• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan 1) Perikanan Tangkap dan Budidaya

Kawasan pantai Kecamatan Merawang yang membentang dari arah selatan menyisir ke bagian barat, menyusuri pesisir pantai hingga ke utara Kabupaten Bangka, diperuntukkan untuk berbagai jenis pemanfaatan. Diantaranya perikanan tangkap, perikanan budidaya dan pemanfaatan ekosistem mangrove. Ada beberapa komoditas unggulan hasil perikanan di Kabupaten Bangka yang terlihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Volume dan Nilai Komoditas Unggulan di Kabupaten Bangka

No Jenis Volume (Ton) Nilai (Rp l.000,00)

1 Tembang 3.468,53 13.240.411,00 2 Lemuru 2.630,56 11.239.254,00 3 Selar 2.063,90 17.118.114,00 4 Tetengkek 1.374,72 11.239.254,00 5 Tongkol 1.899,16 17.272.658,00 Jumlah 5.047,50 75.951.300,00

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Tahun 2007.

Gambar 4 Volume Komoditas Unggulan di Kabupaten Bangka Tahun 2007.

Tabel 15 dan Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa komoditas unggulan yang paling tinggi produksinya adalah ikan Tembang sebanyak 3.468,53 ton

Jumlah produksi untuk komoditas unggulan lainnya, lebih rendah seperti ikan Lemuru sebanyak 2.630,56 ton, ikan Selar 2.063,90 ton, dan ikan Tongkol 1.899,16 ton serta ikan Tetengkek sebanyak 1.374,72 ton. Secara umum perkembangan dan perbandingan antara produksi perikanan tangkap dengan perikanan budidaya untuk Kabupaten Bangka selama tahun 1997-2007 terlihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Produksi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya di Kabupaten Bangka Tahun 1997-2007

Tahun

Produksi Perikanan (Ton) Nilai Produksi (Rpl.000,00)

Tangkap Budidaya Tangkap Budidaya

1997 16.119,60 3.578,10 9.502.640,00 12.727.290,00 1998 16.526,20 3.724,20 9.530.225,00 14.259.230,00 1999 15.333,60 2.629,70 9.924.360,00 14.648.050,00 2000 15.351,00 2.687,50 10.260 815,00 21.564.390,00 2001 15.011,40 2.828,90 16.031.275,00 56.383.555,00 2002 16.402,40 2.890,90 20.940.425,00 44.794.345,00 2003 17.669,70 2.870,50 19.177.880,00 70.301.680,00 2004 16.336,60 2.835,00 22.973.755,00 63.084.750,00 2005 16.368,30 3.731,80 23.276.355,00 67.952.940,00 2006 16.599,70 3.851,60 23.785.225,00 68.176.500,00 2007 17.543,55 3.887,95 24.908.720,00 69.780.537,00 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Gambar 5 Perbandingan Volume Produksi Perikanan Tangkap dengan Perikanan Budidaya Tahun 1997-2007.

48

Total produksi untuk perikanan tangkap setiap tahunnya dibandingkan perikanan budidaya sangat berbeda jauh. Tingginya volume produksi perikanan tangkap disebabkan karena populasi nelayan juga besar, dimana perikanan tangkap menjadi sumber penghasilan utama, khususnya di Kecamatan Merawang. Hal tersebut berdasarkan data jumlah armada, jumlah nelayan dan jumlah produksi di Kecamatan Merawang, seperti terlihat pada Tabel 17,18,19 dan 20.

Tabel 17 Jumlah Armada Perikanan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007

No Kehirahan/Desa Perahu tanpa motor (unit)

Motor Tempel

(unit)

Kapal Motor (unit)

0-5 5-10

1 Kel. Jade 18 19 4 1

2 Kel.Riding Panjang 55 54 6 0

3 Desa Pagarawan 47 13 0 0

Jumlah 120 86 10 1

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, 2007.

Tabel 17 menunjukkan bahwa jumlah armada terbanyak adanya di Kelurahan Riding Panjang untuk perahu tanpa motor, motor tempel maupun untuk kapal motor, karena di kelurahan tersebut pekerjaan utama dari penduduk adalah nelayan atau petambak dan domisilinya sebagian besar di wilayah pesisir. Kemudian di Desa Pagarawan armada yang dominan adalah perahu tanpa motor, sedangkan di Kelurahan Jade armada motor tempel lebih banyak dari perahu tanpa motor. Secara umum jenis armada di atas menggambarkan bahwa umumnya daerah penangkapan oleh nelayan di kelurahan/desa tersebut, dilakukan di bagian dalam wilayah perairan (inner zone) atau perikanan pantai, sedangkan hanya sebagian kecil dari nelayan yang melakukan penangkapan di daerah luar wilayah perairan Kabupaten Bangka (putter zone).

