• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nelayan

Sebagian besar nelayan di Indonesia merupakan nelayan tradisional yang selalu berhadapan dengan berbagai masalah, seperti kurangnya modal, kualitas hasil tangkapan yang buruk, jumlah tangkapan sedikit, tekanan dari majikan, dan musim yang selalu berubah. Masalah-masalah tersebut yang dapat mempengaruhi keragaan ekonomi dan kehidupan rumah tangga para nelayan (Pasandaran 1990, diacu dalam Baliwati, Pranadji & Retnaningsih 1992).

Secara sosiologis, karakteristik komunitas nelayan berbeda dari komunitas petani. Petani menghadapi situasi ekologi yang dapat dikontrol. Menurut Rogers (1969) diacu dalam Satria (2001), petani (peasant) juga memiliki banyak karakteristik, seperti mutual distrust, perceived limited goods, limited views of this world, dan limited aspiration. Sedangkan nelayan dihadapkan pada situasi ekologis yang sulit untuk mengendalikan produknya mengingat perikanan memiliki sifat open access sehingga nelayan juga harus berpindah-pindah dan ada elemen risiko yang harus dihadapi lebih besar daripada yang dihadapi petani (Pollnack 1988, diacu dalam Satria 2001). Selain itu, nelayan juga harus berhadapan dengan kehidupan laut yang keras sehingga membuat mereka umumnya bersikap keras, tegas, dan terbuka.

Rumah tangga nelayan memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Deptan 1991, diacu dalam Baliwati , Pranadji & Retnaningsih 1992) :

1. Rumah dan barang yang dimiliki terbatas dan sangat sederhana. 2. Tingkat kesehatan dan pendidikan rendah.

3. Produktivitas kerja rendah. 4. Keterampilan kurang memadai.

5. Kurang dapat mengikuti pembaharuan dan kurang memperoleh kesempatan berperan serta dalam pembangunan.

Masyarakat nelayan terbagi menjadi dua kelompok yaitu nelayan juragan dan nelayan buruh. Pembagian ini akibat dari perbedaan kepemilikian alat tangkap, organisasi kerja penangkapan ikan, dan pendapatan dari sistem bagi hasil (Hermanto 1986, diacu dalam Baliwati et,. al 1992). Faktor pendapatan memiliki peranan dalam permasalahan gizi dan kebiasaan makanan. Pendapatan juga

mempengaruhi ketersediaan pangan, akan menjadi masalah bagi penduduk yang memiliki pendapatan rendah karena tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dalam jumlah yang diperlukan sehingga terjadi ketidakcukupan konsumsi pangan (Birowo 1983, diacu dalam Baliwati et,. al 1992).

Menurut Satria (2001) nelayan dibedakan menjadi dua yaitu nelayan kecil dan nelayan besar. Nelayan kecil mencakup berbagai karakteristik nelayan baik berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya. Nelayan kecil menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa mereka tidak menjual hasil tangkapannya. Hasil tangkapan yang dijual biasanya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan), dan bukan diinvestasikan kembali untuk melipatgandakan keuntungan. Sedangkan nelayan besar dicirikan oleh skala usaha yang besar, baik kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya. Mereka berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan umumnya melibatkan sejumlah buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan orientasi kerja yang semakin kompleks. Nelayan besar juga disebut sebagai nelayan industri (industrial fisher).

Perbedaan dalam penggunaan teknologi penangkapan menyebabkan terbatasnya daerah penangkapan ikan karena nelayan hanya dapat bekerja di daerah sekitar pantai saja. Nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan yang relatif rendah disebut nelayan skala kecil. Umumnya menggunakan kapal berukuran kecil (3-5 GT) dan mesin berkekuatan rendah (0-3 HP) (Tim Fakultas Perikanan IPB 1991, diacu dalam Baliwati et,. al 1992).

Pada umumnya perempuan dalam komunitas nelayan tidak terlibat langsung dalam kegiatan produksi (penangkapan ikan), kecuali untuk beberapa jenis kegiatan, seperti pengumpulan tanaman laut (shellfish), penangkapan ikan dengan beachseine. Kaum perempuan atau istri-istri para nelayan lebih banyak berperan dalam kegiatan pengolahan (pemindangan) maupun pemasaran (Satria 2001).

