• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah

Macnae (1968) in Noor, et al., (1999), mengatakan bahwa mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English). Dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk individu jenis tumbuhan dan kata

mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-individu jenis mangrove tersebut. Tomlinson (1986) in Setyawan (2003) mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi.

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi, zonasi tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut (Noor et al., 1999). Secara umum ekosistem mangrove di Indonesia terbagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan sebagian besar terletak di Papua, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Jawa-Bali dan Nusa Tenggara (Setyawan, 2003).

Ekosistem mangrove di Jawa tersebar di pesisir Jawa barat, jawa Tengah dan Jawa timur. Sebagian besar ekosistem mangrove tersebut termasuk ekosistem mangrove di pantai utara Jawa Tengah, terbentuk pada dataran lumpur di muara-muara sungai. Namun nilai penting ekosistem mangrove di kawasan pantai utara Jawa Tengah lebih kecil dibanding pada pantai utara kedua propinsi tetangganya. Hal ini dikarenakan luas wilayahnya yang jauh lebih sempit dan pendeknya sungai-sungai yang bermuara ke pantai (Setyawan, 2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyawan et al (2005), secara umum terdapat 55 spesies tumbuhan mangrove, yang tergolong kedalam 27 familia. Jumlah terbanyak adalah Rhizophoraceae (9), Avicenniaceae (3), Sonneratiaceae (3), Meliaceae (3), Verbenaceae (3), Cyperceae (3) dan Gramineae (3). Keanekaragaman mangrove pantai utara Jawa Tengah tertinggi ditemukan di Wulan, Demak. Namun di luar kawasan tersebut keanekaragaman ekosistem mangrove mulai menurun, hal ini disebabkan karena banyaknya habitat mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak.

(2)

2.2 Mangrove dan Perikanan Nonbudidaya (Tangkap)

Daerah pertumbuhan mangrove merupakan suatu ekosistem yang spesifik, hal ini disebabkan adanya proses kehidupan biota (flora dan fauna) yang saling berkaitan. Suatu hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan linear yang signifikan antara produksi udang dan ukuran mangrove, yang dinyatakan oleh persamaan y = 5,437 + 0,1128x. Dimana y adalah produksi udang dan x merupakan area mangrove. Hubungan ini mengindikasikan bahwa pengurangan hutan pasang surut seperti misalnya untuk keperluan industri dan pertanian, akan menyebabkan pengurangan produksi udang tersebut (Martosubroto & Naamin, 1977).

Kemudian Kawaroe et al (2001), menjelaskan bahwa keberadaan mangrove dengan kondisi yang baik memberikan kontribusi yang besar terhadap keberadaan juvenil ikan. Sehingga menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove dapat mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, khususnya bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Hal ini juga diungkapkan oleh Purwoko (2005) in Onrizal dan Kusmana (2008), bahwa kerusakan mangrove dapat menyebabkan penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang berada disekitar hutan mangrove.

Primavera dan Lebata (1995) menambahkan bahwa lingkungan mangrove merupakan lingkungan yang cocok bagi udang, hal ini memberikan kenyamanan bagi udang karena pada jenis tertentu seperti Metapenaeus monoceros memiliki kebiasaan maenggali (burrowing). Sedangkan kondisi lingkungan mangrove merupakan lingkungan dengan substrat yang lunak. Beberapa jenis dari fitoplankton merupakan makanan yang penting bagi beberapa jenis ikan, khususnya udang. Dinoflagellata dan diatom merupakan makanan yang penting bagi udang, khususnya dari jenis Metapenaeus sp (Rathod & Kusuma, 2006). Sementara dalam kolam budidaya jenis fitoplankton tersebut dimanfaatkan ikan bandeng sebagai pakan alaminya (Vannucci, 1998).

Berdasarkan beberapa penelitian di atas dapat dijelaskan bahwa ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut yang dikenal memiliki fungsi dan manfaat yang besar (Gambar 2). Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting dalam memainkan peranan sebagai mata

(3)

rantai makanan di suatu perairan, yang dapat menampung kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan moluska (Pramudji, 2001). Terkait manfaatnya secara ekologis, di dalam ekosistem mangrove terdapat adanya aliran energi yang tersusun berupa rantai makanan (Gambar 3). Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, melainkan serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang, dan lain sebagainya) (Bengen, 2001).

