BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
permasalahan. Pada bab ini akan memuat landasan teori tentang definisi, jenis dan faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing serta pengertian dan dimensi
dari iklim organisasi. Tujuan dari bab ini adalah membahas teori-teori dan penelitian yang terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian.
A. PERILAKU CYBERLOAFING 1. Definisi Perilaku Cyberloafing
Cyberloafing masih merupakan topik baru dalam literatur ilmiah. Berbagai
definisi digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Selain cyberloafing, terdapat beberapa terminologi yang memiliki pengertian teoritikal yang sama seperti
cyberdeviance, cyberslacking, dan cyberslouching.
Block (2001) berpendapat bahwa cyberloafing merupakan karyawan yang melaksanakan aktifitas internet non-business di jam kantor menggunakan sumber
daya perusahaan. Menurut Lim (2002) cyberloafing adalah tindakan karyawan secara sengaja menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di saat jam kerja. Lim mengungkapkan bahwa
cyberloafing merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan kerja. Aktifitas
non-work yang dimaksud oleh Lim adalah aktifitas mengecek e-mail personal
pendapat lain mengatakan bahwa cyberslacking adalah kesempatan menggunakan
internet dan email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan di kantor yang seharusnya ditujukan untuk tujuan bekerja (Phillips & Reddie, 2007).
Sementara menurut Blanchard & Henle (2008) cyberloafing adalah
penggunaan email dan internet kantor yang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh karyawan secara sengaja saat bekerja. Blanchard dan Henle (2008) membagi
cyberloafing menjadi dua level yaitu cyberloafing minor dan serius. Cyberloafing minor terdiri dari mengirim atau menerima email pribadi saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shopping online. Cyberloafing serius
terdiri dari mengunjungi situs internet dewasa, memantau situs internet milik pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui chat rooms, blog, dan iklan
personal, bermain permainan online dan mengunduh musik.
Bock dan Ho (2009) menjelaskan pengunaan internet selama bekerja untuk kepentingan pribadi disebut sebagai Non-Work Related Computing
(NWRC). NWRC merupakan istilah kolektif dan berisi Junk Computing dan
Cyberloafing. Junk Computing adalah penggunaan internet servis organisasi yang
dilakukan oleh karyawan untuk kepentingan pribadi dan tidak berhubungan dengan dengan tujuan organisasi (Bock & Ho, 2009). Baik Junk Computing
maupun Cyberloafing merupakan penggunaan sumber daya organisasi untuk
kepentingan pribadi, namun cyberloafing bertujuan untuk pengunaan internet pribadi sedangkan junk computing merupakan penggunaan pribadi offline melalui
Berdasarkan penjelasan definisi perilaku cyberloafing yang telah
dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku karyawan menggunakan akses internet kantor untuk keperluan pribadi dan diluar pekerjaan seperti mengecek dan membalas email personal, membuka
jejaring sosial seperti facebook, twitter, youtube, blog, tumblr, bermain game
online, berbelanja online, mencari berita atau entertainment dan mengunduh data
yang tidak berhubungan dengan kerja.
2. Jenis-Jenis Perilaku Cyberloafing
Li dan Chung (2006) membagi perilaku cyberloafing menjadi empat,
yaitu:
a. Aktifitas sosial yaitu penggunaan internet untuk berkomunikasi dengan teman.
Aktifitas sosial yang melibatkan pengekspresian diri (facebook, twitter, dll) atau berbagi informasi via blog (blogger).
b. Aktifitas informasi yaitu menggunakan internet untuk mendapatkan informasi.
Aktifitas informasional yang terdiri dari pencarian informasi seperti site berita (CNN).
c. Aktifitas kenikmatan yaitu internet untuk menghibur. Aktifitas kesenangan yang terdiri dari aktifitas bermain permainan online atau mengunduh musik (youtube) atau software (Torrent-site) untuk tujuan kesenangan.
d. Aktifitas emosi virtual yaitu sisa dari aktifitas online internet lainnya seperti berjudi atau berkencan. Aktifitas emosi virtual mendeskripsikan aktifitas online
yang tidak dapat dikategorisasikan dengan aktifitas lainnya seperti berbelanja
Lim dan Teo (2005) mengelompokkan perilaku cyberloafing menjadi dua
kategori utama yaitu aktifitas browsing dan emailing. Aktifitas browsing adalah aktifitas menggunakan internet perusahaan untuk melihat hal-hal yang tidak berhubungan dengan kerja di situs internet saat bekerja. Aktifitas emailing
merupakan aktifitas mengirim, menerima, dan memeriksa email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saat bekerja.