Menurut Goodwin (1990) diacu dalam Satria (2001) menyatakan bahwa dalam komunitas nelayan, status sosial sebagai istri nelayan dengan peran-peran ekonomi seperti itu relatif tinggi daripada kaum perempuan bukan dari keluarga

nelayan. Tentu saja, prestise yang lebih tinggi tersebut disebabkan oleh sikap mereka yang relatif lebih mandiri. Kemandirian ini merupakan konsekuensi dari peran suami yang lebih banyak memiliki waktu di laut sehingga untuk menjaga komunitas diperlukan peran aktif dari istri nelayan.

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam pemilihan jenis atau banyaknya pangan yang dimakan, hal tersebut dapat berbeda antara individu baik ditingkat keluarga maupun daerah. Faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosial budaya dan religi yang ada di suatu daerah sangat mempengaruhi konsumsi pangan (PSKPG 2002). Akan tetapi, faktor-faktor yang sangat berpengaruh adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan, dan pengetahuan gizi (Haper, Deaton & Driskel 1986).

Menurut Riyadi (1996), bahwa pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya yang terpenting adalah: (1) Ketersediaan pangan, jenis, dan jumlah pangan dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Bila pangan tersedia secara kontinyu, maka dapat membentuk kebiasaan makan, (2) Pola sosial budaya, pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana cara pengolahannya, penyalurannya, penyiapannya, dan penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok orang.

Menurut Baliwati dan Roosita (2004), konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologi maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi, dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan.

Konsumsi pangan dan gizi cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia, sebab tingkat kecukupan gizi seseorang sangat mempengaruhi keseimbangan perkembangan jasmani dan rohani yang bersangkutan. Pola konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat (Bimas Ketahanan Pangan 2001).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Besar keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangannya jika yang harus diberi makan jumlahnya lebih sedikit. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo 1989).

Pendapatan

Kenaikan tingkat pendapatan perorang, akan menyebabkan perubahan dalam susunan pangan yang dikonsumsi. Akan tetapi, pengeluaran untuk pangan yang lebih banyak tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Kadang- kadang, perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan adalah pangan yang dimakan itu lebih mahal (Suhardjo 1989).

Terdapat kecenderungan dengan semakin tingginya pendapatan terjadi perubahan dalam pola konsumsi pangan, yaitu pangan yang dikonsumsi akan lebih beragam. Namun kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak menyebabkan jenis pangan yang dikonsumsi menjadi beragam, tetapi justru yang sering terjadi adalah pangan yang dibeli harganya lebih mahal (PSKPG 2002).

Tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli

untuk jenis pangan padi-padian akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari susu akan bertambah jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lainnya (Berg 1986).

Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Menurut Suhardjo (1996), tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Syarief (1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi.

Pengetahuan gizi

Pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan yaitu, status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, setiap orang hanya akan cukup gizi jika pangan yang akan dikonsumsinya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan, dan energi serta ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik untuk kesejahteraan gizi (Suhardjo 1996). Haper, Deaton, dan Driskel (1986) menyatakan bahwa pengetahuan gizi mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang. Pengetahuan gizi akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsinya.

Pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang gizi dan kesehatan merupakan faktor yang menentukan dalam penyediaan pangan dalam keluarga. Ibu-ibu yang berpengetahuan gizi baik akan mengupayakan kemampuan menerapkan pengetahuannya di dalam pemilihan dan pengolahan pangan, sehingga konsumsi pangan yang mencukupi kebutuhan lebih terjamin (Khumaidi 1989).

Pengetahuan memiliki hubungan yang erat dengan baik buruknya kualitas gizi dari pangan yang dikonsumsi. Dengan pengetahuan yang benar mengenai

gizi, maka orang akan tahu dan berupaya untuk mengatur pola konsumsi pangannya sedemikian rupa sehingga seimbang, tidak kekurangan, dan tidak kelebihan. Pengetahuan gizi, sikap terhadap gizi, dan keterampilan gizi secara bersama-sama akan menentukan perilaku gizi (Pranadji 1988).

Survei Konsumsi Pangan

Survei konsumsi pangan adalah alat untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam menyusun suatu kegiatan atau program. Dampak dari perbaikan konsumsi pangan dan gizi akan mendukung keberhasilan peningkatan kualitas hidup manusia. Survei konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri konsumsi pangan baik dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber- sumbernya maupun jumlah yang dikonsumsi, termasuk kebiasaan makan serta faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan tersebut (Suhardjo, Hardinsyah & Riyadi 1988).

