BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
C. Pembahasan
Dari hasil Penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan
Intercultural Sensitivity pada sekolah homogen dengan sekolah heterogen.
Karena dari hasil uji T-test yang dilakukan diperoleh didapatkan nilai ρ < 0.05, yakni sebesar 0.000 sehingga didapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
Intercultural Sensitivity antara siswa-siswi sekolah homogen dan sekolah
heterogen.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang di kemukakan oleh Chen
dalam The Concept of Intercultural Sensitivity (1997) dimana "Intercultural
Sensitivity" merupakan kemampuan individu untuk mengembangkan emosi
positif terhadap pemahaman dan menghargai perbedaan budaya sehingga
menampilkan perilakuyang tepat dan efektif dalam komunikasi antarbudaya.
Semakin tinggi skor subjek pada tiap dimensi yang ada dalam skala Intercultural
Sensitivity maka semakin kuat Intercultural Sensitivity yang dimiliki para siswa
sekolah yang berbasis homogen (Monocultural) dan sekolah heterogen
(Monocultural) di kota Medan begitu juga sebaliknya.
Dari hasil tambahan penelitian dapat dilihat bahwa komponen Interaction
Engangement merupakan komponen yang paling menonjol baik disekolah
homogen maupun heterogen. Data ini diperoleh dari perbandingan nilai mean dan
standard deviasi. Sementara komponen yang paling rendah dari Intercultural
Sensitivity adalah Interaction Attentivenes. Artinya hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan bahwa semakin tinggi skor subjek pada tiap dimensi yang ada
dalam skala Intercultural Sensitivity maka semakin kuat Intercultural Sensitivity
begitu juga sebaliknya. Hal ini jg terlihat dari keberagaman budaya yang ada
antara sekolah homogen dan sekolah heterogen dimana sekolah homogen
memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda lebih kecil
dari pada sekolah heterogen sehingga akan sangat mempengaruhi skor Interaction
Engangement. Sedangkan pada komponen Interaction Attentivenes merupakan
komponen yang memiliki nilai mean dan standard deviasi yang rendah dimana
komponen ini adalah komponen yang berhubungan dengan kemampuan individu
untuk peka dan memberikan perhatian ketika komunikasi antar budaya. Artinya
ketika interaksi antar budaya terbatas tentu kemampuan untuk peka dan
memberikan perhatian terhadap keragaman budaya juga akan berkurang.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ekstrand, L.H. dalam Saha,
Lawrence J. 1997, didalam proses pendidikanlah kesadaran, toleransi,
pemahaman dan pengetahuan tentang perbedaan dan persamaan antar budaya
yang berkaitan dengan konsep, nilai, keyakinan dan sikap ini akan diajarkan,
dipelajari, diarahkan dan diwujudkan. Pendidikan berbasis homogen
(monocultural) cenderung melemahkan kesadaran akan pentingnya nilai
kebersamaan, sikap toleransi,dan perilaku yang mampu menghargai, memahami,
serta peka terhadap potensi kemajemukan, pluralitas bangsa, dalam bidang etnik,
agama, dan budaya yang ada sehingga kesempatan mereka untuk melakukan
Interaction Engangement dengan budaya berbeda lebih kecil. Sementara
pendidikan berbasis heterogen (Multicultural) diarahkan untuk mewujudkan
kesadaran,toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan
dengan konsep, nilai, dan keyakinan serta sikap (Lawrence J. Saha, 1997:348)
sehingga kesempatan mereka untuk berinteraksi lebih besar.
Menurut Fay (1996) multikulturalisme adalah suatu ideologi yang akan
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
kebudayaan individu maupun secara kolektivitas. Dengan demikian
mulitikulturalisme dapat mewujudkan masyarakat yang rukun dan menjunjung
nilai-nilai kesederajatan. Dalam konteks pendidikan, multikulturalisme sangat
penting diajarkan di sekolah-sekolah. Hal ini berkenaan dengan Indonesia sebagai
bangsa yang besar yang terdiri dari keanekaragaman masyarakat dan budaya.
