BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini berisi mengenai landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi
objek penelitian, yaitu landasan teori cyberloafing yang meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing, serta landasan teori role ambiguity dan role conflict. Bab ini juga berisi mengenai dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian.
A. Cyberloafing
1. Definisi Cyberloafing
Deviant Organizational Behavior adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak karyawan yang dengan sengaja melanggar norma-norma organisasi yang formal dan
peraturan tentang masyarakat, dan dapat menghasilkan hal yang mempunyai
konsekuensi negatif (Robbins, 2004). Terdapat beberapa perilaku menyimpang dalam
organisasi antara lain ketidaksopanan, cyberloafing, penyerangan fisik di tempat kerja, berkata kasar atau marah dengan kata-kata yang menyinggung perasaan,
pencurian di tempat kerja oleh karyawan (Robbins, 2004). Jadi cyberloafing
merupakan salah satu produk atau hasil dari deviantorganizational behavior dan juga termasuk salah satu isu penting yang berkembang sesuai dengan perkembangan
internet dalam dunia bisnis atau perusahaan.
Kata lain yang biasa disebutkan pada penggunaan internet yang tidak
cyber-slacking atau cyber-loafing (Lim, 2002), cyber-slouching (Urbaczewski & Jessup, 2002), dan non-work related computing (Lee et.al, 2005).
Istilah cyberloafing didefinisikan sebagai tindakan karyawan secara sengaja menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan yang non-work di saat jam kerja (Lim, 2002). Aktifitas non-work yang dimaksud adalah aktivitas mengecek e-mail personal ataupun mengunjungi situs internet yang tidak berhubungan dengan
pekerjaan. Kegiatan cyber (browsing dan emailing) yang dilakukan pada saat bekerja dapat mengalihkan karyawan dari menyelesaikan pekerjaan mereka dan
menghasilkan penggunaan waktu yang tidak produktif sehingga kegiatan
cyberloafing termasuk dalam bentuk penyimpangan kerja (Lim & Chen, 2009). Sementara menurut Blanchard dan Henle (2008), cyberloafing merupakan penggunaan akses internet dan penggunaan email secara disengaja untuk tujuan
pribadi yang tidak berkaitan dengan pekerjaan oleh karyawan pada jam kerja. Askew
(2012) menyatakan bahwa cyberloafing merupakan perilaku yang terjadi ketika karyawan menggunakan berbagai jenis perangkat komputer (seperti desktop,
cell-phone, tablet) saat bekerja untuk aktivitas non-destruktif di mana supervisor
karyawan tidak menganggap perilaku itu berhubungan dengan pekerjaan.
Sedangkan Bock dan Ho (2009) menjelaskan pengunaan internet selama
bekerja untuk kepentingan pribadi disebut sebagai Non-Work Related Computing
(NWRC). NWRC merupakan istilah kolektif dan berisi Junk Computing dan
dengan tujuan organisasi (Bock & Ho, 2009). Baik Junk Computing maupun
Cyberloafing merupakan penggunaan sumber daya organisasi untuk kepentingan pribadi, namun cyberloafing bertujuan untuk pengunaan internet pribadi sedangkan
junk computing merupakan penggunaan pribadi offline melalui sumber daya organisasi.
Berdasarkan penjelasan definisi perilaku cyberloafing yang telah dijelaskan diatas, perilaku cyberloafing yang akan menjadi fokus penelitian adalah perilaku karyawan menggunakan akses internet kantor dan atau akses internet pribadi untuk
keperluan pribadi atau diluar pekerjaan.
2. Aktivitas Cyberloafing
Lim dan Chen (2009) membagi cyberloafing menjadi dua aktivitas yaitu:
1. Emailing Activities (Aktivitas Email)
Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) saat jam kerja. Contoh perilaku
dari tipe cyberloafing ini adalah memeriksa, membaca, maupun menerima
email pribadi.
