PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PERILAKU
CYBERLOAFING PADA PEGAWAI PERPUSTAKAAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
LILIYANA SARI
101301029
FAKULTAS PSIKOLOGI
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul:
PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA PEGAWAI PERPUSTAKAAN
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalan penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 25 April 2014
Liliyana Sari
Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Pegawai Perpustakaan
Liliyana Sari dan Siti Zahreni
ABSTRAK
Perilaku cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan pribadi di saat jam kerja. Perilaku ini dilakukan dengan menggunakan perangkat elektronik yang dapat berasal dari perusahaan atau milik pribadi. Munculnya perilaku cyberloafing dapat berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing, salah satunya adalah kontrol diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah 90 orang pegawai di salah satu perpustakaan negeri. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala cyberloafing yang disusun berdasarkan teori Blanchard dan Henle (2008) dan skala kontrol diri yang disusun berdasarkan teori kontrol diri rendah oleh Gottfredson dan Hirschi (1990). Analisis data penelitian dengan menggunakan regresi sederhana menunjukkan bahwa kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing (r = -0.510, r2 = 0.26, dan p = 0,000). Artinya kontrol diri memberikan sumbangan efektif sebesar 26% dalam mengurangi perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan organisasi dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan penggunaan internet di tempat kerja agar menghindari munculnya
cyberloafing.
The Influence of Self Control Toward Cyberloafing Among Library Employees
Liliyana Sari dan Siti Zahreni
ABSTRACT
Cyberloafing is any behaviors of employees that using their companies’
internet for personal purpose during work time. This behavior is done by using electronic devices that can be derived from companies or private property. The emergence of cyberloafing can affect the performances of employees. Many factors influence cyberloafing, one of them is self control. This study aimed to determine the influence of self control toward cyberloafing. This study used quantitative method. Subjects in this study were 90 employees of a state library. Measuring instruments used in this study were cyberloafing scale based on Blanchard and Henle theory (2008) and self control scale based on low self control theory by Gottfredson and Hirschi (1990). Data analysis was using simple
regression showed that self control negatively affect cyberloafing (r = -0.510, r2 =
0.26, and p = 0,000). It means, self control contributes effectively 26% in reducing cyberloafing among library employees. Results of this study could be a reference for the organization to create policies related to internet using in workplace to avoid cyberloafing.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat, karunia, serta kekuatan sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kontrol Diri terhadap Perilaku
Cyberloafing pada Pegawai Perpustakaan”. Shalawat dan salam senantiasa
dicurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Dalam proses menyelesaikan skripsi ini, peneliti mendapatkan banyak
dukungan, bantuan, serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Kak Siti Zahreni, M.Psi, psikolog sebagai dosen pembimbing yang telah
bersedia memberikan waktu, tenaga, dan pemikirannya untuk membimbing
saya dimulai dari menyusun proposal hingga menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Zulkarnain, Ph.D, psikolog dan Ibu Vivi Gusrini Pohan M.Sc., M.A.,
psikolog yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai dosen penguji pada
sidang skripsi saya. Terima kasih atas saran dan masukan yang Bapak dan
Ibu berikan sehingga penelitian saya menjadi lebih baik.
4. Kedua orang tua saya, Dr. Mulyadi, M.Hum dan Dra. Rumnasari Siregar,
M.Si, serta kedua orang adik saya, Nurmala Fitri dan Andika Aulia. Terima
kasih atas doa, kasih sayang, serta dukungan secara fisik, moral, dan
saya selama mengerjakan skripsi ini. Saya persembahkan skripsi ini untuk
kalian. Semoga saya bisa menjadi anak yang membanggakan. Amin.
5. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si selaku pembimbing akademik. Terima
kasih banyak atas bimbingan dan arahan Ibu selama saya menjadi
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Rizal yang telah membantu saya selama proses uji coba skala di
tempat Bapak bekerja. Kemudian Bapak Jonner, Bapak Irwan, Bapak
Rasiman, Bu Tuti, dan Pak Joko atas bantuannya dalam penelitian saya.
Bantuan Bapak dan Ibu sangat berharga untuk penelitian saya.
7. Teman-teman terbaik saya selama berkuliah di Fakultas Psikologi USU,
PAPers yaitu Kak Nisa, Numu, Sela, Desy, Fitri, dan Rini. Terima kasih
sudah bersedia jadi tempat berbagi suka dan duka selama 4 tahun. Terima
kasih juga kepada Ririn, teman sharing skripsi yang sudah mau
mendengarkan segala unek-unek saya. You guys are the best!
8. Senior angkatan 2009 yang selalu menjawab pertanyaan saya terkait dengan
skripsi, yaitu Kak Dilla, Kak Risky, dan Kak Mifta. Terima kasih banyak
atas waktu dan kesabaran membimbing saya.
9. Keluarga INSOS Kece, kelompok yang dibentuk karena tugas Intervensi
Sosial, tapi kemudian menjadi keluarga baru saya. Kangen ngumpul lagi
sama kalian, Papi Weillun, Cici Vera, Teteh Irene, Butet Anggun, dan tiga
10. Angkatan 2010, tempat di mana saya bernaung selama 4 tahun. Terima
kasih atas kenangan dan pembelajaran yang saya dapatkan selama berada di
kelas bersama kalian. Semoga kita semua sukses ke depannya.
11. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terima kasih
atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada saya.
12. FORMASI Al Qalb USU sebagai tempat belajar dan berbagi tentang hal-hal
baru. Tempat yang mengajarkan pentingnya menjaga ukhuwah.
FORMASIners, semoga ukhuwah ini dapat terus terjalin selamanya. Amin.
13. Seluruh partisipan dalam penelitian ini yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk mengisi skala saya.
Akhir kata, peneliti memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan
kekurangan dalam skripsi ini. Peneliti mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Terima kasih.
