• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

G. Metode Analisis Data

3. Uji Korelasi

Uji korelasi dilakukan dengan Pearson Product Moment. Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel stres kerja dan intensi turnover. Kedua variabel dikatakan berkorelasi jika p < 0,05. Adapun kriteria penilaian korelasi menurut Sugiyono (2010), yaitu :

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00-0,199 Sangat Rendah

0,20-0,399 Rendah

0,40-0,599 Sedang

0,60-0,799 Kuat

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas keseluruhan hasil penelitian, yang dimulai dengan gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian sampai dengan pembahasan analisa data.

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN

Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah karyawan Bank di Medan. Metode pengambilan sampel yang dipakai adalah nonprobability sampling khususnya incidental sampling dimana peneliti mengambil sampel sebanyak jumlah tertentu yang dianggap dapat merefleksikan ciri populasi. Incidental sampling digunakan untuk pengujian hipotesis dalam penelitian awal.

1. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia

Penyebaran subjek penelitian berdasarkan usia dapat dilihat melalui tabel berikut :

Tabel 5. Sebaran Subjek Berdasarkan Usia

Usia Jumlah Persentase

19 tahun – 22 tahun 28 53,84 %

22 tahun ke atas 24 46,16 %

Total 70 100 %

Berdasarkan tabel di atas, 28 responden (53,84 %) memiliki rentang usia dari 19 hingga 24 tahun. Sebanyak 24 responden (46,16 %) memiliki rentang usia 25 tahun ke atas.

B. HASIL UJI ASUMSI PENELITIAN

Pengujian hipotesis penelitian menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment. Syarat sebelum melakukan analisis hipotesa, diperlukan uji asumsi penelitian yang bertujuan melihat distribusi data penelitian. Uji asumsi tersebut meliputi uji normalitas dan uji linieritas.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah data sudah terdistribusi dengan normal. Uji normalitas dilakukan dengan bantuan program SPSS Statistic 16 for Windows dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila nilai signifikansi variabel data lebih besar dari 0,05 maka data penelitian dinyatakan telah terdistribusi dengan normal. Hasil uji asumsi normalitas dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6. Hasil Uji Asumsi Normalitas

Variabel Asymp. Sig. (2-tailed) Keterangan

Stres Kerja 0,385 Normal

Intensi Turnover 0,079 Normal

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi variabel stres kerja yaitu p (0,385) > 0,05 dan nilai signikansi variabel intensi turnover yaitu p (0,079) > 0,05 menunjukkan bahwa data terdistribusi dengan normal. Hasil uji SPS dapat dilihat pada lampiran 7. 2. Uji Liniearitas

Uji liniearitas dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas (stres kerja) berkorelasi secara linear atau tidak

terhadap variabel tergantung (intensi turnover). Variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan linear apabila p < 0,05 untuk linearity. Hasil uji liniearitas dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 7. Hasil Uji Asumsi Linearitas

Variabel p Keterangan

Intensi turnover * Stres Kerja

0,00 Linear

Tabel di atas menunjukkan hasil uji linearitas pada kedua variabel. Dengan nilai linearity p (0,00) < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang linear. Hasil uji SPSS dapat dilihat pada lampiran 8.

C. HASIL UTAMA PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara stres kerja dengan intensi turnover. Hipotesa statistik dalam penelitian ini adalah :

H0 : p > 0,05, artinya tidak ada hubungan positif antara stres kerja dengan intensi turnover

H1 : p < 0,05, artinya terdapat hubungan positif antara stres kerja dengan intensi turnover

Hasil uji korelasi Pearson Product Moment dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 8. Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment Analisis Pearson Correlation (r) Signifikansi (p) Korelasi Pearson

Product Moment

0,683 0,000

Dari hasil pengolahan data, didapatkan korelasi sebesar r = 0,683 dengan nilai signifikansi p = 0,000. Oleh karena itu, hasil uji korelasi memiliki arti bahwa H0 ditolak dengan p (0,00) < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara stres kerja dengan intensi turnover. Hasil uji SPSS dapat dilihat pada lampiran 9.

