• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Wilayah

Kabupaten Cirebon merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak dibagian timur dan merupakan batas sekaligus sebagai pintu gerbang Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan letak geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon berada pada posisi 108o40’ – 108o48’ Bujur Timur dan 6o30’ – 7o00’ Lintang Selatan, yang dibatasi oleh (BPS 2005): sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Indramayu, sebalah Barat Laut berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan, dan sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kotamadya Cirebon dan Kabupaten Brebes.

Kabupaten Cirebon adalah salah satu tempat dengan mayoritas kepala keluarganya mempunyai pekerjaan utama sebagai nelayan. Desa Grogol merupakan salah satu desa di Kabupaten Cirebon yang tipologi desanya adalah desa pantai atau pesisir. Desa Grogol mempunyai luas wilayah 173 Ha dengan sebagian besar penduduknya termasuk ke dalam kelompok keluarga miskin (Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1) (Pemerintah Kabupaten Cirebon 2005).

Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Cirebon (2005), penduduk Desa Grogol berjumlah 4435 orang. Kategori kemiskinan di Desa Grogol berdasarkan kriteria kemiskinan BKKBN terdapat sebanyak 413 Keluarga Pra-Sejahtera, 349 Keluarga Sejahtera I, 209 Keluarga Sejahtera II, 156 Keluarga Sejahtera III, dan 92 Keluarga Sejahtera III+. Sebanyak 1798 orang (68.89% dari 2610 orang yang bekerja) mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan.

Jenis budidaya ikan air laut yang terdapat di Desa Grogol berupa empang atau kolam seluas 33 Ha dengan produktifitas dua ton per tahun. Sedangkan jenis budidaya ikan tawar atau payau adalah tambak sebesar 12.5 Ha yang rata-rata produksinya satu ton per tahun (Pemerintah Kabupaten Cirebon 2005).

Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Cirebon (2005), tingkat pendidikan penduduk Desa Grogol masih tergolong rendah, sebagian besar pendidikannya adalah tamat SD atau Sederajat, yaitu sebanyak 1645 orang. Terdapat 30 orang yang tamat S1 dan hanya dua orang yang tamat S2.

Karakteristik Keluarga Besar keluarga

Jumlah anggota keluarga berkisar antara 2 sampai 12 anggota keluarga. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa proporsi terbesar (38.46%) contoh termasuk dalam keluarga sedang, selebihnya 36.92 persen termasuk dalam keluarga kecil dan hanya 24.62 persen contoh termasuk dalam keluarga besar.

Tabel 11 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga*) n % Kecil:  4 24 36.92 Sedang: 5-6 25 38.46 Besar:  7 16 24.62 Total 65 100.00 Minimum-maksimum 2 – 12 orang Mean SD 5.49  2.12 *) BKKBN 1998 dalam Rahmaulina 2007 Usia

Usia kepala keluarga contoh berkisar antara 25-70 tahun, sedangkan usia ibu berkisar antara 20-66 tahun. Tabel 12 menunjukkan lebih dari separuh (64.62%) kepala keluarga contoh termasuk dalam kelompok usia dewasa awal, sedangkan 69.23 persen usia ibu juga termasuk dalam kelompok dewasa awal. Hal tersebut menunjukkan bahwa usia baik kepala keluarga maupun ibu lebih dari separuh tergolong dalam usia produktif , yaitu dewasa awal (18-40 tahun).

Tabel 12 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia kepala keluarga dan ibu Kepala keluarga Ibu Usia*) n % n % Dewasa awal: 18 – 40 42 64.62 45 69.23 Dewasa madya: 41 - 65 20 30.77 19 29.23 Dewasa akhir: > 65 3 4.61 1 1.54 Total 65 100.00 65 100.00

Minimum-maksimum 25-70 tahun 20-66 tahun Mean SD 40.23  11.50 36.23  9.87 *) Papalia & Olds 1981

Pendidikan

Lama pendidikan kepala keluarga berkisar antara 0 – 15 tahun sedangkan ibu berkisar antara 0 – 12 tahun. Lebih separuh (72.31%) kepala keluarga dan (69.23%) ibu berada pada tingkat pendidikan dasar. Tabel 13 dapat diterjemahkan bahwa tingkat pendidikan baik kepala keluarga maupun ibu tergolong rendah.

