BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
C. Pembahasan
Sebelum menganalisa lebih lanjut persamaan tersebut, perlu dilakukan beberapa uji statistik dan uji asumsi klasik terlebih dahulu untuk mendapatkan persamaan yang BLUE (best, linier, unbias, estimated).
1)Uji Asumsi Klasik
Asumsi klasik yang diuji dalam penelitian ini meliputi uji autokorelasi dengan menggunakan Durbin Watson (DW) test, dan multikolinearitas dengan melihat nilai
a) Multikolinearitas
Uji multikolinearitas adalah bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi yang cukup besar antar sesama variabel bebas (X). Korelasi yang terlalu tinggi antar sesama X akan berpengaruh pada menurunnya korelasi secara simultan terhadap variabel Y. Untuk mendeteksi terjadinya multikolinearitas digunakan uji
Klein yaitu dengan perbandingan R2 model dengan R2 regresi dari masing-masing
variabel independen. Selain itu dapat juga menggunakan nilai Variance Inflating
Factor (VIF) <10.
Tabel 4.1 Hasil Uji Multikolinearitas
Sumber: Output Eviews Least Square Method
Berdasarkan data di atas dapat terlihat bahwa nilai Variance Inflating
Factor (VIF) menunjukkan semua variabel independen lebih kecil dari 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa data penelitian terbebas dari masalah multikolinearitas. Bila diamati lebih lanjut, persamaan tersebut mempunyai masalah autokorelasi, hal
Variabel VIF Kesimpulan
SBI Inflasi Kurs PDB 1.336804 1.208820 1.039898 1.136608 Bebas Multikolinearitas
tersebut dapat dengan mudah terdeteksi ketika melihat nilai Durbin-Watson
(DB-test) yang berada pada interval 0-1.10 yaitu dengan nilai 0.067886 yang menandakan
bahwa teradapat Autokorelasi pada model tersebut. Dengan adanya masalah Autokorelasi pada model tersebut, maka dapat dipastikan predictor-nya tidak BLUE, meskipun model regresi itu sudah sesuai dengan teori ekonomi secara umum.
Jika proses analisis data tetap dilakukan pada model pertama tersebut, maka akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:
1. Predictor-nya tetap tidak efisien (bila dibandingkan dengan BLUE), sehingga selang kepercayaan (level signifikan) menjadi lebar secara tidak perlu dan pengujian signifikasi kurang akurat.
2. Nilai residual akan menaksir terlalu rendah dari nilai sebenarnya.
3. Pengujian arti t (t-test) dan uji F tidak lagi sah dan nika diterapkan akan
memberikan kesimpulan yang menyesatkan secara serius mengenai arti statistik dari koefisien regresi yang ditaksir (Gujarati, 1995).
b) Uji Stasioneritas Data
Untuk membuktikan ketidakefisienan model klasik tersebut lebih disebabkan oleh model atau oleh perilaku data, maka perlu dilihat apakah data yang dipergunakan untuk estimasi stasioner, sehingga tidak menghasilkan regresi yang lancung (semrawut). Dalam mencapai tujuan tersebut maka dalam penelitian ini
dilakukan dengan uji akar unit dan uji derajat integrasi. Uji stasioneritas ini
dilakukan baik terhadap data maupun error hasil persamaan regresi.