Medan, Mei 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... i
HALAMAN PERNYATAAN ... ii
HALAMAN ABSTRAK ... iii
HALAMAN ABSTRAK INGGRIS ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 11
1. Definisi Cyberloafing ... 14
2. Tipe-Tipe Cyberloafing ... 15
3. Faktor-Faktor Penyebab Cyberloafing ... 17
a. Faktor Individual... .. 17
b. Faktor Organisasi... ... 19
c. Faktor Situasional... ... 22
B. Kontrol Diri ... 22
1.Definisi Kontrol Diri ... 23
2.Elemen-Elemen Kontrol Diri ... 24
3.Tipe-Tipe Kontrol Diri ... 26
C. Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Pegawai Perpustakaan ... 28
D. Hipotesis Penelitian ... 32
BAB III METODE PENELITIAN ... 33
A. Identifikasi Variabel ... 33
B. Definisi Operasional ... 33
1. Perilaku Cyberloafing ... 33
C. Subjek Penelitian ... 35
D. Metode Pengumpulan Data ... 35
1. Skala Cyberloafing ... 36
2. Skala Kontrol Diri ... 37
E. Uji Coba Alat Ukur ... 40
1. Validitas Alat Ukur ... 40
2. Uji Daya Beda Aitem ... 41
3. Reliabilitas Alat Ukur ... ... 41
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 42
1. Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing ... 43
2. Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri ... 44
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 45
1. Tahap Persiapan Penelitian... ... 45
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian... .. 47
3. Tahap Pengolahan Data... 47
H. Metode Analisis Data ... ... 47
2. Uji Linieritas ... ... 48
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 49
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 49
1. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 49
2. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 50
3. Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 51
4. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja ... 51
B. Hasil Penelitian ... 52
1. Hasil Uji Asumsi ... 53
a. Uji Normalitas ... 53
b. Uji Linearitas ... 54
2. Hasil Utama Penelitian ... 54
a. Hasil Analisis Data... ... 54
b. Nilai Empirik dan Hipotetik Data Penelitian ... 57
c. Kategorisasi Data Penelitian ... 59
3. Hasil Tambahan Penelitian... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran... .... 72
1. Saran Metodologis ... 72
2. Saran Praktis ... 73
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Blue Print Skala Cyberloafing Sebelum Uji Coba 37
Tabel 2 Blue Print Skala Kontrol Diri Sebelum Uji Coba 39
Tabel 3 Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing 43
Tabel 4 Blue Print Skala Cyberloafing Setelah Uji Coba 43
Tabel 5 Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri 44
Tabel 6 Blue Print Skala Kontrol Diri Setelah Uji Coba 45
Tabel 7 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin 49
Tabel 8 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia 50
Tabel 9 Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan 51
Tabel 10 Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja 52
Tabel 11 Hasil Uji Normalitas 53
Tabel 12 Hasil Uji Linearitas 54
Tabel 13 Hasil Perhitungan Analisa Regresi 55
Tabel 14 Sumbangan Efektif Variabel Kontrol Diri 55
Tabel 15 Koefisien Regresi 56
Tabel 16 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kontrol Diri 57
Tabel 17 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Cyberloafing 58
Tabel 18 Norma Kategorisasi Data Penelitian 59
Tabel 19 Kategorisasi Skor Kontrol Diri 59
Tabel 21 Perbandingan Mean Berdasarkan Jenis Kelamin 61
Tabel 22 Perbandingan Mean Berdasarkan Usia 62
Tabel 23 Perbandingan Mean Berdasarkan Tingkat Pendidikan 62
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A Skala Try Out 83
Lampiran B Reliabilitas dan Daya Beda Aitem 92
Lampiran C Skala Penelitian 107
Lampiran D Data Mentah Subjek Penelitian 114
Lampiran E Uji Asumsi dan Analisis 127
Lampiran F Data Demografik 131
Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Perilaku Cyberloafing Pada Pegawai Perpustakaan
Liliyana Sari dan Siti Zahreni
ABSTRAK
Perilaku cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan pribadi di saat jam kerja. Perilaku ini dilakukan dengan menggunakan perangkat elektronik yang dapat berasal dari perusahaan atau milik pribadi. Munculnya perilaku cyberloafing dapat berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing, salah satunya adalah kontrol diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah 90 orang pegawai di salah satu perpustakaan negeri. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala cyberloafing yang disusun berdasarkan teori Blanchard dan Henle (2008) dan skala kontrol diri yang disusun berdasarkan teori kontrol diri rendah oleh Gottfredson dan Hirschi (1990). Analisis data penelitian dengan menggunakan regresi sederhana menunjukkan bahwa kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing (r = -0.510, r2 = 0.26, dan p = 0,000). Artinya kontrol diri memberikan sumbangan efektif sebesar 26% dalam mengurangi perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan organisasi dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan penggunaan internet di tempat kerja agar menghindari munculnya
cyberloafing.
The Influence of Self Control Toward Cyberloafing Among Library Employees
Liliyana Sari dan Siti Zahreni
ABSTRACT
Cyberloafing is any behaviors of employees that using their companies’
internet for personal purpose during work time. This behavior is done by using electronic devices that can be derived from companies or private property. The emergence of cyberloafing can affect the performances of employees. Many factors influence cyberloafing, one of them is self control. This study aimed to determine the influence of self control toward cyberloafing. This study used quantitative method. Subjects in this study were 90 employees of a state library. Measuring instruments used in this study were cyberloafing scale based on Blanchard and Henle theory (2008) and self control scale based on low self control theory by Gottfredson and Hirschi (1990). Data analysis was using simple
regression showed that self control negatively affect cyberloafing (r = -0.510, r2 =
0.26, and p = 0,000). It means, self control contributes effectively 26% in reducing cyberloafing among library employees. Results of this study could be a reference for the organization to create policies related to internet using in workplace to avoid cyberloafing.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan internet merupakan perubahan paling signifikan yang
membuka jalan bagi manusia untuk mendapatkan berbagai keuntungan dan
kemudahan dalam kehidupan (Ozler & Polat, 2012). Internet kini dapat diakses
oleh semua orang dari berbagai kalangan. Layanan internet juga dapat digunakan
pada berbagai bidang, seperti bidang pendidikan, perbankan, kesehatan, serta
pekerjaan atau bisnis (Maryono & Istiana, 2007).
Pengguna internet di seluruh dunia berkisar 2,4 milyar (Meeker, 2013).
Angka ini meningkat 8% dari tahun sebelumnya. Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo) (2013) mengungkapkan bahwa pengguna internet di
Indonesia pada tahun 2013 berjumlah 63 juta orang. Dari jumlah tersebut, 95
persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.
Dalam bidang pekerjaan atau bisnis, perkembangan internet ini telah
mengubah cara perusahaan dalam menjalankan bisnis, baik pada tingkat lokal
maupun global. Internet memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi,
berinteraksi dengan klien atau konsumen, melakukan promosi produk atau jasa,
hingga perekrutan karyawan. Selain itu, dalam meningkatkan performa karyawan,
banyak perusahaan juga telah memanfaatkan fasilitas internet (Lim, 2002).
Performa karyawan dapat meningkat melalui berbagai fasilitas yang diberikan
Di saat akses internet telah menjadi hal yang biasa, maka kecenderungan
karyawan untuk menggunakan internet sebagai tujuan hiburan dan tidak berkaitan
dengan pekerjaan juga akan semakin meningkat (Blanchard & Henle, 2008). Hal
ini dapat mengarah kepada perilaku kerja yang bersifat counterproductive (Dalal,
2005), di mana loafing (kemalasan) merupakan salah satu masalah utama di dalam
perusahaan (Lim, 2002). Salah satu jenis kemalasan yang dapat dilakukan
karyawan adalah perilaku cyberloafing.
Cyberloafing merupakan tindakan karyawan yang disengaja berupa
penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing situs-situs yang tidak
berkaitan dengan pekerjaan (Lim, 2002). Tindakan ini dilakukan selama jam kerja
untuk kepentingan pribadi karyawan. Teknologi yang digunakan ketika browsing
ini dapat berasal dari perusahaan atau milik pribadi karyawan yang dibawanya
saat bekerja (misalnya, smartphone, iPad, atau laptop).