Bagian-bagian partikel daun yang kaya akan protein ini akan dirombak oleh koloni-koloni bakteri dan seterusnya akan dimakan oleh ikan-ikan kecil. Perombakan partikel daun ini akan berlanjut terus sampai menjadi partikel-partikel yang berukuran sangat kecil (detritus) dan selanjutnya akan dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan krustecea kecil. Selama perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari reruntuhan mangrove sebagian akan dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian lagi akan diabsorbsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan (Soeroyo, 1987). Sementara kesuburan suatu perairan dan potensi sumberdaya hayati umumnya ditentukan oleh besarnya biomasa dan produktifitas fitoplankton (Nontji, 1984 in Zuna, 1998).

(4)

Gambar 3. Aliran Energi Pada Ekosistem Mangrove (Lear and Tunner, 1977 in

Soeroyo, 1987)

2.3 Mangrove dan Perikanan Budidaya

Dalam kegiatan budidaya salah satu manfaat mangrove adalah dapat digunakan untuk tandon yang difungsikan sebagai biofilter alami. Mangrove dapat menjebak dan mendaur ulang berbagai bahan organik, logam berat dan bahan kimia lainnya. Mangrove juga dapat menstabilkan konsentrasi NO3-N dan PO4-P dan juga mampu menghambat Vibrio spp (Gunarto et al, 2003). Sehingga mangrove dapat memperbaiki kualitas air tambak. Namun dalam perkembangannya ekosistem mangrove sering dikonversi untuk dijadikan kegiatan budidaya, yaitu untuk memperluas lahan pertambakan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan budidaya.

(5)

Pada dasarnya konversi hutan mangrove menjadi tambak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tambak terbuka dan tambak hutan (Natharani, 2007). Sistem tambak terbuka merupakan suatu sistem tambak dengan hutan mangrove seluruhnya ditebang. Sedangkan sistem tambak hutan merupakan sistem pertambakan yang mengkombinasikan konservasi hutan mangrove dengan pembukaan lahan tambak. Sistem tambak hutan ini merupakan suatu aplikasi pemanfaatan ekosistem mangrove untuk dijadikan area tambak ramah lingkungan (Gambar 4) yang memadukan pohon atau hutan (sylvo) dengan budidaya perikanan (fishery). Tambak silvofishery dapat mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir secara luas tanpa mengurangi manfaatnya secara ekonomi (www.wetland.or.id).

Manfaat mangrove dalam tambak silvofishery diantanya adalah, memperkuat kontruksi pematang tambak oleh akar-akar mangrove, petambak dapat menggunakan daun mangrove sebagai pakan ternak, kualitas air tambak dapat menjadi lebih baik, pematang nyaman dipakai para pejalan kaki, meningkatkan keanekaragaman hayati (termasuk bibit ikan alami dan kepiting) dan terciptanya sabuk hijau di kawasan pesisir (www.wetland.or.id).

Menurut Sofiawan (2000) in Puspita et al (2005), terdapat beberapa tipe tambak pada sistem silvofishery. Diantaranya adalah (1) tipe empang parit tradisional, (2) tipe komplangan, (3) tipe empang terbuka, (4) tipe kao-kao dan (5) tipe tasik rejo. Namun kegiatan rehabilitasi dengan pola tersebut tentunya tergantung dari kondisi lahan yang akan dikonversi, sebab tiap pola memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bentuk tipe atau model tambak pada sistem silvofishery dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Bentuk tambak ramah lingkungan (pola silvofishery) (www.wetland.or.id)

(6)

(1) Tipe empang tradisional (2) Tipe Komplangan

(3) Tipe empang terbuka (4) Tipe kao-kao

(5) Tipe tasik rejo

Gambar 5. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery (Puspita et al, 2005) Keterangan :

A. Pintu air (inlet/outlet)

B. Empang

C. Saluran air

D. Pelataran tanaman lain

2.4 Kondisi Lingkungan 2.4.1 Suhu

Suhu air merupakan salah satu faktor abiotik yang memegang peranan penting bagi kehidupan organisme. Pada perairan tropika suhu relatif tinggi (> 250C) sepanjang tahun dengan demikian suhu relatif stabil dan umumnya jarang menunjukkan gejala stratifikasi (Nur, 2002). Peningkatan suhu dapat

(7)

menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air. Peningkatan suhu sebesar 10 0C menyebabkan konsumsi oksigen meningkat sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah sebesar 20 0C - 30 0C(Effendi, 2003). Sedangkan untuk kehidupan ikan budidaya, dalam hal ini adalah komoditi bandeng, pada stadia juvenil dan dewasa batas maksimum suhu perairan adalah sebesar 39 0C dan 43 0C (Vannucci, 1998).

2.4.2 Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Sementara kekeruhan merupakan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang terlarut maupun yang tersuspensi, seperti lumpur, pasir halu atau plankton dan mikroorganisme lain (Effendi, 2003).

Sehubungan dengan kekeruhan tersebut, salah satu kekeruhan yang diharapkan di tambak adalah kekeruhan oleh kepadatan plankton. Apabila jenis yang dominan campuran Chlorella (warna air menjadi hijau) dan Diatomae

(warna air coklat) sehingga keseluruhan warna air tambak menjadi coklat muda (hijau kecoklatan) akan sangat baik bagi kehidupan ikan yang dipelihara. Air dengan warna tersebut (kecerahan 30-40 cm) membuat ikan merasa aman, dan plankton-plankton nabati akan membantu menyerap senyawa yang berbahaya bagi ikan antara lain ammonia secara langsung dan nitrit secara tidak langsung (Buwono, 1992).

2.4.3 Salinitas

Salinitas didefinisikan sebagai total konsentrasi ion-ion yang terlarut dalam air (Boyd, 1991). Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh terhadap fitoplankton. Sementara konsentrasi nutrien dalam ekosistem mangrove memiliki hubangan tehadap salinitas yang timbul akibat pasokan dari air sungai, air laut maupun air dari dalam ekosistem mangrove itu sendiri (Wong, 1984). Salinitas yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan

(8)

organisme air menjadi lambat. Karena sebagian besar energinya digunakan untuk proses osmoregulasi dalam usaha menjaga keseimbangan tekanan cairan tubuh dengan lingkungan (Poernomo, 1978 in Gunarto et al., 2003).

Menurut Kinne (1964) in Nur (2002), keragaman dan jumlah spesies organisme di perairan samudera akan mencapai maksimum pada kisaran salinitas 31-40%. Keanekaragaman dan jumlah spesies kemudian berturut-turut menurun pada perairan tawar (salinitas kurang dari 0,5‰), perairan payau (salinitas 0,5-30‰), hypersaline (salinitas 41-80‰) dan brine water (salinitas lebih besar sari 80‰). Untuk larva udang dalam air hidup dengan salinitas antara 28-35 ppt (Boyd, 1991). Sedangkan untuk ikan bandeng bereproduksi pada perairan dengan salinitas antara 32-33 ppt. Namun ikan budidaya jenis bandeng mampu hidup pada salinitas yang tinggi yaitu pada kisaran nilai salinitas mencapai 87,25 ppt (Vannucci, 1998)

2.4.4 Derajat Kemasaman (pH)

Istilah pH berarti konsentrasi ion hidrogen di dalam air, lebih spesifik pH merupakan kondisi asam atau basa suatu perairan (Boyd, 1991). Dibidang perikanan derajat kemasaman (pH) perairan sangat menentukan dalam usaha budidaya ikan. Perairan dengan pH rendah akan berakibat fatal bagi kehidupan ikan, yaitu akan memperlambat laju pertumbuhan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah (Effendi, 2003).

pH juga dapat mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. pH sering pula dipakai sebagai petunjuk menyatakan baik buruknya suatu perairan. Air yang agak basa dapat mendorong proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diasimilasikan oleh tumbuh-tumbuhan, sehingga pH ikut berperan dalam menentukan produktivitas primer perairan (Soeseno, 1974 in Nur, 2002). Perairan payau merupakan penyangga yang baik terhadap perubahan pH, dan pH jarang berada di bawah 6,5 atau diatas 9 (Boyd, 1991).