Survei konsumsi pangan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang (baik berupa keluarga, rumah tangga, penghuni asrama, penduduk desa atau wilayah), baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Survei konsumsi pangan secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan yang dikonsumsi. Sedangkan survei konsumsi pangan secara kualitatif digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi, dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara memperoleh pangan (Suhardjo, Hardinsyah, dan Riyadi 1988).

Metode pengumpulan data yang dapat dilakukan secara kuantitatif adalah metode mengingat-ingat (method recall), penimbangan (weighed method), dan food record method. Sedangkan metode pengumpulan data secara kualitatif menggunakan riwayat makan (dietary history ) dan frekuensi pangan (food frequency) (Riyadi 2004). Pemilihan metode dapat didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu tujuan survei, ketelitian yang diinginkan, ketersediaan biaya, waktu, dan tingkat keahlian tenaga pengumpul data (enumerator) (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Metode recall 24 jam

Metode ini digunakan untuk memperkirakan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang selama 24 jam yang lalu atau sehari sebelum wawancara dilakukan. Pengukuran konsumsi menggunakan ukuran rumah tangga (URT) untuk mengetahui porsi pangan, kemudian dikonversi keukuran metrik (gram) (Riyadi 2004).

Metode recall memiliki keunggulan yaitu murah dan tidak memakan waktu banyak. Kekurangannya adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena mengandalkan ingatan seseorang yang terbatas dan tergantung dari keahlian tenaga pencatatan dalam mengkonversikan URT menjadi satuan berat (gram) (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Food record

Metode ini umumnya dilakukan selama 7 hari, dimana responden melakukan pencatatan semua pangan dan minuman yang dikonsumsi. Pencatatan dilakukan oleh responden dengan menggunakan URT atau menimbang langsung berat pangan yang dikonsumsi (Riyadi 2004).

Metode food record merupakan metode yang akurat untuk survei konsumsi pangan di tingkat keluarga. Tetapi metode ini juga memiliki kekurangan seperti biaya mahal, perlu partisipasi yang tinggi dari responden, pola konsumsi pangan rumah tangga yang dapat berubah (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Weighed method

Metode penimbangan mengukur secara langsung berat setiap jenis pangan yang dikonsumsi oleh seseorang pada saat wawancara (Riyadi 2004). Pengukuran penggunaan pangan untuk konsumsi dilakukan dengan cara menimbang bahan pangan dalam keadaan mentah (proses persiapan), setelah masak (penyajian), dan setalah pangan tersebut dikonsumsi (mengamati sisa yang tidak dimakan) (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Metode penimbangan ini juga akurat untuk digunakan karena dilakukan penimbangan secara cermat dan tepat terhadap makan yang dikonsumsi. Tetapi metode ini mahal, memerlukan waktu lama, adanya rasa segan atau malu pada

responden, dan adanya kemungkinan perubahan pola konsumsi pangan dari kebiasaan sehari-hari dengan adanya kehadiran kita (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Food Frequency Questionaire (FFQ)

FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi responden dalam mengonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari atau minggu atau bulan atau tahun. Kuesioner terdiri dari daftar jenis makanan dan minuman.

Kelebihan FFQ adalah relatif murah, dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet, penyakit, dan lebih representatif. Sedangkan keterbatasannya yaitu adanya kemungkinan tidak menggambarkan porsi yang dipilih oleh responden, tergantung pada kemampuan responden untuk mendiskripsikan dietnya.

Beberapa jenis FFQ adalah sebagai berikut :

1. Simple or nonquantitative FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi, sehingga menggunakan standar porsi.

2. Semi quntitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya sepotong roti, secangkir kopi.

3. Quntitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi responden, seperti kecil, sedang atau besar.

(Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2007).

Penggunaan metode FFQ pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intik konsumsi zat gizi. Metode frekuensi pangan dapat juga digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara kuantitatif. Hal ini tergantung dari tujuan studi, apakah hanya ingin menggali frekuensi pangan saja atau juga sekaligus dengan konsumsi zat gizinya. Dengan metode ini, kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (misalnya: sumber energi, protein, lemak, dan vitamin) selama kurun waktu yang spesifik (misal: perhari,

minggu, bulan atau tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat gizinya. Kuisioner mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Gibson 1993).