Sedangkan Blanchard dan Henle (2008) membedakan cyberloafing
menjadi dua level, yaitu cyberloafing minor dan serius.
a. Cyberloafing minor terdiri dari perilaku mengirim atau menerima email pribadi
saat bekerja seperti berita utama dan situs internet finansial dan shoppingonline. b. Cyberloafing serius terdiri dari perilaku mengunjungi situs internet dewasa,
memantau situs internet milik pribadi dan berinteraksi dengan orang lain melalui
chat rooms, blog, iklan personal, bermain permainan online, hacking, menyebar virus dan mengunduh musik atau file pribadi.
Beberapa peneliti menggunakan istilah cyberloafing mengarah kepada perilaku serius seperti menyebar virus dan hacking namun perilaku yang akan
diteliti adalah perilaku cyberloafing berupa aktifitas email (mengirim dan menerima email pribadi) dan aktifitas browsing (jejaring sosial, mengunduh file atau musik, dan mencari berita diluar pekerjaan). Jenis cyberloafing yang akan
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberloafing
Perilaku cyberloafing dapat muncul pada saat bekerja karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Derya Ergun Ozler dkk. (2012) ada tiga faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing, yaitu:
a. Faktor individual
Faktor individu terdiri dari persepsi dan sikap, personal trait, kebiasaan dan
kecanduan internet, serta demografi. 1. Persepsi dan sikap
Individu dengan sikap komputer yang positif lebih mungkin menggunakan
komputer dalam bekerja untuk kepentingan pribadi. Karyawan yang terlibat
cyberloafing minor tidak percaya bahwa mereka terlibat dalam perilaku tidak
pantas atau menyimpang mengingat karyawan yang terlibat dalam cyberloafing
yang seriuslah yang menyimpang dan tidak dapat dimaafkan. 2. Personal trait
Personal trait seperti pemalu, penyendiri, terisolasi, self control, self esteem, dan locus of control mempengaruhi bentuk penggunaann internet.
Individu dengan self-esteem rendah dilaporkan dapat mengurangi self control
dalam penggunaan internet. Individu dengan orientasi eksternal kurang dapat mengontrol penggunaan internet mereka.
3. Kebiasaan dan kecanduan internet
Kebiasaan mengacu pada urutan situasi-perilaku yang sedang atau telah
Telah diperkirakan bahwa lebih dari setengah perilaku media adalah kebiasaan
(LaRose, 2010). Derajat kecanduan internet yang tinggi lebih memungkinkan untuk melakukan penyalahgunaan internet.
4. Demografis
Tingkat pendapatan, pendidikan, dan gender merupakan prediktor
cyberloafing. Individu dengan pendidikan yang tinggi menggunakan internet
untuk mencari informasi, sedangkan individu dengan pendidikan yang rendah cenderung menggunakan internet untuk bermain permainan online. Pria lebih sering melakukan cyberloafing dan melakukannya lebih lama apabila
dibandingkan dengan wanita. Pria lebih sering menggunakan internet untuk permainan online sedangkan wanita lebih tertarik untuk melakukan komunikasi
online.
b. Faktor situasi
Perilaku kecenderungan cyberloafing biasanya berhubungan dengan
individu ketika adanya akses internet saat bekerja dan hal tersebut menjadi situasi yang menstimulus, atau efek konteks yang memediasi perilaku dan akibat. Situasi
yang dimaksud adalah adanya akses internet, kehadiran atasan secara fisik, serta kebijakan formal dan sanksi organisasi bagi siapa saja yang terlibat perilaku
cyberloafing.
c. Faktor organisasi
Ergun dkk. (2012) menyatakan ada beberapa faktor organisasi yang dapat
managerial support, norma perilaku cyberloafing rekan kerja, sikap kerja
karyawan, ketidakadilan, komitmen pekerjaan, dan karakteristik pekerjaan. 1. Pembatasan penggunaan internet
Dengan membatasi karyawan dalam penggunaan komputer di saat bekerja
melalui peraturan, atau melalui pembatasan teknologi, atau keduanya, dapat mengurangi penggunaan akses internet pada karyawan.