D. HASIL TAMBAHAN PENELITIAN

Penyebaran subjek berdasarkan kategori skor dilampirkan pada deskripsi data penelitian. Berdasarkan data yang didapatkan, perbandingan data empiris dan data hipotetik dari variabel intensi turnover dan stres kerja dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 9. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik

Variabel

Nilai Empirik Nilai Hipotetik

Min Max Mean SD Min Max Mean SD

Intensi

Turnover 58 147 102,46 27,433 42 210 126 28

Stres Kerja 55 130 85,08 21,136 38 190 114 25,3

Dalam penelitian ini, kategorisasi yang dilakukan menggunakan dua jenis norma untuk variabel yang berbeda. Norma untuk stres kerja terbagi

atas tiga kategori yaitu : tinggi, sedang, rendah. Sedangkan norma untuk intensi turnover terbagi atas tiga kategori yaitu : tinggi, sedang, rendah. 1. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Stres Kerja

Norma kategorisasi data penelitian stres kerja yang digunakan adalah menggunakan rumus standar deviasi sebagai berikut :

Tabel 10. Norma Kategorisasi Data Penelitian Stres Kerja

Rentang Nilai Kategorisasi

X < (μ -1.0 SD) Rendah

(μ -1.0SD) ≤ X ≤ (μ +1.0 SD) Sedang

X > (μ +1.0 SD) Tinggi

Berdasarkan norma di atas, kategorisasi skor stres kerja secara umum adalah sebagai berikut :

Tabel 11.Kategorisasi Data Penelitian Stres Kerja

Rentang Nilai Kategorisasi Jumlah Persentase (%)

< 88,7 Rendah 31 59,62 %

88,7 – 139,3 Sedang 21 40,38 %

>139,3 Tinggi 0 0 %

Total 100 %

Dari tabel di atas terlihat bahwa terdapat 31 responden (59,62 %) yang memiliki stres kerja yang rendah. Sebanyak 21 responden (40,38 %) yang masuk pada kategori tingkat stres kerja sedang dan tidak ada responden yang memiliki stres kerja yang tinggi.

2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Variabel Intensi Turnover

Norma kategorisasi data penelitian perilaku intensi turnover menggunakan rumus standar deviasi sebagai berikut :

Tabel 12. Norma Kategorisasi Data Penelitian Intensi Turnover

Rentang Nilai Kategorisasi

X < (μ -1.0 SD) Rendah

(μ -1.0SD) ≤ X ≤ (μ +1.0 SD) Sedang

X > (μ +1.0 SD) Tinggi

Berdasarkan norma di atas, kategorisasi skor intensi turnover secara umum adalah sebagai berikut :

Tabel 13. Norma Kategorisasi Data Penelitian Intensi Turnover Rentang Nilai Kategorisasi Jumlah Persentase

(%)

< 98 Rendah 20 38,46 %

98 – 154 Sedang 32 61,54 %

>154 Tinggi 0 0 %

Total 100 %

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tidak ada responden (0 %) yang memiliki tingkat intensi turnover yang tinggi. Terdapat 20 responden (38,46 %) yang memiliki tingkat intensi turnover rendah dan 32 orang (61,54%) memiliki tingkat intensi turnover sedang.

E. PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan pada karyawan Bank di Medan dengan jumlah responden sebanyak 52 orang. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara variabel stress kerja dan intensi turnover. Hasil analisis data menunjukkan terdapat hubungan positif yang kuat dan signifikan antara stress kerja dengan intensi

turnover dengan koefisien korelasi sebesar 0,683 dan signifikansi (p) sebesar 0,000.

Hubungan positif artinya semakin tinggi stres kerja yang dialami karyawan maka semakin tinggi intensi turnover. Menurut Bickford (2005), intensi turnover merupakan salah satu akibat dari stress kerja yang dialami oleh karyawan. Nasrin Arshadi dan Hojat Damiri (2013) juga mengungkapkan terdapat hubungan positif antara stress kerja dengan intensi turnover. Stres kerja yang berlebihan membuat karyawan ingin segera meninggalkan tempat dia tempat bekerja.

Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hasil penelitian ini. Pertama, karyawan di Bank di Medan memiliki tingkat stres kerja yang rendah sehingga intensi karyawan untuk melakukan turnover juga tidak tinggi. Hal ini dapat terlihat pada kategorisasi stres kerja. Dapat dilihat bahwa tingkat stres kerja karyawan bank berada pada kategori rendah 59,62 % dan sisanya 40,38% berada pada kategori sedang. Kategori ini menunjukkan bahwa karyawan Bank di Medan tidak memiliki gangguan psikologis, fisik dan perilaku di tempat kerja. Salah satu alasan stres kerja rendah di Bank di Medan adalah gaji yang besar. Menurut Robbins (2013), salah satu faktor penyebab stres kerja pada karyawan adalah ketidakpastian ekonomi. Karyawan yang memiliki gaji yang rendah mungkin takut tidak bisa mencukupi kebutuhan pokoknya. Namun, menurut salah seorang karyawan bank di Medan gaji mereka bahkan untuk pegawai junior bisa lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan

lainnya. Hal ini bisa menjadi faktor stres kerja yang rendah pada karyawan Bank di Medan.

Berdasarkan kategorisasi intensi turnover, sebanyak 38,46% karyawan memiliki intensi turnover rendah dan sisanya 61,54 % memiliki intensi turnover yang sedang. Tidak ada karyawan yang memiliki tingkat intensi turnover yang tinggi. Tingkat intensi turnover yang sedang bisa disebabkan oleh faktor lain bukan hanya stres kerja. Usia bisa menjadi faktor yang mempengaruhi keinginan karyawan untuk melakukan intensi turnover. Menurut Nitisemito dalam Saragih (2011), apabila umur semakin tinggi maka intensi turnover akan menurun. Alternatif pekerjaan yang semakin sedikit, penghasilan tinggi dan tunjangan pensiin yang lebih menarik membuat karyawan yang memiliki usia lebih tinggi memiliki intensi turnover yang rendah. Dari hasil kategorisasi, dapat dilihat bahwa 53,84% karyawan memiliki umur yang lebih muda yaitu sekitar 19 – 22 tahun. Faktor umur ini bisa menjadi salah satu alasan intensi turnover pada karyawan Bank di Medan tergolong dalam kategori sedang. Karyawan yang lebih muda umumnya memiliki alternatif pekerjaan yang lebih banyak sehingga lebih mudah untuk melakukan turnover.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dalam bentuk poin serta saran-saran untuk penelitian selanjutnya dengan variabel yang serupa.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan data yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Adanya hubungan positif antara stres kerja dengan intensi turnover yang artinya, semakin tinggi tingkat stres kerja karyawan maka semakin tinggi juga tingkat intensi turnover karyawan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat stres kerja karyawan maka semakin rendah tingkat intensi turnover karyawan.

2. Secara keseluruhan, karyawan Bank di Medan memiliki stres kerja dalam kategori rendah yaitu 59,62 % dan sisanya berada dalam kategori sedang yaitu 40,38%.

3. Secara keseluruhan, karyawan Bank di Medan memiliki intensi turnover sedang yaitu 61,54 % dan sisanya berada dalam kategori rendah 38,46 %.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memiliki beberapa saran yang berguna bagi studi ilmiah yang akan datang dan bagi Bank di Medan. Saran ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu saran metodologis dan saran praktis :

1. Saran Metodologis

a. Ada baiknya apabila jumlah subjek ditambah agar penelitian ini dapat digeneralisasikan secara lebih luas.

b. Disarankan untuk penelitian selanjutnya, aspek dari variabel intensi turnover diganti dengan aspek yang lebih sesuai dengan teori.

2. Saran praktis

a. Sesuai dengan hasil penelitian, tingkat stres kerja di Bank di Medan berada dalam kategori rendah. Keadaan tersebut ada baiknya tetap dipertahankan sehingga produktivitas karyawan dapat ditingkatkan dan tidak terjadi turnover di institusi perbankan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. INTENSI TURNOVER 1. Definisi Intensi Turnover

Menurut Ajzen (1991), intensi adalah hal yang mendorong dan mempengaruhi sebuah perilaku. Intensi merupakan aspek konatif yang menunjukkan intensti individu dalam bertingkah laku (Novliadi, 2007). Intensi tersebut dapat mengindikasikan seberapa besar usaha seseorang untuk melakukan atau membentu suatu perilaku. Apabila intensi seseorang terhadap suatu perilaku semakin kuat, maka semakin besar kemungkinan perilaku tersebut terwujud.

Fishbein dan Ajzen (1975) menyatakan bahwa intensi memiliki dua aspek, yaitu pertama, sikap pribadi terhadap perilaku yang akan dilakukan (attitude toward the behavior). Sikap ini mundul dari dalam diri individu. Kedua, persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu (subjective norm). Norma subjektif mencerminkan pengaruh dan tekanan dari lingkungan sosial individu.

