• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Total Factor Productivity

Total Factor Productivity (TFP) merupakan kumpulan dari seluruh faktor

kualitas yang menggunakan sumberdaya yang ada secara optimal untuk menghasilkan lebih banyak output dari tiap unit input. Di dalam jangka panjang TFP dapat dianggap sebagai suatu ukuran peningkatan efisiensi dari produksi dan progres teknologi. Laju proses teknologi dihitung untuk memperlihatkan bahwa dalam jangka panjang teknologi tidak bernilai konstan.

12

Indonesia. Provinsi yang digunakan akan dikelompokkan menjadi provinsi yang ada di Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa. Provinsi yang dianalisis yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang mewakili Pulau Jawa. Provinsi yang termasuk ke dalam luar Pulau Jawa yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Masing-masing provinsi mempunyai nilai TFP yang berbeda-beda untuk setiap tahunnya periode 1986-2010. Oleh karena itu, didapat hasil estimasi dari masing-masing provinsi yang disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Hasil estimasi Total Factor Productivity di 10 provinsi tahun 1986-2010 Provinsi Nilai Koefisien R-Squared Tenaga Kerja (TK) Bahan Baku (B) Energi (E) Sewa Modal (SM) Pulau Jawa DKI Jakarta 0.061827 0.632909* 0.004360 0.054038 0.998131 Jawa Barat 0.000889 0.952192* 0.035828 -0.007767 0.999353 Jawa Tengah -0.254887* 0.851185* 0.042956 0.088506* 0.998316 Jawa Timur 0.865705* 0.598660* 0.141056 0.004043 0.994251 Luar Pulau Jawa

Sumatera Utara -0.037537 0.916069* 0.055467 -0.018466 0.998577 Riau 0.466998* 0.861904* 0.355624* -0.110051 0.990495 Jambi 0.086235 0.793749* 0.154242* 0.027037* 0.995861 Sumatera Selatan -0.252285 0.730401* -0.029522 -0.075475 0.993371 Kalimantan Timur -0.006222 0.833545* 0.168958* 0.013535 0.988298 Sulawesi Tenggara 0.214720 0.803307* -0.001103 0.028720 0.986830 Sumber: Lampiran 1

Keterangan: * signifikan pada taraf nyata 10%

Langkah awal untuk melakukan perhitungan TFP yaitu melakukan estimasi faktor-faktor produksi menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) pada masing-masing provinsi. Uji ekonometrika akan dilakukan setelah hasil estimasi setiap provinsi telah didapat yang melingkupi beberapa uji, yaitu uji kenormalan, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas.

Pada masing-masing provinsi dilakukan uji ekonometrika dengan hasil dari uji kenormalan dengan nilai probabilitas Jarque-Berra lebih besar daripada taraf nyata 10%. Artinya, faktor-faktor produksi dari setiap provinsi menyebar normal. Uji autokorelasi dan heteroskedastisitas dilakukan dengan melihat nilai dari probabilitas Obs*R-squared. Gejala autokorelasi dapat dideteksi dengan menggunakan uji Breush-Godfrey Serial Correlation LM Test, sedangkan gejala heteroskedastisitas dideteksi dengan uji Breusch-Pagan-Godfrey. Hasil uji tersebut membuktikan bahwa tidak terdapat gejala autokorelasi dan heteroskedastisitas pada persamaan di setiap provinsi. Uji multikolinearitas dilakukan melalui Correlation Matrix. Hasil uji Correlation Matrix menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Tenggara terdapat gejala multikolinearitas. Oleh karena itu, dilakukan uji Klein agar gejala tersebut dapat diatasi. Jika uji Klein belum bisa mengatasi gejala tersebut, maka dapat dilihat melalui kesesuaian antara nilai koefisien setiap variabel dengan teori ekonomi. Nilai koefisien dari variabel yang sesuai dengan teori ekonomi menjadikan gejala multikolinearitas dapat diabaikan.

13 Uji statistik yang dilakukan meliputi uji t-Statistik, uji F-Statistik, dan koefisien determinasi ( 2). Uji t-Statistik yang dilakukan pada masing-masing provinsi menunjukka bahwa faktor-faktor produksi berpengaruh nyata terhadap output industri pengolahan. Tabel 9 menunjukkan variabel tenaga kerja (TK) signifikan dan positif terhadap produksi di provinsi Jawa Timur dan Riau. Variabel bahan baku (B) signifikan dan positif terhadap output di semua provinsi kecuali Provinsi Sulawesi Tenggara. Variabel energi (E) signifikan dan positif terhadap output di provinsi Riau, Jambi, dan Kalimantan Timur. Variabel sewa modal (SM) hanya signifikan di Provinsi Jawa Tengah dan Jambi. Hal ini membuktikan bahwa dengan ketersediaan input (tenaga kerja, bahan baku, energi, dan sewa modal) maka akan memperlancar proses produksi di masing-masing provinsi.