2. Merasakan akibat
Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung akan lebih sedikit untuk terlibat dalam kegiatan cyberloafing ketika mereka menganggap memiliki
konsekuensi negatif yang serius bagi organisasi mereka dan menyakiti kepentingan pribadi mereka(e.g. Lim and Teo 2005, Blanchard and Henle 2008;
Lim and Chen, 2012; Vitak et al, 2011; Woon and Pee, 2004). 3. Managerial support
Managerial support dalam penggunaan internet saat bekerja tanpa
spesifikasi yang khusus bagaimana menggunakan internet dapat meningkatkan bentuk penggunaan internet pada karyawan antara untuk bisnis dan pribadi.
Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai dukungan semua jenis penggunaan internet, termasuk perilaku cyberloafing (Garrett and Danziger, 2008; Vitak et al., 2011; Liberman et al, 2011).
4. Persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja (Perceived coworker
cyberloafingnorms)
cyberloafing dipelajari melalui meniru perilaku yang mereka lihat dari individu
lain dalam lingkungan organisasi mereka. 5. Sikap kerja karyawan
Tindakan penyimpangan ditempat kerja seperti cyberloafing telah terbukti
menjadi respon emosional terhadap frustasi pada pekerjaan, oleh karena itu telah disepakati bahwa sikap pekerjaan mungkin mempengaruhi cyberloafing
(Lieberman et al, 2011). Karyawan lebih mungkin melakukan cyberloafing atau perilaku yang tidak pantas ketika karyawan ketika mereka memegang sikap kerja yang tidak baik (Garrett and Danziger, 2008).
6. Ketidakadilan
Pada tingkat organisasi, keadilan organisasi telah ditemukan untuk
menjadi kecenderungan munculnya perilaku cyberloafing oleh beberapa peneliti dimana keadilan organisasional yang lebih rendah memiliki dampak yang signifikan terhadap cyberloafing (Lim, 2002; Lim dan Teo, 2005). Lim (2002)
menemukan bahwa ketika karyawan merasakan beberapa bentuk ketidakadilan dalam pekerjaan mereka, salah satu cara untuk berusaha untuk mengembalikan
keseimbangan adalah melalui cyberloafing. 7. Komitmen pekerjaan
Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi tempat mereka
bekerja akan menemukan kurang sesuai penggunaan internet dengan rutinitas pekerjaan daripada mereka yang tidak (Garrett dan Danziger, 2008). Individu
8. Kepuasan kerja
Karyawan dengan kepuasan kerja yang tinggi mempengaruhi secara positif terhadap penyalahgunaan internet. Pelaku penyalahgunaan internet lebih mungkin adalah karyawan dengan kepuasan yang tinggi. Dalam studi lebih lanjut, beberapa
responden mengungkapkan bahwa mereka melihat penggunaan internet diluar pekerjaan terkait dengan tujuan sebagai bentuk manfaat sampingan yang dapat
membantu meringankan stres kerja (Woon dan Pee, 2004). Menurut Vitak et al. (2011), kepuasan yang mmenurun, kemungkinan terlibat dalam kegiatan
cyberloafing meningkat. Stanton (2002) menemukan bahwa pelaku penyalahgunaan internet lebih mungkin pada karyawan yang memiliki kepuasan yang tinggi (Ugrin et al, 2008). Dalam beberapa penelitian, kepuasan pekerjaan
gagal menghasilkan korelasi yang signifikan dengan dimensi personal web use. Garrett dan Danziger (2007) tidak menemukan hubungan antara kepuasan pekerjaan dan cyberloafing. Hasilnya bisa berarti bahwa karyawan yang terlibat
dalam penggunaan web pribadi belum tentu orang-orang yang kurang puas dengan pekerjaan mereka (Mahatanankon et al, 2004)
9. Karakteristik pekerjaan
Ketika karyawan menghabiskan waktu singkat pada tugas-tugas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dapat terbebas dari kebosanan, kelelahan atau
stres, kepuasan kerja yang lebih besar atau kreativitas, meningkatkan dalam kesejahteraan, rekreasi dan pemulihan, dan karyawan lebih bahagia secara
Di sisi lain, pekerjaan yang kreatif yang lebih memiliki banyak tuntutan dan lebih
sedikit membosankan lebih kurang mungkin termotivasi untuk melakukan cyberslacking (Vitak et al., 2011).
Managerial support, persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja, ketidakadilan, komitmen pekerjaan, dan karakteristik pekerjaan merupakan faktor organisasi. Beberapa faktor organisasi yang disebutkan di atas merupakan bagian
dari iklim organisasi. Selanjutnya akan lebih dijelaskan mengenai definisi dan dimensi iklim organisasi.
B. IKLIM ORGANISASI 1. Definisi Iklim Organisasi
Ada beberapa pandangan beberapa para ahli mengenai iklim organisasi.