Tabel 13 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga dan ibu

Kepala keluarga Ibu Pendidikan*) n % n % Dasar: < 6 47 72.31 45 69.23 Menengah: 6-9 17 26.15 18 27.69 Atas:  10 1 1.54 2 3.08 Total 65 100.00 65 100.00

Minimum-maksimum 0-15 tahun 0-12 tahun Mean SD 2.86  3.18 3.06  3.32 *) BPS 2007

Pengeluaran

Pengeluaran per kapita per bulan contoh berkisar antara Rp 61 970.24 sampai Rp 410 075.00. Lebih dari separuh (60.00%) keluarga berada pada tingkat pengeluaran di atas garis kemiskinan dan 40.00 persen berada di bawah garis kemiskinan (Tabel 14).

Tabel 14 Sebaran keluarga berdasarkan pengeluaran/kapita/bulan

Pengeluaran*) n % Di bawah GK: < Rp 168 272.00 26 40.00 Di atas GK: > Rp 168 272.00 39 60.00 Total 65 100.00 Minimum-maksimum Rp 61 970.24 - 410 075.00 Mean SD 199 603.97 89 818.65 *) BPS 2007

Tingkat pendapatan keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh. Pada tingkat pendapatan rendah, sumber energi utama diperoleh dari padi-padian, umbi-umbian, dan sayuran. Kenaikan pendapatan menyebabkan kenaikan variasi konsumsi makanan baik yang berasal dari hewani, gula, lemak, minyak, dan makanan kaleng (Suhardjo 1989).

Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan gizi ibu berkisaran antara 0 sampai 100%. Sebagian besar ibu memiliki tingkat pengetahuan gizi kurang (81.54%), dan hanya 4.61 persen ibu memiliki tingkat pengetahuan gizi tinggi (Tabel 15). Hal tersebut dapat diterjemahkan bahwa sebagian besar ibu memiliki tingkat pengetahuan gizi kurang.

Tabel 15 Sebaran keluarga berdasarkan pengetahuan gizi ibu Pengetahuan Gizi Ibu*) n % Kurang: < 60% 53 81.54 Sedang: 60-80% 9 13.85 Baik: > 80% 3 4.61 Total 65 100.00 Minimum-maksimum 0 - 100% Mean SD 26.31 28.03 *) Khomsan 2000

Pengetahuan memiliki hubungan yang erat dengan baik buruknya kualitas gizi dari pangan yang dikonsumsi. Dengan pengetahuan yang benar mengenai gizi, maka orang akan tahu dan berupaya untuk mengatur pola konsumsi pangannya sedemikian rupa sehingga seimbang, tidak kekurangan, dan tidak kelebihan. Pengetahuan gizi, sikap terhadap gizi, dan keterampilan gizi secara bersama-sama akan menentukan perilaku gizi (Pranadji 1988).

Konsumsi Pangan

Rata-rata konsumsi energi per kapita per hari keluarga contoh (1573 Kkal) lebih kecil dibandingkan rata-rata Angka Kecukupan Energi (AKE) per kapita per hari yaitu sebesar 2037 Kkal. Sedangkan untuk rata-rata konsumsi protein per kapita per hari (44.2 gram) juga lebih rendah dibandingkan rata-rata Angka Kecukupan Protein (AKP) per kapita per hari adalah 51.8 gram. Rata-rata Fosfor dan Vitamin A telah mencukupi angka kecukupan gizinya. Vitamin A dan fosfor yang telah mencukupi karena banyak mengonsumsi sayuran dan buah-buahan yang kaya vitamin A, serta beras yang kaya fosfor.