Tabel 18 Jumlah Nelayan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Bangka Tahun 2007

No Kelurahan/Desa Perahu tanpa motor (orang) Motor Tempel (orang) Kapal Motor (orang) 0-5 5-10 1 Kel. Jade 11 38 17 0

2 Kel. Riding Panjang 54 86 19 0

3 Desa Pagarawan 47 10 0 0

Jumlah 112 134 36 0

Berdasarkan Tabel 18, maka dapat dilihat bahwa jumlah nelayan yang terbanyak juga adanya di Kelurahan Riding Panjang, karena memang jumlah armadanya juga yang terbanyak. Untuk jenis armada motor tempel, jumlah nelayannya lebih banyak tiap unit armada, biasanya dalam satu unit armada memiliki 2 (dua) sampai 3 (tiga) orang nelayan. Selanjutnya Desa Pagarawan, nelayannya dominan menggunakan perahu tanpa motor, sedangkan nelayan di Kelurahan Jade lebih banyak menggunakan motor tempel. Jumlah nelayan yang menggunakan kapal motor untuk tiap unit armada biasanya 4 (empat) sampai 5 (lima) orang.

Tabel 19 Jenis Alat Tangkap per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007

No Jenis Alat Tangkap Kel. Jade Kel. Riding Panjang Desa Pagarawan Jumlah

1 Jaring Insang Hanyut 0 50 4 54

2 Bagan Perahu 4 0 0 4 3 Bagan Tancap 0 0 3 3 4 Rawai Tetap 19 0 2 21 5 Pancing Tonda 0 0 1 1 6 Perangkap 0 0 35 35 7 Pancing 11 5 15 31

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, 2007.

Jenis alat tangkap yang terbanyak pada Tabel 19, adalah jaring insang hanyut di Kelurahan Riding Panjang, kemudian jenis perangkap di Desa Pagarawan. Di Kelurahan Jade jenis rawai tetap lebih dominan. Untuk jenis pancing, digunakan oleh nelayan pada tiap kelurahan/desa. Menurut responden karena pancing tersebut tidak membutuhkan biaya operasional yang tinggi, pengoperasian alatnya tidak sulit. Dengan pancing tersebut nelayan juga menangkap jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti kerapu dan sunu.

Tabel 20 Jumlah Produksi dan Nilai Penangkapan Ikan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Merawang Tahun 2007

No Kelurahan/Desa Produksi (ton) Nilai (Rpl.000,00)

1. Kel. Jade 375,00 523.715,10

2. Kel.Riding Panjang 776,40 954.454,10

3. Desa Pagarawan 229,60 403.209,40

Jumlah 1381,00 1.881.378,60

50

Jumlah produksi Tahun 2007 pada Tabel 20, menunjukkan yang terbanyak di Kelurahan Riding Panjang, sebesar 776,40 ton. Hal ini disebabkan karena di kelurahan tersebut, jumlah armada, nelayan dan alat tangkapnya memang paling banyak, penduduknya juga padat, selain itu karena wilayahnya juga paling luas dibandingkan Kelurahan Jade dan Desa Pagarawan.

2) Ekosistem Mangrove

Luas ekosistem mangrove di Kabupaten Bangka 40,28 ha. Berdasarkan hasil pemetaan hutan mangrove pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Bangka dengan perincian seperti yang disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21 Rekapitulasi Hasil Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Bangka

No Kecamatan Desa/Kelurahan Luas (ha) Persentase (%)

1 Bakam Bukit Layang Mabat 2,35 1,11 5,83 2,76 Total 3,46 8,59

2 Belinyu Air Jakung Kuto Panji Gunung Muda Air abik Bukit Ketok 1,21 2,57 2,20 0,14 1,10 3,00 6,38 5,46 0,35 2,73 Total 7,22 17,92

3 Sungailiat Sinar Baru Kudai 1,85 15,25 4,59 37,86 Total 17,10 42,45 4 Merawang Pagarawan Riding Panjang Jade 2,08 8,34 2,08 5,16 20,71 5,16 Total 12,50 31,04 Kabupaten Bangka 40,28 100,00

Sumber : Pemerintah Kabupaten Bangka, 2007.