Uji stasioner yang dilakukan menggunakan 5 kontrol lag karena data yang
dipergunakan (n) sebanyak 126. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 4.2 : Hasil Uji Akar-akar Unit Variabel Pengamatan
Dari tabel tersebut terlihat bahwa Variabel Inflasi, Kurs dan PDB stasioner pada derajat ke-0 atau pada I(0), sedangkan Variabel JII dan SBI belum stasioner
pada a 5%. Untuk itu perlu diuji pada derajat berikutnya atau pada derajat-1 atau
I(1). Hasil pengujian pada derajat 1 dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Variabel DF ADF JII -0.5617 -2.568283 SBI -1.787198 -2.844547 INFLASI -2.909334 -3.068052 KURS -3.672386 -3.607175 PDB -10.26901 -10.23753
Tabel 4.3 Hasil Uji Stasioneritas pada l(1)
Variabel Prob DF Prob ADF
JII -8.64965 -8.62021
SBI -3.38168 -3.36422
INFLASI -8.98087 -8.97623
KURS -8.54720 -8.5309
PDB -10.35907 -9.42817
Dari tabel tersebut dapat ditunjukkan bahwa data untuk semua variabel sudah stasioner. Uji stasioneritas menunjukkan bahwa data dari semua variabel yang digunakan untuk mengestimasi model yang diajukan adalah stasioner. Pada dasarnya pengujian stasioneritas ini cukup mendukung apa yang dihasilkan dalam regresi linier klasik, yaitu bahwa persamaan regresi pada dasarnya tidak lancung (semrawut). Sehingga dapat diduga bahwa ketidakefisienan model dalam menguji hipotesis kemungkinan besar disebabkan oleh model persamaan yang tidak tepat, karena tidak mampu mencerminkan perilaku pengambilan keputusan para pelaku pasar.
Untuk mengatasi masalah asumsi klasik maka model yang akan digunakan
adalah model kombinasi antara Distributed Lag dan Autoregressive. Model
Autoregressive adalah suatu model yang meregreskan nilai Y(t-1perode) kepada Y
sebagai variabel dependent-nya. Sedangkan model Distributed Lag adalah model
regresi dimana variabel bebasnya terdiri dari beberapa variabel bebas pada periode t-1.
Untuk menentukan tingkat/orde suatu model Autoregressive (AR) digunakan plot ACF dan PACF. Berdasarkan print out (dilampirkan) dapat dilihat bahwa nilai untuk ACF dan PACF bagi variabel JII selalu menurun pada Lag pertama. Penurunan nilai tersebut merupakan indikasi bahwa model tersebut berada pada orde pertama atau AR(1). Demikian juga untuk variabel bebasnya, secara keseluruhan nilai ACF dan PACF juga turun pada lag pertama.
Menurut Hendy dan Ericsson(1991) penggabungan model AR(n) dan
Distributed Lag menjadi model AR(n) D.L sederhana adalah sebagai berikut :
Yt=a+b1X1+b2X2+…..+Y(t-1)+e Autoregressive/AR(1)
Yt=a+b1X1+b2X1(t-1)+….+bnXn(t-1)+e Distributed Lag
Digabungkan, menjadi:
Yt= a+b1X1+b2X1(t-1)+b3X2+b4X2(t-1)+b5X3+b6X3(t-1)+….+ Y(t-1)+e
c) Analisa Hasil Estimasi Autoregressive Distributed Lag
1. Uji parsial(t-test)
Merupakan uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui apaka koefisien regresi suatu model signifikan atau tidak secara individual (Sritua, 1993) pada level keyakinan tertentu terhadap variabel dependen. Apabila nilai t
hitung lebih besar dari nilai t tabel dengan alpha 0.05 dan df =122.
Tabel 4.4
Hasil Autoregressive Distributed Lag
Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob.
C -24.20088 24.82916 -0.974696 0.3318 SBI -7.351518 5.389066 -1.364155 0.1752 SBI(-1) 6.354480 5.396014 1.177625 0.2414 INFLASI -1.239738 1.246262 -0.994765 0.3219 INFLASI(-1) 0.543285 1.223623 0.443997 0.6579 KURS -0.011733 0.005158 -2.274663 0.0248 KURS(-1) 0.016747 0.005095 3.286578 0.0013 PDB -0.809146 1.396588 -0.579374 0.5635 PDB(-1) -0.511473 1.390084 -0.367944 0.7136 JII(-1) 0.986018 0.016283 60.55384 0.0000 R-squared 0.983856 Adjusted R-squared 0.982593
F-statistic 778.7217 Durbin-Watson stat 1.697868
Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: output eviews
Dapat dilihat pada table t-test di atas, nilai Probabilitas (p-value) dari 8
variabel hanya 2 predictor variabel yang berpengaruh secara signifikan pada
level 5% yaitu variabel kurs dan kurst-1, sedangkan variabel lain sebenarnya
berpengaruh tapi tidak signifikan.
