• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Hasil penelitian memperlihatkan adanya perbedaan work-family conflict yang signifikan pada karyawan yang memiliki locus of control internal dan karyawan yang memiliki locus of control eksternal dengan p < 0,05. Dimana terlihat bahwa karyawan dengan locus of control eksternal memiliki work-family conflict yang lebih tinggi daripada karyawan dengan locus of control internal. Dengan demikian hipotesa yang diajukan diterima. Hal ini tampak dari skor olahan data dimana rata-rata yang diperoleh subjek locus of control eksternal yakni 78,50 dengan standard deviasi 9,041, sedangkan subjek locus of control internal yakni 63,41 dengan standard deviasi 7,283. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ahmad (2008) bahwa kepribadian khususnya ciri kepribadian locus of control mempengaruhi work-family confllict yang dialami oleh individu. Hasil ini juga mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Noor (2002) yang mengungkapkan bahwa individu yang memiliki locus of control internal cenderung lebih rendah untuk mengalami work-family conflict.

Sebagian besar karyawan memiliki locus of control internal. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa karyawan dengan locus of control internal berjumlah 49 orang, sedangkan karyawan dengan locus of control eksternal berjumlah 16 orang. Individu dengan locus of control internal memiliki karakteristik berupa usaha yang lebih besar untuk mengontrol lingkungan (Phares, 1976), dapat mengelola emosi dan stres secara efektif (Breet, Myburgh, & Poggenpoel, 2010), tidak mudah terpengaruh, mampu menunda pemuasan, lebih mampu menghadapi kegagalan (Lina, Haryanto, & Rosyid, 1997), dan memiliki

kemampuan yang lebih baik dalam mengontrol situasi yang penuh dengan tekanan (Arsenault, Dolan, &Ameringen, 1991). Sehingga karyawan yang memiliki locus of control internal cenderung mengalami work-family conflict yang lebih rendah daripada karyawan yang memiliki locus of control eksternal.

Sedangkan pada individu dengan locus of control eksternal memiliki karakteristik berupa usaha yang lebih pasif dalam mengontrol lingkungan (Phares, 1976), mudah dipengaruhi (Lina, Haryanto, & Rosyid, 1997), mudah mengalami depresi (Perlow & Latham, 1993; Stevens, 2002; Breet, Myburgh, & Poggenpoel, 2010), dan cenderung merasakan suasana hati negatif ketika mengalami situasi yang penuh dengan tekanan (Dharsani, 2014). Sehingga karyawan yang memiliki locus of control eksternal cenderung mengalami work-family conflict yang lebih tinggi daripada karyawan yang memiliki locus of control internal.

Work-family conflict yang dialami karyawan berada di bawah work-family conflict populasi pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa nilai mean empirik work-family conflict yaitu 66,47 lebih kecil daripada mean hipotetik work-family conflict yaitu 78. Berdasarkan norma kategorisasi distribusi normal standar, maka sebagian besar karyawan memiliki work-family conflict yang sedang. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bahwa karyawan dengan work-family conflict yang sedang berjumlah 54 orang. Sedangkan karyawan dengan work-family conflict yang tinggi berjumlah 1 orang dan karyawan dengan work-family conflict yang rendah berjumlah 21 orang. Ahmad (2008) yang mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang berasal dari lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi

work-family conflict, yaitu tipe pekerjaan (job type), komitmen terhadap waktu kerja (work-time commitment), keterlibatan dalam pekerjaan (job involvement), beban kerja yang berlebihan (role overload), dan fleksibilitas pekerjaan (job flexibility). Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas work-family conflict yang dialami karyawan berada di bawah populasi pada umumnya dan berada dalam kategori yang sedang. Hal tersebut membuktikan bahwa secara umum situasi di perusahaan tempat karyawan bekerja termasuk ke dalam situasi yang kondusif bagi karyawan. Hal ini ditandai dengan diberlakukannya jam kerja yang sama bagi seluruh karyawan yang menjadi sampel penelitian, yang dimulai dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Sehingga hal tersebut dapat menghasilkan beban kerja yang merata pada setiap karyawan sesuai dengan jabatan masing-masing karyawan.