Kemajemukan itu harus di internalisasi dalam muatan pendidikan yang
menekankan pada aspek kesederajatan dalam pemenuhan hak - hak bagi warga
negara, sehingga benturan-benturan sosial dan politik dapat diminimalisasikan.
Hasil penelitian ini memberikan pengetahuan tentang perbedaan
Intercultural Sensitivity yang terdapat antara sekolah homogen (monocultural)
dengan sekolah heterogen (multicultural) sehingga dapat dijadikan evaluasi dan
bahan pertimbangan bagi dinas terkait dan sekolah-sekolah yang ada di kota
medan sehingga dalam konteks pendidikan multikulturalisme depat ditumbuhkan
dan dikembangkan melalui proses pembelajaran dan pendidikan di lingkungan
sekolah maupun dilingkungan bermasyarakat. Intercultural Sensitivity merupakan
suatu kemampuanmengembangkan emosi positif terhadap pemahaman dan
penghargaan terhadap perbedaan budaya sehingga dapat memunculkan prilaku
yang tepat dan efektif dalam komunikasi antar budaya. Dengan Intercultural
Sensitivity ini kita dapat menjadi masyarakat yang multikuturalisme, menikmati
orang-orang dari budaya yang berbeda. Sehingga melalui proses pendidikan
menghasilkan dan mewujudkan masyarakat multikultural yang memiliki
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan dan saran-saran yang
berhubungan dengan hasil dari penelitian yang diperoleh dari penelitian ini. Pada
bagian pertama akan diuraikan kesimpulan dari penelitian dan di bagian akhir
akan dikemukakan saran-saran yang diharapkan berguna bagi penelitian yang
akan datang yang berhubungan dengan penelitian ini.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil utama penelitian hipotesa dalam penelitian ini diterima
yaitu terdapat perbedaan Intercultural Sensitivity antara siswa-siswi
sekolah homogen dan sekolah heterogen.
2. Berdasarkan hasil tambahan penelitian dapat disimpulkan bahwa
komponen yang paling tinggi dari Intercultural Sensitivity terdapat pada
komponen Interaction Engagement, karena Interaction Engangement
adalah komponen dasar yang paling mudah dilakukan dan terlihat ketika
terjadi interaksi dengan budaya yang berbeda.. Sementara komponen yang
paling rendah terdapat pada komponen Interaction Attentiveness, karena
perhatian yang sulit diberikan dan dimunculkan ketika terjadi interaksi
dengan budaya yang berbeda
3. Berdasarkan hasil tambahan penelitian dapat disimpulkan bahwa
Intercultural Sensitivitypada sekolah heterogen lebih tinggi daripada
sekolah homogen.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang telah
dikemukakan, maka peneliti mengajukan beberapa saran yang dibagi ke dalam
dua bagian, yaitu saran metodologis dan saran praktis (ditujukan kepada instansi
penelitian) sebagai berikut:
1. Saran Metodologis
a. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif
komparatif sehingga, untuk peneliti yang tertarik untuk melanjutkan
penelitian yang sama diharapkan dapat memperluas data sampel
penelitian seperti budaya, suku, agama, ras, dan demografi yang lebih
bervariatif.
b. Untuk peneliti yang tertarik melanjutkan penelitian yang sama,
sebaiknya mencari faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada
pembentukan Intercultural Sensitivity.
c. Untuk peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian yang sama,
diharapkan dapat lebih mengadaptasi atau memperbaiki alat ukur agar
2. Saran Praktis
a. Kepada pihak sekolah agar lebih memperhatikan basis pendidikan
yang lebih mengedepankan pendidikan multikultural seperti
pendidikan dan pembelajaran mengenai keanekaragaman budaya dan
pluralitas bangsa yang kita miliki.
b. Kepada para siswa agar belajar memahami, menghargai dan
menerima, sehingga kita dapat mewujudkan masyarakat yang
multikultural.
c. Hasil penelitian ini kiranya dapat menjadi suatu evaluasi bagi sekolah-
sekolah untuk dapat melihat sejauh mana pendidikan mendukung
keragaman budaya melalui gambaran perbedaan Intercultural
Sensitivity siswa pada sekolah yang berbasis pendidikan homogen dan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Intercultural Sensitivity
1. Pengertian Intercultural Sensitivity
Kajian terhadap konsep yang menyerupai intercultural sensitivity tidak
hanya dapat dilakukan dengan perspektif ilmu psikologi, melainkan juga dari
perspektif disiplin ilmu lainnya seperti antropologi, komunikasi, hubungan
internasional dan sosiologi. Oleh sebab itulah dalam penelitian-penelitian ilmiah,
lazim ditemukan beragam pengertian dan cara pengkategorian berbeda yang
disematkan pada intercultural sensitivity.