Tabel 16 Rata-rata konsumsi zat gizi pangan per kapita per hari Zat gizi Konsumsi AKG Energi (Kkal) 1573 2037 Protein (gram) 44.2 51.8 Kalsium (mg) 230.6 791 Fosfor (mg) 683.0 646.2 Besi (mg) 9.4 12.8 Vitamin A (RE) 1287 574 Vitamin C (mg) 74.4 77.1

Konsumsi pangan dan gizi yang cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia, sebab tingkat kecukupan gizi seseorang sangat mempengaruhi keseimbangan perkembangan jasmani dan rohani yang bersangkutan. Pola konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat (Bimas Ketahanan Pangan 2001).

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein

Tingkat kecukupan energi keluarga contoh berkisaran antara 37.93 sampai 148.12 persen AKE. Berdasarkan Tabel 17 lebih dari separuh (53.85%) keluarga berada pada tingkat kecukupan energi yang cukup, sedangkan 46.15 persen keluarga mengalami defisit tingkat kecukupan energi.

Tabel 17 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kecukupan energi TKE*) n % Defisit: < 70% 30 46.15 Cukup: > 70% 35 53.85 Total 65 100.00 Minimum-maksimum 37.93 – 148.12% Mean SD 77.22 26.67 *) Lateif et al,. 2000

Konsumsi energi penduduk dikatakan mencukupi bila memenuhi kebutuhan untuk metabolisme basal dan aktivitas fisik sehari-hari. Jumlah kebutuhan ini disebut kecukupan gizi, yaitu jumlah zat gizi yang sebaiknya dikonsumsi oleh setiap individu agar dapat hidup sehat (PSKPG 1994).

Tingkat kecukupan protein berkisaran antara 33.99 sampai 176.91 persen AKP. Lebih dari separuh (55.38%) keluarga memiliki tingkat kecukupan protein yang cukup dan 44.62 persen mengalami defisit tingkat kecukupan protein (Tabel 18). Berdasarkan Tabel 17 dan 18 dapat dilihat bahwa baik tingkat kecukupan energi maupun tingkat kecukupan protein lebih dari separuh berada pada tingkat cukup. Hal ini dapat diterjemahkan bahwa lebih dari separuh rata-rata TKE dan TKP keluarga cukup baik.

Tabel 18 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kecukupan protein

TKP*) n % Defisit: < 70% 29 44.62 Cukup: > 70% 36 55.38 Total 65 100.00 Minimum-maksimum 33.99 – 176.91% Mean SD 85.48 36.21 *) Lateif et al,. 2000

Keragaman Konsumsi Pangan

Keragaman konsumsi pangan keluarga berkisaran antara 41.67 sampai 91.52 persen dari nilai SSR. Tabel 19 menunjukkan hanya 21.54 persen keluarga yang mengonsumsi pangan beragam, sedangkan sebagian besar (78.46%) keluarga mengonsumsi pangan yang kurang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sedikit keluarga mengonsumsi pangan yang beragam baik jumlah maupun jenis. Keluarga yang mengonsumsi pangan yang beragam maka energi dan protein yang diperoleh tidak hanya didominasi dari padi-padian dan umbi- umbian, namun juga berasal dari jenis pangan lainnya.

Tabel 19 Sebaran keluarga berdasarkan keragaman konsumsi pangan

Keragaman*) n % Beragam: < 55% 14 21.54 Tidak Beragam: > 55% 51 78.46 Total 65 100.00 Minimum-maksimum 41.67– 91.52% Mean SD 65.70 12.24

*) Skor PPH dalam Madanijah (2004)

Keragaman konsumsi pangan memberikan mutu yang lebih baik daripada pangan yang dikonsumsi secara tunggal. Hal ini terjadi karena adanya efek saling mengisi yang berarti kekurangan zat gizi suatu pangan dapat dipenuhi oleh kelebihan zat gizi yang bersangkutan dari pangan yang lainnya (Suhardjo & Kusharto 1992).