Work-family conflict ditinjau dari usia menunjukkan bahwa karyawan yang berusia 20-40 tahun dengan mean 67,55 dan standard deviasi 9,131 menunjukkan work-family conflict yang lebih tinggi daripada kelompok usia 41-65 tahun dengan mean 65,00 dan standard deviasi 11,444. Kelompok usia 20-40 tahun termasuk ke dalam kelompok usia dewasa awal, sedangkan kelompok usia 41-65 tahun termasuk ke dalam kelompok usia dewasa tengah (Santrock, 2009). Pada karyawan yang berada pada usia dewasa tengah, rentang usia ini merupakan saat dimana individu melakukan evaluasi, assessment, dan refleksi dalam hal pekerjaan mereka (Moen & Spencer, 2006). Selain itu pekerja dalam usia ini mengalami keterbatasan progres dalam pekerjaannya, yang meliputi pergantian pekerjaan, menyeimbangkan kembali antara pekerjaan dan keluarga, dan

perencanaan untuk masa pensiun (Sterns & Huyck, 2001). Dengan kata lain, karyawan yang berusia dewasa tengah lebih mampu untuk beradaptasi dengan situasi di tempat kerja dan di keluarga daripada karyawan yang berusia dewasa awal. Hal ini menjadikan karyawan yang berusia dewasa tengah mengalami work- family conflict yang lebih rendah daripada karyawan yang berusia dewasa awal. Sedangkan pada karyawan yang berada pada usia dewasa awal, rentang usia ini merupakan saat dimana individu mulai membangun rumah tangga dan mulai masuk ke dunia kerja sesuai dengan ekspektasinya terhadap pekerjaan. Pada tahap ini juga individu mulai melakukan pengembangan karir untuk memperbesar penghasilannya dengan adanya promosi jabatan (Santrock, 2009). Hal tersebut menuntut karyawan untuk dapat beradaptasi terhadap situasi di lingkungan kerja dan keluarga. Sehingga hal ini menjadikan karyawan yang berusia dewasa awal mengalami work-family conflict yang lebih tinggi daripada karyawan yang berusia dewasa tengah.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan dan saran-saran sehubungan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian. Pada bagian pertama akan dijabarkan tentang kesimpulan penelitian. Pada bagian terakhir dikemukakan saran-saran metodologis dan praktis yang mungkin dapat berguna bagi penelitian yang akan datang dengan tema serupa.

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada karyawan PT. PLN (Persero) UNIT INDUK PEMBANGUNAN II, maka dapat diambil kesimpulan :

1. Ada perbedaan work-family conflict pada karyawan jika ditinjau dari locus of control. Dimana menurut penelitian bahwa karyawan dengan locus of control eksternal lebih rentan terhadap work-family conflict daripada subjek dengan locus of control internal.

2. Mean skor work-family conflict pada penelitian ini menyatakan bahwa work- family conflict subjek penelitian berada dibawah work-family conflict populasi pada umumnya.

3. Sebagian besar karyawan PT. PLN (Persero) UNIT INDUK PEMBANGUNAN II memiliki work-family conflict dengan kategori sedang. 4. Sebagian besar karyawan PT. PLN (Persero) UNIT INDUK

5. Mean skor work-family conflict berdasarkan usia pada penelitian ini menyatakan subjek yang berusia 20-40 tahun memiliki mean skor work-family conflict yang lebih tinggi daripada subjek yang berusia 41-65 tahun.

B. Saran

1. Saran Metodologis

Dalam penelitian ini, terdapat kekurangan-kekurangan baik dalam hal metode maupun penyajian informasi. Dengan demikian, kekurangan-kekurangan tersebut perlu diperhatikan sebagai upaya untuk memperbaiki dan menyempurnakan penelitian-penelitian yang akan dilakukan selanjutnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan tema yang serupa hendaknya memperhatikan beberapa hal berikut ini :

a. Penelitian ini hanya menggunakan subjek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki. Sehingga bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menggunakan subjek penelitian yang berjenis kelamin perempuan, atau juga menggunakan keduanya yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini karena jenis kelamin baik laki- laki dan perempuan merupakan salah satu karakteristik yang dapat mempengaruhi work-family conflict yang dialami oleh individu.

b. Untuk penelitian selanjutnya mengenai variabel yang sama yaitu locus of control dan work-family conflict, penelitian bisa lebih dikembangkan dengan melakukan penelitian dengan topik pengaruh locus of control terhadap work- family conflict.