Secara umum konsep intercultural sensitivity dikategorisasikan oleh
bebrapa tokoh. Tipe pertama adalah tokoh yang mengkategorikan intercultural
sensitivity sebagai salah satu dimensi yang menyusun suatu konsep yang lebih
besar. Tokoh yang pandangannya termasuk ke dalam kategori ini antara lain Chen
dan Starosta (Kashima, 2006) yang menyatakan bahwa intercultural sensitivity
merupakan dimensi afektif dari variabel intercultural communication
competence. Juga Cui dan Van den Berg (Panggabean, 2004) yang menyatakan
bahwa cultural empathy adalah salah satu dimensi yang menyusun variabel
intercultural effectiveness. Tipe kedua adalah tokoh yang menganggap bahwa intercultural sensitivity merupakan suatu variabel tunggal yang sifatnya mandiri
yang pandangannya termasuk ke dalam tipe ini antara lain Bhawuk dan Brislin
(1992) serta Bennett (1998, 2004).
Studi mengenai kepekaan interpersonal dilakukan oleh Bronfenbrener,
Harding, dan Gallwey (1958) adalah salah satu studi awal yang membahas
mengenai konsep sensitivitas ini. Mereka mencetuskan bahwa kepekaan secara
umum dan kepekaan terhadap perbedaan individu adalah dua jenis kemampuan
utama dalam persepsi sosial. Kepekaan terhadap orang lain secara umum adalah
"semacam kepekaan terhadap norma sosial satu kelompok sendiri" (McClelland,
1958, hal. 241), dan sensitivitas interpersonal adalah kemampuan untuk
membedakan bagaimana orang lain berbeda dalam perilaku, persepsi atau
perasaan (Bronfenbrener , et al., 1958). Konsep kepekaan interpersonal ini secara
lebih luas hampir sama dengan konsepIntercultural Sensitivity.
Hart Dan Burks (1972) Dan Hart, Carlson, dan Eadie (1980) juga
mengatakan bahwa Intercultural Sensitivity sebagai pola pikir yang diterapkan
seseorang dalam kehidupannya sehari-hari sehingga orang-orang yang sensitif
harus mampu menerima kompleksitas pribadi, menghindari kekakuan
komunikasi, sadar dalam interaksi, menghargai ide-ide yang dipertukarkan, dan
memiliki toleransi. Dan elemen-elemen ini tampaknya tertanam dalam dimensi
kognitif, afektif, dan perilaku interaksi antarbudaya.
Milton J. Bennett pada tahun (1986) juga menambahkan dengan
mendefinisikan Intercultural Sensitivity sebagai kemampuan untuk mengubah diri
dalam berinteraksi baik secara afektif,kognitif dan perilaku dari tahap penolakan
Bennett (1984) memahami Intercultural Sensitivity sebagai proses
perkembangan di mana seseorang memiliki kemampuan mengubah diri secara
afektif, kognitif, dan perilaku dari tahap etnosentris ketahap ethnorelative. Rute
proses transformasi ini dapat terpisah menjadi enam tahap yaitu:
(1) Penolakan -di mana salah satunya menyangkal perbedaan budaya
dengan orang-orang lain
(2) Pertahanan - di mana salah satunya berupaya untuk melindungi cara
pandangnya dengan melawan ancaman yang dirasakan.
(3) Minimisasi - di mana salah satu berupaya untuk melindungi inti dari satu
pandangan secara umum dengan menyembunyikan perbedaan
dalam bayangan kesamaan budaya.
(4) Penerimaan - di mana seseorang mulai menerima adanya perbedaan perilaku
yang didasari oleh perbedaan budaya.