(9)

2.4.5 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut dalam perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer (Effendi, 2003). Sumber oksigen di perairan dapat berasal dari difusi udara dan fotosintesis fitoplankton. Oksigen merupakan salah satu unsur yang penting di perairan alami yaitu sebagai pengatur proses-proses metabolisme serta sebagai indikator kualitas perairan. Selain itu kandungan oksigen terlarut di perairan dapat memberikan petunjuk tentang tingginya produktivitas primer suatu perairan (Nielsen,1979 in Nur, 2002).

Sementara fungsi oksigen di dalam tambak selain untuk pernafasan organisme juga untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di dasar tambak (Buwono, 1992). Terdapat suatu hubungan antara kadar oksigen dengan suhu, dimana semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang. Peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%. Hampir semua organism akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen > 5 mg/liter (Effendi, 2003).

2.4.6 Klorofil-a

Klorofil-a adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan (fitoplankton) yang mempunyai peran penting dalam berlangsungnya proses fotosintesis di perairan (Prezelin, 1981 in Sediadi & Edward, 2000). Klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton sehingga konsentrasi fitoplankon sering dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a. Semakin tinggi kandungan klorofil-a dalam perairan mengindikasikan bahwa semakin besar pula biomassa fitoplankton dalam perairan tersebut.

Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor fisika-kimia air dan tipe komunitas perairan merupakan faktor yang sangat menentukan. Cahaya matahari dan suhu merupakan kebutuhan fisiologis untuk pertumbuhan dan reproduksi, sedangkan sejumlah unsur hara dan bahan organik tertentu berperan terhadap kelimpahan fitoplankton (Goldman dan Horne, 1983 in Nur, 2002).

(10)

Keberadaan fitoplankton dalam perairan berhubungan erat terhadap keberadaan organisme perairan lainnya. Dalam budidaya komoditi bandeng pada saat larva memakan fitoplankton dari jenis diatom dan pada saat juvenil (yang berukuran kurang lebih 20-200 mm) cenderung memakan fitoplankton dari jenis

dinoflagellata dan diatom (Vannucci, 1998). Sementara golongan fitoplankton dari jenis dinoflagellata dan diatom tersebut juga merupakan pakan alami yang penting dari sumberdaya ikan lainnya, termasuk udang dan khususnya dari jenis

Gambar

Gambar 2. Beberapa manfaat keberadaan mangrove (www.wetland.or.id)
Gambar  3.  Aliran  Energi  Pada  Ekosistem  Mangrove  (Lear  and  Tunner,  1977  in  Soeroyo, 1987)
Gambar 5. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery (Puspita et al, 2005)  Keterangan :

Referensi

Dokumen terkait

Pemanfaatan yang ada namun tidak dijadikan mata pencaharian pokok didapatkan dari hasil wawancara dan survei Menentukan potensi yang terkandung dalam ekosistem mangrove yang

Hasil penclitian menunjukkan bahwa tipe-tipe nilai pemanfaatan ekosistem mangrove di Segara Anakan mencakup: ( I) nilai manfaat langsung yang terdiri dari produk hutan,

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dasar tentang kondisi kerusakan ekosistem hutan mangrove dan sebagai referensi dasar

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah struktur populasi yang terdapat di ekosistem mangrove dan non-mangrove memiliki perbedaan secara

Status Kerusakan Ekosistem hutan Mangrove di Kecamatan Concong tergolong kriteria baik dengan tingkat kerapatan yang sangat padat sebesar 1566-2155 Pohon/ha dan

Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan

Mangrove adalah tumbuhan yang hidup pada daerah pasang surut yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang memiliki substrat

p-ISSN: 2597-4971 49 PENGHITUNGAN LUASAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DENGAN PENDEKATAN TEKNIK UNIT KOMUNITAS DI KABUPATEN TANGERANG THE MEASUREMENT OF MANGROVE FOREST ECOSYSTEM AREA