2. Saran Praktis

Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi informasi tentang permasalahan karyawan yang berkaitan dengan dirinya, khususnya tentang work- family conflict yang dialami oleh karyawan dan locus of control yang dimiliki oleh karyawan. Disarankan kepada pihak perusahaan yaitu PT. PLN (Persero) UNIT INDUK PEMBANGUNAN II untuk dapat mengarahkan karyawan yang memiliki oerientasi locus of control eksternal menuju orientasi locus of control internal. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan suatu pelatihan dengan mengambil tema kepribadian yang dapat meningkatkan pengendalian diri karyawan terhadap situasi konflik yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga. Sehingga dengan demikian diharapkan work-family conflict yang dialami oleh karyawan dapat berkurang dan performa kerja karyawan tetap terjaga.

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A.Work-family conflict

1. Definisi work-family conflict

Work-family conflict didefinisikan oleh Kahn, dkk (1964) (dalam Ahmad, 2008) sebagai suatu bentuk konflik antar peran tekanan dari peran di pekerjaan dan peran di keluarga saling bertentangan satu sama lain. Selanjutnya Greenhaus & Beutell (1985) mendefinisikan work-family conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga saling bertentangan dalam beberapa hal sehingga partisipasi dalam satu peran (pekerjaan atau keluarga) lebih sulit karena partisipasi dalam peran lainnya (keluarga atau pekerjaan). Menurut Netemeyer, Boles, & McMurrian (1996) work-family conflict adalah suatu bentuk konflik antar peran yang terjadi akibat dari suatu tuntutan umum dan ketegangan yang dihasilkan oleh pekerjaan mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan tanggung jawab yang berkaitan dengan keluarga (Esson, 2004). Howard (2008) mendefinisikan work-family conflict sebagai konflik antar peran yang dihasilkan oleh tekanan dari tuntutan di pekerjaan dan tuntutan di keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985; Boyar, Maertz, Pearson, & Keough, 2003; Razak, Yunus, & Nasurdin, 2011).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa work-family conflict adalah konflik yang muncul karena kesulitan untuk memenuhi tuntutan peran di pekerjaan dan keluarga.

2. Dimensi work-family conflict

Menurut Greenhaus & Beutell (1985) work-family conflict terdiri dari tiga dimensi, yaitu :

a. Time-Based Conflict

Dimensi time-based conflict mengacu kepada konflik yang muncul ketika waktu yang diperlukan untuk memenuhi salah satu satu peran (pekerjaan atau keluarga) membuat individu kesulitan untuk memenuhi tuntutan peran lainnya (keluarga atau pekerjaan). Misalnya seseorang yang menghabiskan waktunya untuk bekerja lembur menimbulkan konflik dalam keluarganya kerena ia tidak dapat hadir dalam jadwal makan malam bersama keluarga.

b. Strain-Based Conflict

Dimensi strain-based conflict mengacu kepada konflik yang muncul ketika ketegangan yang dihasilkan dari tuntutan salah satu peran (pekerjaan atau keluarga) mempengaruhi kinerja individu dalam memenuhi tuntutan peran yang lainnya (keluarga atau pekerjaan). Misalnya seseorang yang mengalami kelelalahan, cepat marah, depresi dan kecemasan karena tuntutan yang tinggi dalam pekerjaannya membuat individu kesulitan untuk menjadi orangtua yang penuh perhatian dan penyayang bagi keluarga.