Steers (1989) memandang iklim organisasi sebagai suatu kepribadian organisasi seperti apa yang dilihat para anggotanya. Lunenburg dan Ornstein (1991) mengemukakan iklim organisasi sebagai kualitas lingkungan total dalam sebuah
organisasi. Iklim organisasi dapat dinyatakan dengan kata sifat seperti terbuka, ramai, santai, informal, dingin, impersonal, bermusuhan, kaku, dan tertutup. Davis
dan Newstrom (1994) mendefinisikan iklim organisasi sebagai lingkungan dimana para karyawan suatu organisasi melakukan pekerjaan mereka. Iklim mengitari dan mempengaruhi segala hal yang bekerja dalam organisasi sehingga iklim dikatakan
sebagai suatu konsep yang dinamis.
Menurut Higgins (1982) iklim organisasi adalah kumpulan dari persepsi
merupakan harapan-harapan serta cara pandang individu terhadap organisasi.
Mas’ud (2004) menyatakan iklim kerja adalah kesan, harapan dan perasaan yang dimiliki oleh anggota suatu unit kerja, yang berpengaruh terhadap hubungan antara bawahan dan atasan dan hubungan antara karyawan dengan rekan
sekerjanya maupun hubungan dengan orang-orang di unit kerja lain.
Sedangkan Robbins dan Timothy A (2011) mendefinisikan Iklim
organisasi sebagai persepsi bersama yang dimiliki anggota organisasi tentang organisasi dan lingkungannya. Pemahaman tentang aturan tertulis, kebiasaan dalam melakukan kerja dan birokrasi dalam menjalankan tugas, lingkungan kerja
dan batas wewenang dalam bekerja adalah lingkup dalam iklim organisasi.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iklim organisasi
adalah persepsi, harapan, kesan, perasaan dan keinginan karyawan perusahaan mengenai organisasi dan lingkungan perusahaan yang mempengaruhi hubungan sesama karyawan baik atasan maupun bawahan dan perilaku karyawan itu sendiri
dimana iklim organisasi bersifat dinamis dan unik sesuai dengan atmosfir organisasi.
2. Dimensi Iklim Organisasi
Stringer (Wirawan, 2007) menyebutkan bahwa karakteristik atau dimensi iklim organisasi dapat mempengaruhi motivasi anggota organisasi untuk
berperilaku tertentu. Ia juga mengatakan enam dimensi yang membentuk iklim organisasi, yaitu:
jawab yang jelas dalam lingkungan organisasi. Struktur tinggi apabila anggota
organisasi merasa pekerjaan mereka didefinisikan secara baik dan jelas. Struktur rendah ketika anggota organisasi merasa tidak ada kejelasan mengenai siapa yang melakukan tugas dan tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Struktur
organisasi meliputi posisi karyawan dalam perusahaan.
b. Standar-standar (standards). Standar-standar dalam suatu organisasi mengukur
perasaan tekanan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja serta derajat kebanggaan yang dimiliki oleh anggota organisasi dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Standar-standar tinggi ketika anggota organisasi selalu berupaya
mencari jalan untuk meningkatkan kinerjanya. Standar-standar rendah apabila anggota karyawan merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja.
Standar-standar meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan. c. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi "pimpinan diri sendiri" dan tidak memerlukan
pendapat mengenai keputusannya untuk dilegitimasi oleh anggota organisasi lainnya. Persepsi tanggung jawab tinggi ketika anggota organisasi merasa
didorong untuk memecahkan problemnya sendiri. Tanggung jawab rendah menunjukkan bahwa pengambilan risiko dan percobaan terhadap pendekatan baru tidak diharapkan. Tanggung jawab meliputi kemandirian dalam menyelesaikan
pekerjaan.
d. Penghargaan (recognition). Pengakuan atau penghargaan menggambarkan
dihadapkan dengan kritik dan hukuman atas penyelesaian pekerjaan. Iklim
organisasi yang menghargai kinerja dikarakteristikan dengan adanya keseimbangan antara imbalan dan kritik atas penyelesaian pekerjaan. Penghargaan rendah apabila penyelesaian pekerjaan dengan baik diberi imbalan secara tidak
konsisten. Penghargaan meliputi imbalan atau upah yang terima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaan.
e. Dukungan (support). Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan saling mendukung yang terus berlangsung diantara anggota kelompok kerja. Dukungan tinggi apabila anggota organisasi merasa bahwa mereka bagian tim yang berfungsi
dengan baik dan merasa memperoleh bantuan dari atasannya jika mengalami kesulitan dalan menjalankan tugas. Dukungan rendah ditunjukkan ketika anggota
organisasi merasa terisolasi atau tersisih sendiri. Dukungan meliputi hubungan dengan rekan kerja yang lain.
f. Komitmen (commitment). Komitmen merefleksikan perasaan bangga anggota
organisasi terhadap organisasinya dan derajat keloyalan atau komitmen terhadap pencapaian tujuan organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan
loyalitas personal. Level rendah komitmen ketika karyawan merasa apatis terhadap organisasi dan tujuannya. Komitmen meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.
C. PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING
yang dibutuhkan. Internet bisa diakses dimana saja dan siapa saja. Hampir setiap
orang mengenal internet. Berbagai kalangan menggunakan internet seperti masyarakat umum, pemerintah, pelajar, ibu rumah tangga, dan termasuk karyawan perusahaan.
Perusahaan yang menyediakan akses internet dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja. Salah satu fenomena yang muncul karena adanya penyediaan
akses internet di perusahaan adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing
adalah tindakan karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan mereka selama jam kerja yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
Beberapa penelitian mengenai perilaku cyberloafing lebih menekankan pada dampak negatif yang ditimbulkannya. Berdasarkan survey yang dilakukan
oleh SurfWatch (Lim, 2002) menunjukkan bahwa 84% karyawan berkirim email
untuk kepentingan pribadi dan 90% karyawan mengakses internet hanya untuk rekreasi dan kesenangan pribadi. Hal ini mengakibatkan penurunan produktifitas
hingga sebesar 30 hingga 40 persen.
Walaupun perusahaan khawatir karyawan akan kehilangan produktifitas
yang diakibatkan perilaku cyberloafing, para peneliti menyebutkan bahwa perilaku cyberloafing dapat berfungsi sebagai sarana strategi coping melawan perasaan negatif di tempat bekerja seperti stress (Stanton 2002, Oravec 2002,
2004, Anadarajan dan Simmers 2002). Hal ini penting untuk karyawan agar dapat bekerja dengan waktu yang lebih lama dan dapat bertahan dari efek negatif stress
refreshing dan relaksasi ketika bekerja. Lim dan Chen (2012) menemukan
melakukan cyberloafing tidak hanya membuat karyawan lebih fresh, tetapi juga membuat mereka lebih produktif daripada mereka menghabiskan waktu untuk berbicara kepada rekan kerja lainnya. Jadi peneliti menekankan bahwa perilaku
cyberloafing dapat memberikan banyak manfaat apabila penggunaannya tepat yaitu hanya sebagai sarana relaksasi dan mencari inspirasi serta tidak fokus pada
perilaku cyberloafing.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah organisasi (Ozler dan Polat, 2012). Lingkungan kerja masing-masing perusahaan
memiliki sifat ataupun ciri-ciri yang berbeda sehingga hal inilah yang membedakan satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Litwin dan Stringer
(1968) menyebutnya dengan istilah iklim organisasi. Iklim organisasi merupakan persepsi anggota organisasi tentang norma yang berkaitan dengan aktivitas kerja organisasi (Armansyah, 1997).
Iklim organisasi mempengaruhi efektifitas organisasi (P. E. Mudrack, 1989) dan motivasi dan perilaku individu (E.T. Moran, 1992). Iklim organisasi
selalu mempengaruhi seluruh kondisi dasar dan perilaku individu dalam perusahaan. Hal ini terjadi karena orang cenderung untuk menerima dan menginternalisasi iklim organisasi dimana mereka bekerja, dan persepsi mereka
mengenai iklim organisasi mempengaruhi perilaku mereka (Vardi, 2001).Iklim organisasi mempengaruhi bagaimana anggotanya berperilaku termasuk perilaku
Ahmad dkk (2013), lingkungan kerja yang baik dapat memunculkan perilaku
kerja yang positif dan mengurangi respon kerja negatif seperti cyberloafing. Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dapat diduga bahwa iklim organisasi dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing.
D. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan uraian dalam kerangka berpikir di atas, maka hipotesa
penelitian ini adalah:
Ada pengaruh negatif antara iklim organisasi terhadap perilaku
cyberloafing dimana semakin baik iklim organisasi, maka akan berkontribusi terhadap penurunan perilaku cyberloafing. Demikian sebaliknya, semakin buruk iklim organisasi, maka akan berkontribusi terhadap peningkatan perilaku