Starchy Staple Food Ratio (SSR) adalah ratio energi pangan berpati (padi- padian dan umbi-umbian) terhadap total konsumsi energinya (FAO 2007). SSR merupakan sumbangan karbohidrat pangan terhadap total konsumsi energi. Nilai SSR ini dapat digunakan sebagai gambaran kualitas keragaman konsumsi pangan, semakin kecil nilai SSR, maka porsi makanan berpati semakin kecil sehingga menu makanan semakin beragam dan berkualitas. (FAO 2003 dalam Tanziha 2005).

Frekuensi Konsumsi menurut Jenis Pangan

Jenis pangan dalam penelitian ini terdiri dari 9 kelompok yaitu padi- padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, serta lain-lain. Jenis padi-padian yang dikonsumsi oleh contoh adalah beras dan seluruh keluarga contoh mengonsumsinya setiap hari (100%). Pangan hewani terdiri dari daging (ayam, sapi, itik), telur, ikan segar, ikan asin, rajungan, cumi-cumi, dan susu. Keluarga contoh mengonsumsi sebanyak 1-3 kali/minggu untuk ikan segar (30.77%) dan ikan asin (16.92%). Contoh merupakan keluarga nelayan rajungan sehingga untuk konsumsi ikan segar dan ikan asin frekuensinya rendah. Keluarga contoh yang konsumsi rajungan sangat sedikit (4.62% untuk frekuensi 1-3 kali/minggu, 1.54 persen untuk frekuensi 1-3 kali/bulan, dan 6.15 persen untuk frekuensi < 1 kali/bulan). Hal tersebut dikarenakan sebagian besar contoh merupakan nelayan kecil atau nelayan buruh sehingga hasil tangkapannya sebagian besar dijual kembali atau disetorkan kepada majikan.

Nelayan kecil menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa mereka tidak menjual hasil tangkapannya. Hasil tangkapan yang dijual biasanya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan), dan bukan diinvestasikan kembali untuk melipatgandakan keuntungan (Satria 2001).

Hampir seluruh contoh (92.31%) tidak pernah mengonsumsinya daging sapi, sedangkan untuk daging ayam masih sedikit bervariasi yaitu sebanyak 16.92 persen untu frekuensi 1-3 kali/minggu, 16.92 persen untuk frekuensi 1-3 kali/bulan, dan 24.62 persen untuk frekuensi < 1 kali/bulan.

Proporsi terbesar keluarga (49.23%) mengonsumsi telur sebanyak 1-3 kali/minggu. Tahu dan tempe merupakan sumber protein nabati utama yang dikonsumsi oleh keluarga contoh. Presentase terbesar contoh mengonsumsi tahu dan tempe sebanyak 1-3 kali/minggu yaitu masing-masing 53.85 persen dan 56.92 persen. Kebiasaan mengonsumsi tahu dan tempe ini merupakan kebiasaan yang baik dan sudah lama membudaya di masyarakat Indonesia sehingga perlu untuk ditingkatkan.

Konsumsi gula pada keluarga contoh lebih dari separuh (53.85%) mengonsumsi gula batu yaitu sebanyak 1-7 kali/hari. Keluarga contoh lebih menyukai gula batu karena rasanya yang manis dan harganya yang lebih murah dibandingkan gula pasir dan gula merah.

Frekuensi konsumsi sayuran dan buah-buahan pada contoh sangat bervariasi. Sayuran yang biasa dikonsumsi contoh adalah kangkung, tomat, terung, mentimun, kacang panjang, dan sawi. Sedangkan untuk buah-buahan contoh sering mengonsumsi jeruk dan mangga, untuk jenis buah lainnya dikonsumsi tergantung musimnya. Sebaran jenis dan frekuensi konsumsi pangan dapat dilihat pada Lampiran 8.

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Keragaman Konsumsi Pangan Besar keluarga

Jumlah anggota keluarga pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam berkisar antara 2 - 8 orang, sedangkan pada keluarga dengan konsumsi pangan tidak beragam berkisar antara 3 - 12 orang. Proporsi terbesar (50.00%) keluarga dengan konsumsi pangan beragam termasuk dalam keluarga sedang dan hanya 7.14 persen keluarga termasuk dalam keluarga besar. Keluarga dengan konsumsi pangan tidak beragam memiliki proporsi terbesar (35.29%) termasuk dalam keluarga kecil dan sedang.