c. Behavior-Based Conflict

Dimensi behavior-based conflict mengacu kepada konflik yang muncul ketika pola perilaku tertentu dari salah satu peran (pekerjaan atau keluarga) tidak sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan dalam peran lainnya (keluarga atau pekerjaan). Misalnya seseorang yang berprofesi sebagai manajer diharuskan untuk

mandiri, obyektif dan tidak memihak serta agresif. Tetapi para anggota keluarga mungkin mengharapkannya untuk bersikap lembut, hangat, tidak emosional, dan manusiawi dalam hubungan dengan mereka.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi work-family conflict

Menurut Ahmad (2008) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi work-family conflict, yaitu :

a. Job-Related Factors

Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang berasal dari ruang lingkup pekerjaan. Terdapat beberapa hal yang masuk ke dalam job-related factors, yaitu :

1. Job type

Tipe pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang dapat mempengaruhinya untuk mengalami work-family conflict. Karyawan yang berada di posisi manajerial dan profesional melaporkan lebih banyak mengalami work-famili conflict daripada karyawan yang bekerja di posisi non-manajerial dan non-profesional (Duxbury & Higgins, 2003).

2. Work time commitment

Komitmen terhadap waktu kerja berkontribusi terhadap munculnya konflik antara peran pekerjaan dan non-pekerjaan bagi karyawan (Beauregard, 2006; Grzywacz & Marks, 2000). Jam kerja yang terlalu lama dapat membuat karyawan mengalami kesulitan untuk menyeimbangkan tuntutan peran di keluarga dan pekerjaan.

3. Job involvement

Individu dengan tingkat keterlibatan psikologis yang tinggi dalam peran pekerjaan mereka mungkin lebih sibuk dengan pekerjaan mereka dan membuat mereka dapat mencurahkan energi dalam jumlah yang berlebihan untuk peran pekerjaan mereka dengan mengorbankan peran keluarga mereka, sehingga mereka mengalami work-family conflict (Hammer, dkk, 1997; Darcy & Carthy, 2007). 4. Role overload

Adanya beban kerja yang berlebihan dapat membuat individu mengalami konflik dengan peran mereka dalam keluarga (Deery, 2008; Salam, 2014). Individu yang merasa bahwa beban kerja mereka lebih dari yang dapat mereka tangani, akan mengalami emosi negatif, kelelahan dan ketegangan, sehingga mereka dapat mengalami work-family conflict.

5. Job flexibility

Pengaturan kerja yang tidak fleksibel dapat membuat karyawan mengalami work-family conflict. Saat ini banyak dari para pemimpin perusahaan yang menerapkan program pengaturan kerja yang fleksibel bagi karyawan yang kesulitan untuk menyeimbangkan perannya di pekerjaan dan keluarga (Masuda, dkk, 2012; Salam, 2014).

b. Family-Related Factors

Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang berasal dari ruang lingkup keluarga. Terdapat beberapa hal yang masuk ke dalam family-related factors, yaitu :

1. Number of children

Kehadiran anak dalam rumah tangga bisa menyebabkan individu mengalami work-family conflict (Carnicer, dkk, 2004). Karyawan yang sudah mempunyai anak dan bertanggung jawab sebagai orang tua lebih mungkin untuk memiliki komitmen yang tidak fleksibel di rumah, sehingga hal ini dapat bertentangan dengan harapan atau tuntutan di pekerjaan.

2. Life-cycle stage

Tuntutan peran kerja dan keluarga yang ditemui selama masa dewasa bervariasi dengan tahap siklus hidup orang dewasa. Ibu yang bekerja dengan anak-anak yang lebih muda akan mengalami lebih banyak work-family conflict dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua. Hal ini disebabkan karena ibu yang bekerja dengan anak-anak yang lebih muda sering memiliki tuntutan yang tak terduga, seperti pengaturan perawatan anak dan perawatan anak yang sakit, akan menghasilkan tingkat kontrol yang lebih rendah atas pekerjaan mereka dan membuat mereka lebih sering berhadapan dengan keluarga sehingga meningkatkan potensi munculnya work-family conflict.