Jenis vegetasi hutan mangrove yang ada di Kabupaten Bangka terdiri atas jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicenniasp), tancang (Brugueria sp) dan gogen (Sonetharia sp), nipa (Nypa fruticans). Penyebaran masing-masing jenis vegetasi tersebut cukup merata pada setiap pantai di kecamatan. Jenis vegetasi yang dominan adalah jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp) dan gogen (Sonetharia sp). Ketiga jenis vegetasi mangrove tersebut pertumbuhannya cukup baik dengan penutupan tajuk rata-rata rapat. Secara khusus, untuk

Kecamatan Merawang mempunyai data fisik hutan mangrove dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Data Fisik Hutan Mangrove Kecamatan Merawang

No Data Fisik Mangrove Desa Pagarawan Kel. Riding Panjang Kel. Jade 1 Lebar (m) 7-10 7-10 5-7 2 Tinggi Tegakan (m) 15-17 15-17 10-15

3 Jenis Vegetasi Api-Api, Bakau dan lainnya

Api-Api, Bakau dan lainnya

Api-Api dan Bakau

4 Kerapatan Sedang-rapat Sedang-rapat Sedang

5 Kedalaman Lumpur (cm) 30-60 30-60 0-30

6 Derajat keasaman/pH (ppm) 6,5-7 6,5-7 6,5-7

7 Besar Pasang Surut (cm) 159 159 159

8 Besar Gelombang Laut (m) 0,51-1 0,51-1 0,51-1 Sumber : Pemerintah Kabupaten Bangka, 2007.

Tabel 22 menggambarkan kondisi aktual fisik hutan mangrove di Kecamatan Merawang, dimana lebar mangrove, tinggi tegakan mangrove, jenis vegetasi, kerapatan, kedalaman lumpur, untuk Kelurahan Riding Panjang dan Desa Pagarawan relatif sama. Lebar mangrove untuk dua desa/kelurahan tersebut sebesar 7 sampai 10 meter, tinggi 15 meter sampai 17 meter, jenis vegetasi juga relatif sama yaitu bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), tancang (Brugueria sp) dan gogen (Sonetharia sp), dan nipa (Nypa fruticans). Selanjutnya kerapatan sedang sampai rapat dan kedalaman lumpur antara 30-60 cm. Kelurahan Jade, lebar 7-10 meter, tinggi 5-7 meter, jenis vegetasi hanya bakau (Rhizophora sp) dan api-api (Avicennia sp). Kerapatan di Kelurahan Jade tergolong sedang dengan kedalaman lumpur 0-30 cm. pH, pasut dan gelombang laut untuk ketiga desa/kelurahan, juga relatif sama, hal tersebut karena kondisi geografis wilayah tersebut masih dalam satu kesatuan. Derajat kemasaman tergolong normal yaitu antara 6,5-7 ppm, pasang surut berkisar 0-159 cm. Menurut Saenger et al. (1983) bahwa umumnya mangrove tumbuh pada level pasang surut yang rendah.

6.2 Identifikasi Pemanfaatan Hutan Mangrove

Hutan mangrove yang hampir menutupi sepanjang pantai, secara administratif yang masuk ke dalam Kecamatan Merawang adalah seluas 40,28 ha. Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat, sejak puluhan tahun terakhir

52

dilakukan secara terus menerus, yang menimbulkan tekanan hingga akhirnya luasan mangrove hanya tersisa seperti sekarang ini. Upaya pelestarian hutan mangrove saat ini telah diterapkan dengan membatasi kecenderungan pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan, sehingga hutan tetap lestari dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemanfaatan hutan mangrove di Kecamatan Merawang oleh masyarakat saat ini cukup beragam, baik sebagai usaha subsisten mau pun yang komersial. Berdasarkan hasil olahan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuisioner dengan responden, dapat diidentifikasi beberapa manfaat hutan yang bisa secara langsung dirasakan oleh masyarakat adalah seperti terlihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Pemanfaatan Hutan Mangrove

No Manfaat Pemanfaatan Rata-rata

per Responden per Tahun

1 Kayu Bakar (ikat) 85

2 Bibit Bakau (batang) 4.464

3 Kepiting (ekor) 1.932

Sumber : Data Primer (Lampiran 4 dan 6), 2007.