2. Browsing Activities (Aktivitas Browsing)
Beberapa peneliti menggunakan istilah cyberloafing mengarah kepada perilaku serius seperti menyebar virus dan hacking namun jenis cyberloafing yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah cyberloafing yang dikemukakan oleh Lim dan Chen (2009) yaitu perilaku cyberloafing berupa aktivitas email (membaca, mengirim dan menerima email pribadi) dan aktivitas browsing (jejaring sosial,
mengunduh file atau musik, dan mencari berita yang tidak berkaitan dengan
pekerjaan). Aktivitas email yang dimaksud seperti pada jam kerja karyawan
membaca, mengirim, dan menerima email pribadinya sehingga tugas dan pekerjaan
yang menjadi tanggung jawabnya pun menjadi teralihkan. Selain itu, aktivitas
browsing yang dimaksud seperti karyawan yang membuka jejaringan sosial seperti
facebook, twitter, atau mengunduh file atau musik, dan kegiatan lainnya dimana situs tersebut tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaan karyawan.
3. Faktor-faktor Penyebab Cyberloafing
Menurut Ozler dan Polat (2012), terdapat tiga faktor yang menyebabkan
munculnya perilaku cyberloafing. Ketiga faktor itu adalah sebagai berikut :
1) Faktor Individual
Faktor individual berpengaruh terhadap muncul atau tidaknya perilaku
cyberloafing. Berbagai atribut dalam diri individu tersebut antara lain : a. Persepsi dan Sikap
Individu yang memiliki sikap positif terhadap komputer lebih mungkin
menggunakan komputer kantor untuk alasan pribadi. Selain itu, terdapat
perilaku cyberloafing (Liberman, Gwendolyn, Katelyn, dan Laura, 2011). Individu yang merasa bahwa penggunaan internet mereka menguntungkan
bagi performansi kerja lebih mungkin terlibat dalam perilaku cyberloafing
(Vitak, Crouse, dan Larouse, 2011).
b. Sifat Pribadi
Perilaku individu pengguna internet akan menunjukkan berbagai motif
psikologis yang dimiliki oleh individu tersebut. Trait pribadi seperti shyness
(rasa malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), kontrol diri, harga diri, dan locus of control mungkin dapat mempengaruhi bentuk penggunaan internet individu. Bentuk penggunaan internet yang dimaksud adalah
kecenderungan individu mengalami kecanduan atau penyalahgunaan internet.
c. Kebiasaan dan Adiksi Internet
Kebiasaan mengacu pada serangkaian situasi-perilaku otomatis sehingga
terjadi tanpa disadari atau tanpa pertimbangan untuk merespon isyaratisyarat
khusus di lingkungan (Woon dan Pee, 2004). Lebih dari 50% perilaku media
diperkirakan merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010).
d. Faktor Demografis
Beberapa faktor demografis seperti status pekerjaan, persepsi otonomi di
dalam tempat kerja, tingkat gaji, pendidikan, dan jenis kelamin merupakan
Persepsi individu mengenai larangan etis terhadap cyberloafing berhubungan negatif dengan penerimaan terhadap cyberloafing itu sendiri. Namun sebaliknya, hal itu berhubungan positif dengan keinginan seseorang untuk
melakukan cyberloafing. Selain itu, keyakinan normatif individu (misalnya,
cyberloafing itu tidak benar secara moral) mengurangi keinginan untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak et al., 2011).
2.) Faktor Organisasi
Beberapa faktor organisasi juga dapat menentukan kecenderungan karyawan
untuk melakukan cyberloafing. Beberapa faktor organisasi tersebut yaitu : a. Pembatasan Penggunaan Internet
Perusahaan dapat membatasi penggunaan komputer saat bekerja melalui
kebijakan perusahaan atau pencegahan pengunaan teknologi di kantor. Hal ini
dapat mengurangi kesempatan karyawan menggunakan internet untuk tujuan
pribadi, sehingga perusahaan dapat meningkatkan regulasi diri karyawan
(Garrett dan Danziger, 2008).