3. Family involvement

Karyawan yang memiliki keterlibatan yang lebih dalam domain keluarga dapat mengalami konflik dalam pekerjaan mereka (Carlson & Kacmar, 2000). Hal ini disebabkan karena keterlibatan seseorang dalam keluarga menjadikan mereka untuk mengidentifikasi diri mereka dengan keluarga yang berdampak terhadap citra diri dan konsep diri mereka, sehingga dapat mengganggu peran mereka dalam pekerjaan dan mengalami work-family conflict. Sejalan dengan hasil

penelitian Greenhaus, Parasuraman, Collins (2001) yang mengungkapkan bahwa keterlibatan dalam keluarga memiliki hubungan yang positif dengan work-family conflict.

4. Child care arrangements

Pengaturan tentang perawatan anak pada orang tua yang sama-sama bekerja dapat mempengaruhi kondisi dalam pekerjaannya (Greenberger & O’Neal, 1990). Pada pasangan dual-earner, wanita yang bekerja lebih cenderung untuk mengambil cuti dari pekerjaan untuk merawat anak yang sakit daripada pasangan mereka yang juga bekerja. Selain itu, wanita mengalami lebih banyak konflik keluarga-pekerjaan ketika pasangan mereka tidak membantu mereka dalam hal merawat dan membesarkan anak (King, 2005).

c. Individual-Related Factors

Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang berasal dari ruang lingkup indvidu. Terdapat beberapa hal yang masuk ke dalam individual-related factors, yaitu :

1. Life role values

Nilai-nilai peran hidup yang dimiliki seseorang berkaitan dengan work-family conflict yang dialaminya. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai peran hidup merupakan pusat untuk mengorganisir makna dan tindakan untuk orang yang bekerja (Carlson & Kacmar, 2000). Terdapat tiga perspektif yang dapat digunakan untuk menggabungkan nilai-nilai peran hidup ke dalam penelitian konflik pekerjaan-keluarga, yaitu sentralitas, prioritas dan kepentingan (Carlson & Kacmar, 2000). Sentralitas mengacu pada ekspresi nilai individu yang berkaitan

dengan bagaimana pentingnya pekerjaan atau keluarga dalam kehidupan mereka jika dibandingkan dengan peran kehidupan lainnya, prioritas mengacu pada ekspresi nilai individu yang berkaitan dengan bagaimana individu memprioritaskan peran hidup mereka, sedangkan kepentingan mengacu pada pentingnya ekspresi nilai diwujudkan dalam suatu peran yang diberikan kepada individu.

2. Gender role orientation

Orientasi peran gender mengacu pada keyakinan individu mengenai peran normal pria dan wanita dalam memenuhi tanggung jawab keluarga dan pekerjaan (Harris & Firestone, 1998). Pria cenderung lebih banyak mengalami work-family conflict jika terjadi pertukaran peran dengan istri mereka yang membuat mereka menerima tanggung jawab lebih untuk tugas-tugas yang berhubungan dengan perawatan anak, menyiapkan makanan dan bersih-bersih. Sedangkan pada wanita cenderung lebih banyak mengalami work-family conflict jika mereka memegang keyakinan yang kuat terhadap peran gender tradisional yang mengharuskan mereka untuk lebih menerima tanggung jawab dan tugas-tugas dalam keluarga (Carnicer, dkk, 2004).

3. Personality

Kepribadian individu dapat mempengaruhi individu dalam menghadapi konflik antara peran di pekerjaan dan keluarga. Kepribadian yang dimiliki oleh individu merupakan determinan yang mengarahkan individu untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku terhadap pekerjaannya (George, 1992; Darshani, 2014). Individu yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi cenderung lebih banyak

mengalami work-family conflict (Wayne, dkk, 2004; Ratanen, Pulkkinen, & Kinnunen, 2005). Selain itu, individu yang workaholics cenderung lebih tinggi mengalami work-family conflict daripada individu yang tidak workaholics (Bonebright, Clay & Ankenmann, 2000). Selanjutnya diungkapkan bahwa individu yang memiliki locus of control internal cenderung lebih rendah untuk mengalami work-family conflict (Noor, 2002; Andreassi & Thompson, 2007). 4. Self-evaluations

Evaluasi diri dapat mempengaruhi persepsi individu tentang pekerjaan dan keluarga mereka (Fride & Ryan, 2005). Individu dengan evaluasi diri yang positif, seperti harga diri yang tinggi dan perfeksionisme, akan memilih situasi yang dapat menjadikan diri mereka berharga dan menghindari situasi yang menjadikan diri mereka tidak berharga. Sedangkan individu dengan evaluasi diri yang negatif mengalami lebih banyak situasi yang penuh dengan tekanan baik di pekerjaan maupun di rumah (Fride & Ryan, 2005; Beauregard, 2006).

B.Locus of control

1. Definisi locus of control

Istilah locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1966 (Engko & Gudono, 2007). Locus of control didefinisikan oleh Rotter (1966) sebagai cara pandang seseorang bahwa ia dapat mengendalikan atau tidak sebuah peristiwa yang sedang terjadi.

Locus of control merupakan persepsi atau keyakinan seseorang terhadap kontrol diri atas peristiwa yang mempengaruhi kehidupannya (Greenberg, 2006).

Sejalan dengan pernyataan Larsen & Buss (2002) yang mendefinisikan locus of control sebagai suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan individu mengenai sumber kendali akan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.

Locus of control menggambarkan seberapa jauh seseorang memandang hubungan antara perbuatan yang dilakukannya (action) dengan hasilnya (outcome). Hjele & Ziegler (1981) mengungkapkan bahwa locus of control adalah persepsi seseorang tentang penyebab kesuksesan atau kegagalan dalam melaksanakan pekerjaanya (Engko & Gudono, 2007).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah cara pandang seseorang mengenai kemampuan dirinya dalam mengontrol peristiwa yang dialaminya.

2. Konsep dasar locus of control

Locus of control merupakan karakteristik kepribadian yang berupa kontinum, di satu sisi internal dan di sisi lain eksternal (Rotter, 1966; Lefcourt, 1982). Locus of control internal dan locus of control eksternal terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan bagi individu untuk lebih memiliki salah satu dari kedua orientasi locus of control tersebut. Perbedaannya terletak pada tingkat perbandingan antara keduanya, bila orientasi eksternal lebih besar maka orientasi internal akan lebih kecil demikian sebaliknya, bila orientasi internal lebih besar maka orientasi eksternal yang lebih kecil. Dengan demikian tidak satupun individu yang memiliki locus of control internal murni atau memiliki locus of control eksternal murni.

Selain itu, locus of control tidak bersifat statis, tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi locus of control internal dapat berubah menjadi individu yang berorientasi locus of control eksternal dan begitu juga sebaliknya. Locus of control yang dimiliki seseorang dapat berubah dan berkembang seseuai dengan usia. Anak-anak muda seringkali lebih rentan untuk bertindak sesuai dengan locus of control eksternal, sedangkan orang tua lebih cenderung untuk bertindak ke arah locus of control internal (Hopkins, 1983; Breet, Myburgh, & Poggenpoel, 2010).

3. Orientasi locus of control

Menurut Rotter (1966) locus of control memiliki dua orientasi sebagai unidimensional, yaitu :

a. Locus of control internal

Individu dengan orientasi locus of control internal menganggap bahwa kejadian yang mereka alami dan apa yang mereka peroleh dalam hidup lebih ditentukan oleh keterampilan, kemampuan, dan usaha dari diri mereka sendiri. b. Locus of control eksternal

Individu dengan orientasi locus of control eksternal menganggap bahwa kejadian yang mereka alami dan apa yang mereka peroleh dalam hidup lebih ditentukan oleh kekuatan dari luar diri mereka, seperti nasib, takdir, keberuntungan, dan orang lain yang berkuasa.

Lebih lanjut Levenson (1972) mengembangkan teori Rotter dengan membagi orientasi locus of control ke dalam tiga aspek yaitu internality, powerful-other,

dan chance (Zamawi, 2009). Levenson mengungkapkan bahwa individu yang memiliki orientasi ke arah locus of control internal, dalam hal ini internality, akan memiliki keyakinan bahwa kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam hidupnya ditentukan oleh usaha dan kemampuannya sendiri. Sedangkan individu yang

Dokumen terkait