Pada Tabel 23, dapat dilihat beberapa jenis manfaat hutan mangrove yang ada di lokasi penelitian dan secara langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi hutan mangrove tersebut. Jenis vegetasi mangrove yang dominan ada di lokasi penelitian dan paling sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar adalah jenis bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp).

6.3 Pendugaan Nilai Utility Konsumen dari Sumberdaya Perikanan pada

Ekosistem Hutan Mangrove

Pendugaan nilai ekonomi mangrove yang didekati melalui konsumen surplus Marshallian dengan kurva permintaan yang berslope negatif. Pendugaan fungsi permintaan untuk menilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove di Kecamatan Merawang mengikuti persamaan berikut :

X = 1 1 ' β β ⎟⎟ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛Q U =

a f Q dQ 0 ( )

Surplus konsumen diduga dari persamaan berikut :

CS = U- Pt, dimana Pt = X1xQ

Dengan menggunakan program Maple 9.5 diperoleh nilai kepuasan (utility) dan surplus konsumen untuk total pemanfaatan Ikan Bandeng dari pola usaha monokultur Ikan Bandeng dan Polikultur Udang dan Ikan Bandeng yang telah distandarisasi menjadi monokultur Ikan Bandeng, kemudian jenis pemanfaatan kayu bakar dan kepiting, bibit bakau dan hasil dari pola usaha monokultur udang. Selengkapnya hasil pendugaan yang diperoleh, terlihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Pendugaan Surplus Konsumen dari Sumberdaya Ekosistem Mangrove/tahun No Jenis Pemanfaatan Luas Lahan (ha) Rata- rata Q Utility (Rp) Surplus Konsumen (Rp) 1 Bibit Bakau 12,50 4.464 1.379.687,62 269.746,95 2 Kayu Bakar 12,50 85 2.528.835,93 1.866.739,09 3 Kepiting 12,50 1.932 18.384.270,97 13.695.273,91 4 Tambak Ikan Bandeng 112,00 2.416 12.553.318,64 4.722.766,58 5 Tambak Ikan Bandeng dan Udang

21,00 5.040 98.588.527,95 95.235.125,20

6 Tambak Udang 13,50 649 5.031.723,77 2.122.065,26 Sumber : Data Primer (Lampiran 4 dan 6), 2007.

Tabel 24 menunjukkan bahwa utility terbesar adalah dari pemanfaatan hasil tambak Ikan Bandeng dan Udang sebesar Rp98.588.527,95 dengan konsumen surplus sebesar Rp95.235.125,20. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan 21,00 ha dengan rata-rata permintaan konsumen 5.040 ekor per tahun. Kemudian utility dari hasil Kepiting juga tinggi, sebesar Rp18.384.270,97 dengan konsumen surplus sebesar Rp13.695.273,91. Nilai tersebut diperoleh dari luas lahan 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 1.932 ekor per tahun.

54

Utility untuk hasil pemanfaatan tambak Ikan Bandeng dan Udang adalah sebesar Rp98.588.527,95 dengan surplus konsumen sebesar Rp95.235.125,50, dimana nilai tersebut diperoleh dari luas lahan hutan mangrove seluas 21,00 ha. Rata-rata permintaan konsumen terhadap hasil tambak ini sebanyak 5.040 ekor per tahun, sedangkan utility untuk hasil pemanfaatan kepiting sebesar Rp18.384.270,97 dan besarnya surplus konsumen yang diperoleh sebesar Rp13.695.273,91 dengan jumlah rata-rata permintaan dari konsumen sebesar 1.932 ekor per tahunnya, nilai ini diperoleh dari luas lahan mangrove seluas 12,50 ha.

Plot permintaan berdasarkan utility konsumen terhadap hasil pemanfaatan tambak Ikan Bandeng dan Udang serta pemanfaatan Kepiting, ditunjukkan oleh Gambar 6 dan 7.

Gambar 6 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Ikan Bandeng dan Udang.

(Kg) (Rp/Kg)

Gambar 7 Plot Utility konsumen terhadap Hasil Kepiting.