b. Hasil yang Diharapkan
Ketika karyawan memilih online untuk tujuan pribadi saat bekerja, ia memiliki harapan tertentu bahwa perilaku itu dapat memenuhi kebutuhannya
dan dapat membuat dirinya terhindar dari konsekuensi negatif (Garrett dan
c. Dukungan Manajerial
Dukungan manajerial terhadap penggunaan internet saat bekerja tanpa
menjelaskan bagaimana menggunakan fasilitas tersebut malah dapat
meningkatkan penggunaan internet untuk tujuan pribadi. Dukungan ini dapat
disalahartikan oleh karyawan sebagai sebuah dukungan terhadap semua tipe
penggunaan internet, sehingga memunculkan perilaku cyberloafing. d. Pandangan Rekan Kerja tentang Norma Cyberloafing
Blau (2006) mengatakan bahwa karyawan melihat rekan kerjanya sebagai role model (panutan) dalam organisasi, sehingga perilaku cyberloafing ini dipelajari dengan mengikuti perilaku yang dilihatnya dalam lingkungan
organisasi. Individu yang mengetahui bahwa rekan kerjanya juga melakukan
cyberloafing, akan lebih mungkin untuk melakukan cyberloafing
(Weatherbee, 2010).
e. Sikap Kerja Karyawan
Perilaku cyberloafing merupakan respon emosional karyawan terhadap pengalaman kerja yang membuatnya frustrasi, sehingga dapat diterima bahwa
sikap kerja mempengaruhi cyberloafing (Liberman et al., 2011). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa karyawan lebih mungkin terlibat dalam
perilaku menyimpang ketika memiliki sikap kerja yang tidak menyenangkan
(Garrett dan Danziger, 2008).
e.1. Injustice (Ketidakadilan)
Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan mempersepsikan dirinya
berada dalam ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu caranya untuk
menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan melakukan cyberloafing. e.2. Komitmen Kerja
Dalam membentuk penggunaan internet di tempat kerja, komitmen memiliki
peran penting karena dapat mempengaruhi dampak yang diharapkan.
Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi dan pekerjaannya
cenderung merasa bahwa cyberloafing tidak sesuai dengan rutinitas kerja, sehingga mereka akan lebih jarang melakukan cyberloafing.
e.3. Kepuasan Kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan kerja
tinggi memiliki perasaan lebih positif terhadap penyalahgunaan internet.
Sedangkan Stanton (2002) menemukan bahwa karyawan yang cenderung
menjadi sangat puas adalah karyawan yang sering menyalahgunakan internet.
f. Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan tertentu akan mengarah pada perilaku cyberloafing
dengan tujuan untuk meningkatkan kreativitas atau melepas kebosanan.
Dengan kata lain, pekerjaan yang kreatif akan memiliki lebih banyak tuntutan
dan tidak membosankan, sehingga karyawan akan lebih jarang melakukan
3.) Faktor Situasional
Perilaku penyimpangan internet biasanya terjadi ketika karyawan memiliki
akses terhadap internet di tempat kerja, sehingga hal ini sangat dipengaruhi oleh
faktor situasional yang memediasi perilaku ini (Weatherbee, 2010). Penelitian
menunjukkan bahwa kedekatan jarak secara fisik dengan supervisor secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi karyawan terhadap kontrol organisasi. Lebih jauh lagi, adanya kebijakan
formal organisasi dan sanksi atas perilaku cyberloafing juga dapat mengurangi perilaku cyberloafing.
Dalam suatu perusahaan setiap karyawan memiliki tuntutan pekerjaan sesuai
dengan jabatan masing-masing, apabila tuntutan pekerjaan tersebut sesuai dengan
jabatan seseorang dan sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu
melakukan tugas pekerjaannya maka karyawan pun dapat dengan baik melaksanakan
tugas dan kewajibannya. Namun apabila tuntutan pekerjaan yang diberikan
bertentangan dengan nilai-nilai keyakinan pribadinya ataupun tugas-tugas yang
dikerjakan menurut pandangan karyawan tersebut bukan merupakan bagian dari
pekerjaannya maka akan timbul perasaan tidak menentu dan ketidakyakinan
karyawan mengenai kewajiban dan harapannya saat bekerja. Sehingga dapat
membangkitkan stres yang dapat menghalangi karyawan untuk melakukan tugas dan
memenuhi kebutuhannya dan agar terhindar dari konsekuensi negatif yaitu rasa stres
atau lelah yang dialami (Garrett dan Danzinger, 2008).
