen merefleksikan perasaan bangga anggota

organisasi terhadap organisasinya dan derajat keloyalan atau komitmen terhadap pencapaian tujuan organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan

loyalitas personal. Level rendah komitmen ketika karyawan merasa apatis terhadap organisasi dan tujuannya. Komitmen meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.

C. PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING

(14)

yang dibutuhkan. Internet bisa diakses dimana saja dan siapa saja. Hampir setiap

orang mengenal internet. Berbagai kalangan menggunakan internet seperti masyarakat umum, pemerintah, pelajar, ibu rumah tangga, dan termasuk karyawan perusahaan.

Perusahaan yang menyediakan akses internet dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja. Salah satu fenomena yang muncul karena adanya penyediaan

akses internet di perusahaan adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing

adalah tindakan karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan mereka selama jam kerja yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

Beberapa penelitian mengenai perilaku cyberloafing lebih menekankan pada dampak negatif yang ditimbulkannya. Berdasarkan survey yang dilakukan

oleh SurfWatch (Lim, 2002) menunjukkan bahwa 84% karyawan berkirim email

untuk kepentingan pribadi dan 90% karyawan mengakses internet hanya untuk rekreasi dan kesenangan pribadi. Hal ini mengakibatkan penurunan produktifitas

hingga sebesar 30 hingga 40 persen.

Walaupun perusahaan khawatir karyawan akan kehilangan produktifitas

yang diakibatkan perilaku cyberloafing, para peneliti menyebutkan bahwa perilaku cyberloafing dapat berfungsi sebagai sarana strategi coping melawan perasaan negatif di tempat bekerja seperti stress (Stanton 2002, Oravec 2002,

2004, Anadarajan dan Simmers 2002). Hal ini penting untuk karyawan agar dapat bekerja dengan waktu yang lebih lama dan dapat bertahan dari efek negatif stress

(15)

refreshing dan relaksasi ketika bekerja. Lim dan Chen (2012) menemukan

melakukan cyberloafing tidak hanya membuat karyawan lebih fresh, tetapi juga membuat mereka lebih produktif daripada mereka menghabiskan waktu untuk berbicara kepada rekan kerja lainnya. Jadi peneliti menekankan bahwa perilaku

cyberloafing dapat memberikan banyak manfaat apabila penggunaannya tepat yaitu hanya sebagai sarana relaksasi dan mencari inspirasi serta tidak fokus pada

perilaku cyberloafing.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah organisasi (Ozler dan Polat, 2012). Lingkungan kerja masing-masing perusahaan

memiliki sifat ataupun ciri-ciri yang berbeda sehingga hal inilah yang membedakan satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Litwin dan Stringer

(1968) menyebutnya dengan istilah iklim organisasi. Iklim organisasi merupakan persepsi anggota organisasi tentang norma yang berkaitan dengan aktivitas kerja organisasi (Armansyah, 1997).

Iklim organisasi mempengaruhi efektifitas organisasi (P. E. Mudrack, 1989) dan motivasi dan perilaku individu (E.T. Moran, 1992). Iklim organisasi

selalu mempengaruhi seluruh kondisi dasar dan perilaku individu dalam perusahaan. Hal ini terjadi karena orang cenderung untuk menerima dan menginternalisasi iklim organisasi dimana mereka bekerja, dan persepsi mereka

mengenai iklim organisasi mempengaruhi perilaku mereka (Vardi, 2001).Iklim organisasi mempengaruhi bagaimana anggotanya berperilaku termasuk perilaku

(16)

Ahmad dkk (2013), lingkungan kerja yang baik dapat memunculkan perilaku

kerja yang positif dan mengurangi respon kerja negatif seperti cyberloafing. Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dapat diduga bahwa iklim organisasi dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing.

D. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan uraian dalam kerangka berpikir di atas, maka hipotesa

penelitian ini adalah:

Ada pengaruh negatif antara iklim organisasi terhadap perilaku

cyberloafing dimana semakin baik iklim organisasi, maka akan berkontribusi terhadap penurunan perilaku cyberloafing. Demikian sebaliknya, semakin buruk iklim organisasi, maka akan berkontribusi terhadap peningkatan perilaku

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan pribadi di saat jam kerja.. Perilaku ini

Kepuasan kerja adalah suatu sikap karyawan terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan situasi kerja karyawan terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan situasi

Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) saat jam kerja.. Contoh

Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa cyberloafing merupakan perilaku yang menggunakan internet pada saat jam kerja untuk kegiatan yang tidak

internet pada saat bekerja memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi.. Cyberloafing juga mengurangi kejenuhan dan kecemasan karyawan

Browsing activities merupakan aktivitas cyberloafing dimana karyawan dalam menggunakan internet untuk browsing di tempat kerja yang tidak berhubungan

“Pengaruh Stres Kerja Terhadap Cyberloafing Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Moderator Pada Karyawan Di Surabaya.” 12:64–72.. Ghufron, Nur dan Risnawitaq

Menurut temuan peneliti bahwa dalam penelitian ini elektronik absensi dan perilaku cyberloafing terhadap produktivitas kerja karyawan PT.Pertamina dijelaskan dengan baik dan diterapkan