Utility untuk hasil tambak Ikan Bandeng adalah sebesar Rp12.553.318,64 dengan surplus konsumen sebesar Rp4.722.766,58. Nilai tersebut diperoleh dari lahan yang seluas 112,00 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 2.416 ekor per tahun. Plot dari pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Tambak Ikan Bandeng.

P (Kg) (Rp/Kg) P (Kg) (Rp/Kg)

56

Utility konsumen dari jenis hasil tambak Udang adalah sebesar Rp5.031.723,77 dengan surplus konsumen sebesar Rp2.122.065,26. Nilai tersebut diperoleh dari lahan seluas 13,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 649 ekor per tahun. Plot pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Tambak Udang.

Surplus konsumen yang dihasilkan dari jenis pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar seperti pada Tabel 24 adalah sebesar Rp2.528.835,93 dengan

utility sebesar Rp1.866.739,09. Nilai tersebut diperoleh dari luas hutan mangrove 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 85 batang per tahun. Plot pendugaan permintaan konsumen dapat dilihat pada Gambar 10.

P

(Kg) (Rp/Kg)

Gambar 10 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil kayu Bakar.

Utility konsumen dari jenis hasil Bibit Bakau adalah sebesar Rp1.379.687,62 dengan surplus konsumen sebesar Rp269.746,95. Nilai tersebut diperoleh dari luas hutan mangrove 12,50 ha dengan rata-rata permintaan konsumen sebanyak 4.464 bibit per tahun. Plot dari pendugaan permintaan konsumen terhadap hasil Bibit Bakau dapat disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Bibit Bakau.

(Kg) (Rp/Kg) P P (Rp/Kg) (Kg)

58

6.4 Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove

Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya sumberdaya perikanan oleh rumah tangga perikanan (RTP) sekarang ini memerlukan pengelolaan dan pemanfaatan yang optimal untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan menggunakan pendekatan model rumah tangga (household models) untuk jenis-jenis pemanfaatan hutan mangrove, maka nilai optimal dapat diperoleh melalui fungsi tujuan dan kendala berikut :

a) Usaha Tambak Polikultur (Udang + Ikan Bandeng) per tahun per ha

Max π = 366.68 qu + 2706.74 qb - 1028.82 x1– 2100 x2 – 1200 x3 - 28.51 x4 – 68.51 x5 - 976.92 x6 - 14156.52 x7 - 2500 l Subject..to: qu <1881.048 ; qb < 236.667; x1 <80.952; x2≤57.143 ; x3≤54.762 ; x4≤6159.524 ; x5≤1890.476 ; x6≤61.905 ;x7 ≤1.095 ; l≤ 193.371; 0.04 qubx1 = 0 ; 0.03 qubx3 = 0 ; 2.91 qb – x4 = 0 ; 0.89 qb – x5 = 0 ; 0.03 qubx6 = 0 ; 0.0005171 qubx7 = 0 ; 0.091311387 qubl = 0 ; 1028.82 x1 + 2100 x2+ 1200 x3+ 28.51 x4 + 68.51 x5 + 976.92 x6 + 14156.52 x7+ 2500 l < 13652100

b) Usaha Tambak Monokultur (Udang) per tahun per ha

Max π = 4461 qu -1490x1,- 2300x2 -1300x3 -22.25997249x4 -1200x5-7500x6 – 2492l Subject.. to : 481 qu;718.5185185≤ x1;46 x2;46≤ x3;13463≤ x4;100≤ x5;2≤ x6;185.8 l; qu.- x1,= 0;0.095531587qu - x2 = 0;0.096302003qu - x3 = 0;28.00462qu - x4 =0; 0.208012327qu - x5 = 0;0.004622496qu -x6 = 0;0.386440678qu – l =0; 28829250≤1490x1,+ 2300x2 + 1300x3 + 22.25997249x4 +1200x5, +7500x6 + 2492l

c) Usaha Tambak Monokultur (Ikan Bandeng) per tahun per ha

Max π =3265.42 qbg - 1070 .00 x1 – 2026.79x2 - 1200 .00 x3 -118.76 x4 –820.39 x5 – 20.69 x6 – 2474.96 l Subject ..to : qbg≤647.05 ; x1≤59.82 ; x2≤84.15 ; x3≤68.30 ; x4≤3783.48 ; x5, ≤36.79 ; x6≤ 12.95; l ≤100.91 ; 0.9245 qbg – x1,= 0 ; 0.13005x2 – 0.10556qbg – x3= 0 ; 5.847252 – x4 = 0 ; 0.05685 qbg – x5 = 0 ; 0.02001 qbg – x6 = 0;0.15595 qbg – l =0 ; 1070 x1 + 2026.79 x2 + 1200 x3 + 118.76 x4 + 820.39 x5 + 20.69 x6 + 2474.96 l ≤117158500