Berbeda dari bentuk kemalasan lain yang muncul di tempat kerja,
cyberloafing memungkinkan karyawan menggunakan internet untuk kepentingan
pribadi namun tetap terlihat bekerja dengan semangat. Rata-rata karyawan di
Amerika mengakui telah menghabiskan waktu kerja lebih dari dua jam setiap hari
dengan penggunaan internet pribadi sebagai pengalih perhatian utama (Fox,
2007). Selain itu, 90% karyawan diperkirakan menghabiskan waktu kerja untuk
mengunjungi situs hiburan dan 84% karyawan mengirimkan email pribadi atau
Hal ini juga terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Australian National
University pada tahun 2012 yang menemukan bahwa antara 30% hingga 65%
penggunaan internet di tempat kerja tidak berkaitan dengan pekerjaan. Beberapa
contoh perilaku cyberloafing karyawan adalah belanja online, browsing situs-situs
hiburan, terlibat dalam jejaring media sosial, mencari pekerjaan, mengirim dan
menerima email pribadi, serta mengunduh file (berkas) yang tidak berhubungan
dengan pekerjaan. Karyawan di Amerika Serikat diperkirakan menghabiskan
waktu untuk cyberloafing antara 3 jam per minggu (Greenfield & Davis, 2002)
hingga 17,5 jam per minggu (Mills, Hu, Beldona & Clay, 2001).
Sedangkan sejumlah studi di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata
karyawan menghabiskan waktu hingga satu jam per hari untuk akses internet yang
tidak berkaitan dengan pekerjaan. Aktivitas yang dilakukan ini seperti browsing
Facebook atau Kaskus. Hal ini berarti bahwa dalam waktu sebulan seorang
karyawan bisa mengkorupsi waktu kerjanya hingga 20 jam lebih (1 jam dikali 20
hari kerja), atau sama dengan 2,5 hari kerja penuh (Antariksa, 2012).
Cyberloafing dianggap sebagai suatu perilaku kerja yang counterproductive
oleh beberapa penelitian (Lim, 2002; Beugre, 2003). Oleh karena itu, bukan hal
yang mengejutkan apabila penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan
pekerjaan serta penundaan pekerjaan ini akan mengarah kepada penurunan
produktivitas bagi organisasi (Debt Cubed, 2006). Sebagai contoh, karyawan lebih
memilih menghabiskan waktu kerja dengan browsing situs hiburan dibandingkan
menyelesaikan tugas yang diberikan perusahaan sesuai dengan standar performa
Akan tetapi, meskipun cyberloafing dianggap sebagai suatu perilaku
counterproductive, dalam beberapa hal, cyberloafing dapat juga dianggap sebagai
suatu perilaku yang konstruktif (Beugre & Daeryong, 2006). Online di saat jam
kerja bersifat konstruktif karena dapat memberikan waktu bagi karyawan untuk
istirahat sejenak dari pekerjaannya (Ovarec, 2002). Apabila perusahaan
memberikan sejumlah waktu bagi karyawan untuk menggunakan komputer untuk
hal-hal pribadi dalam situasi yang tepat, hal itu dapat mengarah pada proses
pembelajaran yang mungkin bermanfaat bagi organisasi (Belanger & Van Slyke,
2002).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya cyberloafing pada
karyawan, yaitu faktor organisasi, faktor situasional, dan faktor individual (Ozler
& Polat, 2012). Faktor organisasi adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam
perusahaan di mana karyawan tersebut bekerja. Faktor ini meliputi ada atau
tidaknya peraturan perusahan mengenai penggunaan internet, ada atau tidaknya
konsekuensi tertentu dari perusahaan jika terjadi cyberloafing, norma sosial dalam
perusahaan, dukungan manajerial (memberitahu karyawan mengenai penggunaan
internet di tempat kerja), dan karakteristik pekerjaan yang dimiliki oleh karyawan.
Faktor situasional juga akan mempengaruhi munculnya cyberloafing.
Perilaku cyberloafing biasanya terjadi apabila individu memiliki akses internet di
tempat kerja, hal inilah yang memediasi munculnya perilaku tersebut
(Weatherbee, 2010). Salah satu faktor situasional adalah kedekatan jarak (seperti
jarak ruangan karyawan) dengan atasan. Kedekatan jarak dengan atasan di kantor
persepsi karyawan mengenai kontrol perusahaan terhadap perilakunya, termasuk
ada atau tidaknya sanksi dan peraturan perusahaan (Ozler & Polat, 2012).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi cyberloafing adalah faktor individual.
Faktor ini mencakup banyak hal yaitu persepsi dan sikap karyawan terhadap
internet, habbits (kebiasaan), faktor demografis, dan trait (sifat) personal
karyawan. Ditinjau dari persepsi dan sikap karyawan terhadap internet, karyawan
yang memiliki persepsi dan sikap positif terhadap internet cenderung
menggunakan komputer untuk alasan pribadi (Liberman, Gwendolyn, Katelyn &
Laura, 2011). Karyawan yang merasa bahwa penggunaan internet mereka
bermanfaat bagi performansi kerja juga akan lebih mungkin terlibat dalam
cyberloafing dibandingkan karyawan lain (Vitak, Crouse & Larouse, 2011).
Selain itu, dalam memprediksi munculnya perilaku cyberloafing, hubungan
antara kebiasaan media (media habbit) dengan cyberloafing memiliki peran yang
penting (Vitak, Crouse & Larouse, 2011). Apabila individu telah kecanduan
internet, maka ia akan lebih mungkin melakukan cyberloafing di tempat kerja.
Dan apabila ditinjau dari faktor demografis, Garrett dan Danziger (2008)
menemukan bahwa status pekerjaan, persepsi otonomi di dalam tempat kerja,
tingkat pemasukan (gaji), pendidikan, dan jenis kelamin menjadi prediktor
penting terhadap perilaku cyberloafing.
Sedangkan apabila dilihat dari sifat karyawan, maka sifat seperti shyness
(perasaan malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), kontrol diri, harga diri,
dan locus of control dapat mempengaruhi bentuk dari penggunaan internet
memiliki sifat pemalu, kurang memiliki kesetiaan, memiliki keyakinan yang kuat
terhadap kekuatan orang lain, dan memiliki keyakinan yang tinggi pada
kesempatan untuk menentukan hidupnya, maka ia memiliki kecenderungan lebih
tinggi untuk mengalami adiksi terhadap internet (Chak & Leung, 2004).
Penelitian lain menemukan bahwa karyawan yang memiliki locus of control
eksternal (misalnya, percaya bahwa takdir mereka tergantung pada orang lain) dan
karyawan yang memiliki harga diri rendah kurang memiliki kontrol terhadap
penggunaan internet sehingga akan mempengaruhi tingkat penyalahgunaan
internet saat bekerja (Vitak, Crouse & Larouse, 2011). Individu yang berorientasi
eksternal juga ditemukan kurang berhasil dalam mengontrol penggunaan internet
mereka (Chak & Leung, 2004).
Jika dilihat melalui kontrol diri, karyawan yang memiliki kecenderungan
lebih besar untuk terlibat dalam perilaku menyimpang di tempat kerja adalah
karyawan yang memiliki kontrol diri rendah (Restubog, Garcia, Toledano,
Amarnani, Tolentino & Tang, 2011). Nagin dan Paternoster (1993)
memperkenalkan kontrol diri sebagai trait stabil yang mempengaruhi
kecenderungan seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas terlarang. Mereka
mengindikasikan bahwa individu dengan kontrol diri rendah adalah individu yang
merasa memiliki keperluan lebih kuat terhadap perilaku terlarang karena akan
mendapat reward (hadiah) langsung, serta memiliki conscience (hati nurani) yang
kurang berkembang. Sehingga mereka menemukan bahwa kontrol diri memiliki
bekerja, seperti perilaku cyberslacking, cyberloafing, atau junk computing (Nagin
& Paternoster, 1993).
Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu dirinya
dalam mengatur dan mengarahkan perilaku, yang disebut dengan kontrol diri.
Menurut Goldfried & Marbaum (1973), kontrol diri diartikan sebagai kemampuan
individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk
perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. Kontrol diri antara
satu individu dengan individu yang lain berbeda-beda. Ada individu yang
memiliki kontrol diri tinggi, sedang, atau bahkan rendah.
Sebuah penelitian dilakukan oleh Ugrin, Pearson, dan Odom (2008)
menunjukkan bahwa kontrol diri memiliki hubungan negatif dengan
cyber-slacking. Cyber-slacking merupakan kegiatan menghabiskan waktu tidak
produktif dengan internet. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa individu yang
memiliki kontrol diri rendah ditemukan memiliki kecenderungan lebih besar
untuk cyber-slacking.
Penelitian lain dilakukan oleh Swanepoel (2012) menunjukkan bahwa
kekuatan karakter karyawan seperti kontrol diri dan integritas berhubungan
negatif dengan perilaku menyimpang di tempat kerja. Hal ini menunjukkan bahwa
karyawan yang memiliki kontrol diri dan integritas yang tinggi lebih jarang
terlibat dalam perilaku menyimpang di kantor. Kedua hasil penelitian tersebut
mendukung bahwa kontrol diri dapat menentukan kecenderungan karyawan untuk
Salah satu jenis pekerjaan yang memanfaatkan internet dalam bekerja
adalah pegawai perpustakaan. Selain digunakan sebagai alat bantu dalam bekerja,
internet juga bermanfaat untuk mempermudah pelayanan kepada pengguna jasa
perpustakaan. Menurut Basuki (1993), salah satu tujuan perpustakaan umum
adalah menyediakan sumber informasi yang cepat, tepat, dan murah bagi
masyarakat terutama topik yang hangat dalam masyarakat.
Siregar (1999) menyebutkan bahwa penggunaan internet di perpustakaan
terbagi ke dalam dua jenis, yaitu (1) penyediaan akses yaitu penyediaan sarana
dan prasarana di mana pustakawan dan pengguna perpustakaan dapat
menggunakan internet. Penyediaan layanan akses ini bertujuan agar sivitas
akademika dapat memperoleh informasi yang bersumber dari Web, yang
diperlukan untuk mendukung kegiatan proses belajar-mengajar dan penelitian;
dan (2) publikasi elektronik yaitu kegiatan untuk mempublikasikan berbagai
informasi tentang dan oleh perpustakaan. Dalam hal ini, perpustakaan memiliki
dan memelihara sendiri suatu situs Web. Oleh karena itu, penggunaan internet di
perpustakaan dapat mempermudah pemberian informasi yang dibutuhkan oleh
pengguna, seperti informasi mengenai buku, jurnal, atau referensi ilmiah lainnya.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Library Research Service (1997),
empat dari sepuluh pegawai perpustakaan di Colorado mengakses internet dua
sampai tiga kali dalam seminggu. Tiga di antaranya menghabiskan satu sampai
dua jam setiap hari. Sedangkan satu orang menghabiskan waktu lebih dari dua
lakukan dengan internet, pegawai perpustakaan ini paling sering mengakses
World Wide Web, email, dan ACLIN (PAC dan database).
Wanucha dan Hofschire (2013) menganalisis munculnya beberapa website
yang diakses di perpustakaan Colorado. Hasilnya adalah peningkatan penggunaan
teknologi dari tahun 2010 hingga tahun 2012, meliputi pendaftaran kartu
perpustakaan secara online, online account access, email newsletter, text
reference, dan chat reference. Hasil survey mereka juga menunjukkan bahwa dari
9 jaringan sosial, maka 51% dari akses internet perpustakaan digunakan untuk
Facebook, 21% untuk Twitter, dan beberapa website lainnya seperti Youtube,
Foursquare, dan Tumblr.
Berdasarkan hasil observasi ketika mendatangi sebuah perpustakaan negeri,
beberapa pegawai terlihat menggunakan internet untuk bermain onlinegame atau
membuka media sosial (Facebook). Namun, beberapa pegawai lain tetap terlihat
fokus bekerja. Apabila pegawai tidak memiliki kontrol diri yang baik, maka
perhatian mereka mudah beralih kepada hal-hal yang lebih menyenangkan, seperti
membuka media sosial atau bemain online game.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti mengenai pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah kontrol diri berpengaruh terhadap perilaku
cyberloafing pada pegawai perpustakaan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kontrol diri terhadap
perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat yaitu:
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
memperkaya temuan pada bidang Psikologi Industri-Organisasi mengenai
cyberloafing di Indonesia dan kaitannya dengan kontrol diri. Hal ini
dikarenakan sulitnya menemukan referensi jurnal penelitian maupun
literatur yang membahas topik cyberloafing di Indonesia.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu instansi
perpustakaan untuk mengetahui tingkat kontrol diri yang dimiliki oleh
pegawai perpustakaan, serta mengetahui frekuensi cyberloafing yang
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Bab I : Pendahuluan
Berisikan latar belakang masalah yaitu mengenai perilaku cyberloafing di
tempat kerja ditinjau dari kontrol diri, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Berisikan mengenai landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi
objek penelitian, yaitu landasan teori dari cyberloafing yang meliputi
definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing,
serta landasan teori kontrol diri yang meliputi definisi, elemen-elemen, dan
tipe-tipe kontrol diri. Bab ini juga berisi mengenai dinamika antar variabel
dan hipotesis penelitian.
Bab III : Metode Penelitian
Berisikan mengenai metode-metode dalam penelitian yaitu identifikasi
variabel, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, metode
pengumpulan data, instrumen dan alat ukur yang digunakan, prosedur
Bab IV : Analisis data dan Pembahasan
Berisikan mengenai analisis data dan pembahasan yang berisikan
gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan hasil
penelitian yang merupakan perbandingan hipotesis dengan teori-teori atau
hasil penelitian terdahulu.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Berisikan mengenai kesimpulan dan saran dari peneliti. Bab ini akan
membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian dan saran yang
diberikan, baik untuk penyempurnaan penelitian ini, penelitian yang
berhubungan dengan variabel yang diteliti di masa mendatang, serta saran
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini berisi mengenai landasan teori yang mendasari masalah yang
menjadi objek penelitian, yaitu landasan teori cyberloafing yang meliputi definisi,
tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing, serta landasan teori
kontrol diri yang meliputi definisi, elemen-elemen, dan tipe-tipe kontrol diri. Bab
ini juga berisi mengenai dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian.