Biasanya metode ini digunakan untuk mengukur konsumsi pangan suatu keluarga. Keuntungan menggunakan metode ini antara lain lebih cepat mengumpulkan data, relatif lebih murah, dapat mengetahui pangan yang biasa dikonsumsi keluarga, dapat diambil oleh enumerator yang tidak berpengalaman, dan hasilnya dapat distandarisasi secara umum (Howarth 1990 dalam Gibson 1993).

Tingkat Konsumsi Zat Gizi

Manusia memerlukan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan, dan melakukan aktivitas fisiknya yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang terdapat pada bahan makanan. Kandungan karbohidrat, lemak, dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier 2002).

Konsumsi energi penduduk dikatakan mencukupi bila memenuhi kebutuhan untuk metabolisme basal dan aktivitas fisik sehari-hari. Jumlah kebutuhan ini disebut kecukupan gizi, yaitu jumlah zat gizi yang sebaiknya dikonsumsi oleh setiap individu agar dapat hidup sehat (PSKPG 1994).

Agar hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya, manusia memerlukan sejumlah zat gizi. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan baik internal maupun eksternal, pemeliharaan tubuh, dan pertumbuhan bagi yang masih dalam taraf pertumbuhan (bayi, anak-anak, dan remaja) atau untuk aktivitas pemeliharaan tubuh bagi orang dewasa dan usia lanjut (Hardinsyah & Martianto 1992).

Muhilal (1985) dalam Hardinsyah dan Martianto (1992) membedakan istilah kebutuhan gizi dan kecukupan gizi. Kebutuhan gizi (Nutrient Requierment) adalah banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan seseorang agar hidup sehat. Sedangkan kecukupan gizi (Recommended Dietary Allowances) adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar hampir semua

orang (sekitar 97.5 % populasi) hidup sehat. Kebutuhan dan kecukupan gizi biasanya disusun berdasarkan kelompok umur dan berat badan tertentu menurut jenis kelamin (Hardinsyah & Martianto 1992).

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah tingkat konsumsi zat-zat gizi esensial yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi hampir semua orang sehat di suatu negara. AKG untuk Indonesia berdasarkan patokan berat badan untuk masing- masing kelompok umur, gender, dan aktivitas fisik yang ditetapkan secara berkala melalui survei penduduk. AKG juga disusun untuk kondisi khusus, yaitu bagi ibu hamil, dan menyusui. AKG digunakan sebagai standar untuk mencapai status gizi optimal bagi penduduk dalam hal penyedian pangan secara nasional dan regional serta penilaian kecukupan gizi penduduk golongan masyarakat tertentu yang diperoleh dari konsumsi pangan (Almatsier 2005).

Menilai tingkat konsumsi pangan (untuk energi dan zat gizi) diperlukan suatu standar kecukupan yang dianjurkan atau Recommended Dietry Allowances (RDA) untuk populasi yang diteliti. AKG yang digunakan untuk Indonesia adalah hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004. Penyajian Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut berdasarkan kepada kelompok umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, aktivitas, dan kondisi fisiologis khusus (hamil atau menyusui). Tingkat kecukupan energi dan protein keluarga menurut Latief, Atmarita, Minarto, Basuni, dan Tilden (2000) dalam WNPG (2000) dibagi menjadi dua yaitu defisit (< 70%) dan cukup (> 70%).

Keragaman Konsumsi Pangan

Household Dietary Diversity (keragaman konsumsi pangan rumah tangga) merupakan jumlah jenis makanan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode tertentu yang ditetapkan. Keragaman konsumsi pangan adalah indikator yang baik untuk alasan sebagai berikut (Swindale & Bilinsky 2006):

 Konsumsi pangan yang lebih beragam berhubungan dengan peningkatan hasil pada berat kelahiran, status anthropometrik anak, dan peningkatan konsentrasi hemoglobin.

 Konsumsi pangan yang lebih beragam berkaitan erat dengan faktor seperti: kecukupan energi dan protein, persentase protein hewani (protein kualitas tinggi), dan pendapatan rumah tangga. Bahkan pada rumah tangga yang sangat miskin, peningkatan pengeluaran untuk makanan yang dihasilkan dari penghasilan tambahan berhubungan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan.

Menurut FAO (2007) keragaman konsumsi pangan adalah jumlah pangan atau kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode tertentu yang ditetapkan yaitu dapat bertindak sebagai indikator alternatif dari keamanan makanan pada berbagai keadaan, termasuk negara dengan pendapatan sedang atau menengah, daerah pedesaan dan urban, serta untuk berbagai musim.