d) Penangkapan Kepiting per trip Max π = 2430 qk - 15682 xk - 1000 l Subject ..to : total / tahun qk≤9;.xk. 0.0I460177; l ≤ 0.89380531; 0.001552941 qk -xk, = 0;0.095058824qk - l = 0;15682 xk +1000l ≤16682 e) Kepiting per tahun

Max π = 2430 qk – 15682 xk – 1000 l

Subject.. to : Total / tahun

qk 21250; xk≤33; l 2020; 0.001552941qk -xk = 0; 0.095058824qk – l = 0;

15682 xk + 1000 l 2782738

f) Pengambilan Kayu Bakar per trip

Max π = 13735qy - 26666.67xy.- 1200 l

Subject ..to :

qy l.00; xy 0.016601563; l 1.13; 0.016601563qy -xy =0; 1.13 qy – l = 0 26666.67xy + 2000 l ≤ 28666.67

g) Pengambilan Kayu Bakar per tahun

Max π = 13735qy – 26666.67 xy - 2000 l

Subject ..to :

qy 1024; xy ≤17; l 1158; 0.016601563 qy -xy = 0; 1.13qy -1 = 0;266667.67xy + 1200 l ≤3532766

h) Pengambilan Bibit Bakau per trip

Max π = 220.16 qbk -53.94871795 xbk. –976.52582161 l

Subject ..to :

qbk 651.0417; xbk 507.812500; l 1.109375; 0.78 qbk - xbk = 0; 0.001704 qbk

– l = 0; 53.94871795 xbk + 976.5258216 l 1030.47454 i) Pengambilan Bibit Bakau per tahun

Max π = 220.16 qbk - 53.94871795 xbk – 976.5258216 l

Subject ..to:

qbk≤62500; xbk 48750; l ≤107; qbk - xbk =0; 0.001704 qbk - l = 0; 53.94871795

60

Penyusunan model di atas, memperlihatkan bahwa fungsi tujuan dari optimalisasi tersebut memaksimalkan keuntungan, yang merupakan selisih dari total penerimaan dari produksi output dengan total biaya yang dikeluarkan dari pemakaian input dan upah tenaga kerja. Koefisien untuk masing-masing variabel merupakan harga atau biaya untuk tiap unit output atau input.

Unsur kendala adalah keterbatasan sumberdaya yang merupakan variabel produksi (output), keterbatasan biaya operasional dan biaya tetap, keterbatasan upah tenaga kerja dan keterbatasan modal usaha. Keterbatasan tersebut ditandai dengan pertidaksamaan lebih kecil (<=) dan sama dengan (=). Nilai pemanfaatan sumberdaya dibatasi sesuai dengan total pemanfaatan per hektar per tahun dan per hektar per trip, total pemakaian input per hektar per tahun, total hari orang kerja (HOK) per hektar per tahun. Koefisien untuk masing-masing variabel kendala adalah nilai atau besarnya pemakaian input untuk menghasilkan 1 (satu) satuan

output (kilogram atau ekor).

Keuntungan (π) optimal atau maksimal per tahun yang merupakan fungsi tujuan berdasarkan selisih dari total revenue dengan total cost, upah labor, yang juga diperoleh dengan bantuan Maple 9.5. Hasil perhitungan diperoleh keuntungan optimal tertinggi dihasilkan oleh jenis pemanfaatan kepiting sebesar Rp49.275.070,00 untuk 11 (sebelas) rumah tangga perikanan. Keuntungan optimal terendah diperoleh dari hasil pemanfaatan monokultur ikan bandeng sebesar Rp42.121,02. Selengkapnya hasil yang diperoleh dapat disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Nilai Manfaat Optimal Ekosistem Hutan Mangrove Tahun 2007 per ha