A. CYBERLOAFING
Cyberloafing merupakan sebuah isu penting yang berkembang bersamaan
dengan perkembangan penggunaan internet di bidang bisnis atau perusahaan. Tak
dapat dipungkiri bahwa cyberloafing menjadi salah satu fokus perhatian pihak
perusahaan karena dampaknya terhadap produktivitas karyawan. Terdapat banyak
istilah dan konsep yang digunakan untuk menyebutkan penggunaan internet yang
tidak berkaitan dengan pekerjaan di tempat kerja. Beberapa konsep tersebut antara
lain non-work related computing, cyberloafing, cyberslacking, cyberbludging,
on-line loafing, internet deviance, problematic internet use, personal web usage at
work, internet dependency, internet abuse, serta internet addiction (Kim &
1. Definisi Cyberloafing
Lim, Teo, dan Loo (2002) menyebutkan segala tindakan disengaja karyawan
menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja untuk browsing situs
yang tidak berkaitan dengan pekerjaan untuk tujuan pribadi dan aktivitas
memeriksa (termasuk menerima dan mengirim) email pribadi sebagai
penyalahgunaan internet. Segala aktivitas tersebut disebut dengan istilah
cyberloafing. Kedua aktivitas itu (seperti browsing atau memeriksa email)
merupakan penggunaan waktu yang tidak produktif karena menurunkan kinerja
karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugas utama pekerjaan.
Perilaku cyberloafing ini dapat dikatakan sama dengan istilah personal web
usage at work (penggunaan jaringan pribadi saat bekerja) yang diungkapkan oleh
Anadarajan dan Simmers (2004). Personal web usage at work merupakan segala
bentuk perilaku online web yang dilakukan oleh karyawan secara sengaja selama
jam kerja dengan menggunakan berbagai sumber daya organisasi untuk aktivitas
selain dari keperluan pekerjaan yang ditentukan. Sumber daya organisasi yang
dimaksud tidak hanya berupa jaringan maupun server perusahaan, tetapi juga
penggunaan komputer dan waktu karyawan yang seharusnya menjadi sumber
daya milik perusahaan.
Sedangkan menurut Blanchard dan Henle (2008), cyberloafing merupakan
penggunaan fasilitas internet dan email perusahaan yang tidak berkaitan dengan
pekerjaan secara disengaja oleh karyawan saat bekerja. Askew (2012) menyatakan
bahwa cyberloafing merupakan perilaku yang terjadi ketika karyawan
bekerja untuk aktivitas non-destruktif di mana supervisor karyawan tidak
menganggap perilaku itu berhubungan dengan pekerjaan.
Dari beberapa definisi yang diungkapkan tokoh di atas, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan
yang menggunakan akses internet perusahaan untuk hal-hal yang tidak berkaitan
dengan pekerjaan (tujuan pribadi) di saat jam kerja.
2. Tipe-Tipe Cyberloafing
Lim dan Teo (2005) membagi cyberloafing menjadi dua tipe aktivitas yaitu:
1. Emailing Activities (Aktivitas Email)
Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan email yang
tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) saat jam kerja. Contoh
perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah memeriksa, membaca, maupun
menerima email pribadi.
2. Browsing Activities (Aktivitas Browsing)
Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan akses internet
perusahaan untuk browsing situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan saat
jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah browsing situs
Sedangkan Blanchard dan Henle (2008) membagi cyberloafing ke dalam
dua tipe yaitu:
1. Minor Cyberloafing
Minor cyberloafing merupakan tipe cyberloafing di mana karyawan terlibat
dalam berbagai bentuk perilaku penggunaan internet umum yang tidak
berkaitan dengan pekerjaan. Minor cyberloafing terdiri dari penggunaan
email atau browsing situs hiburan. Beberapa contoh minor cyberloafing
adalah mengirim dan menerima email pribadi, mengunjungi situs olahraga,
memperbarui status jejaring sosial (seperti Twitter atau Facebook), serta
berbelanja online. Dengan kata lain, minor cyberloafing mirip dengan
perilaku umum lain yang tidak sepenuhnya ditoleransi di tempat kerja,
seperti mengangkat telfon pribadi atau mengobrol hal-hal yang bersifat
pribadi saat sedang bekerja.
2. Serious Cyberloafing
Serious cyberloafing merupakan tipe cyberloafing di mana karyawan
terlibat dalam berbagai bentuk perilaku penggunaan internet yang bersifat
lebih berbahaya karena bersifat melanggar norma perusahaan dan berpotensi
ilegal. Beberapa contoh perilaku dari serious cyberloafing adalah judi
online, mengelola situs milik pribadi, serta membuka situs yang
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan kedua tipe cyberloafing
dari Blanchard dan Henle (2008), baik minor cyberloafing maupun serious
cyberloafing. Hal ini dikarenakan kedua tipe cyberloafing ini membagi perilaku
cyberloafing ke dalam beberapa aktivitas berdasarkan tingkat keparahannya.
3. Faktor-Faktor Penyebab Cyberloafing
Menurut Ozler dan Polat (2012), terdapat tiga faktor yang menyebabkan
munculnya perilaku cyberloafing. Ketiga faktor itu adalah sebagai berikut :
1) Faktor Individual
Faktor individual berpengaruh terhadap muncul atau tidaknya perilaku
cyberloafing. Berbagai atribut dalam diri individu tersebut antara lain :
a. Persepsi dan Sikap
Individu yang memiliki sikap positif terhadap komputer lebih mungkin
menggunakan komputer kantor untuk alasan pribadi. Selain itu, terdapat
hubungan yang positif antara sikap mendukung terhadap cyberloafing
dengan perilaku cyberloafing (Liberman, Gwendolyn, Katelyn & Laura,
2011). Individu yang merasa bahwa penggunaan internet mereka
menguntungkan bagi performansi kerja lebih mungkin terlibat dalam
perilaku cyberloafing (Vitak, Crouse & Larouse, 2011).
b. Sifat Pribadi
Perilaku individu pengguna internet akan menunjukkan berbagai motif
shyness (rasa malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), kontrol diri,
harga diri, dan locus of control mungkin dapat mempengaruhi bentuk
penggunaan internet individu. Bentuk penggunaan internet yang dimaksud
adalah kecenderungan individu mengalami kecanduan atau
penyalahgunaan internet.
c. Kebiasaan dan Adiksi Internet
Kebiasaan mengacu pada serangkaian situasi-perilaku otomatis sehingga
terjadi tanpa disadari atau tanpa pertimbangan untuk merespon
isyarat-isyarat khusus di lingkungan (Woon & Pee, 2004). Lebih dari 50%
perilaku media diperkirakan merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010).
d. Faktor Demografis
Beberapa faktor demografis seperti status pekerjaan, persepsi otonomi di
dalam tempat kerja, tingkat gaji, pendidikan, dan jenis kelamin merupakan
prediktor penting dari cyberloafing (Garrett & Danziger, 2008).
e. Keinginan untuk Terlibat, Norma Sosial, dan Kode Etik Personal
Persepsi individu mengenai larangan etis terhadap cyberloafing
berhubungan negatif dengan penerimaan terhadap cyberloafing itu sendiri.