Tabel 20 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam dan tidak beragam

Beragam Tidak Beragam Besar Keluarga n % n % Kecil 6 42.86 18 35.29 Sedang 7 50.00 18 35.29 Besar 1 7.14 15 29.41 Total 14 100.00 51 100.00 Minimum-maksimum 2-8 orang 3-12 orang Mean SD 4.57  1.45 5.75  2.22

Berdasarkan uji Corelation Spearman antara besar keluarga dengan keragaman konsumsi pangan tidak berhubungan (p >0.05) dengan koefisien r = - 0.150 yang menunjukkan bahwa hubungan besar keluarga dan keragaman konsumsi pangan dapat diabaikan.

Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Lee dan Brown (1989) dalam Hardinsyah (2007) bahwa ukuran rumahtangga mempunyai hubungan yang berkebalikan dengan keragaman konsumsi pangan. Penambahan satu orang anggota rumahtangga pada rumahtangga yang terdiri atas dua orang akan berdampak lebih besar terhadap keragaman konsumsi pangan dibandingkan penambahan jumlah anggota yang sama pada rumahtangga yang terdiri atas empat orang.

Perbedaan tersebut disebabkan karena besar keluarga dalam penelitian ini tidak mempertimbangkan komposisi keluarga (umur dan jenis kelamin). Karena variasi pada komposisi keluarga juga turut mencerminkan variasi dalam preferensi pangan dan unit konsumennya di keluarga (Hardinsyah 2007).

Laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat menjadi salah satu terjadinya masalah gizi di negara yang sedang berkembang karena pertumbuhan tersebut tidak diimbangi dengan laju kenaikan produksi pangan khususnya bidang pertanian. Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama bagi mereka yang memiliki tingkat ekonomi rendah, akan lebih mudah apabila yang harus diberi makan jumlahnya sedikit (Suhardjo 1989).

Usia

Usia kepala keluarga dan ibu pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam berkisar antara 25 - 60 tahun dan 20 - 52 tahun, sedangkan pada keluarga dengan konsumsi tidak beragam berkisar antara 25 - 70 tahun dan 23 - 66 tahun. Lebih dari separuh usia kepala keluarga baik keluarga dengan konsumsi pangan beragam (71.43%) maupun tidak beragam (62.75%) berada pada kelompok usia dewasa awal. Sebagian besar (85.71%) usia ibu pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam berada pada kelompok usia dewasa. Begitu juga usia ibu dengan

konsumsi pangan tidak beragam lebih dari separuh (64.71%) berada pada kelompok usia dewasa awal (Tabel 21).

Tabel 21 Sebaran keluarga berdasarkan usia kepala keluarga dan ibu pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam dan tidak beragam

Beragam Tidak Beragam Kepala keluarga Ibu Kepala keluarga Ibu Usia n % n % n % n % Dewasa awal 10 71.43 12 85.71 32 62.75 33 64.71 Dewasa madya 4 28.57 2 14.29 16 31.37 17 33.33 Dewasa akhir 0 0.00 0 0.00 3 5.88 1 1.96 Total 14 100.00 14 100.00 51 100.00 51 100.00 Min - maks 25-60 tahun 20-52 tahun 25-70 tahun 23-66 tahun Mean SD 36.79 10.15 32.867.62 41.1811.8 37.16 10.3

Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa belum ada hubungan antara usia baik kepala keluarga maupun ibu dengan keragaman konsumsi pangan (p > 0.05) dengan koefisien r = - 0.088 dan r = - 0.189 yang berarti hubungan tidak terlihat. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Schorr (1972) dan Caliendo (1977) yang menyatakan bahwa usia juga belum berhubungan dengan keragaman konsumsi pangan, itu dikarenakan sampel tidak mencakup seluruh rentang usia (tahapan siklus hidup) maka hubungan antara usia dan keragaman konsumsi pangan tidak dapat dianalisis dengan lebih teliti (Hardinsyah 2007).