(5) Adaptasi - di mana seseorang menjadi empatik terhadap perbedaan budaya
dan menjadi bicultural atau multikultural, dan
(6) Integrasi - di mana seseorang mampu menerapkan ethnorelativism identitas
sendiri dan dapat memahami perbedaan sebagai aspek penting
dan menyenangkan dari semua kehidupan.
Bhawuk dan Brislin (1992)menunjukkan, Intercultural Sensitivity
merupakan reaksi individu untuk orang-orang dari budaya lain, yang dapat
menentukan kemampuan kesuksesan seseorang untuk bekerja dan berkomunikasi
sebuah alat untuk mengukur Intercultural Sensitivity dari perspektif
individualisme vs kolektivisme. Mereka mengembangkan pengukuran
Intercultural Sensitivity yang berdasarkan unsur-unsur dimensi afektif, kognitif,
dan perilaku. Unsur-unsur yang digunakan antara lain:
(1) Pemahaman tentang cara berperilaku seseorang yang berbeda,
(2) Keterbukaan pikiran mengenai adanya perbedaan dan
(3) Tingkat fleksibilitas perilaku yang ditunjukkan dalam budaya baru.
Konsep yang lebih sederhana dikembangkan Chen dalam The Concept of
Intercultural Sensitivity (1997) telah mendefinisikan "Intercultural Sensitivity"
merupakan kemampuan individu untuk mengembangkan emosi positif terhadap
pemahaman dan menghargai perbedaan budaya sehingga menampilkan perilaku
yang tepat dan efektif dalam komunikasi antarbudaya. Dalam studinya Chen
(1997) juga mengidentifikasi bahwa Interaction Engagement, Respect for Cultural
Differences, Interaction Confidence, Interaction Enjoyment, Interaction Attentiveness merupakan komponen dasar Intercultural Sensitivity. Defenisi
2. Komponen Intercultural Sensitivity
Chen dan Starosta (2000 ) berpendapat bahwa sensitivitas antar budaya merupakan salah satu faktor penting dalam komunikasi antar budaya yang terdiri dari lima kemampuan yang menjadi komponen pembentuk Intercultural
Sensitivity, komponen tersebut antara lain:
a) Interaction Engagement.
Interaction Engangement merupakan keterlibatan interaksi yang menyangkut tentang perasaan peserta dalam proses komunikasi antarbudaya.
b) Respect for Cultural Differences
Dalam hal ini Respect for Cultural Differences mengacu pada bagaimana peserta mengarahkan atau mentolerir perbedaan budaya yang ada pada rekan-rekan mereka .
c) Interaction Confidence
Interaction Confidence ini mengacu pada tingkat kepercayaan dari seseorang selama interaksi antarbudaya berlangsung.
d) Interaction Enjoyment
Dalam interaksi yang terjadi, hal ini mengacu pada kenikmatan berinteraksi yang berhubungan dengan reaksi peserta komunikasi antar budaya.
e) Interaction Attentiveness
Perhatian terhadap interaksi yang terjadi mencerminkan upaya peserta untuk memahami apa yang terjadi di dalam komunikasi antarbudaya .
Studi yang dilakukan oleh Chen dan Starosta ' s (2000) mengindikasikan bahwa individu dengan sensitivitas antar budaya yang berkembang dengan baikakan menjadi lebih perhatian , lebih mampu bersosialisasi dengan baik, memiliki hubungan interpersonal yang baik sehingga dapat menyesuaikan perilaku mereka , dapat menunjukkan harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi, lebih empatik , dan lebih efektif dalam interaksi antarbudaya .
B. Sekolah Homogen (Monokultural)
Grendi Hendrastomo mengatakandalam “Homogenisasi pendidikan: Potret Eksklusifitas Pendidikan Modern” (2012) bahwa sekolah homogenmerupakan suatu sekolah yang memiliki ciri kesamaan karakteristik
peserta didik baik secara persamaan ekonomi,golongan,agama,maupun etnisitas.