No Jenis Pemanfaatan Manfaat Optimal (Rp) Biaya Optimal (Rp) Keuntungan Optimal (Rp) 1 Bibit Bakau 10.732.800,00 2.711.051,64 8.021.748,36 2 Kayu Bakar 8.241.000,00 3.042.573,26 5.198.426,74 3 Kepiting 51.632.570,12 2.357.500,00 49.275.070,00 4 Tambak Udang 34.702.803,32 23.973.581,80 10.729.221,52 5 Tambak Ikan Bandeng

+ Udang

1.330.343,52 34.064,76 1.296.278,76

6 Tambak Ikan Bandeng 339.604,00 297.482,67 42.121,02

Total 106.979.120,96 32.416.254,13 74.562.866,04

Pemecahan nilai optimal dari output dan pemakaian input untuk masing- masing jenis pemanfaatan dari ekosistem hutan mangrove diperoleh dengan menggunakan program Maple 9.5. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26 Nilai Optimal Output dan Input dari Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove oleh Petambak per hektar per Tahun

Jmlh Resp. Petambak qu qbg X1 X2 X3 X4 X5 X6 L 10 Polikultur 1.881 237 0 0 0 689 211 0 0 10 Monokultur Udang 7.779 0 7.779 743 749 21.787 1.618 36 3.006 30 Monokultur Ikan Bandeng 0 104 10 84 0 606 6 2 16

Sumber : Data Primer (Lampiran 5), 2007.

Tabel 26 menunjukkan output optimal rata-rata per hektar per tahun untuk usaha monokultur udang sebanyak 7.779 ekor, pemakaian input lebih besar dari pola usaha lain, dimana input berupa bibit benur sebanyak 21.787 ekor, juga pemakaian input lain seperti kapur sebanyak 7.779 kg, 743 kg untuk pupuk urea, 749 kg untuk TSP, pestisida 1.618 kg untuk saponin dan 36 bungkus untuk cap bintang. Hari orang kerja (HOK) untuk pola usaha tersebut sebanyak 3.006 HOK. Nilai optimal diperoleh dari 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan dan musim panen sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun. Pola usaha monokultur udang layak untuk diusahakan, karena menghasilkan manfaat optimal sebesar Rp34.702.803,32. Selain itu keuntungan optimal yang diperoleh juga lumayan besar yaitu sebesar Rp10.729.221,52. Pemakaian input juga lebih besar dari pola usaha lain, sehingga petambak kadang-kadang mengalami kerugian.

Pola usaha monokultur Ikan Bandeng pada Tabel 26 diatas, juga memperlihatkan bahwa produksi atau output optimal dalam setahun per hektar untuk ikan sebanyak 104 ekor. Sedangkan pemakaian input optimal untuk pupuk sebanyak 10 kg, urea 84 kg, TSP 0 kg, pestisida saponin dan cap bintang masing- masing sebanyak 6 kg dan 2 bungkus. Penggunaan bibit nener yang optimal untuk menghasilkan output diatas sebanyak 606 ekor. Hari orang kerja (HOK) optimal untuk pola usaha tersebut sebanyak 16 HOK. Total manfaat optimal dari output

optimal diperoleh sebesar Rp33.960.369,81 per ha, total biaya optimal dari penggunaan input optimal sebesar Rp297.482,67. Pola usaha tersebut cukup layak

62

untuk diusahakan karena keuntungan optimal yang diperoleh sebesar Rp42.121,02 per ha.

Pola usaha tambak polikultur udang dan ikan menghasilkan manfaat optimal sebesar Rp1.330.343,52 per ha dan biaya optimal sebesar Rp34.064,76 sehingga keuntungan optimal diperoleh sebesar Rp1.296.278,76. Output optimal rata-rata per tahun per hektar sebanyak 1.881 ekor untuk udang dan 237 ekor untuk ikan, dengan pemakaian input optimal berupa benur sebanyak 689 ekor dan nener 211 ekor. Input lain tidak memberikan nilai yang optimal atau nol. Polikultur untuk udang 2 (dua) kali musim panen dalam setahun, sedangkan untuk ikan hanya sekali panen dalam setahun. Nilai optimal tersebut diperoleh dari 10 (sepuluh) rumah tangga perikanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa diantara ketiga pola usaha tersebut, yang paling layak dan memberikan nilai optimal terbanyak per hektar per tahun adalah usaha polikultur dan udang.