Setiap individu mengonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang berbeda satu sama lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah usia. Konsumsi pangan biasanya terkait dengan jumlah energi yang dibutuhkan oleh individu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Suhardjo 1989).

Pendidikan

Lama pendidikan kepala keluarga dan ibu pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam berkisar antara 0-6 tahun dan 0-12 tahun, sedangkan pada

keluarga dengan konsumsi pangan tidak beragam baik kepala keluarga dan ibu adalah 0-15 tahun dan 0-12 tahun. Separuh (50.00%) tingkat pendidikan kepala keluarga dan ibu dari keluarga dengan konsumsi pangan beragam hanya menempuh pendidikan tingkat dasar. Sebagian besar (78.43%) tingkat pendidikan kepala keluarga dari konsumsi pangan tidak beragam juga memiliki pendidikan tingkat dasar. Begitu juga tingkat pendidikan ibu pada keluarga dengan konsumsi tidak beragam (74.51%) hanya berpendidikan tingkat dasar (Tabel 22).

Tabel 22 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam dan tidak beragam

Beragam Tidak Beragam

Kepala keluarga Ibu Kepala keluarga Ibu Pendidikan n % n % n % n % Dasar 7 50.00 7 50.00 40 78.43 38 74.51 Menengah 7 50.00 6 42.86 10 19.61 12 23.53 Atas 0 0.00 1 7.14 1 1.96 1 1.96 Total 14 100.00 14 100.00 51 100.00 51 100.00 Min - maks 0-6 tahun 0-12 tahun 0-15 tahun 0-12 tahun Mean SD 3.71  2.70 4.21  3.73 2.63  3.29 2.75  3.17

Hasil uji Corelation Spearman menyatakan bahwa terdapat ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan kepala keluarga dengan keragaman konsumsi pangan dengan koefisien r = 0.251 (kepala keluarga p = 0.043). Hal ini dapat diartikan semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka semakin tinggi keragaman konsumsi pangannya.

Beberapa penelitian di negara berkembang, termasuk Indonesia, tingkat pendidikan ibu dipandang sebagai determinan penting dari asupan gizi atau pengelolaan gizi di tingkat rumah tangga. Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mampu mengelola sumberdaya yang dimiliki di rumah tangganya secara lebih efisien dibandingkan ibu yang berpendidikan rendah (World Bank 1993 dalam Hardinsyah 2007). Dengan kata lain, para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengombinasikan beragam jenis pangan

dengan harga yang tidak mahal (Hardinsyah 2007). Berbeda dalam penelitian ini tingkat pendidikan kepala keluarga yang berhubungan dengan keragaman konsumsi pangan, hal tersebut diduga karena preferensi kepala keluarga yang diutamakan oleh ibu untuk menyajikan pangan yang dikonsumsi. Sehingga pengaruh kepala keluarga dalam memilih pangan lebih dominan dari pada ibu.

Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis pendidikan yang dialami baik formal maupun nonformal. Menurut Suhardjo (1996) tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Syarief (1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi.

Pengeluaran

Lebih dari separuh (57.81%) rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Sebesar 50.34 persen rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada keluarga dengan konsumsi pangan tidak beragam digunakan untuk pengeluaran non pangan. Hal ini dapat diartikan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan beragam cenderung lebih mementingkan kebutuhan untuk pangan daripada non pangannya.

Keluarga yang berpendapatan rendah membelanjakan pendapatan yang mereka miliki sebesar 60-80 persen untuk kebutuhan pangan (Soekirman 1999). Menurut BPS (2002) dalam Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa pengeluaran pangan di negara maju umumnya < 50 persen dari total pengeluaran. Hal ini berarti alokasi pendapatan untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, dan juga rekreasi memperoleh proporsi lebih besar dibandingkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan.