Grendi Hendrastomo (2012) berkesimpulan bahwa homogenitas
pendidikan tampak nyata dalam pendidikan,ditengah banyaknya sekolah yang
menawarkan keragaman,sekolah homogen menciptakan suatu pandangan sama
yang memunculkan realitas yang tidak sesuai dengan keadaan di dalam
lingkungan nyata di tengah masyarakat yang cenderung heterogen. Pendidikan
homogen ini dianggap berbahaya karena tidak membiasakan siswa dengan
lingkungan dengan tantangan yang beragam.
Aris Saefulloh (2009) dalam “Paradigma pendidikan dalam bingkai Multicultural” juga menambahkan Sekolah negeri atau swasta yang berbasis Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah
yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah bagi anak-anak keturunan
eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap kemajemukan.
Aris Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa pada sekolah yang berbasis
homogen (monokultural) akan cenderung memiliki budaya yang sama didalam
lingkungan sekolah dan akan menciptakan budaya yang homogen di lingkungan
sekolah dan dalam diri para siswa dan siswi.
Homogenitas pendidikan kemudian diartikan sebagai keseragaman,
harmonisasi yang “dipaksakan”, kesamaan, kesebandingan, sesuatu hal yang
dibuat sama dan seragam dalam dunia pendidikan, termasuk didalamnya
kesamaan status sosial, kesamaan agama, hingga etnis para peserta didiknya.
Homogenitas disini secara tidak langsung sama artinya dengan diskriminasi
terhadap siswa yang berbeda dalam hal status sosial, agama atau etnis. Anwar
Effendi (2012)
C. Sekolah Heterogen (Multikultural)
Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai
“pendidikan tentang keberagaman budaya yang ada didalam lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan lingkungan umum secara keselurahan”. Dimana
hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Paulo freire (effendi, A.,
2012) bahwa pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan secara luas kepada setiap warga negara. Anderson dan
Custer (1994) berpendapat bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan
sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sekolah yang berbasis
pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman
(Hilliard 1992). Banks (1993) menyatakan bahwa pengertian pendidikan
multicultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan
multikultural ingin mengekplorasi perbedaan sebagai keniscayaan, kemudian
memberi apresiasi perbedaan itu dengan semangat egaliter dan toleran.
Multikulturalisme dipahami sebagai konsep yang berkaitan dengan aspek
sosial, politik,ekonomi, dan budaya. Aspek-aspek tersebut memberikan relasi
baru dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis dan terintegrasi. Secara
sederhana, multikulturalisme didefinisikan sebagai suatu pemahaman dalam
peningkatan drajat manusia dan kemanusiaannya yang mencakup, keyakinan,
keberagamaan, kebersamaan dalam perbedaaan yang sederajat,kesukubangsaan,
kebersamaan perolehan pendidikan, dsb (Yuni Widia Bella dalam jurnal Studi
Deskriptif SekolahMulticultural Di SMA Sultan Iskandar Muda)
Menurut Fay (1996) multikulturalisme sebagai suatu ideologi yang akan
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
kebudayaan individu maupun secara kolektivitas. Dengan demikian
mulitikulturalisme dapat mewujudkan masyarakat yang rukun dan menjunjung
nilai-nilai kesederajatan. Dalam konteks pendidikan, multikulturalisme sangat
penting diajarkan di sekolah-sekolah. Hal ini berkenaan dengan Indonesia sebagai
bangsa yang besar yang terdiri dari keanekaragaman masyarakat dan budaya.
Kemajemukan itu harus di internalisasi dalam muatan pendidikan yang
menekankan pada aspek kesederajatan dalam pemenuhan hak - hak bagi warga
Menurut James A. Banks (1997) pendidikan multikultural adalah konsep,
ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-
kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi
pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya yang ditunjukkan melalui
kebangsaan, bahasa, etnik, dan lain-lain. Pendidikan multikultural diarahkan
untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang
mempertimbangkan perbedaan cultural dan juga perbedaan dan persamaan antar
budaya dan kaitannya dengan kosep, nilai, dankeyakinan serta sikap (Lawrence J.
Saha, 1997:348).
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi
dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis
multicultural, sikap dan pemikiran siswa akan lebih terbuka dalam memahami
dan menghargai keberagaman yang ada sehingga menjadi salah satu metode
efektif dalam meredam konflik yang ditimbulkan oleh keberagaman yang ada.