Namun sebaliknya, hal itu berhubungan positif dengan keinginan
seseorang untuk melakukan cyberloafing. Selain itu, keyakinan normatif
individu (misalnya, cyberloafing itu tidak benar secara moral) mengurangi
keinginan untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak, Crouse &
2) Faktor Organisasi
Beberapa faktor organisasi juga dapat menentukan kecenderungan karyawan
untuk melakukan cyberloafing. Beberapa faktor organisasi tersebut yaitu :
a. Pembatasan Penggunaan Internet
Perusahaan dapat membatasi penggunaan komputer saat bekerja melalui
kebijakan perusahaan atau pencegahan pengunaan teknologi di kantor. Hal
ini dapat mengurangi kesempatan karyawan menggunakan internet untuk
tujuan pribadi, sehingga perusahaan dapat meningkatkan regulasi diri
karyawan (Garrett & Danziger, 2008).
b. Hasil yang Diharapkan
Ketika karyawan memilih online untuk tujuan pribadi saat bekerja, ia
memiliki harapan tertentu bahwa perilaku itu dapat memenuhi
kebutuhannya dan dapat membuat dirinya terhindar dari konsekuensi
negatif (Garrett & Danziger, 2008).
c. Dukungan Manajerial
Dukungan manajerial terhadap penggunaan internet saat bekerja tanpa
menjelaskan bagaimana menggunakan fasilitas tersebut malah dapat
meningkatkan penggunaan internet untuk tujuan pribadi. Dukungan ini
dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai sebuah dukungan terhadap
semua tipe penggunaan internet, sehingga memunculkan perilaku
d. Pandangan Rekan Kerja tentang Norma Cyberloafing
Blau (2006) mengatakan bahwa karyawan melihat rekan kerjanya sebagai
role model (panutan) dalam organisasi, sehingga perilaku cyberloafing ini
dipelajari dengan mengikuti perilaku yang dilihatnya dalam lingkungan
organisasi. Individu yang mengetahui bahwa rekan kerjanya juga
melakukan cyberloafing, akan lebih mungkin untuk melakukan
cyberloafing (Weatherbee, 2010).
e. Sikap Kerja Karyawan
Perilaku cyberloafing merupakan respon emosional karyawan terhadap
pengalaman kerja yang membuatnya frustrasi, sehingga dapat diterima
bahwa sikap kerja mempengaruhi cyberloafing (Liberman, Gwendolyn,
Katelyn & Laura, 2011). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa
karyawan lebih mungkin terlibat dalam perilaku menyimpang ketika
memiliki sikap kerja yang tidak menyenangkan (Garrett & Danziger,
2008). Sikap kerja karyawan ini terdiri dari tiga bagian yaitu :
e.1. Injustice (Ketidakadilan)
Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan mempersepsikan
dirinya berada dalam ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu
caranya untuk menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan
e. 2. Komitmen Kerja
Dalam membentuk penggunaan internet di tempat kerja, komitmen
memiliki peran penting karena dapat mempengaruhi dampak yang
diharapkan. Karyawan yang terikat secara emosional dengan
organisasi dan pekerjaannya cenderung merasa bahwa cyberloafing
tidak sesuai dengan rutinitas kerja, sehingga mereka akan lebih jarang
melakukan cyberloafing.
e. 3. Kepuasan Kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki
kepuasan kerja tinggi memiliki perasaan lebih positif terhadap
penyalahgunaan internet. Sedangkan Stanton (2002) menemukan
bahwa karyawan yang cenderung menjadi sangat puas adalah
karyawan yang sering menyalahgunakan internet.
f. Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan tertentu akan mengarah pada perilaku cyberloafing
dengan tujuan untuk meningkatkan kreativitas atau melepas kebosanan.
Dengan kata lain, pekerjaan yang kreatif akan memiliki lebih banyak
tuntutan dan tidak membosankan, sehingga karyawan akan lebih jarang
3) Faktor Situasional
Perilaku penyimpangan internet biasanya terjadi ketika karyawan memiliki
akses terhadap internet di tempat kerja, sehingga hal ini sangat dipengaruhi
oleh faktor situasional yang memediasi perilaku ini (Weatherbee, 2010).
Penelitian menunjukkan bahwa kedekatan jarak secara fisik dengan
supervisor secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku
cyberloafing. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi karyawan terhadap kontrol
organisasi. Lebih jauh lagi, adanya kebijakan formal organisasi dan sanksi
atas perilaku cyberloafing juga dapat mengurangi perilaku cyberloafing.
Dari uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
cyberloafing di atas, maka penelitian ini hanya akan berfokus pada faktor
individual yaitu sifat pribadi karyawan berupa kontrol diri sebagai salah satu
variabel penelitian.
B. KONTROL DIRI
Kontrol diri merupakan salah satu fungsi pusat yang berada dalam diri
individu. Kontrol diri dapat dikembangkan dan digunakan oleh individu untuk
mencapai kesuksesan dalam proses kehidupan. Pengaruh kontrol diri terhadap
timbulnya tingkah laku dianggap cukup besar, karena salah satu hasil proses
1. Definisi Kontrol Diri
Goldfried & Marbaum (1973) menyatakan bahwa kontrol diri diartikan
sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan
bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. Hal ini sejalan
dengan definisi yang diungkapkan oleh Rothbaum, Weisz, dan Snyder (1982)
yang mendefinisikan kontrol diri sebagai sejauhmana individu mampu mengubah
dan beradaptasi dengan lingkungan sehingga dapat sesuai dengan kebutuhan diri.
Kopp (1982) menyatakan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan untuk
memenuhi keinginan dengan memodifikasi perilaku sesuai dengan situasi,
menyegerakan atau menunda tindakan, dan berperilaku sesuai dengan yang
diterima secara sosial tanpa dibimbing atau diarahkan oleh hal lainnya. Sedangkan
Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri sebagai pengaturan
proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, atau dengan kata lain
sebagai serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri sebagai individu.
Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan
atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan kognisi, afeksi,
dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu individu. Gottfredson dan
Hirschi juga menyatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah
adalah orang-orang yang cenderung memiliki orientasi “here and now”, lebih memilih menyelesaikan sesuatu secara fisik daripada mengandalkan kognitif,
senang terlibat dalam aktivitas berbahaya, kurang sensitif dengan kebutuhan orang
lain, lebih memilih jalan pintas dibandingkan dengan hal-hal kompleks, serta
Sedangkan menurut Bauimester (2002), kontrol diri mengacu pada kapasitas
untuk mengubah atau mengarahkan respon individu, termasuk pikiran, emosi, dan
tindakan secara sadar, terutama mengendalikan impuls dan melawan godaan.
Papalia, Olds, dan Feldman (2004) mengartikan kontrol diri sebagai kemampuan
individu untuk menyesuaikan tingkah laku dengan apa yang dianggap diterima
secara sosial oleh masyarakat.
Dari beberapa definisi kontrol diri tersebut, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk
mengatur dan mengarahkan pikiran, afeksi, dan perilaku agar dapat beradaptasi
dengan lingkungan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan maupun melawan
godaan tertentu.
2. Elemen-Elemen Kontrol Diri
Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan enam elemen yang menjadi
ciri-ciri individu yang memiliki kontrol diri rendah. Melalui enam elemen ini,
dapat dilihat tingkat kontrol diri individu. Enam elemen tersebut adalah :
1) Impulsiveness
Konsep ini mengacu pada kecenderungan seseorang untuk merespon stimulus
nyata di lingkungan terdekat. Individu ini memiliki orientasi “here and now”. Individu tidak mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perbuatan yang
akan dilakukannya. Individu mudah tergoda untuk sesuatu yang
menyenangkan. Sebaliknya, apabila individu memiliki kontrol diri yang
2) Preference for Physical Activity
Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah lebih
memilih kegiatan yang tidak membutuhkan keahlian tertentu dibandingkan
mencari aktivitas yang membutuhkan pemikiran (kognitif). Individu ini
senang melakukan aktivitas secara fisik dibandingkan aktivitas mental.
3) Risk-Seeking Orientation
Konsep ini menjelaskan bahwa individu dengan kontrol diri yang rendah suka
terlibat dalam aktivitas-aktivitas fisik yang beresiko, menyenangkan, dan
menegangkan. Mereka melakukan tindakan sembunyi-sembunyi, berbahaya,
atau manipulatif. Oleh karena itu, individu yang memiliki kontrol diri rendah
cenderung pemberani dan aktif. Sedangkan individu yang memiliki kontrol
diri tinggi cenderung hati-hati, kognitif, dan verbal.
4) Self-Centeredness
Individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung mementingkan diri
sendiri. Individu ini juga kurang peka terhadap penderitaan dan kebutuhan
orang lain. Individu ini sering tidak bersikap ramah, atau dengan kata lain,
cenderung kurang peduli dalam pembinaan hubungan dengan orang lain.
Tindakan mereka merupakan refleksi dari self-interest (minat pribadi) atau
5) Preference for Simple Tasks
Individu dengan kontrol diri yang rendah akan cenderung menghindari
tugas-tugas sulit yang membutuhkan banyak pemikiran. Individu ini lebih
menyukai tugas sederhana yang dapat diselesaikan dengan mudah. Dapat
dikatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung
kurang rajin, gigih, atau tekun dalam melakukan suatu tindakan. Mereka lebih
mencari kepuasan hasrat yang mudah dan sederhana.
6) Short-Tempered
Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung
rentan mengalami frustasi, emosi mudah meledak, dan temperamental. Ketika
terlibat permasalahan dengan orang lain, individu yang memiliki kontrol diri
rendah cenderung kesulitan untuk menyelesaikannya secara verbal.
3. Tipe-Tipe Kontrol Diri
Averill (1973) menyebut kontrol diri sebagai personal control (kontrol
personal). Berdasarkan konsep Averill, terdapat tiga tipe kontrol diri, yaitu
behaviour control (kontrol perilaku), cognitive control (kontrol kognitif), dan
a. Behavioral control
Kontrol perilaku merupakan adanya kesiapan dan penggunaan tindakan
yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan
yang tidak menyenangkan atau mengancam.
b. Cognitive control
Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah
informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau
menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi
psikologis atau untuk mengurangi tekanan.
c. Decisional control
Mengontrol keputusan merupakan kemampuan individu untuk memilih
tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diinginkannya atau setuju dengan
tindakan yang harus diambilnya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan
berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan
pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.
Dari uraian mengenai tipe-tipe kontrol diri yang dijelaskan di atas, peneliti
C. PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PERILAKU
CYBERLOAFING PADA PEGAWAI PERPUSTAKAAN
Salah satu fenomena yang muncul bersamaan dengan penggunaan fasilitas
internet di tempat kerja adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing
merupakan perilaku kerja karyawan yang bersifat counterproductive dan dapat
merugikan perusahan. Hal ini dikarenakan cyberloafing memungkinkan karyawan
untuk membuang-buang waktu kerja. Cyberloafing merupakan tindakan karyawan
yang disengaja berupa penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing
website yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (Lim, 2002). Tindakan ini
dilakukan selama jam kerja untuk kepentingan pribadi karyawan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah sifat
pribadi karyawan (Ozler & Polat, 2012). Salah satu sifat pribadi tersebut adalah
kontrol diri. Penelitian yang dilakukan oleh Restubog, Garcia, Toledano,
Amarnani, Tolentino, dan Tang (2011) menunjukkan bahwa kontrol diri
berhubungan negatif dengan perilaku cyberloafing pekerja. Hal ini konsisten
dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perilaku
counterproductive seperti cyberloafing terjadi akibat kegagalan regulasi diri
(Yellowees & Marks, 2007).
Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan
atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan kognisi, afeksi,
dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu individu. Dalam teori
kontrol diri rendah yang mereka kembangkan, mereka mengungkapkan bahwa
elemen, yaitu impulsiveness, preference for physical activity, risk-seeking
orientation, self-centeredness, preference for simple tasks, dan short-tempered.
Jika ditinjau dari elemen impulsiveness, maka pegawai yang impulsif
cenderung tidak mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perbuatan yang
dilakukannya. Pegawai yang impulsif lebih mungkin melakukan perilaku
menyimpang di tempat kerja, seperti cyberloafing. Selain itu, mereka lebih mudah
tergoda untuk melakukan sesuatu yang bersifat menyenangkan bagi dirinya
(Gottfredson & Hirschi, 1990), seperti browsing situs hiburan atau media sosial
saat bekerja. Pegawai yang impulsif berorientasi “here and now” sehingga mereka hanya berfokus pada kenikmatan sesaat dengan melakukan aktivitas browsing
internet untuk kepentingan pribadi tanpa mempedulikan dampaknya bagi tempat
di mana ia bekerja.
Jika ditinjau dari elemen preference for physical activity, maka pegawai
yang melakukan cyberloafing adalah pegawai yang senang melakukan aktivitas
fisik dibandingkan aktivitas mental. Hal ini maksudnya adalah pegawai tidak suka
melakukan aktivitas yang membutuhkan pemikiran maupun keahlian tertentu
(Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993). Cyberloafing merupakan salah satu
perilaku yang tidak membutuhkan skill tertentu, karena yang dibutuhkan hanya
perangkat elektronik (seperti komputer atau laptop) dan akses internet. Sedangkan
pegawai yang rendah pada elemen ini cenderung lebih suka pada aktivitas yang
Apabila ditinjau dari elemen risk-seeking orientation, pegawai yang
berorientasi mencari resiko lebih cenderung melakukan perilaku menyimpang saat
bekerja (Gottfredson & Hirschi, 1990). Perilaku menyimpang ini dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dan cukup berbahaya bagi dirinya dan orang lain. Dalam hal
ini, salah satu perilaku menyimpang itu adalah perilaku cyberloafing. Perilaku
cyberloafing juga mengandung unsur manipulatif karena pegawai tetap dapat
terlihat bekerja dengan semangat karena tidak meninggalkan meja kerja,
meskipun sebenarnya mereka sedang melakukan aktivitas browsing internet untuk
kepentingan pribadi (Lavoie & Pychyl, 2001). Oleh karena itu, pegawai yang
memiliki elemen risk-seeking orientation rendah cenderung akan berhati-hati
dalam bekerja, sehingga mereka akan mempertimbangkan segala konsekuensi dari
suatu tindakan yang akan dilakukannya.
Jika ditinjau dari elemen self-centeredness, pegawai yang hanya berfokus
pada kebutuhan diri sendiri akan lebih mungkin melakukan cyberloafing. Pegawai
ini kurang peka terhadap kebutuhan orang lain (Gottfredson & Hirschi, 1990),
seperti misalnya kebutuhan pengguna layanan perpustakaan. Dampak dari
penggunaan internet pribadi saat bekerja tentu akan merugikan berbagai pihak,
termasuk instansi di mana ia bekerja. Pegawai yang memiliki self-centeredness
tinggi juga akan kurang peka terhadap orang lain, sehingga mereka berperilaku
hanya untuk keuntungan pribadi (Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993).
Apabila dilihat dari elemen preference for simple tasks, pegawai yang lebih
mungkin melakukan cyberloafing adalah pegawai yang kurang gigih atau tekun
menyenangkan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Ia sulit untuk mengontrol
dirinya dan fokus menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Pegawai yang tinggi
pada elemen preference for simple tasks juga akan menghindari pekerjaan sulit
yang membutuhkan banyak pemikiran (Gottfredson & Hirschi, 1990). Sebaliknya,
pegawai yang memiliki elemen preference for simple tasks rendah cenderung
lebih fokus pada pekerjaannya sehingga perhatiannya tidak mudah beralih ke
hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
Jika ditinjau dari elemen short-tempered, pegawai yang tinggi pada elemen
ini cenderung rentan mengalami frustasi saat bekerja, sehingga mereka akan
mudah mencari pelampiasan dari rasa frustasi yang dialami dengan aktivitas lain
(Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993). Aktivitas lain tersebut biasanya
tidak berkaitan dengan pekerjaan, seperti cyberloafing. Selain itu, pegawai yang
tinggi pada elemen ini memiliki emosi yang mudah meledak dan temperamental.
Sebaliknya, pegawai yang rendah pada elemen ini cenderung lebih tenang dan
mamp mengontrol emosinya dengan baik.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pegawai yang memiliki
kontrol diri rendah berdasarkan teori Gottfredson dan Hirschi (1990) cenderung
impulsif, lebih suka melakukan aktivitas fisik yang tidak membutuhkan skill
tertentu, suka melakukan aktivitas beresiko, hanya fokus pada kebutuhan diri
sendiri, rentan mengalami frustasi dan temperamental, serta menghindari
pekerjaan sulit yang membutuhkan pemikiran kognitif. Oleh karena itu, pegawai
yang memiliki kontrol diri rendah cenderung lebih mungkin melakukan perilaku
tinggi cenderung mempertimbangkan konsekuensi dari perbuatan yang akan
dilakukannya (tidak impulsif), berhati-hati dalam bekerja, lebih suka melakukan
aktivitas mental, peka terhadap kebutuhan orang lain, mampu mengatur emosinya,
serta gigih dan tekun dalam bekerja. Oleh sebab itu, pegawai yang memiliki
kontrol diri tinggi cenderung lebih jarang melakukan perilaku menyimpang di
tempat kerja, seperti cyberloafing.
Berdasarkan pemaparan dinamika kedua variabel di atas, dapat dilihat
bagaimana keenam elemen dari kontrol diri rendah yang dikemukakan oleh
Gottfredson dan Hirschi (1990) dapat mempengaruhi munculnya perilaku
cyberloafing. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat pengaruh dari kontrol diri
terhadap perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan.
D. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing.” Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki individu, maka hal itu dapat mengurangi
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan serangkaian prosedur sistematis yang perlu
dicermati saat melaksanakan penelitian, agar hasil dari penelitian tersebut dapat
dipertanggungjawabkan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
metode kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk mendeteksi sejauh mana
variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau
lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2010). Adapun
variabel yang akan diuji korelasinya adalah kontrol diri dan perilaku cyberloafing.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL
Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Bebas (Prediktor) adalah kontrol diri.
2. Variabel Tergantung adalah perilaku cyberloafing.
B. DEFINISI OPERASIONAL
1. Perilaku Cyberloafing
Perilaku cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan
yang menggunakan akses internet perusahaan untuk tujuan pribadi di saat
Variabel ini diukur dengan menggunakan tipe-tipe cyberloafing yang
dikemukakan oleh Blanchard dan Henle (2008) yaitu minor cyberloafing
dan serious cyberloafing. Total skor yang dihasilkan dalam skala
cyberloafing menggambarkan frekuensi perilaku cyberloafing individu.
Semakin tinggi total skor yang didapat pada skala cyberloafing
menunjukkan bahwa individu semakin sering melakukan cyberloafing.
Sebaliknya, semakin rendah total skor pada skala ini menunjukkan bahwa
individu semakin jarang melakukan cyberloafing.
2. Kontrol Diri
Kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengatur dan
mengarahkan pikiran, afeksi, dan perilaku agar dapat beradaptasi dengan
lingkungan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan maupun melawan
godaan tertentu.
Variabel ini diukur dengan menggunakan elemen-elemen dari Low
Self-Control Theory (teori kontrol diri rendah) yang dikemukakan oleh
Gottfredson dan Hirschi (1990) yaitu impulsiveness, preference for
physical activity, risk-seeking orientation, self-centeredness, preference
for simple tasks, dan short-tempered. Total skor yang dihasilkan pada
skala kontrol diri ini menggambarkan tingkat kontrol diri yang dimiliki
individu. Semakin tinggi total skor pada skala ini menunjukkan bahwa
individu memiliki kontrol diri yang tinggi. Sedangkan semakin rendah
total skor pada skala ini menunjukkan bahwa individu memiliki kontrol
C. SUBJEK PENELITIAN
Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai
generalisasi hasil penelitian. Sebagai suatu populasi, kelompok subjek ini harus
memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik bersama yang membedakannya
dari kelompok subjek yang lain (Azwar, 2010). Ciri yang dimaksud tidak terbatas
hanya sebagai ciri lokasi, akan tetapi dapat terdiri dari karakteristik individu.
Populasi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan objek penelitian apabila
seseorang akan meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian.
Apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya
menjadi penelitian populasi (Arikunto, 2006). Peneliti akan meneliti 90 orang
pegawai yang ada di salah satu perpustakaan negeri.
Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bekerja dengan menggunakan akses internet dari perusahaan.
2. Menggunakan perangkat elektronik saat bekerja yang dapat berasal dari
perusahaan maupun milik pribadi.
3. Perusahaan di mana pegawai bekerja tidak membatasi penggunaan
internet.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk
mengumpulkan data mengenai subjek penelitian dari sebuah populasi. Metode
pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai tujuan untuk
yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Menurut Azwar (2010), skala
merupakan suatu prosedur pengambilan data yang mengukur aspek afektif yang
merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek
kepribadian individu.
Terdapat beberapa model penskalaan yang umumnya digunakan. Model
skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penskalaan respon
(Likert) yang bertujuan untuk meletakkan respon yang diberikan individu di
dalam sebuah kontinum. Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala
cyberloafing dan skala kontrol diri.
1. Skala Cyberloafing
Skala cyberloafing ini menggunakan salah satu metode dari behavior
checklist yang disebut dengan Likert method of summated ratings. Metode ini
merupakan metode di mana pernyataan deklaratif diikuti dengan beberapa
kategori respon. Skala ini digunakan untuk mengukur frekuensi cyberloafing
yang dilakukan oleh individu di tempat kerja. Skala ini disusun oleh peneliti
dengan mengacu pada dua tipe cyberloafing yang dikemukakan oleh Blanchard
dan Henle (2008). Dari kedua tipe cyberloafing tersebut, maka peneliti
membuat blue print skala cyberloafing.
Skala ini terdiri dari 5 kategori respon sebagai berikut :
Tidak Pernah (TP) : Bila individu merasa aktivitas itu tidak pernah ia
lakukan.