Dari uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing
di atas, maka penelitian ini hanya akan berfokus faktor organisasi yang dikemukakan
oleh Ozler dan Polat (2012). B. Role Ambiguity
Definisi Role Ambiguity menurut Rizzo et al.(1970) adalah suatu keadaan dimana suatu pekerjaan memiliki kekurangan dalam prediksi suatu respon terhadap
perilaku pihak lain dan kejelasan mengenai persyaratan perilaku yang diharapkan.
Menurut Munandar (2001) role ambiguity timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:
1) Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung
jawab yang ia miliki.
2) Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan
merupakan bagian dari pekerjannya.
3) Tuntututan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau
orang lain yang dinilai penting bagi dirinya.
4) Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan
tugas pekerjaannya.
Role ambiguity adalah suatu kesenjangan antara jumlah informasi yang dimiliki seseorang dengan yang dibutuhkannya untuk dapat melaksanakan perannya
pembangkit stres sebab dapat menghalangi individu untuk melakukan tugasnya dan
menyebabkan timbulnya perasaan tidak aman dan tidak menentu.
C. Role Conflict
Role Conflict didefinisikan sebagai ketentuan dalam sebuah peran dimana terdapat kesesuaian atau ketidaksesuaian (congruency-incongruency), dalam hal ini kesesuaian atau kecocokan (congruency atau compatibility) merupakan penilaian relatif dari suatu keadaan yang melanggar peran kinerja (Rizzo et al, 1970). Ketidakcocokan atau incongruency dapat mengakibatkan berbagai jenis konflik, yaitu:
1. Konflik antara nilai-nilai internal seseorang dengan peran perilaku.
Merupakan person-role conflcit atau intrarole conflict yang menjadi fokus ketika seseorang berada dalam suatu posisi atau peran.
2. Konflik antara waktu, sumber daya, atau kemampuan seseorang dengan peran
perilaku. Ketika terjadi ketidakcocokan antara salah seorang yang saling
berkaitan maka hal ini disebut sebagai intrasender conflict. Hal ini juga dapat dihasilkan dari organisasi. Bila dilihat dari person-role conflict misalnya kemampuan yang tidak memadai.
3. Konflik antara beberapa peran untuk satu orang yang sama yang
membutuhkan perilaku yang berbeda atau bertentangan, atau perubahan dalam
perilaku sebagai fungsi dari situasi. Hal ini merupakan interrole conflict
4. Harapan yang bertentangan dan tuntutan organisasi dengan bentuk aturan
yang tidak sesuai, perbedaan permintaan dari orang lain, dan standar evaluasi
yang tidak sesuai.
Role conflict atau konflik peran didefinisikan oleh Brief dalam Nimran (1999) sebagai adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan
suatu peran. Role conflict timbul karena ketidakcakapan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan berbagai harapan terhadap diri individu tersebut (Munandar, 2001).
D. Pengaruh Role Ambiguity dan Role Conflict Terhadap Cyberloafing
Organisasi merupakan sebuah sistem peran yang menyediakan berbagi macam
tugas kerja untuk tiap peran dari karyawan dan motivasi untuk karyawan dalam
melaksankan perannya dalam organisasi (Kahn et al., 1964). Karyawan dapat memberikan masukan untuk kesuksesan organisasi atau tindakan korektif dalam
keputusan yang diambil dalam hal yang berhubungan dengan kinerjanya, dan
pemberian sanksi jika terjadi kesalahan. Idealnya setiap peran mempunyai satu
aktivitas yang dikerjakan, tetapi kadang peran karyawan tersebut membuat karyawan
harus menyeimbangkan berbagai tuntutan di lingkungan, kebingungan karyawan
mengenai tuntutan tugas dan tanggung jawab (Henle & Blanchard, 2008). Berbagai
masalah ini mempunyai dampak negatif pada kesejahteraan karyawan itu sendiri,
seperti meningkatnya tekanan darah, ketidakpuasan kerja, depresi (Selye dalam
Munandar, 2001) dan juga kondisi organisasi yang tidak efektif (Schaubroeck dalam
Adanya pengalaman negatif yang memberikan dampak negatif pada
kesejahteraan karyawan tersebut seperti lelah atau stres, penyebab dari pengalaman
negatif tersebut biasa disebut sebagai stressor. Adapun stressor yang dimaksud yaitu,
role ambiguity dan role conflict. Stressor tersebut dapat berperan dalam munculnya perilaku cyberloafing.
Ditinjau dari role ambiguity dimana karyawan merasa bingung harus melakukan pekerjaan seperti apa, ini dikarenakan adanya suatu kesenjangan antara
jumlah informasi yang dimiliki seseorang dengan yang dibutuhkannya untuk dapat
melaksanakan perannya dengan tepat (Brief dalam Nimran, 1999). Apabila seorang
pekerja tidak mengetahui wewenangnya untuk mengambil suatu keputusan, tidak
mengetahui apa yang diharapkan darinya, dan tidak mengetahui bagaimana ia akan
dinilai, maka dia akan ragu-ragu dalam membuat keputusan dan akan menggunakan
pendekatan coba-coba (trial and error) dalam memenuhi ekspektasi atasannya (Rizzo et al., 1970). Begitu juga agar menghasilkan kinerja yang baik, karyawan perlu
mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan. Namun
ketika tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari
pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.
Role ambiguity ini dapat menghalangi individu untuk melakukan tugasnya dan menyebabkan timbulnya perasaan tidak aman dan tidak menentu. Adanya
kebingungan yang terjadi saat bekerja maka akan timbul ketidakyakinan mengenai
tersebut dengan cara melakukan mengakses internet untuk tujuan pribadi saat bekerja
(Garrett dan Danzinger, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Henle dan Blanchard (2008) apabila karyawan merasa bingung mengenai apa yang
harus mereka kerjakan maka untuk mengalihkankannya dengan melakukan
cyberloafing.
Bila ditinjau dari role conflict dimana karyawan memiliki konflik atau masalah dengan tuntutan kerja atau dengan karyawan lain sehingga dapat
menimbulkan ketegangan pekerjaan yang cukup tinggi (Van Sell dalam Munandar,
2001). Role conflict tersebut dapat dihasilkan ketika seseorang dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan (Robbins dan Judge, 2009). Seperti karyawan yang
berada dalam ketidakadlian saat bekerja, sehingga menciptakan
pengharapan-pengharapan yang mungkin sulit untuk dipenuhi atau dipuaskan (Robbins dan Judge,
2009), dan dapat menimbulkan konflik, salah satu cara untuk menyeimbangkannya
dengan melakukan cyberloafing (Lim, 2002). Penelitian yang dilakukan Lim (2002), menemukan fakta bahwa 37% responden melakukan cyberloafing karena terjadi tuntutan konflik di tempat kerja (high role conflict), tetapi 52% responden merasa aneh melakukan cyberloafing jika pekerjaan mereka belum selesai (low role ambiguity).
Leigh (dalam Nimran, 1999) menyatakan bahwa role conflict merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya
ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan
akan berada dalam suasana terombang-ambing, terjepit, dan serba salah. Dengan
adanya sikap kerja yang tidak menyenangkan tersebut mendorong karyawan untuk
terlibat dalam perilaku menyipang seperti penyalahgunaan internet kantor (Garret dan
Danzinger, 2008). Cyberloafing merupakan respon emosional karyawan terhadap pengalaman kerja yang membuatnya frustasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sikap
kerja dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan cyberloafing (Liberman et al, 2011).
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian dalam kerangka berpikir di atas, maka hipotesa penelitian
ini adalah:
a. Role ambiguity berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing pada karyawan