Semua diarahkan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, masyarakat Indonesia yang
beriman, bertaqwa dan berbudi pekerti luhur, kepribadian yang mantap, mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN Bab II, Pasal
D. Perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa-siswi sekolah yang homogen (monokultural) dengan sekolah yang heterogen (multikultural)
Sekolah berbasis pendidikan homogen (monokultural) merupakan sekolah
yang memiliki karakteristik yang sama pada peserta didiknya baik dalam hal
suku, agama,ras,golongan maupun etnisitas (Grendi Hendrastomo 2012). Aris
Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa sekolah negeri atau swasta yang
berbasis Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolah-
sekolah yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah bagi anak-anak
keturunan China. Kondisi dan realitas ini melahirkan segregasi yang membentuk
sikap eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap
kemajemukan.
Sekolah berbasis pendidikan heterogen (multikultural) merupakan sekolah
yang memiliki proses atau strategi pendidikan yangmelibatkan lebih dari satu
budaya yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik,dan lain-lain.
Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran,toleransi,
pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan cultural
danjuga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan kosep,
nilai, dan keyakinan serta sikap (Lawrence J. Saha, 1997:348). Multikulturalisme
masyarakat yang memiliki berbagai macam karakteristik identitas, sepertiagama,
sosial, budaya dan bahasa. Dengan memahami konsep multikulturalisme ini maka
akan terciptalah rasa toleransi dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama yang
berbedadengan kita.
Uraian diatas menunjukkan bahwa pendidikan berbasis homogen
(monokultural) cenderung melemahkan kesadaran akan pentingnya nilai
kebersamaan, sikap toleransi,dan perilaku yang mampu menghargai, memahami,
serta peka terhadap potensi kemajemukan, pluralitas bangsa, dalam bidang etnik,
agama, dan budaya yang ada. Sementara pendidikan berbasis heterogen
(multikultural) diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman
dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan dan persamaan antar
budaya yang berkaitan dengan kosep, nilai, keyakinan serta sikap yang ada
(Lawrence J. Saha, 1997). Menurut Ekstrand, L.H. dalam Saha, Lawrence J.
1997, kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan tentang pendidikan
menjadi suatu alat yang memainkan peranan penting dalam pembelajaran tentang
kemajemukan perbedaan dan persamaan antar budaya yang dikaitkan dengan
konsep, nilai,keyakinan dan sikap ini akan diajarkan, dipelajari, diarahkan dan
diwujudkan didalam proses pendidikan.
Chen (1997) telah mendefinisikan bahwa "Intericultural Sensitivity"
adalahsalah satu kemampuan mengembangkan emosi positif terhadap
pemahaman perbedaan budaya dan menghargai perbedaan budaya yang ada
sehingga kita dapat menampilkan perilaku yang tepat dan efektif dalam
komunikasi antarbudaya. Dalam studinya Chen (1997) juga mengidentifikasi
Confidence, Interaction Enjoyment, Interaction Attentivenesssebagai komponen
dasar Intercultural Sensitivity. Zhao (2002) mendefinisikan Intercultural
Sensitivity sebagai kemampuan kunci untuk hidup dan bekerja sama secara efektif
dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.
Intercultural Sensitivity merupakan suatu kemampuan mengembangkan
emosi positif terhadap pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan budaya
sehingga dapat memunculkan prilaku yang tepat dan efektif dalam komunikasi
antar budaya. Dengan Intercultural Sensitivity ini kita dapat menjadi masyarakat
yang multikuturalisme,menikmati perbedaan, hidup rukun berdampingan dan
bekerja sama secara efektif dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan Intercultural
Sensitivity pada sekolah homogen (monocultural) dan sekolah heterogen
(multicultural)
E. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan diatas, maka hipotesa yang di ajukan dalam
penelitian ini adalah “ Ada Perbedaan Intercultural Sensitivity pada siswa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari kepulauan dan memiliki
beragama etnik yang hidup berkembang dengan tradisi dan keyakinannya masing-
masing. Beragam etnik ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya di