• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ekonomi pengelolaan mangrove di Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis ekonomi pengelolaan mangrove di Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKONOMI PENGELOLAAN

MANGROVE DI KECAMATAN MERAWANG

KABUPATEN BANGKA

FERAWATI MAEDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan MOCH. PRIHATNA SOBARI.

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman mangrove tinggi, dari 15,9 juta ha luas hutan mangrove dunia, sekitar 3,7 juta ha atau 24%-nya berada di Indonesia. Tujuan penelitian adalah (1) mengidentifikasi potensi dan jenis pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat lokal; (2) menganalisis nilai ekonomi dari ekosistem mangrove;(3) menganalisis alternatif pemanfaatan strategis untuk ekosistem mangrove. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study), metode pengambilan sampel digunakan adalah purposive sampling atau sengaja. Jumlah responden sebanyak 100 dari rumah tangga perikanan (RTP) dan non RTP. Data dianalisis dengan

consumer surplus, optimal pemanfaatan (household model), total nilai ekonomi (TEV) dan Cost-Benefit Analysis (CBA).

Hasil yang diperoleh bahwa utility terbesar adalah dari hasil tambak ikan bandeng dan udang (polikultur) sebesar Rp985.88.527,95 dengan konsumen surplus sebesar Rp95.235.125,20. Keuntungan optimal tertinggi dari jenis pemanfaatan kepiting sebesar Rp49.275.070,00 untuk 11 (sebelas) rumah tangga perikanan. Manfaat bersih optimal terendah diperoleh dari hasil pemanfaatan tambak ikan bandeng sebesar Rp42.121,02. Proporsi terbesar adalah dari manfaat tidak langsung dengan persentase 99,17% dengan nilai sebesar Rp100.655.404.682,00 per tahun. Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Merawang yang seluas 12,50 ha untuk hutan mangrove dan 146,50 ha untuk tambak per tahun sebesar Rp101.502.012.572,24.

Alternatif pemanfaatan yang menjadi pilihan prioritas, berdasarkan keseimbangan antara indikator untuk kriteria efisiensi dengan kriteria ekologi, antara kriteria efisiensi dengan equity, baik pada tingkat suku bunga rill 1,74%, 10,00% maupun suku bunga 13,27%, adalah pertama alternatif pemanfaatan VI (hutan mangrove 100% dan tambak 0%), kedua alternatif pemanfaatan V (hutan mangrove 12,50 ha, tambak polikultur 146,50 ha dan tambak monokultur udang dan ikan bandeng 0 ha) . Alternatif IV, III, II dan I tidak menjadi pilihan dalam alternatif pengelolaan karena menunjukkan nilai yang sangat tidak efisien.

(3)

ABSTRACT

FERAWATI MAEDAR. The Economic Analysis of Mangrove Management in Merawang Sub-District, Bangka District. Under the supervision of ACHMAD FAHRUDIN and MOCH. PRIHATNA SOBARI.

The aims of the research are; 1) to identify both the potential and the types of utilization of mangrove ecosystem carried out by the local society; 2) to analyze the economic value of the mangrove ecosystem; and 3) to analyze the alternatives of strategic utilization for mangrove ecosystem. The results show that the biggest utility is the one of poly-culture that reaches Rp985,88,527.95 with the surplus consumer of Rp95,235,125.20. The highest optimum profit from the crab utilization amounts to Rp49,275,070.00 for 11 (eleven) fishery households; while the lowest net benefit is obtained from the utilization of mallet pond with Rp42,121.02. The biggest proportion is from the indirect utilization with a percentage of 99.17% with a value of Rp100,655,404,682.00 per year. Furthermore, the Total Economic Value of the mangrove forest ecosystem in Merawang Sub-District covering 12.50 ha of mangrove forest and 146.50 ha for ponds amounts to Rp101,502,012,572.24. The utilization alternatives put as priorities, based on the balance between indicators for both efficiency criteria and ecology criteria, between the efficiency and equity criteria, not only in the level of real interest rate of 1.74%, 10.00% but also at the interest rate of 13.27% are as follows: firstly, utilization alternative VI (100% mangrove forest and 0% ponds); secondly, utilization alternative V (12.50 ha mangrove forest, 146.50 ha poly-culture, 0 ha shrimp monopoly-culture, and 0 ha mallet monoculture). Nevertheless, the utilization alternative IV, III, II, and I cannot be given as choices in this management since their analysis values show that they are not efficient.

(4)

FERAWATI MAEDAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PRAKATA

Puji syukur dan terima kasih kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-NYA yang telah melimpahkan memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan Laporan Tesis ini dengan baik. Tesisi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih adalah Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. H. Achmad Fahrudin, M.Si. dan Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan anggota Komisi Pembimbing atas kesediaan dan curahan waktu yang diberikan dalam membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan Tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Hj. Iis Diatin, MM. selaku penguji luar komisi.

Dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. selaku Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK) dan juga seluruh Staf Pengajar Program Studi ESK atas kesempatan yang diberikan untuk menimba dan memperkaya khasanah keilmuan serta selalu memberikan arahan dan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Drs. Suwahyono, M.Sc. selaku Kepala Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut (PSSDAL) dan Dr. Dewayani Sutrisno, M.App.Sc. selaku Kepala Bidang Neraca Sumberdaya Alam Laut, serta seluruh staf dan jajarannya yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

(6)

Tak lupa ucapan terima kasih yang sangat mendalam kepada seluruh keluarga, ayahanda M. Daud Ahmad dan ibunda Radinah, serta adik-adik Iyan, Ilah, dan Fauzi atas do’a, pengorbanan dan dukungan baik moril, spiritual, dan materil yang tidak terhingga dan tak ternilai, semoga Allah SWT selalu memberikan balasan yang lebih baik lagi dari apa yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa laporan Tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan semoga dapat bermanfaat serta menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Bogor, Juni 2008

(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis “ANALISIS EKONOMI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN MERAWANG KABUPATEN BANGKA” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2008

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 01 Pebruari 1981 dari pasangan ayahanda M. Daud Ahmad dan ibunda Radinah. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan dasar sampai dengan SLTA ditamatkan di tempat kelahiran. Pada tahun 1999 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri I Kutacane. Pendidikan S1 diselesaikan di Universitas Syiah Kuala – Banda Aceh tahun 2005, pada Fakultas Pertanian, Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian (SEP).

Tahun 2005 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan dan memilih Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lulus pada tahun 2008.

(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ... ..i

DAFTAR GAMBAR ... ..iii

DAFTAR LAMPIRAN ... .v

I. PENDAHULUAN...:... ... ..1

1.1 Latar Belakang... .... ..1

1.2 Perumusan Masalah... .... ..3

1.3 Tujuan Penelitian ... ... ..5

1.4 Kegunaan Penelitian... ... ..6

II. TINJAUAN PUSTAKA... .. ..7

2.1 Hutan Mangrove... .... ..7

2.2 Alokasi dan Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... ... ..9

2.3 Valuasi Keanekaragaman Hayati... .... 12

2.4 Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Teknik Evaluasinya ... 14

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI ... 19

IV. METODE PENELITIAN... . 22

4.1 Tempat dan Waktu ... .... 22

4.2 Metode Penelitian... 22

4.3 Metode Pengambilan Sampel... ... 22

4.4 Analisis Data ... ... 24

4.5.Definisi Operasional ... 33

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 35

5.1 Kondisi Goegrafis ... 35

5.2 Kondisi Fisik ... 36

5.3 Kondisi Sosial Ekonomi ... 39

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

6.1 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ... 46

6.2 Identifikasi Pemanfaatan Hutan Mangrove... 51

6.3 Pendugaan Nilai Utility Konsumen dari Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove ... 52

6.4 Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove ... 58

6.5 Pendugaan Nilai Ekonomi Hutan Mangrove ... 65

(11)

Halaman

6.7 Estimasi Discount Rate ... 74

6.8 Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove ... 76

6.9 Penentuan Prioritas Pilihan Alternatif Pemanfaatan ... 83

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

7.1 Kesimpulan ... 88

7.2 Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA...90

(12)

1.1 Latar Belakang

Sebagai suatu negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.580 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang sangat besar (Dahuri et al. 1996). Ekosistem pesisir dan laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi mau pun kawasan rekreasi atau pariwisata. Oleh karena itu wilayah pesisir dan laut merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya baik di masa sekarang mau pun yang akan datang.

Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Di dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahan-perubahan pada ekosistem dan sumberdaya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup.

Pengelolaan sumberdaya alam dewasa ini diarahkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat (ekonomi), adil (equity) dan berkelanjutan (sustainable).

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, telah terjadi banyak perubahan pola kebijakan daerah terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini dimungkinkan karena sumberdaya alam merupakan modal penting dalam menggerakkan pembangunan di suatu daerah, baik dalam konteks negara, provinsi, kabupaten maupun kota. Oleh karenanya dalam pemanfaatan sumberdaya alam, aspek perencanaan yang strategis merupakan langkah dalam menentukan jumlah penerimaan dan tingkat kontribusinya dalam pembentukan modal pembangunan.

(13)

2

ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis flora fauna yang hidup dalam ekosistem perairan dan daratan yang membentuk ekosistem mangrove. Dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di negara Indonesia, aktivitas ekonomi dipacu sedemikian rupa, sehingga kawasan hutan mangrove juga tidak luput dikonversi untuk aktivitas lain, seperti perumahan, pertambakan atau pertanian. Kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati ini mempunyai segudang harapan bagi masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup.

Luasan kawasan hutan mangrove di negara Indonesia yaitu 3.980.496 ha dan di luar kawasan hutan 5,5 juta ha (Ditjen RPLS 1999). Penyebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta ha pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta ha pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu ha per tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri 2002).

(14)

satunya, kegiatan konversi lahan hutan mangrove yang tidak terkendali hampir di seluruh wilayah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).

Kabupaten Bangka adalah salah satu wilayah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, memiliki potensi ekosistem mangrove yang masih dikategorikan baik dari segi fisik dan fungsi. Luas ekosistem mangrove di Kabupaten Bangka adalah 40,28 ha yang tersebar di sepanjang pesisirnya termasuk di Kecamatan Merawang. Kecamatan Merawang merupakan salah satu kecamatan dari 8 (delapan) kecamatan yang ada di Kabupaten Bangka dengan kepadatan penduduk nomor 2 (dua) terbesar setelah Kecamatan Sungailiat. Konsentrasi dan aktivitas masyarakat umumnya terpusat di wilayah pesisir, sehingga untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan atau degradasi sumberdaya hutan mangrove yang lebih luas, upaya pengelolaan harus terus dilakukan. Pemanfaatan yang efisien, equity (adil) dan berkelanjutan melalui penetapan alternatif pemanfaatan yang strategis, terhadap hutan mangrove yang tersisa, begitupula dengan pengaruh keterkaitan fungsi ekologis ekosistem mangrove terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir sangat penting untuk diteliti secara lebih komprehensif.

1.2 Perumusan Masalah

(15)

4

Kesalahan, kekurangcermatan atau ketidakakuratan dalam merencanakan dan melaksanakan sistem pengelolaan sumberdaya alam memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya (termasuk masyarakat lokal) yang memiliki ketergantungan secara langsung terhadap sumberdaya alam tersebut. Apabila kondisi ini dipertahankan, maka laju degradasi sumberdaya alam akan semakin cepat. Degradasi hutan mangrove akan menimbulkan banjir, intrusi air laut dan hilangnya biota laut. Oleh karena itu pada setiap lokasi hutan mangrove perlu memperhatikan faktor-faktor lingkungan seperti salinitas, pasang surut dan topografi, sejauh mungkin dipertahankan seperti kondisi semula, juga rehabilitasi hutan mangrove perlu dilakukan pada lokasi-lokasi yang mulai rusak mau pun kritis kondisinya. Kerusakan hutan mangrove masih terus terjadi, walau pun ada aturan untuk menjaga kelestariannya.

(16)

mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat.

Mengingat berbagai manfaat itu, sudah selayaknya jika setiap jenis usaha yang dilakukan dengan mengkonversi hutan mangrove hendaknya disertai dengan menghitung terlebih dahulu nilai manfaat dan nilai kerugianya secara keseluruhan bagi masyarakat. Pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi pertambakan, pertanian, penambangan timah dan perumahan penduduk dikhawatirkan mungkin akan terus berlangsung di Kecamatan Merawang.

Dari uraian di atas, maka pertanyaan yang kemudian timbul dengan mencermati fenomena ekologi dan ekonomi dari kondisi potensi sumberdaya ekosistem mangrove di atas, adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana gambaran umum pemanfaatan sumberdaya alam ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Kecamatan Merawang ? 2) Seberapa besar nilai ekonomi dari ekosistem mangrove di Kecamatan

Merawang ?

3) Bagaimana perubahan nilai ekonomi total ekosistem mangrove dalam keadaan alami jika dibandingkan dengan nilai ekonomi total setelah dikonversi tambak ?

4) Bagaimana alternatif pemanfaatan strategis yang efisien dan berkelanjutan untuk ekosistem mangrove ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengidentifikasi pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat lokal di Kecamatan Merawang.

2) Menganalisis nilai ekonomi dari ekosistem mangrove

(17)

6

1.4 Kegunaan Penelitian

Diharapkan penelitian ini disamping merupakan media bagi penulis untuk menerapkan salah satu tehnik penilaian ekonomi (economic valuation) terhadap pemanfaatan ekosistem mangrove, sekaligus juga bermanfaat, terutama :

1) Dengan penelitian ini, diharapkan akan diperoleh data dan informasi mengenai kondisi ekologi dan ekonomi suatu ekosistem mangrove.

2) Sebagai bahan acuan dalam perencanaan alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove yang efisien dan berkelanjutan.

(18)

2.1 Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan suatu formasi hutan yang berperan sebagai penyambung (interface) antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan karena peranannya inilah hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang unik (Hadi et al. 2001). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin, tumbuh pada substrat tanah berlumpur/berpasir dan variasinya, serta salinitas yang bervariasi.

Sementara itu, Bengen (2002) mendefinisikan hutan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleah beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruh, oleh pasang surut air laut mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal.

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang rnempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin 1991).

(19)

8

biota darat dan biota laut. Dari segi biota, banyak penelitian membuktikan bahwa biota yang mendominasi ekosistem mangrove adalah biota laut.

Batasan umum pengertian hutan mangrove adalah hutan terutama tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon, seperti Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bmguiera, Cerrops, Lumnitzera, Exoecaria, Xylocarpus,

Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Menurut Noer et al. (1999) bahwa sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan hanya pada habitat mangrove (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan di sekilar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (mangroveassociate).

Ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung mau pun tidak langsung. Dahuri et al.(1996), menyatakan bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi.

Potensi ekonomi sumberdaya hutan mangrove sebagai penyedia sumberdaya kayu dan udang serta ikan. juga berfungsi ekologis untuk menahan banjir dan bagi nursery ground jenis-jenis udang (Fauzi 1999a). Fungsi ekologis ekosistem mangrove menurut Dahuri et al. (1996) adalah sebagai berikut :

a) Dalam ekosistem hutan. mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.

b) Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan.

c) Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir. d) Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar

(20)

e) Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya.

f) Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.

Mangrove yang tumbuh di sekitar perkotaan atau pusat pemukiman dapat berfungsi pertama sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organik. Kedua, hutan mangrove sebagai energi bagi lingkungan perairan sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem yang lebih rendah ke tingkat tropik yang lebih tinggi. Ketiga, hutan mangrove merupakan pensuplai bahan organik bagi lingkungan perairan. Di dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme hubungan yang memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya (Supriharyono 2000).

2.2 Alokasi dan Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove

(21)

10

70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan hidup manusia, baik produk langsung, seperti bahan bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, obat-obatan dan makanan, maupun produk tidak langsung seperti tempat dan bahan makanan. Ekosistem hutan mangrove yang memiliki fungsi-fungsi ekologis yang penting antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pembesaran bagi biota-biota tertentu dan juga mampu menekan terjadinya abrasi dan kerusakan pantai, dapat meredam pengaruh gelombang serta tahan terendam di perairan dengan kadar garam yang beragam dan mampu menahan lumpur, sehingga mempercepat terbentuknya "tanah timbul".

Dengan memperhatikan peran dan potensi ekosistem hutan, mangrove yang sangat besar tersebut, maka setiap pemanfaatan hutan tersebut perlu memperhatikan prinsip pemanfaatan yang optimal dan lestari. sehingga tidak mengurangi daya dukung, lingkungan itu sendiri yang selanjutnya akan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Dalam perkembangannya, hutan mangrove ini telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentmgan, seperti kehutanan, perikanan (tambak), pertanian, industri, pcmukiman, pertarnbangan dan pariwisata. Adanya berbagai kepentingan dari berbagai pihak dalam memanfaatkan areal hutan mangrove, sering menimbulkan konflik dan mengarah pada pengelolaan dengan pertimbangan yang sempit dan tidak berkelanjutan (Dahuri 2002). Definisi pengelolaan sumberdaya alam menurut Soerianegara (1977) adalah upaya manusia dalam mengubah sumberdaya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksi.

(22)

usaha-usaha konservasi serta rendahnya peran serta masyarakat terhadap aktivitas-aktivitas pembangunan yang telah direncanakan penataannya.

Menurut Adrianto (2004) bahwa alternatif pengelolaan dapat diterapkan kepada ekosistem mangrove dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi, kemungkinan dan prioritas pembangunan, aspek teknis, politis dan sosial masyarakat di kawasan mangrove. Alternatif dapat berupa kawasan preservasi hingga kawasan penggunaan ganda (multiple uses) yang memberikan ruang kepada pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan produktif. Contoh alternatif pengelolaan ekosistem mangrove terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pilihan Pengelolaan Deskripsi

Kawasan lindung Larangan pemanfaatan produktif Kawasan kehutanan subsisten Pengelolaan kawasan hutan

mangrove oleh masyarakat;

pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat

Kawasan hutan komersial Pemanfaatan komersial produk hutan mangrove

Akua-silvikultur Konversi sebagian kawasan hutan mangrove untuk kolam ikan Budidaya perairan semi-intensif Konversi hutan mangrove untuk

budidaya perairan dengan teknologi semi intensif

Budidaya perairan intensif Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan dengan teknologi subsisten dan budidaya perairan semi intensif

Pemanfaatan ganda dengan tujuan memberikan manfaat mangrove kepada masyarakat lokal dan perikanan

Konversi ekosistem mangrove Konversi kawasan mangrove menjadi peruntukan lain Sumber : Adrianto (2004).

(23)

12

pengembangan dan rehabilitasi ekosistem. Kegiatan pelestarian ekosistem ditujukan terhadap ekosistem yang fungsinya dalam keadaan optimum agar fungsi tersebut dapat lestari. Pemanfaatan yang baik adalah pendayagunaan sumberdaya sesuai dengan daya dukung sumberdaya yang bersangkutan. Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi (Supriharyono 2000). Lemahnya manajemen pengelolaan hutan mangrove baik dalam sistem silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan, kelembagaan, pelaksanaan dan pengawasan serta keterbatasan data informasi sumberdaya hutan mangrove serta IPTEK mendorong terjadinya degradasi hutan mangrove (Dahuri

et al. 1996).

2.3 Valuasi Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati perlu memperhatikan dua pertimbangan penting

pertama bahwa keanekaragaman hayati dapat memberikan manfaat yang luas kepada manusia, kedua aktivitas manusia yang berlangsung, belum merugikan keanekaragaman hayati dan mengancam kesinarnbungan dan stabilitas ekosistem, seperti barang dan jasa (Nunes et al. 2001). Keanekaragaman hayati sebagai sumber nilai ekonomi, dapat dilihat pada Gambar 1 yang menunjukkan hubungan antara keanekaragaman hayati, ekosistem, spesies dan kesejahteraan manusia.

Sumber : Nunes et al. (2001)

Gambar 1 Nilai Ekonomi Keanekaragaman Hayati.

Biodiversity

Ecosytem

Species

Human welfare

1

2

3

4

5

(24)

Berdasarkan Gambar 1, maka dapat diklasifikasikan nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati, yaitu pertama hubungan 1-6 bahwa manfaat atau fungsi dan nilai-nilai dari ekosistem sebagai pendukung kehidupan manusia, misalnya fungsi ekosistem sebagai pengendali banjir dan pengisian air tanah. Kedua hubungan 1-4-5 bahwa ekosistem sebagai perlindungan habitat bagi spesies-spesies yang terkait, contohnya dampak dari kerusakan habitat akan menurunkan nilai dan permintaan turis untuk kawasan wisata. Ketiga hubungan 2-5 bahwa manfaat dari semua keanekaragaman spesies untuk kepentingan manusia, karena sebagai input dalam proses produksi, contohnya industri barang yang diperdagangkan dan keempat hubungan 3 bahwa pengetahuan dan moral manusia akan keberlanjutan dan nilai keberadaan dari keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang (Nunes et al. 2001). Oleh karena itu, pelestarian keanekaragaman hayati sebaiknya dilihat sebagai suatu bentuk pembangunan perekonomian. Sumberdaya alam hayati memiliki nilai ekonomi, investasi dalam pelestarian sebaiknya dilihat dari segi ekonomi, Yang memerlukan sarana yang dapat dipercaya dan diandalkan dalam mengukur keuntungan pelestarian sumberdaya hayati, mengukur akibat yang menguntungkan atau kondisi yang lebih baik yang dihasilkan oleh tindakan pelestarian.

Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka (Kramer et al. 1995). Menurut Munasinghe (1995) penilaian kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup nilai-nilai sosial dan politik. Ccntohnya, nilai kawasan konservasi sangat ditentukan oleh aturan-aturan manajemen yang berlaku untuk areal tersebut. Dengan kata lain, nilai tersebut tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor fisik, biotik dan ekonomi, tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya tersebut.

(25)

14

selain menawarkan alternatif bagi pengelola, imbas-pengaruh kegiatan ekonomi

(impact and accident) yang mencakup bahkan menekankan peran manusia sebagai sektor atau pelaku kegiatan ekonomi (Ismawan 1999).

2.4 Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Teknik Evaluasinya

Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya alam khususnya ekosistem mangrove sangat berperan dalam penentuan kebijakan pengelolaannya, sehingga alokasi dan alternatif pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam evaluasi ekonomi sumberdaya alam termasuk mangrove adalah konsep total economic value (TEV) yang terdiri atas tiga tipe nilai, yaitu nilai pakai langsung (direct use value), nilai pakai tak langsung (indirect use value) dan nilai non-pakai (non use value). Nilai pakai langsung diturunkan dari pemanfaatan langsung (interaksi) antara masyarakat dengan ekosistem mangrove. Nilai ini terdiri atas pemanfaatan konsumtif (seperti kayu bakar, pertanian, pemanfaatan air, kegiatan berburu dan pemanfaatan perikanan) dan pemanfaatan non-konsumtif (seperti rekreasi, manfaat riset dan pendidikan). Nilai pakai tak langsung didefinisikan sebagai nilai fungsi ekosistem mangrove dalam mendukung atau melindungi aktifitas ekonomi atau sering disebut sebagai "jasa lingkungan". Sebagai contoh fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan banjir, fungsi perlindungan air tanah. Nilai pilihan

(option value) terkait dengan nilai pakai (use values) yang merupakan pilihan pemanfaatan ekosistem mangrove di masa datang. Nilai non pakai merupakan representasi dari individu yang tidak dalam posisi memanfaatkan ekosistem mangrove, tetapi memandang bahwa kelestarian ekosistem mangrove tetap perlu sebagai sebuah intrinsic value (kantian value). Salah satu representasi dari nilai intrinsic ini adalah nilai keberadaan (existence value) (Adrianto 2004).

Metode valuasi ekonomi secara umum terdiri atas dua pendekatan, yaitu

pertama pendekatan manfaat (benefit) menyangkut langsung dengan nilai pasar

(26)

production (EOP) untuk melihat bagaimana pengaruh terhadap produksi dari sumberdaya alam, human capital approach (HCA) atau Loss of Earning Approach (LEA) dengan melihat pengaruh kerusakan lingkungan terhadap nilai tenaga kerja (upah), sedangkan contoh dari nilai pengganti adalah travel cost method (TCM) untuk melihat biaya yang dikeluarkan untuk mendatangi tempat rekreasi, wage differential (WD) yang menggunakan tingkat upah sebagai tolak ukur untuk mengukur kualitas lingkungan dan property value (PV) nilai asset pribadi digunakan memperkirakan nilai lingkungan. Kedua pendekatan biaya

(cost) contohnya replacement cost, shadow project, preventive expenditure dan Metode valuasi berdasarkan survei yang mengukur keinginan membayar

(willingness to pay) dan keinginan untuk menerima (willingness to accept) dengan mengeksplore preferensi dari konsumen melalui pendekatan contingen valuation method (CVM).

Pengukuran untuk barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang diperdagangkan (traded goods) dengan harga yang terukur dapat dilihat dari perubahan dalam surplus konsumen. Surplus konsumen berlandaskan pada pemikiran ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang berdasar pada kepuasan konsumen (Fauzi 2004). Surplus konsumen atau Dupuits's

consumer's surplus (karena pertama kali dikenalkan oleh Dupuit Tahun 1952) adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan apa yang sebenarnya di bayar (Fauzi 2000). Kurva permintaan yang digambarkan dengan slope (kemiringan) yang negatif atau disebut juga kurva permintaan Marshall, seperti terlihat pada Gambar 2.

Sumber : Fauzi (2000)

Gambar 2 Kurva Permintaan Konsumen.

A B

P

P*

0 Q* Q

E

(27)

16

Kurva pada Gambar 2, menggambarkan jumlah barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen pada tingkat harga dan waktu tertentu. Tingkat harga barang dan jasa berbanding terbalik dengan jumlah barang dan jasa yang diminta, jika harga naik, maka jumlah yang diminta menurun (Fauzi 2000).

Gambar 2, memperlihatkan bahwa seluruh daerah di bawah slope kurva permintaan menunjukkan keinginan membayar (WTP) oleh konsumen pada barang Q. Keseimbangan harga di pasar ditunjukkan oleh P*, maka konsumen akan mengkonsumsi sebesar Q*. Apabila konsumen ingin membayar lebih dari P*, namun sebenarnya yang dibayar hanya pada P*, maka kelebihan keinginan membayar konsumen diposisi P*EP. Kelebihan ini merupakan surplus bagi konsumen atau menjadi tolak ukur untuk menilai tingkat kesejahteraan konsumen.

Pendugaan total nilai ekonomi sumberdaya mangrove menurut Adrianto (2005), didekati melalui pengukuran tingkat kepuasan (utility) melalui surplus konsumen yang dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut :

Q = β0 X1β1 X2β2…Xnβn

dan U =

a

0 f(Q)dQ

sehingga CS =UPt

dimana : CS = Consumer Surplus

Q = Jumlah sumberdaya yang diminta

Xi = Harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta diturunkan dari fungsi permintaan

X2 ....Xn = Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga

U = Utilitas terhadap sumberdaya

a = Batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta f(Q) = fungsi permintaan

Pt = harga yang dibayarkan

Menurut Nunes et al. (2001) diacu dalam Adrianto (2004) menyebutkan ada dua kategori valuasi ekonomi yaitu (1) mengeksplorasi data pasar yang ada dan dikaitkan dengan komoditas lingkungan, teknik valuasi dalam kategori ini adalah travel cost (TC) melalui pendekatan generalisasi biaya kunjungan

(28)

cost), biaya kompensasi function (PF) yang mengestimasi nilai ekonomi sebuah komoditas lingkimgan melalui hubungan input-output produksi (2) stated preference method yang berdasarkan preferensi melalui teknik Contingent Valuation (CV). Teknik mengukur total nilai ekonomi untuk ekosistem mangrove dalam konteks keanekaragaman hayati terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 2 Manfaat dan Metode Penilaian Ekonomi Ekosistem Mangrove Interpretasi nilai

Non use biodiversity Nilai keberadaan dan moral

CV= +, TC = -, HP = -, AB = -, PF = -

Sumber : Nunes et al. (2UU1) diacu dalam Adrianto (2004).

Keterangan : tanda (+) artinya metode penilaian ekonomi yang terpilih dan (-) artinya metode yang tidak terpilih. CV = Contingent Valuation, TC = Travel Costs, HP = Hedonic Price, AB = Averting Behavior, dan PF = Production Function.

Cost Benefit Analysis (CBA) juga salah satu teknik yang sering digunakan dan membantu dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem mangrove. CBA digunakan untuk mengukur semua keuntungan/dampak positif (benefit) dan biaya (cost) sebuah pengelolaan dari awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efisiensi ekonomi (Kusumastanto 2000).

(29)

18

(30)

Pembangunan pesisir fokusnya pada ekosistem mangrove yang dinamis terhadap isu dan konflik kepentingan dalam pemanfaatannya, maka pembangunan pesisir perlu dipikirkan khususnya untuk menyelamatkan potensi sumberdaya pesisirnya. Oleh karena itu segenap stakeholder perlu membuat perencanaan pengelolaan sumberdaya, sehingga pemanfaatannya seefisien mungkin dan berkesinambungan secara ekonomi dan sosial. Untuk mengetahui kondisi sumberdaya mangrove dewasa ini. perlu adanya valuasi lingkungan, ekonomi (manfaat dan sumberdaya mangrove) dan sosial-ekonomi-budaya.

Ekosistem mangrove yang berperan penting bagi semua kehidupan tersebut ternyata dalam pengelolaannya sering dilaksanakan dengan kurang bijaksana antara lain disebabkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Perubahan ekosistem mangrove yang tak terkendali menjadi tambak, pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan, industri atau pelabuhan, merupakan bukti penyebab penurunan lahan mangrove tersebut.

Pengelolaan wilayah pesisir merupakan suatu proses atau upaya untuk mengendalikan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir, sehingga dapat menjamin keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, sekarang dan di masa mendatang. Oleh karena itu untuk menyelidiki cara pengelolalan yang baik, sifat ekosistem mangrove yang "dinamis" dan kondisi lingkungan yang "unik" perlu dipahami terlebih dahulu. Adanya kesamaan perspektif tentang tujuan, pola pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove merupakan wahana untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

(31)

20

Dalam konteks pemanfaatan langsung digunakan pendekatan pasar

(market-based-approach) khususnya yang komersial (Adrianto 2004). Penilaian terhadap sumberdaya alam khususnya pada ekosistem mangrove dihitung melalui penjumlahan satuan uang (benefit) dan cost yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Perubahan kualitas lingkungan secara kualitatif, sehingga dapat diinterpretasikan berapa banyak yang menjadi lebih baik

(better-off) dan berapa banyak yang menjadi lebih buruk (worse- off). Dengan kata lain berapa besar nilai manfaat dan berapa besar nilai yang rusak (cost and benefit).

Ruittenbeek (1992) menyarankan bahwa penggunaan beberapa bentuk analisis ekonomi yang terpenting mampu menyatukan hubungan ekologis dari berbagai komponennya. Pendekatan penilaian total ekonomi, yaitu mengestimasi nilai total ekonomi hutan mangrove berdasarkan pada klasifikasi use-value terdiri atas manfaat langsung (optimal use) dan manfaat tidak langsung dan non-use-value terdiri atas manfaat pilihan (option value) dan manfaat keberadaan (existensi value). Mengestimasi nilai ekonomi hutan mangrove berdasarkan pada pendekatan produktifitas dan preferensi (Revealed preference-bused valuation).

Analisis manfaat dan biaya yang dibangun berdasarkan asumsi ekonomi neo-klasik (utility konsumen) melalui consumer surplus atau Marshallian consumer's surplus, dimana asumsi tersebut paling sesuai untuk menemukan alternatif pemanfaatan sumberdaya yang alokasinya paling efesien. Pendekatan Net Present value (NPV), Cost Benefit Analysis (CBA) digunakan untuk menentukan alternatif pengelolaan yang strategis dari sumberdaya mangrove sehingga pembentukan sistem sumberdaya mangrove dapat optimal.

(32)

pengambilan kebijakan dalam memilih strategi pengelolaan atau penggunaan seluruh sumberdaya secara optimal.

Keterangan : = Ruang Lingkup Penelitian

Gambar 3 Alur Kerangka Pendekatan Studi.

Optimal Use (Household Model)

Actual Use (Direct) Indirect Use

Productivity

Efisiensi, Equity and Ekologi

Alternatif Pengelolaan Pengelolaan Ekosistem

Mangrove yang Optimal

Cost Benefit-Analysis

(33)

IV.

METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan di Kecamatan Merawang, terdiri atas Desa Baturusa, Desa Pagarawan, dan Desa Riding Panjang, Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Waktu yang dipilih untuk melakukan penelitian ini dimulai pada Bulan Agustus 2007 sampai dengan September 2007.

4.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Tujuan studi kasus untuk memberikan gambaran tentang latar belakang sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, tipe pendekatan dan penelaahannya terhadap satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif (Faisal 2001). Satuan kasusnya adalah areal ekosistem mangrove yang secara administratif terletak di Kecamatan Merawang, terdiri atas Desa Baturusa, Desa Pagarawan, dan Desa Riding Panjang, Kabupaten Bangka dan seluruh masyarakat yang berada di sekitar hutan mangrove baik yang terlibat secara langsung mau pun tidak langsung dengan hutan mangrove. Penentuan lokasi yang menjadi satuan kasus tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa hanya ketiga lokasi tersebut yang mempunyai komunitas mangrove di Kecamatan Merawang.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

(34)

langsung mau pun tidak langsung, untuk manfaat keberadaan responden sengaja dipilih dengan mempertimbangkan tingkat pendidikan, pendapatan, lama menetap, usia, dan jumlah tanggungan), sehingga penentuannya harus dilakukan secara sengaja (purposive)). Jumlah responden yang menjadi sampel sebanyak 217 orang dari populasi sebanyak 2.512 rumah tangga. Responden manfaat langsung berupa petambak yang berada di sekitar hutan mangrove (50 orang), kegiatan pemanfaatan kayu bakar (12 orang), bibit bakau (14 orang), dan kepiting (11 orang).

Manfaat tidak langsung, dimana sampelnya adalah nelayan dipilih berdasarkan lokasi penangkapan (fishing ground) dan jenis alat tangkap, yang dijadikan responden jumlahnya 30 orang dengan pertimbangan karena nelayan di lokasi penelitian menggunakan berbagai jenis alat tangkap diantaranya jarring (6 orang), pancing (21 orang), pancing tonda (2 orang), dan bagan tancap (1 orang), sehingga sampel yang diambil sudah mewakili komunitas nelayan. Responden untuk mengetahui manfaat keberadaan diperoleh dari masyarakat yang berada di sekitar hutan mangrove atau yang dipengaruhi langsung oleh hutan mangrove, mau pun masyarakat yang tidak dipengaruhi hutan mangrove atau yang bukan rumah tangga perikanan, atau yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, wiraswasta atau pedagang serta mahasiswa, dimana jumlah responden untuk manfaat keberadaan tersebut sebanyak 100 orang.

Berdasarkan tujuan penelitian dan metode penelitian yang digunakan, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas dua sumber data, yaitu :

(1). Data primer, yaitu data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, dengan metode wawancara yang mendalam (depth interview) kepada responden berdasarkan daftar pertanyaan (questionnaire) yang telah disusun sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan penelitian.

(35)

24

pemasarannya, sarana prasarana yang ada, kebijakan pemerintah, kegiatan ekonomi di lokasi penelitian.

4.4 Analisis Data

Untuk memecahkan permasalahan dan mencapai tujuan penelitian tersebut di atas, maka digunakan beberapa analisis yaitu :

1) Identiflkasi Pemanfaatan Hutan Mangrove

Proses identiflkasi dilakukan dengan cara wawancara yang mendalam untuk menganalisis 4 (empat) komponen menurut Kovacs (1999) diantaranya:

¾ Identifikasi jenis mangrove yang dimanfaatkan

¾ Pemanfaatan yang potensial

¾ Pemanfaatan nyata yang sedang dilakukan

¾ Pilihan untuk perbedaan lingkungan dan kesesuaian pemanfaatan dari

mangrove

2) Pendugaan Fungsi Permintaan terhadap Sumberdaya Mangrove Fungsi permintaan untuk Direct Uses Value (Adrianto 2005)

Q = β0X1β1X2β2…Xnβn di mana :

Q = Jumlah sumberdaya yang diminta (Ikan, udang, kayu bangunan, kayu bakar, bibit alam, kepiting, kerang/tude, bibit bakau)

X1= Harga

X2, X3, ...Xn = Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga

LnQ = β0 +βlLnX1 , + β2LnX 2 + ... βnLnXn LnQ = ((β0 + β2(LnX2) + .. βn(LnXtt)) +β1LnX1 LnQ = β’ + β1LnX1

Transformasi fungsi permintaan ke fungsi permintaan asal Q = β’Xβ1

Menduga Total Kesediaan Membayar (Nilai Ekonomi Sumberdaya)

U =

a f Q dQ

(36)

di mana :

U = utilitas terhadap sumberdaya

a = batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta f(Q) = fungsi permintaan

Q(a) = Rata-rata jumlah sumberdaya yang dikonsumsi/diminta X1 = Harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta L = Luas lahan

NET = Nilai ekonomi total

3) Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ekosistem Mangrove

Optimal pemanfaatan ekosistem mangrove menggunakan pendekatan model rumah tangga (household models) untuk rumah tangga perikanan dengan mengikuti formula:

dimana keuntungan/profit marjinal akibat perubahan output, input, tenaga kerja dan modal. Penggunaan yang optimum apabila first order condition (FOC) sama dengan nol.

Perhitungan nilai optimal dari output, input, tenaga kerja dan modal dipecahkan secara numerik dengan perangkat lunak MAPLE 9.5

dimana :

π = Keuntungan bersih/profit dari responden (Rp per ha) qa = Output (kg per ha)

pa = Harga output (Rp per kg) px = Harga input ke-i (Rp per kg) xi = Variabel input ke-i (unit)

w = Upah tenaga kerja (Rp per HOK) l = Jumlah tenaga kerja (HOK) zq = Modal tetap (unit)

(37)

26

4) Penilaian fungsi ekologi melalui identifikasi manfaat ekonomi dari ekosistem mangrove sebagai berikut :

a) Mantaat Langsung (ML) (Actual Use) ML= ML1 + ML2 + ML3 ... + ML4

dimana :

ML1 = Manfaat langsung dari hasil tambak Polikultur dan Monokultur

ML2 = Manfaat langsung, total hasil hutan seperti kayu bakar. ML3 = Manfaat langsung, total dari hasil perikanan seperti kepiting. ML4 = Manfaat langsung, total dari hasil bibit bakau.

Pengukuran manfaat langsung ini dilakukan pendekatan nilai pasar untuk mengkuantifikasi harga berbagai komoditas yang langsung dapat dipasarkan. Teknik pengukuran untuk manfaat langsung dari hasil usaha tambak (ML1), hasil hutan (ML2), hasil perikanan (ML3),

dan hasil bibit (ML4) dilakukan.

Survei rumah tangga (household) membutuhkan data-data berupa, pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan, keterlibatan anggota keluarga dalam pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, tingkat ketergantungan pada ekosistem mangrove dengan melihat jumlah prosentase (%) dari total responden yang bergantung pada ekosistem mangrove.

Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis ini yaitu :

¾ Harga bayangan untuk sarana produksi untuk setiap usaha

rumah tangga didasarkan pada harga aktual, karena subsidinya telah ditiadakan dan telah dapat diproduksi dalam negeri atau karena tidak adanya kebijakan pemerintah yang mengatur langsung sehingga distorsi pasar amat kecil dan mendekati pasar persaingan sempurna.

¾ Untuk jenis produk ekspor yang dihasilkan oleh rumah tangga

perikanan digunakan harga perbatasan pelabuhan bongkar muat (free on board)

¾ Niiai tukar bayangan yang digunakan yaitu nilai kurs Rupiah

(38)

¾ Nilai yang digunakan adalah nilai/harga nominal, karena dalam

analisis manfaat-biaya selama jangka waktu 10 tahun tidak menggunakan harga rill setiap tahunnya, sehingga tidak terjadi perubahan nilai baik manfaat (benefit) mau pun biaya (cost) pertahunnya.

¾ Output dari pemanfaatan dianggap tetap setiap tahun selama

jangka waktu analisis. b) Manfaat Tidak Langsung (MTL)

Manfaat tidak langsung melakukan pendekatan harga tidak langsung karena mekanisme pasar gagal memberikan nilai pada komposisi sumberdaya yang diteliti. Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai didekati dengan pembuatan beton pantai yang setara dengan fungsi hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai. Metode yang digunakan untuk mengukur nilai tersebut adalah replacement cost atau biaya pengganti. Biaya dari pembuatan beton tersebut sebagai biaya pengganti akibat dampak lingkungan, dapat digunakan sebagai perkiraan minimum dari manfaat yang diperoleh untuk memelihara maupun memperbaiki lingkungan.

Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai nursery ground, spawning ground dan feeding ground bagi biota perairan didekati dari

hasil tangkapan nelayan untuk ikan di wilayah perairan laut sekitarnya. Menurut Adrianto (2004) teknik pengukuran untuk menilai manfaat tersebut adalah pendekatan produktivitas (productivity approach), karena ekosistem mangrove memiliki fungsi

sebagai tempat pembesaran ikan (nursery ground), sehingga luas ekosistem menjadi input bagi produktivitas hasil tangkapan ikan yang menjadi produk akhir bagi masyarakat.

c) Manfaat Pilihan

(39)

28

keanekaragaman hayati hutan mangrove Indonesia, yaitu US$ 1.500 per km2 per tahun (Ruittenbeek 1992).

d) Manfaat Eksistensi.

Pengukuran manfaat eksistensi tersebut didekati dengan pengukuran langsung terhadap preferensi individu melalui Contingent Valuation Method (CVM), mengukur seberapa besar keinginan

membayar (Willingness to Pay, WTP) dari responden terhadap keberadaan dan perbaikan ekosistem mangrove. Pengukuran nilai keberadaan tersebut dilakukan kepada responden yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan memperhatikan karakteristik tingkat pendidikan dan mata pencaharian masyarakat disekitar ekosistem mangrove. Metode yang digunakan untuk mengukur besarnya WTP setiap responden, yaitu model referendum atau discrete choice (dichotomous choice).

Menurut Fauzi (2004), pada metode pengukuran dengan teknik ini, responden diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak. Dalam operasionalnya untuk melakukan pendekatan CVM dilakukan lima tahapan kegiatan atau proses. Tahapan tersebut yaitu :

1) Membuat hipotesis pasar

Pada awal proses kegiatan CVM, terlebih dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. 2) Mendapatkan nilai lelang (bids)

(40)

3) Memperkirakan kurva lelang (bid curve)

Kurva lelang diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas.

karena Wi = f(I,E,A,...) dimana: I = Pendapatan

E = Pendidikan

A = Umur

Untuk mengetahui hubungan antara WTP dengan karakteristik responden, yang mencerminkan tingkat penghargaan responden terhadap sumberdaya yang selama ini dimanfaatkan, dapat dihitung dengan menggunakan formula (Adrianto 2004) :

WTP = β0 +

WTP = Kemampuan membayar responden terhadap sumberdaya

βo = Intersep atau standar terendah β1 = Koefisien peubah

Xi = Parameter pengukuran ke-i (pendapatan, pendidikan, umur, jumlah tanggungan, dan lama menetap).

4) Menghitung rataan WTP

Setelah survei dilaksanakan tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan dari WTP untuk setiap responden. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang (bids) yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median (nilai tengah). Apabila ada nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-rata, biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan

(41)

30

dimana: n=Jumlah responden

y,=Besaran WTP yang diberikan responden ke-i

5) Mengagregatkan data

Tahap terakhir dari CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi dari data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga di dalam populasi (N).

Kelemahan Contingent Valuation Method adalah timbulnya bias, bias karena timbul nilai yang overstate mau pun understate yang biasanya disebabkan karena strategi dalam melakukan wawancara.

Kuantifikasi Seluruh Manfaat

Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi, yaitu :

NET = ML + MTL + MP + ME

dimana :

NET = Nilai ekonomi total (TEV) ML = Nilai manfaat langsung (DUV) MTL = Nilai manfaat tidak langsung (IUV) MP = Nilai manfaat pilihan (OV)

ME = Nilai manfaat keberadaan (XV)

5) Penilaian Alokasi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

Penilaian masing-masing alternatif untuk penentuan alokasi pemanfaatan ekosistem mangrove yang efisien dilakukan dengan menggunakan Cost-Benefit Analysis (CBA), yaitu Net Present Value (NPV) atau nilai manfaat bersih sekarang dan Benefit Cost Ratio (BCR) atau perbandingan antara pendapatan dengan biaya yang didiskon untuk masing-masing alternatif pengelolaan akan mengikuti persamaan berikut :

(42)

dimana :

Bt = Manfaat langsung yang diperoleh pada waktu t (Rp) Ct = Biaya langsung yang dikeluarkan pada waktu t (Rp) t = Tahun

r = Discount rate

NPV = Net Present Value (nilai manfaat bersih sekarang) BCR = Benefit Cost Ratio (ratio manfaat-biaya)

Kriteria penilaian masing-masing alternatif alokasi pemanfaatan sumberdaya layak dan efektif dikembangkan dari segi ekonomi jika NPV>0 atau bila BCR>1. Nilai BCR menentukan tingkat efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Tingkat suku bunga (discount rate) yang dipakai adalah mengikuti tingkat suku bunga nominal yang berlaku pada saat penelitian (Agustus 2007). Jangka waktu analisis adalah sepuluh tahun, dengan asumsi bahwa waktu yang diperlukan oleh ekosistem mangrove untuk dapat dimanfaatkan kembali dan pemeliharaan alam minimal 10 tahun. Nilai discount rate (δ)yang digunakan adalah adalah suku bunga riil sebesar 1,74% (Agustus 2007) dari suku bunga nominal sebesar 8,25% (Agustus 2007) dikurangi dengan laju inflasi 6,51% (Agustus 2007), serta 10%, sebagai pembanding dengan discount rate dengan pendekatan Ramsey didekati dengan teknik digunakan Anna (2003) yang diadopsi dari teknik yang dikembangkan oleh Kula (1984). Kula (1984) diacu dalam Anna (2003) pada dasarnya menggunakan formula yang sama dengan formula Ramsey, bahwa real discount rate (r) didefinisikan sebagai :

r=ρ−γg

dimana ρ menggambarkan pure time preference, γ adalah elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam dan g adalah

pertumbuhan ekonomi (Newel and Pizer 2001). Kula (1984) diacu dalam Anna (2003) mengestimasi laju pertumbuhan dengan meregresikan :

lnCt =α0 −α1lnt

dimana t adalah periode waktu dan Ct adalah konsumsi per kapita pada

periode t. Hasil regresi ini akan menghasilkan formula elastisitas, dimana :

(43)

32

Persamaan tersebut di atas secara metematis dapat disederhanakan sebagai berikut:

Berdasarkan hasil dari Cost Benefits Analysis maka untuk tujuan pengambilan keputusan secara keseluruhan dilakukan penilaian terhadap kriteria lain yang dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Kriteria penilaian yang dianalisis yaitu efisiensi, equity dan ekologi (sustainable).

Uraian dan penetapan indikator dari masing-masing kriteria tersebut yaitu: 1) Kriteria Efisiensi

¾ Keuntungan usaha, berdasarkan kelayakan usaha (CBA)

2) Kriteria Equity (Keadilan)

¾ Pemerataan pendapatan, ditunjukkan dengan rata-rata keuntungan

dari masing-masing jenis pemanfaatan ekosistem mangrove.

¾ Keharmonisan masyarakat, ditunjukkan oleh potensi terjadinya

konflik pemanfaatan lahan dari ekosistem mangrove. 3) Kriteria Ekologi (Sustainable)

¾ Perubahan luas lahan ekosistem mangrove dari masing-masing

alternatif.

Berdasarkan kondisi aktual ekosistem mangrove di lokasi penelitian (tambak Udang 13,50 ha, tambak Ikan Bandeng 112,00 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan mangrove 12,50 ha), maka dapat ditentukan alternatif pemanfaatan yaitu:

(1) Alternatif Pemanfaatan I (kondisi optimum yaitu tambak Udang 13,50 ha, tambak Ikan Bandeng 112,00 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan mangrove 12,50 ha)

(2) Alternatif Pemanfaatan II (tambak Udang 0 ha, tambak Ikan Bandeng 125,50 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan mangrove 12,50 ha) (3) Alternatif Pemanfaatan III (tambak Udang 0 ha, tambak Ikan

(44)

(4) Alternatif Pemanfaatan IV (tambak Udang 0 ha, tambak Ikan Bandeng 112,00 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan mangrove 26,00 ha)

(5) Alternatif Pemanfaatan V (tambak Udang 0 ha, tambak Ikan Bandeng 0 ha, tambak polikultur 146,50 ha dan hutan mangrove 12,50 ha) (6) Alternatif Pemanfaatan VI (tambak Udang 0 ha, tambak Ikan

Bandeng 0 ha, tambak polikultur 0 ha dan hutan mangrove 100% atau 184,00 ha)

Untuk pengambilan keputusan secara keseluruhan dengan mengikuti langkah-langkah :

¾ Menentukan sebuah alternatif yang dapat memenuhi semua kriteria.

¾ Membagi/mendefinisikan beberapa kegiatan yang sesuai dengan

kriteria.

¾ Merangking alternatif strategi dari yang sangat tertinggi hingga yang

terendah.

¾ Penetapan skala prioritas dari alternatif pengelolaan lersebut.

4.5 Definisi Operasional

1) Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pohon yang khas di pantai tropis, tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut dan perairan asin. 2) Sumberdaya alam adalah segala sesuatu di alam yang menyediakan barang

dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia.

3) Nilai ekonomi sumberdaya alam adalah pengukuran dari barang dan jasa ke dalam satuan moneter.

4) Alokasi optimal sumberdaya alam adalah pemanfaatan sumberdaya alam yang mempertimbangkan unsur keberlanjutan (lingkungan).

5) Manfaat sumberdaya alam adalah besarnya hasil yang diperoleh dari sumberdaya dalam satuan moneter

6) Biaya adalah besarnya satuan moneter harus yang dikeluarkan/ dikorbankan.

(45)

34

8) Rumah Tangga Perikanan (RTP) adalah rumah tangga atau kelompok terkecil dalam masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya perikanan. 9) Surplus konsumen adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen

yang berdasarkan selisih keinginan membayar dan konsumen dengan apa yang sebenarnya dia bayar.

10) Willingnes to pay adalah keinginan membayar dari konsumen.

(46)

5.1 Kondisi Geografis

Kabupaten Bangka terletak di sebelah pesisir Timur Sumatera Bagian Selatan yaitu 1°20’ 3°7’ Lintang Selatan dan 105° 107° Bujur Timur memanjang dari Barat Laut ke Tenggara sepanjang ± 180 km. Kabupaten ini terdiri atas rawa-rawa, daratan rendah, bukit-bukit dan puncak bukit terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan bakau. Rawa daratan Kabupaten Bangka tidak begitu berbeda dengan rawa di Pulau Sumatera, sedangkan keistimewaan pantainya dibandingkan dengan daerah lain adalah pantainya yang landai berpasir putih dengan dihiasi hamparan batu granit. Kabupaten Bangka mempunyai luas wilayah sekitar 2.950,68 km2, dengan jumlah penduduk tahun 2007 sebanyak 217.545 jiwa. Batas wilayah Kabupaten Bangka adalah sebagai berikut :

• Sebelah Utara dengan Laut Natuna • Sebelah Timur dengan Laut Natuna

• Sebelah Selatan dengan Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka Tengah • Sebelah Barat dengan Kabupaten Bangka Barat, Selat Bangka dan Teluk

Kelabat.

Kabupaten Bangka sebelumnya secara administrasi terdiri atas 22 kecamatan, 212 desa/kelurahan dan 537 kampung dengan luas wilayah 1.153.412 ha (11.534,14 km2). Dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 Tahun 2002tentang pembentukan kabupaten, maka Kabupaten Bangka dimekarkan menjadi 4 wilayah kabupaten yaitu, Kabupaten Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah, dan Bangka Selatan. Secara administratif Kabupaten Bangka terdiri atas 8 (delapan) kecamatan, yaitu, Sungailiat, Belinyu, Merawang, Mendo Barat, Riau Silip, Puding Besar, Pemali, dan Bakam.

Lokasi penelitian tepatnya di Desa Pagarawan, Kelurahan Riding Panjang, dan Kelurahan Jade Kecamatan Merawang dengan luas wilayah 164,40 km2 yang memiliki batas wilayah sebagai berikut :

¾ Bagian Utara : Kecamatan Pemali dan Sungailiat

(47)

36

¾ Bagian Timur : Laut Cina Selatan

¾ Bagian Barat : Kecamatan Puding Besar dan Mendo Barat

5.2 Keadaan Fisik

Iklim Kabupaten Bangka adalah tropis Type A dan musin hujan terjadi pada Bulan Juni sampai dengan Desember. Rata-rata curah hujan dalam satu tahun = 220 hari atau 343,7 mm per bulan. Suhu udara rata-rata 26°C – 28,1°C dengan kelembaban udara sekitar 76-88%. Menurut data Meteorologi Pangkalpinang pada tahun 1998, iklim di Kabupaten Bangka adalah iklim tropis tipe A dengan curah hujan 107,6 sampai dengan 343,7 mm per bulan. Kemudian menurut Schmidt-Ferguson, pada tahun 1999 variasi curah hujan menjadi antara 70,10 sampai dengan 384,50 mm per bulan. Dengan musim hujan rata-rata terjadi pada Bulan Oktober sampai dengan Bulan April. Musim penghujan dan kemarau di Kabupaten Bangka juga dipengaruhi oleh dua musim angin, yaitu Musim Barat dan Musim Tenggara. Angin Musim Barat yang basah pada Bulan Nopember, Desember dan Januari banyak mempengaruhi bagian Utara Kabupaten Bangka. Angin Musim Tenggara yang datang dari Laut Jawa mempengaruhi cuaca di bagian Selatan Kabupaten Bangka. Jumlah curah hujan, hari hujan, arah angin dan kecepatan angin rata-rata setiap bulannya dapat dilihat pada Tabel 3.

Suhu rata-rata di Kabupaten Bangka menunjukkan variasi antara 25,9-27,3°C. Menurut stasiun Meteorologi Pangkalpinang, suhu udara tertinggi terjadi pada Bulan Agustus, dan suhu terendah terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Sementara, besarnya intensitas penyinaran rata-rata bervariasi antara 18,5% hingga 70%, dengan kelembaban udara yang cukup tinggi, yaitu antara 77% pada Bulan Agustus hingga 89% pada Bulan Januari. Tekanan udara memiliki pola yang cukup stabil dengan kisaran variasi yang sempit antara 1.006,3 Mbs sampai dengan 10.111,1 Mbs Tekanan udara tertinggi terjadi pada Bulan Agustus dan terendah terjadi pada Bulan Desember.

(48)

Bangka beraneka ragam dan dapat dikelompokkan menjadi empat bentuk dan keadaan tanah yaitu :

ƒ Tanah berbukit sampai bergunung : 5%

ƒ Tanah berombak dan bergelombang : 51%

ƒ Tanah lembah / datar : 20%

ƒ Tanah rawa dan bencah / datar : 25%

Tabel 3 Jumlah Curah Hujan, Hari Hujan, Arah Angin dan Kecepatan Angin Rata-rata

Sumber : Bangka Dalam Angka 2007.

(49)

38

- Agustus : Tenggara (28,5%), Selatan (23,4%) dan Timur (14,7%) - September : Tenggara (20,8%), Selatan (17%) dan Barat Laut (14,6%) - Oktober : Tenggara (27,7%), Selatan (19,4%) dan Timur (14,7 %) - Nopember : Utara (14,5%), Barat (12,8%) dan Selatan (10,4%) - Desember : Barat (20,7%), Barat Laut (20,2%) dan Utara (18,1%).

Peruntukan ruang wilayah Kabupaten Bangka masih didominasikan kawasan hutan lindung dan hutan produktif yang mencapai 47,26% disusul kemudian kuasa pertambangan 27,26% dan peruntukan lainnya 25,48%. Penggunaan tanah berdasarkan peruntukannya, secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Penggunaan Tanah Berdasarkan Peruntukannya

No Uraian Luas Areal

(ha)

Persentase (%)

1 Kuasa Pertambangan (an.PT Timah dan PT Kobatin) 317.925 27,56

2 Bahan Tambang Golongan C 5.096 0,45

3 Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produktif 541.69 46,97

4 Perkebunan Rakyat 84.667 7,34

5 Perkebunan Besar Swasta Nasional 147.925 12,83

6 Tapak Kawasan Wisata 1.774 0,15

7 Permukiman dan lain-lain 50.953 4,42

Jumlah 1.153.412 100,00

Sumber : Bangka Dalam Angka 2007.

(50)

5.3 Kondisi Sosial Ekonomi a) Aksesibilitas

Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Merawang yang terdiri atas Kelurahan Jade, berjarak 1,5 (satu koma lima) km sebelah barat dari ibukota Kecamatan Merawang. Kelurahan Riding Panjang berjarak 2 (dua) km sebelah utara ibukota kecamatan dan Desa Pagarawan dengan jarak 3 (tiga) km dari ibukota kecamatan. Untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut telah tersedia jalan-jalan aspal dan kendaraan yang lancar karena merupakan jalur poros provinsi. Keterangan mengenai Luas Kelurahan atau Desa dan Jaraknya dari Ibukota Kecamatan, secara lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas Kelurahan atau Desa dan Jarak dari Ibukota Kecamatan

No Kelurahan atau Desa Jarak (km) Luas (km2)

1 Kelurahan Jade 1,5 37,83

2 Kelurahan Riding Panjang 2,0 11,70

3 Desa Pagarawan 3,0 13,06

Sumber : Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka 2007.

b) Kependudukan

(51)

40

yaitu 4.907 jiwa. Hal ini disebabkan karena wilayah Kelurahan Riding Panjang lebih luas dibandingkan dengan kelurahan/desa lainnya di Kecamatan Merawang.

Tabel 6 Jumlah Penduduk, Jumlah KK (Kepala Keluarga) dan RTP (Rumah Tangga Perikanan) Tahun 2007

No Kelurahan/Desa

KK RTP Total

Penduduk (jiwa)

Jmlh % Jmlh %

1 Kel. Jade 786 21,60 262 24,00 3.921

3 Kel.Riding Panjang 2.250 61,83 785 72,00 4.907

4 Desa Pagarawan 603 16,57 45 4,00 2.746

Total 3.639 100,00 1.092 100,00 11.574

Sumber : Profil Kelurahan/Desa Tahun 2007.

Tabel 6 menunjukkan bahwa total penduduk untuk ke tiga lokasi penelitian sebanyak 11.574 jiwa atau 33,08% dari keseluruhan jumlah penduduk yang berada di Kecamatan Merawang. Jumlah penduduk lebih banyak terdapat di Kelurahan Riding Panjang, yaitu 4.907 jiwa. Jumlah KK dan RTP di kelurahan tersebut juga lebih banyak yaitu masing-masing sebanyak 2.250 jiwa atau 61,83% dan 785 jiwa atau 72,00%. Hal ini disebabkan wilayah Kelurahan Riding Panjang lebih luas dibandingkan dengan kelurahan/desa lainnya di Kecamatan Merawang. Jumlah penduduk paling sedikit adanya di Desa Pagarawan sebanyak 2.746 jiwa dengan jumlah KK dan RTP masing-masing sebanyak 603 (16,57%) dan 45 (4,00%). Kelurahan Jade memiliki total penduduk sebanyak 3.921 jiwa jumlah KK sebanyak 786 jiwa atau 21,60% dan jumlah RTP sebanyak 262 jiwa atau 24,00%. Masing-masing kelurahan/desa tersebut di atas jumlah KK kurang dari 65% dari total penduduknya, hal tersebut menunjukkan bahwa masing-masing kepala keluarga tersebut memiliki jumlah tanggungan keluarga atau anak rata-rata di atas 6 orang. Jumlah RTP untuk masing-masing kelurahan/desa juga lebih kecil persentasenya dari total penduduk, karena jenis mata pencaharian dari penduduk, selain dari bidang perikanan sangat beragam, seperti pertanian, peternakan, wiraswasta/pedagang, pegawai negeri dan buruh.

c) Karakteristik Responden

(52)

tidak terkait langsung dengan ekosistem mangrove atau bukan masyarakat pemanfaat. Populasi responden sebanyak 3.639 rumah tangga, populasi rumah tangga perikanan (RTP) sebanyak 1.092, dimana jumlah tersebut tempat tinggalnya tersebar di beberapa wilayah dalam Kecamatan Merawang, yaitu Kelurahan Jade, Kelurahan Riding Panjang dan Desa Pagarawan.

Ada pun responden yang diambil sebagai sampel sebanyak 50 rumah tangga untuk petambak, 30 rumah tangga untuk nelayan, hasil hutan berupa kayu bakar sebanyak 12 RTP, pengambil bibit bakau sebanyak 14 RTP serta kepiting sebanyak 11 RTP. Untuk manfaat keberadaan, jumlah responden sebanyak 100 orang yang merupakan rumah tangga perikanan dan di luar rumah tangga perikanan.

1) Umur Responden

Umur responden bervariasi antara 20 sampai dengan lebih dari 50 tahun. Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa responden berusia antara 46 - 50 tahun lebih banyak yaitu 43 orang atau 19,82%. Jumlah responden paling sedikit yang berusia antara 20 - 25 tahun, sebanyak 23 orang atau hanya 10,60% Jumlah responden yang berusia lanjut atau umur > 50 tahun sebanyak 27 orang atau 19.57%. Responden yang berumur antara 36 - 40 tahun, sebanyak 38 orang atau 17,51%, umur 26 - 30 tahun sebanyak 27 orang atau 12,44% dan umur 41 - 45 tahun sebanyak 28 orang atau 12,90%. Responden yang berumur 31 - 35, sebanyak 25 orang atau 11,52%. Pengklasifikasian responden berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Klasifikasi Umur Responden

No Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 20-25 23 10,60

2 26-30 27 12,44

3 31-35 25 11,52

4 36-40 33 15,21

5 41 -45 28 12,90

6 46-50 43 19,82

7 > 50 38 17,51

Jumlah 217 100,00

Gambar

Gambar 3  Alur Kerangka Pendekatan Studi.
Tabel 4  Penggunaan Tanah Berdasarkan Peruntukannya
Tabel 12  Asal Responden
Gambar 4  Volume Komoditas Unggulan di Kabupaten Bangka Tahun 2007.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lokasi usaha dan permukiman yang terlalu dekat dengan ekosistem mangrove bahkan langsung memanfaatkan lahan mangrove menjadi salah satu pemicu rusaknya ekosistem hutan mangrove

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penyebab kerusakan ekosistem hutan bakau ( mangrove ), dampak kerusakan ekosistem hutan bakau ( mangrove ), program rehabilitasi

Untuk analisis nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove yang mengacu pada Adrianto (2006) yaitu: (1) Nilai manfaat langsung yaitu nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan

Selain itu penulis melaksanakan Penelitian Skripsi mengenai “Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Asam pada Masakan oleh Masyarakat Bangka (Studi Kasus di Kecamatan

Menurut DKP (2013), terjadi penurunan kualitas ekosistem terutama ekosistem mangrove selama 10 tahun terakhir. Penurunan ekosistem mangrove menyebabkan perubahan luasan hutan

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap seluruh nilai manfaat ekosistem hutan mangrove di Desa Dudepo yang terdiri atas manfaat langsung, manfaat tidak langsung,

Hasil identifikasi di lokasi penelitian diperoleh 4 manfaat hutan mangrove, yaitu Manfaat Langsung yang meliputi pemanfaatan usaha budidaya udang dan ikan di tambak dengan

Hasil penelitian menemukan bahwa manfaat ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak terdiri dari manfaat langsung berupa hasil hutan (kayu log) , penangkapan ikan,