2. Uji simultan (F-test)
Merupakan uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui apakah koefisien regresi suatu model berpengaruh signifikan atau tidak secara keseluruhan (simultan atau bersama-sama) terhadap variabel dependen/respon.
Signifikasi uji F dapat dilihat pada nilai Probabilitas (p-value) F-statistik. Pada
maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas pada model ini berpengaruh secara simultan terhadap variabel dependen.
3. Uji multikolinearitas
Dengan melihat nilai VIF pada print out hasil regresi pada lampiran regresi model ketiga dapat dilihat bahwa tidak terdapat korelasi antar variabel
bebas. Dari semua predictor variabel memiliki nilai VIF>10, sehingga semua
predictor variabel terbebas dari masalah multikolinearitas.
Tabel 4.5 Uji Multikolinearitas Variabel VIF SBI SBI (-1) INFLASI INFLASI (-1) KURS KURS (-1) PDB PDB (-1) JII (-1) 1008.596 1004.215 39.42017 37.90105 687.3239 710.1558 10.140202 10.131809 50.587105
Sumber: Output eviews
4. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan suatu asumsi adanya Hetero atau
ketidaksamarataan penyebaran disturbance term (Gujarati, 2001). Uji
heteroskedastisitas dalam penelitian ini menggunakan uji Lagrange Multiplier
atau LM test yaitu dengan membandingkan nilai Obs*R2 dengan nilai χ2
tabel
dengan df = 10 dan α = 5%. Jika nilai Obs*R2
> nilai χ2
tabel, maka tidak signifikan secara statistic, berarti tidak terdapat masalah heteroskedastisitas
(Rahayu, 2007). Nilai Obs* R2 menunjukkan nilai 3.030636 dan nilai χ2 tabel
menunjukkan nilai 18.3070. Hal ini berarti model pada penelitian ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas.
Tabel 4.6
Uji Heteroskedastisitas
Sumber: Output Eviews
5. Uji Autokorelasi
Istilah Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antar anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (Gujarati, 2001).
Durbin-Watson Test merupakan salah satu alat yang digunakan dalam mendeteksi
keberadaan Autokorelasi pada suatu model regresi, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut:
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 2.862407 Prob. F(1,115) 0.0934
Tabel 4.7
Tabel Kesimpulan DW Test
Nilai DW test Kesimpulan
<1.10 Ada autokorelasi (positif)
1.11-1.54 Tanpa kesimpulan
1.56-2.46 Tidak ada autokorelasi
2.47-2.90 Tanpa kesimpulan
>2.91 Ada autokorelasi (negatif)
Sumber: Buku Ekonometrika-Suatu Pengantar
Pada hasil print-out komputer diketahui bahwa nilai DW test adalah 1.697868. Hal ini berarti model pada penelitian ini terbebas dari masalah autokorelasi. Uji Durbin-Watson sebenarnya hanya diperbolehkan untuk model
dimana predictor variabel-nya tidak mengandung unsur Lag. Untuk itulah uji
Autokorelasi yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan dengan meenggunakan uji Durbin h (Gujarati, 2001) yaitu dengan rumus sebagai berikut:
Durbin h = ρ
Dimana :
n = ukuran sampel
ρ = taksiran serial korelasi derajat pertama atau sama dengan 1-½ DW Durbin h = 1-½1.697868
= 0.151066
= 1.72476
Bila h hitung lebih besar dari h tabel dengan α = 5%, maka dapat
disimpulkan tidak ada Autokorelasi. Pada perhitungan di atas 1.72476 lebih
besar dari nilai h tabel dengan α = 5% (1.645), sehingga kesimpulannya model
ini terbebas dari masalah Autokorelasi.
6. Interpretasi secara ekonomi
Berdasarkan uji t (parsial) bahwa variabel predictor Kurs(t-1) dan JII(t-1)
berpengaruh signifikan secara individual terhadap JII(t) meskipun predictor yang
lain juga mempengaruhi indeks JII(t) tapi tidak terlalu signifikan pada level 5%.