Proporsi pengeluaran untuk pangan dan non pangan juga digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat ketahanan pangan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat ketahanan pangan semakin besar (Martianto & Ariani 2004).

Tabel 23 Rata-rata dan standar deviasi pengeluaran (Rp/kap/bln) pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam dan tidak beragam

Beragam Tidak Beragam Jenis

pengeluaran MeanSD % MeanSD % Pangan 132 881.37  47 108.51 57.81 95 002.52 41 101.23 49.66 Non Pangan 96 976.15 57 802.23 42.19 96 296.56 70 573.02 50.34 Total 229 857.52  84 310.56 100.00 191 299.08 93 162.57 100.00

Berdasarkan Tabel 23 rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam cenderung lebih tinggi dibandingkan nasional. Rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan untuk nasional yaitu Rp 108 112.00 (BPS 2006). Rata-rata pengeluaran non pangan per kapita per bulan baik pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam dan tidak beragam cenderung lebih tinggi dibandingkan nasional yaitu Rp 63 324.00 (BPS 2006). Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan baik pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam dan tidak beragam juga cenderung lebih tinggi dibandingkan nasional (Rp 171 435.00).

Apabila dibandingkan dengan data Jawa Barat (BPS 2006) untuk rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan (Rp 124 701.00) cenderung lebih tinggi daripada pengeluaran pangan per kapita per bulan baik pada keluarga dengan konsumsi pangan tidak beragam. Sedangkan pengeluaran non pangan Jawa Barat cenderung lebih kecil (Rp 82 721.00) dibandingkan baik keluarga dengan konsumsi pangan beragam maupun tidak beragam.

Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan Jawa Barat (BPS 2006) yaitu Rp 207 422.00. Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan Jawa Barat cenderung lebih rendah dibandingkan keluarga dengan konsumsi pangan beragam, tetapi lebih tinggi daripada keluarga dengan konsumsi pangan tidak beragam.

Pengeluaran per kapita per bulan

Kisaran pengeluaran per kapita per bulan pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam yaitu Rp 96 036.46 - 397 175.00, sedangkan untuk keluarga dengan konsumsi pangan tidak beragam adalah Rp 61 970.24 – 410 075.00. Sebagian besar (85.71%) keluarga dengan konsumsi pangan beragam memiliki pengeluaran per kapita per bulan di atas garis kemiskinan dan sebesar 14.29 persen berada di bawah garis kemiskinan (Tabel 24). Keluarga dengan konsumsi pangan tidak beragam lebih dari separuh (52.94%) pengeluaran per kapita per bulan diatas garis kemiskinan.

Tabel 24 Sebaran keluarga berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan pada keluarga dengan konsumsi pangan beragam dan tidak beragam

Beragam Tidak Beragam Pengeluaran n % n % Di bawah GK 2 14.29 24 47.06 Di atas GK 12 85.71 27 52.94 Total 14 100.00 51 100.00 Minimum-maksimun 96 036.46 - 397 175.00 61 970.24 – 410 075.00 Mean SD 229 857.52 71 262.44 191 299 08 93 162.57

Pengeluaran per kapita per bulan berdasarkan garis kemiskinan terdapat hubungan yang signifikan dengan keragaman konsumsi pangan menurut uji Spearman (p = 0.019) dengan koefisien r = 0.290 yang berarti semakin tinggi pengeluaran per kapita per bulan maka semakin tinggi keragaman konsumsi pangannya. Hal ini sesuai dengan Berg (1986) yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli untuk jenis pangan padi-padian akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari susu akan bertambah jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lainnya.

Pengeluaran dibagi menjadi dua yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Menurut BPS (2002) bahwa di negara-negara yang sedang berkembang persentase pengeluaran terbesar pada rumahtangga adalah pengeluaran pangan. Hal ini berbeda dengan negara maju yang memiliki persentase pengeluaran rumahtangga terbesar untuk pengeluaran barang dan jasa seperti perawatan kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan lainnya.

Dokumen terkait