Namun Ajzen berpendapat bahwa teori reason action belum dapat menjelaskan tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol individu. Karena itu dalam theory of planned behavior Ajzen menambahkan satu faktor yang menentukan intensi yaitu perceived behavioral control. Perceived behavioral control merupakan persepsi individu terhadap kontrol yang dimilikinya sehubungan dengan perilaku tertentu (Ajzen, 2005). Faktor ini

memunculkan tingkah laku tertentu dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman masa lalu dan juga hambatan yang diantisipasi.

Menurut Ajzen (2005) ketiga faktor ini yaitu sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control dapat memprediksi intensi individu dalam melakukan perilaku tertentu.

Fishbein dan Ajzen (1975) mengatakan intensi adalah prediktor yang baik tentang bagaimana seorang individu berperilaku di masa depan. Oleh karena itu, intensi turnover merupakan prediktor baik terhadap gejala atau perilaku turnover.

Turnover menurut Cascio (1998) adalah suatu pemutusan hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dan pekerja. Callanan dan Greenhaus (2006) mendefinisikan turnover sebagai pemisahan diri karyawan dari suatu organisasi. Menurut Lee dan Mitchell (dalam Brett & Drasgow, 2002), turnover merupakan keputusan karyawan untuk berhenti dari pekerjaannya. Keputusan tersebut dapat dipicu oleh ketidakpuasan dengan pekerjaan atau perusahaannya.

Definisi dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa turnover adalah keluarnya karyawan dari perusaaannya karena adanya ketidakpuasan dengan pekerjaannya sekarang atau perusahaan tempatnya bekerja.

Robbins dan Judge (2013) menyatakan bahwa intensi turnover adalah keinginan karyawan untuk mengundurkan diri permanen dari suatu organisasi secara tidak sukarela (unvoluntary) maupun secara sukarela (voluntary). Intensi turnover didorong oleh dua faktor yaitu kurang menariknya pekerjaan dan tersedianya alternatif pekerjaan lain.

Menurut Medina (2012), intensi turnover adalah intensi atau keinginan karyawan untuk mencari alternatif pekerjaan lain dengan seorang atasan yang baru. Dengan kata lain, intensi turnover adalah indikator awal seseorang untuk meninggalkan pekerjaan lamanya.

Intensi turnover secara umum mengacu pada keinginan karyawan untuk meninggalkan perusahaan namun belum terwujud dalam suatu tindakan nyata. (Rogelberg, 2007). Karyawan akan melihat keuntungan dari alternatif pekerjaan lain. Apabila keuntungan tersebut lebih besar, maka akan timbul niat untuk berhenti dari pekerjaan lama dan pindah ke pekerjaan baru. Namun apabila alternatif yang tersedia tidak menjanjikan, hal tersebut akan mendorong karyawan untuk tetap tinggal di pekerjaan lamanya.

Dari pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa intensi turnover adalah keinginan karyawan untuk meninggalkan pekerjaan lamanya karena terjadi ketidakpuasan dengan pekerjaannya sekarang dan oleh karena adanya alternatif yang lebih menguntungkan di perusahaan lain.

2. Faktor-faktor intensi turnover

Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi intensi turnover pada karyawan, yaitu (Mobley et al., 1979):

1. Komitmen organisasi, seorang karyawan yang punya komitmen terhadap organisasi akan mempengaruhinya secara kuat untuk tetap bertahan di perusahaannya.

2. Peluang jangka panjang, dalam hal ini bagaimana seseorang melihat masa depannya di perusahaan. Karyawan akan bertahan bila peluang pendidikan dan karir diberikan oleh perusahaan.

3. Kepuasan kerja, seorang karyawan yang mempunyai kepuasan kerja tinggi tidak akan meninggalkan perusahaan, namun juga berlaku sebaliknya. 4. Stres kerja, jika karyawan mengalami stres tinggi, maka cenderung akan

meninggalkan perusahaan.

5. Keadilan, perlakuan secara adil bagi seluruh karyawan akan meneguhkan karyawan semakin loyal terhadap perusahaan dan akan tetap bertahan.