Meskipun demikian seluruh variabel predictor atau variabel bebas berpengaruh
secara signifikan pada level 5%, signifikasi tersebut terlihat jelas pada uji F(simultan) pada uraian di atas. Dengan demikian hipotesa nol yang menyatakan tidak ada pengaruh antara variabel pertumbuhan eknomi (GDP), Inflasi, Kurs, dan SBI terhadap Indeks JII dapat ditolak.
Persamaan Autoregressive Distributed Lag
JII = -5.9885334593*SBI + 4.84317082396*SBI(-1) - 1.3483829617*INFLASI +
(5.389) (5.396) (1.246)
0.642077998666*INFLASI(-1) - 0.0131776510871*KURS+ 0.0159039974405*KURS(-1)
(0.005) (0.0059) (1.396)
- 0.737124332132*PDB - 0.465714030293*PDB(-1) + 0.981775341271*JII(-1)
(1.396) (1.390) (0.016)
R2 = 0.9838 F-stat = 778.7217
Adj R2= 0.9825 prob stat = 0.0000
Dengan nilai R2 98.38% artinya 98.38% variabel predictor di dalam
model tersebut sudah dapat menjelaskan variabel yang mempengaruhi indeks JII, sedangkan 1.62% lainnya merupakan variabel lainnya yang belum dimasukkan dalam model tersebut. Selanjutnya akan dijelaskan interpretasi
ekonomi hasil estimasi menggunakan model Autoregressive Distributed Lag
dari masing-masing variabel:
a. Inflasi
Hasil regresi menunjukkan bahwa beta untuk variabel inflasi pada periode t adalah -1.239738. Angka tersebut mempunyai arti jika inflasi naik
1% akan menyebabkan indeks JII(t) turun -1.239738. Sedangkan beta pada
Inflasi(t-1) bertanda positif sebesar 0.543285, nilai beta tersebut berarti tiap
kenaikan 1% variabel Inflasi(t-1) menyebabkan JII naik sebesar 0.543285.
Variabel inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap JII, dan memiliki pengaruh negatif pada jangka pendek, di mana makin tinggi
inflasi akan menurunkan profitabilitas perusahaan sehingga menurunkan harga saham dan JII. Sedangkan inflasi pada periode sebelumnya akan berpengaruh positif terhadap JII, karena perusahaan sudah menyesuaikan keadaan dengan inflasi, dan bila inflasi naik akan menaikkan harga produk perusahaan yang berdampak pada meningkatnya harga saham dengan harga produksi yang lebih murah.
b. Kurs
Hasil regresi menunjukkan bahwa beta untuk variabel Kurs adalah -0.011733. Angka tersebut mempunyai arti jika Kurs naik 1% akan
menyebabkan indeks JII(t) turun 0.011733. Sedangkan beta pada Kurs(t-1)
bertanda positif sebesar 0.64872, nilai beta tersebut berarti tiap kenaikan 1%
variabel Kurs(t-1) menyebabkan JII naik sebesar 0.64872. Hal ini sesuai
dengan peneitian yang dilakukan Muhammad Fahrudin (2006) yang menyatakan bahwa pengaruh variabel Kurs berpengaruh negative dan
variabel Kurs(t-1) berpengaruh positif terhadap JII.
Gan, Lee, Yong dan Zhang (2006) dalam penelitiannya, memperoleh hasil yang sama. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa ketika nilai tukar suatu Negara mengalami depresiasi terhadap mata uang Negara lain. Maka akan menurunkan harga barang ekspor Negara tersebut, ini akan
berdampak pada kenaikan jumlah permintaan ekspor, sehingga merangsang kinerja perusahaan dan menaikkan harga-harga saham dalam negeri.
c. Pertumbuhan Ekonomi (PDB)
Hasil regresi menunjukkan bahwa beta untuk variabel PDB adalah -0.809146. Angka tersebut mempunyai arti jika PDB naik 1% akan
menyebabkan indeks JII(t) turun sebesar 0.809146. Sedangkan beta pada
Inflasi(t-1) bertanda negatif sebesar 0.511473, nilai beta tersebut berarti tiap
kenaikan 1% variabel PDB(t-1) menyebabkan JII turun sebesar 0.511473. Ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chairil Nazwar (2008) yang menyatakan pengaruh positif PDB terhadap JII.
Hasil serupa juga di dapat dari penelitian yang dilakukan oleh Dengan Gan, Lee, Yong dan Zhang (2006) yang menyimpulkan bahwa GDP memiliki pengaruh positif terhadap harga saham, di mana meningkatnya pertumbuhan GDP juga dapat mengakibatkan naiknya daya beli masyarakat yang imbasnya bisa saja dirasakan oleh pasar saham.
GDP sebagai indikator kinerja perekonomian suatu Negara juga mampu mempengaruhi investor dalma mengambil keputusan. Dengan meningkatnya GDP akan menaikkan minat investor untuk berinvestasi di pasar saham Indonesia, terutama pasar saham syariah yang tergabung dalam JII.
Hasil regresi menunjukkan bahwa beta untuk variabel SBI adalah -7.351518. Angka tersebut mempunyai arti jika SBI naik 1% akan
menyebabkan indeks JII(t) turun 7.351518. Sedangkan beta pada SBI(t-1)
bertanda positif sebesar 6.354480, nilai beta tersebut berarti tiap kenaikan
1% variabel SBI(t-1) menyebabkan JII naik sebesar 6.354480. Kesimpulan ini
didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Makaryanawati (2009), dimana ada pengaruh negatif antara suku bunga dengan harga saham, jika SBI tinggi justru membuat lesunya ekonomi yang berdampak pada tingginya risiko berinvestasi di pasar sehingga harga saham cenderung turun.
Ketidaksignifikan pengaruh SBI terhadap JII merupakan hal yang wajar karena perusahaan perusahaan yang tergabung dalam JII merupakan
perusahaan no riba oriented. Ini menyebabkan fluktuasi tingkat suku bunga
pinjaman tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Jakarta Islamic Index
(JII).
e. JII-1
Hasil regresi menunjukkan bahwa beta untuk variabel Log JII pada
periode t-1 adalah 0.986018. Angka tersebut mempunyai arti jika Log JII(t-1)
naik 1% akan menyebabkan indeks JII(t) naik sebesar 0.986018. Tingkat
signifikan yang ditunjukkan dari hasil estimasi di atas menerangkan bahwa
investor melakukan ekspektasi terhadap JII berdasarkan track record JII itu
Kurs Rupiah, karena Kurs rupiah menentukan harga ekspor produksi
perusahaan yang tergabung dalam Jakarta Islamic Index (JII).
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Muh. Fachrudin (2006), yang menyatakan bahwa indeks JII pada periode sebelumnya berpengaruh signifikan dan positif. Di mana jika perkembangan JII pada suatu periode akan diperhitungkan oleh investor untuk pengambilan keputusan pada periode selanjutnya, bila JII pada periode t-1 naik akan menaikkan JII pada periode t. Sehingga menjadi rasional ketika hasil dari penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa variabel makroekonomi
tidak berpengaruh signifikan terhadap pergerakan Jakarta Islamic Index
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan terhadap hasil sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara bersama-sama Variabel Makro Ekonomi berpengaruh terhadap Jakarta Islamic
index, sedangkan secara Individual hanya variabel Kurs dan Kurst-1 yang berpengaruh
signifikan terhadap Jakarta Islamic Index. Akan tetapi untuk memepengaruhinya
dibutuhkan lag 1 bulan. Berarti penelitian ini mendukung teori yang menyatakan bahwa variabel makroekonomi mempengaruhi JII.
2. Variabel PDB berpengaruh negatif dan PDBt-1 berpengaruh positif terhadap JII.
Dimana, bila GDP naik menunjukkan kinerja ekonomi yang membaik sehingga meningkat minat investor untuk berinvestasi.
3. Variabel inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap JII, dan memiliki
pengaruh negatif pada jangka pendek, di mana makin tinggi inflasi akan menurunkan profitabilitas perusahaan sehingga menurunkan harga saham dan JII. Sedangkan inflasi pada periode sebelumnya akan berpengaruh positif terhadap JII, karena perusahaan sudah menyesuaikan keadaan dengan inflasi, dan bila inflasi naik akan menaikkan harga produk perusahaan yang berdampak pada meningkatnya harga saham dengan harga produksi yang lebih murah.