Pola konsumsi pangan yang seimbang adalah konsumsi pangan yang dapat menyediakan zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur dalam jumlah yang cukup sesuai umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik, yang terdiri dari pangan yang beragam (Riyadi 1996). Keragaman konsumsi pangan sangat penting, hal ini karena tidak ada satu jenis pangan yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang lengkap. Dengan mengonsumsi pangan yang beragam maka kekurangan zat gizi dalam satu jenis akan dilengkapi oleh kandungan zat gizi dari pangan lainnya. Adanya prinsip saling melengkapi antar berbagai pangan tersebut akan menjamin terpenuhinya mutu gizi seimbang dalam jumlah cukup (Riyadi 1996).

Setiap bahan pangan mempunyai susunan kimia yang berbeda-beda dan mengandung zat gizi yang bervariasi baik jenis maupun jumlahnya. Diantara beragam jenis bahan pangan yang tersedia di alam ada yang kaya akan satu jenis zat gizi, ada pula yang lebih dari satu jenis zat gizi, sebaliknya ada yang miskin akan zat gizi (Suhardjo & Kusharto 1992).

Kuisioner keragaman konsumsi pangan adalah alat yang menyediakan pendekatan yang lebih cepat, mudah digunakan, dan hemat biaya untuk mengukur perubahan pada kualitas konsumsi pangan rumah tangga maupun individu. Keragaman konsumsi pangan adalah ukuran kualitatif dari konsumsi pangan yang mercerminkan akses rumah tangga terhadap variasi pangan yang beragam dan juga mewakili kecukupan gizi pada konsumsi pangan individu. Skor keragaman

konsumsi pangan dibuat dengan menjumlahkan baik pangan atau kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode referensi tertentu. Skor keragaman konsumsi pangan yang disebutkan terdiri dari perhitungan kelompok makanan yang sederhana yang dikonsumsi individu atau rumah tangga yang dikonsumsi selama 24 jam (FAO 2007).

Jumlah kelompok pangan yang beragam yang dikonsumsi dihitung untuk menggambarkan kualitas konsumsi secara lebih baik, bukan hanya jumlah ragam pangan yang dikonsumsi. Dengan mengetahui konsumsi rumah tangga tersebut, sebagai contoh, rata-rata dari 4 kelompok pangan yang berbeda menandakan bahwa konsumsi pangan mereka menawarkan keragaman baik dalam zat gizi makro maupun mikro. Ini adalah indikator yang lebih berarti daripada mengetahui rumah tangga mengonsumsi empat pangan yang berbeda, yang mungkin saja semuanya dari kelompok pangan padi-padian (Swindale dan Bilinsky 2006). Untuk mengetahui keragaman konsumsi pangan dapat digunakan suatu kuisioner yang berisikan tabel daftar konsumsi pangan yang dimakan baik dalam rumah maupun luar rumah. Contoh kuisioner keragaman konsumsi pangan sebagai berikut:

Tabel 1 Contoh kuisioner keragaman konsumsi pangan

No. Kelompok Pangan Contoh Ya = 1

Tidak = 0 1. Padi-padian Roti, mie, biskuit, cookies atau

makanan lainnya yang terbuat dari millet, sorgum, jagung, beras, dan gandum.

2. Sayuran dan umbi- umbian kaya vitamin A

Labu kuning, wortel, dan ubi jalar

3. Umbi-umbian Kentang, ubi kayu atau makanan dari batang

4. Sayuran daun hijau tua Daun ubi kayu dan lain-lain 5. Sayuran lainnya Tomat, bawang putih,

6. Buah kaya vitamin A Aprikot, mangga, dan semangka 7. Buah-buahan lainnya Buah liar

8. Jeroan (kaya zat besi) Hati, ginjal, dan jantung

9. Daging Daging sapi, babi, kambing, domba, kelinci, ayam, bebek atau burung 10. Telur

11. Ikan Ikan segar atau ikan asin 12. Kacang-kacangan Kacang, biji-bijian 13. Susu dan produk

olahan susu

Susu, yogurt, atau olahannya

14. Minyak dan lemak Minyak, lemak, dan mentega 15. Gula Gula, madu, dan gula buah

16. Bumbu dan minuman Lada, garam, kopi, teh, dan alkohol

Dokumen terkait