Populasi petambak di Kecamatan Merawang, lebih dominan mengoperasikan tambak dengan pola usaha monokultur Ikan Bandeng, karena menurut hasil wawancara dengan RTP, pola usaha tersebut tidak memerlukan modal besar dan resiko kegagalan panen relatif kurang. Dilokasi penelitian dominan responden dengan pola usaha monokultur Ikan Bandeng, sehingga produksi Ikan Bandeng juga tinggi dibandingkan hasil produksi dari komoditas- komodilas lain yang dibudidayakan. Jumlah responden untuk monokultur Ikan Bandeng sebanyak 30 rumah tangga perikanan (RTP) dan musim panen sekali dalam setahun.

Pola usaha monokultur Ikan Bandeng menurut responden, ternyata tetap tidak memberikan keuntungan maksimal dan tidak meningkatkan kesejahteraan rumah tangga perikanan, karena selain pola usaha tersebut hanya sekali dalam setahun musim panen, juga karena ikan bandeng merupakan salah satu komoditas perikanan darat yang tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi, dengan kata lain harga pasar dari ikan tersebut cukup rendah. Hal ini berdasar pada data yang diperoleh, dimana harga konsumen rata-rata per ekor hanya sebesar Rp2.500,00 sampai Rp3.500,00.

Berdasar pada kondisi tersebut, sebagian besar rumah tangga perikanan di Kecamatan Merawang mengusahakan mata pencaharian alternatif. yang bisa

meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, seperti sebagai pemanfaat ekosistem hutan mangrove (pencari kepiting, pengambil kayu bakar, serta bibit bakau), buruh nelayan, petani dan berkebun serta sebagai wiraswasta/pedagang.

Jenis pemanfaatan ekosistem hutan mangrove selain untuk tambak, juga untuk usaha-usaha lain yang komersial ataupun subsisten. Seperti penangkapan kepiting bakau dan pengambilan kayu bakar serta bibit bakau dari vegetasi mangrove. Usaha tersebut juga menghasilkan output dan input yang optimal bagi rumah tangga perikanan di Kecamatan Merawang. Nilai optimal dari output dan

input untuk jenis pemanfaatan dari hasil kepiting, kayu bakar dan bibit bakau, dapat dilihat pada Tabel 27.

Tabel 27 Nilai Output dan Input Optimal Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove untuk Kepiting, Kayu Bakar dan Bibit Bakau per ha

Nilai Optimal/tahun Nilai Optimal/trip No Jenis

Pemanfaatan qn Xn L qn Xn L

1 Kepiting 21.250 33 2.020 9 0,014 1

2 Kayu Bakar 1.024 17 1.157 1 0,017 1,13

3 Bibit Bakau 48.750 48.750 83 24 18,37 0,04

Sumber : Data Primer (Lampiran 5), 2007

Tabel 27 menunjukkan bahwa hasil produksi atau output kepiting yang optimal per tahun sebanyak 21.250 ekor, sedangkan produksi optimal per trip sebanyak 9 (sembilan) ekor. Usaha penangkapan kepiting menggunakan input

optimal sebanyak 33 unit per tahun dan 0,014 per trip. Penggunaan tenaga kerja optimal sebanyak 2.020 HOK per tahun dan 1 HOK per trip. Total trip 2.260 per tahun dari keseluruhan responden rumah tangga perikanan dan rata-rata trip per responden per tahun sebanyak 205 trip. Total biaya optimal dari pemakaian input

optimal adalah sebesar Rp2.357.500 per ha, seperti pada Tabel 25. Usaha pemanfaatan kepiting dari hutan mangrove di Kecamatan Merawang menghasilkan manfaat optimal dari total output optimal diperoleh sebesar Rp51.632.570,12 per ha dan keuntungan optimal Rp49.275.070,00 per ha dan Rp20.795 per trip untuk 11 (sebelas) rumah tangga. Usaha pemanfaatan kepiting dari ekosistem hutan mangrove menghasilkan keuntungan optimal per tahun yang tertinggi kedua setelah bibit bakau, jika dibandingkan dengan usaha pemanfaatan

64

lainnya. Hal tersebut selain disebabkan karena jumlah trip per tahun termasuk tinggi, juga karena harga jual kepiting cukup tinggi. Harga jual kepiting berdasarkan hasil wawancara dengan rumah tangga perikanan, adalah berkisar dari Rp2.300,00 per ekor sampai Rp2.500,00 per ekor.

Dokumen terkait