Sesuai dengan faktor di atas, dapat dilihat bahwa stres kerja merupakan salah satu faktor penyebab intensi turnover. Hal ini dapat disebabkan oleh karena stres kerja merupakan faktor krusial yang mempengaruhi kepuasan kerja dan komitmen orginasasi karyawan yang kemudian menjadi prediktor turnover (Mosadeghrad, 2013).

3. Pengukuran Intensi Turnover

Intensi merupakan variabel terdekat dengan perilaku nyata yang akan dilakukan seseorang (Fishbein dan Ajzen dalam Novliadi, 2007). Apabila intensi dikaitkan dengan perilaku turnover, maka dapat disimpulkan bahwa intensi turnover (turnover intention) adalah prediktor terhadap perilaku turnover pada karyawan.

Pengukuran intensi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Fishbein dan Ajzen (dalam Novliadi, 2007) mengemukakan bahwa pengukuran intensi secara langsung menekankan pada isi intensi atau

spontanitas keinginan untuk melakukan suatu perilaku tertentu tanpa memperhatikan proses yang mendahului terbentuknya intensi tersebut. Sedangkan, pengukuran intensi secara tidak langsung berdasarkan kerangka konseptual pembentukan perilaku. Fishbein dan Ajzen (1975) menyatakan bahwa intensi memiliki 2 aspek utama, yaitu attitude towards behavior dan subjective norm.

Sikap pribadi terhadap perilaku (attitude towards behavior) merupakan penilaian individu terhadap konsekuensi suatu perilaku. Sikap ini cenderung muncul dari dalam individu. Individu akan memiliki intensi untuk melakukan suatu perilaku apabila individu menganggap perilaku tersebut positif dan dapat menghasilkan sesuatu yang menguntungkannya.

Sedangkan norma subjektif (subjective norm) merefleksikan pengaruh dan tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Individu akan melakukan suatu perilaku apabila individu tersebut percaya bahwa orang-orang di sekitarnya memandang perilaku tersebut layak untuk dilakukan.

Ajzen (2005) kembali menambahkan aspek ketiga dari intensi, yaitu perceived behavioral control. Perceived behavioral control merupakan persepsi individu terhadap kontrol yang dimilikinya sehubungan dengan perilaku tertentu

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin favorable sikap pribadi dan norma subjektif individu terhadap perilaku turnover, maka semakin tinggi intensi individu untuk mewujudkan perilaku turnover.

B. STRES KERJA 1. Definisi Stres Kerja

Stres adalah suatu kondisi yang bersifat dinamis dimana individu dihadapkan dengan kesempatan, yang berhubungan dengan apa yang individu inginkan dan hasil yang didapatkan dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak pasti dan penting. Arti singkatnya adalah stres merupakan proses psikologis yang tidak menyenangkan yang terjadi karena adanya tekanan dari lingkungan (Robbins, 2013)

Beehr dan Newman (1978) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu kondisi yang muncul karena adanya interaksi antara individu dengan pekerjaannya, yang dikarakterisasikan dengan adanya perubahan pada individu yang membuat individu berperilaku tidak normal.

French, Rogers, & Cobb dalam Wijono (2010) mendefinisikan stres kerja sebagai berikut : “a misfit between a person’s skill and abilities and demands of the job misfit in term of person’s needs supplied by the job environment.” Kemudian mereka bersama Van Harrison dan Pinneau (1975) membuat definisi baru menjadi “any characteristic of the job environment

which process a threat to the individual.”

Sementara Keenan dan Newton dalam Wijono (2010) menyatakan bahwa stres kerja adalah hasil dari kekaburan peran, konflik peran dan beban kerja yang berlebihan, Hal-hal ini dapat mengganggu prestasi dan kemampuan individu dalam bekerja. Menurut Kavanagh, Hurst dan Rose dikuti dari Wijono

(2010), stres kerja juga merupakan salah satu bentuk ketidakseimbangan persepsi individu terhadap kemampuannya untuk melakukan tindakan.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stres kerja merupakan keadaan psikologis yang tidak menyenangkan yang disebabkan karena adanya tekanan dari lingkungan kerja dan adanya ketidakselarasan antara kemampuan individu dengan tuntutan pekerjaan yang dimilikinya.

2. Faktor-faktor stres kerja

Menurut Robbins (2013) ada beberapa faktor penyebab stres dalam pekerjaan, yaitu :

1. Faktor Lingkungan

Robbins (2013) menjelaskan bahwa adanya ketidakpastian lingkungan akan mempengaruhi desain dari struktur organisasi dan kemudian ketidakpastian tersebut akan mempengaruhi tingkat stres pada karyawan yang ada di organisasi tersebut. Terdapat 3 tipe utama dari ketidakpastian lingkungan, yaitu :

a. Ketidakpastian Ekonomi

Siklus bisnis yang selalu berubah dapat menimbulkan terjadinya economic uncertainties atau ketidakpastian ekonomi. Ketika keadaan ekonomi sedang tidak stabil karyawan cenderung terus khawatir akan pekerjaan mereka. Gaji yang diterima oleh karyawan mungkin saja tidak cukup untuk membiayai kebutuhan pokok karyawan.

b. Ketidakpastian Politis

Batasan politik menjadi salah satu sumber stres yang berhubungan dengan pekerjaan. Karyawan akan merasa tertekan atau stres apabila karyawan merasa ada ancaman terhadap perubahan politik.

c. Ketidakpastian Teknologis

Inovasi baru dapat membuat ketrampilan dan pengalaman seorang karyawan akan menjadi sia-sia dalam waktu yang sangat pendek oleh karena itu ketidakpastian teknologi merupakan tipe ketiga yang dapat menyebabkan stres, komputer, robotika, otomatisasi dan ragam- ragam lain dari inovasi teknologis merupakan ancaman bagi banyak organisasi yang menyebabkan stres pada karyawan.

2. Faktor Organisasi

Menurut Robbins (2013) menjelaskan banyak sekali faktor dalam organisasi yang dapat menimbulkan stres. Tekanan untuk menghindari kekeliruan atau menyelesaikan tugas dalam suatu kurun waktu yang terbatas, beban kerja yang berlebihan, sehingga dikategorikan faktor-faktor ini di sekitar tuntutan tugas, tuntutan peran dan tuntutan antar pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi dan tingkat hidup organisasi.

a. Tuntutan Tugas

Menurut Robbins (2013) tuntutan peran merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seorang. Faktor ini mencakup desain pekerjaan individu, kondisi kerja, dan tata letak fasilitas kerja.

Keadaan kerja yang tidak sesuai dengan karyawan dapat menyebabkan stres kerja.

b. Tuntutan Peran

Menurut Robbins (2013) tuntutan peran diberikan kepada seseorang sebagai suatu peran yang harus dilaksanakan dalam organisasi. Tuntutan peran yang terjadi dapat berupa konflik peran, peran yang berlebihan dan ambiguitas peran

c. Tuntutan Antar Pribadi

Menurut Robbins (2007) tuntutan antar pribadi diciptakan oleh karyawan lain di perusahan. Kurangnya dukungan sosial dari kerabat kerja dan hubungan interpersonal yang sangat minim dapat menyebabkan stres terutama pada karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi.

3. Faktor Individual

Robbins (2013) menjelaskan bahwa faktor personal pada karyawan yang menimbulkan stres kerja adalah masalah keluarga, masalah finansial dan karakteristik kepribadian individu.

Menurut McShane dan Van Glinow (2009), stres kerja dapat disebabkan oleh beberapa jenis stressors, yaitu :

1. Harassment and Incivility

Salah satu sumber stres yang paling cepat berkembang dalam lingkungan kerja adalah penganiayaan secara psikologis. Penganiayaan

secara psikologis di dalamnya termasuk komen secara verbal, perilaku dan gesture yang mempengaruhi harga diri karyawan dan intergritas fisik dan psikologis karyawan yang dapat membuat lingkungan kerja menjadi tidak nyaman untuk karyawan tersebut.

2. Work Overload

Ilmuwan pada dulunya memprediksi bahwa perkembangan teknologi akan membuat jam kerja karyawan akan berkurang. Namun, hal tersebut belum terwujud. Banyak karyawan-karyawan yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu. Kerja yang berlebihan atau work overload dapat mengakibatkan burnout pada karyawan. Hal ini juga dapat memicu terjadinya konflik rumah tangga, karena karyawan yang bekerja secara berlebihan memiliki waktu yang sedikit untuk menemani keluarganya.

3. Low Task Control

Efek dari stres kerja tergantung pada job resources individu. Job resource merepresentasikan aspek pekerjaan yang membantu karyawan dalam mencapai tujuan, meringankan job demand, dan/atau

Dokumen terkait