4. Variabel Kurs Rupiah terhadap dolar berpengaruh signifikan terhadap JII. Ini berarti ada pengaruh positif antara variabel kurs rupiah dengan saham berbasis syariah dalam jangka panjang yaitu pada periode 1 bulan sebelumnya. Hal ini dilatarbelakangi karena bila terjadi depresiasi rupiah akan menurunkan harga barang ekspor sehingga meningkatkan produksi ekpor dan berdampak pada meningkatnya kinerja perusahaan yang tergabung di JII.
5. Variabel SBI tidak berpengaruh signifikan terhadap JII, ini sesuai dengan
penelitian-penelitain sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara SBI dengan JII, karena saham-saham yang tergabung dalam JII merupakan
saham dengan latar belakang perusahaan yang no riba oriented.
6. Variabel JII(t-1) berpengaruh signifikan terhadap indeks JII pada level 5%, ini
menunjukkan bahwa elastisitas JII pada periode sebelumnya sangat baik, di mana jika perkembangan JII pada suatu periode akan diperhitungkan oleh investor untuk pengambilan keputusan pada periode selanjutnya, sehingga mempengaruhi JII.
B. Implikasi Kebijakan
1. Sebaiknya otoritas moneter dalam mengendalikan kestabilan JII, memprioritaskan
pada pengendalian nilai Kurs, karena akan berdampak pada nilai JII pada masa t+1.
2. Kebijakan yang diperlukan untuk mendinamiskan JII adalah dengan
mensosialisasikan keberadaan saham-saham syariah dan prosedur berunvestasi pada saham syariah, karena jika dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kedinamisan bursa saham terutama syariah masih belum dinamis.
3. Tidak berpengaruhnya pertumbuhan ekonomi (PDB) terhadap nilai JII menandakan bahwa meningkat dan menurunnya pendapatan domestik bruto kurang dapat mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya ke saham syariah. Meningkatnya pendapatan domestik bruto berpengaruh positif terhadap pendapatan konsumen karena dapat meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan. Namun, dalam kasus ini, walaupun PDB mengalami kenaikan para investor lebih memilih berinvestasi pada saham non-syariah, hal ini bisa disebabkan karena nilai saham syariah masih rendah jika dibandingkan dengan saham non-syariah.
C. Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan penelitian sekaligus kelemahan dalam penelitian ini antara lain:
1. Masih terbatasnya pembahasan mengenai variabel bebas yang berkaitan dengan aspek
syariah dikarenakan terbatasnya literatur tentang ekonomi moneter islami yang digunakan.
2. Adanya keterbatasan dalam menjelaskan ACF dan PACF.
3. Adanya beberapa pengujian secara statistic yang belum sistematis.
4. Penelitian ini hanya menggunakan variabel pertumbuhan GDP, Inflasi, Kurs Rupiah,
dan suku bunga SBI, padahal masih banyak faktor lainnya yang bisa mempengaruhi penelitian.
5. Penelitian ini hanya menggunakan empat variabel makro ekonomi dan tidak memperhatikan faktor kondisi sosial dan keamanan yang terjadi di Indonesia yang juga mempengaruhi pergerakan pasar saham, terutama saham syariah.
D. Agenda Penelitian Selanjutnya
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan beberapa keterbatasannya dapat disampaikan beberapa saran yang bisa menjadi masukan untuk penelitian yang akan datang, masukan itu antara lain:
1. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk lebih menambah literatur tentang
ekonomi moneter islami dan pembahasannya.
2. Penelitian lebih lanjut dapat menggunakan metode lain yang dimungkinkan lebih baik
dari analisis variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan penelitian ini diharapkan ddapat diperoleh hasil penelitian yang lebih beragam dengan menambah beberapa variabel.
3. Penelitian selanjutnya dapat membandingkan periode penelitian yaitu antara periode
sebelum krisis dan pada saat krisis finansial global sehingga akan diketahui konsistensi variabel tersebut dalam melihat pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan JII.