Uji F-statistik dilakukan dengan nilai dari F-statistik dari masing-masing provinsi. Uji F berguna untuk membuktikan nyata tidaknya koefisien regresi secara bersama-sama pada taraf tertentu atau menunjukkan signifikan tidaknya model yang diperoleh secara keseluruhan (Firdaus 2011). Hasil yang didapat dari hasil estimasi masing-masing provinsi yaitu model signifikan terhadap output industri pada taraf nyata 10%.

Koefisien determinasi ( 2) merupakan indikator yang menunjukkan seberapa baik model yang diperoleh bersesuaian dengan data aktual (goodness of fit) (Firdaus 2011). Indikator ini dilakukan untuk mengukur keragaman dengan melihat nilai dari R-Squared dari hasil estimasi. Nilai R-Squared tertinggi berada di Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Barat sebesar 0.999353, artinya faktor-faktor produksi yang terdapat dalam model dapat menjelaskan keragaman sebesar 99.93% dan sisanya sebesar 0.07% dijelaskan oleh faktor produksi lain yang tidak dimasukkan ke dalam model fungsi produksi ini. Nilai R-Squared terendah berada di luar Pulau Jawa yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu sebesar 0.986830, artinya faktor-faktor produksi yang terdapat dalam model dapat menjelaskan keragaman sebesar 98.68% dan sisanya sebesar 1.32% dijelaskan oleh faktor produksi lain yang tidak dimasukkan ke dalam model ini. Pada Tabel 9 nilai

R-Squared di 10 provinsi tergolong tinggi karena 8 provinsi mempunyai nilai

R-Squared lebih dari 0.99, berarti nilainya mendekati 1, artinya model semakin baik

(fit) (Firdaus 2011).

Provinsi yang akan dianalisis dikelompokkan menjadi provinsi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa terdapat Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur dengan nilai koefisien yang sesuai dengan teori ekonomi yaitu menunjukkan nilai positif pada setiap faktor produksi (Tabel 9). Di luar Pulau Jawa hanya Provinsi Jambi yang nilai koefisiennya sesuai dengan teori ekonomi. Ketiga provinsi tersebut membuktikan bahwa output industri pengolahan dipengaruhi oleh tenaga kerja, bahan baku, energi, dan sewa modal.

Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Tenggara merupakan wilayah dengan hasil estimasi hanya satu variabel yang signifikan dan positif yaitu bahan baku (B). Variabel bahan baku (B) selain berpengaruh signifikan dan positif di lima provinsi tersebut tetapi juga berpengaruh signifikan dan positif di lima provinsi lainnya yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Jambi, Riau, dan Kalimantan Timur. Oleh karena itu, bahan baku merupakan faktor produksi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam produksi proses produksi di masing-masing provinsi.

14

Hasil estimasi pada Provinsi Jawa Tengah menunjukkan nilai koefisien variabel bahan baku (B), energi (E), dan sewa modal (SM) bernilai positif tetapi variabel tenaga kerja (TK) bernilai negatif. Namun, variabel yang berpengaruh signifikan terhadap output yaitu tenaga kerja (TK), bahan baku (B), dan sewa modal (SM). Hasil estimasi Provinsi Riau menunjukkan nilai koefisien dari variabel tenaga kerja (TK), bahan baku (B), dan energi (E) adalah positif dan berpengaruh signifikan, namun variabel sewa modal bernilai negatif dan tidak berpengaruh signifikan terhadap output industri. Hal ini menunjukkan bahwa di Provinsi Riau tingkat produktivitas tenaga kerja terhadap output industri pengolahan sangat tinggi seperti pada Tabel 5. Hasil estimasi pada Provinsi Jambi menunjukkan nilai koefisien semua variabel positif tetapi hanya variabel tenaga kerja (TK) yang tidak berpengaruh signifikan terhadap output. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah tenaga kerja tidak memengaruhi output yang dihasilkan, melainkan output industri dipengaruhi oleh inputnya.

Sumatera Selatan merupakan provinsi dengan nilai koefisien hanya bahan baku (B) yang sesuai dengan teori ekonomi (Tabel 9). Variabel tenaga kerja (TK), energi (E), dan sewa modal (SM) bernilai negatif, artinya tidak berpengaruh nyata terhadap output. Hal ini dapat diakibatkan oleh jumlah tenaga kerja yang kurang memadai dan terbatasnya akses untuk penyaluran energi, terutama listrik. Pembangunan infrastruktur yang minim mengakibatkan penggunaan listrik tidak maksimal karena adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan listrik dengan harga listrik. Naiknya Tarif Dasar Listrik (TDL) cukup menggangu kinerja perusahaan yang tengah berupaya semaksimal mungkin melakukan efisiensi di tengah kenaikan harga minyak dunia. Bahan baku yang cukup banyak menjadikan ketersediaan peralatan dan mesin harus sesuai dengan jumlah bahan baku agar proses produksi dapat berjalan lebih efisien. Namun, yang terjadi adalah adanya ketimpangan antara kondisi modal (gedung, peralatan, dan mesin) yang tersedia dengan jumlah bahan baku yang melimpah. Hal ini menjadikan proses produksi tidak dapat berjalan dengan maksimal karena adanya keterbatasan modal.

Sumber: Lampiran 1

Gambar 2 Pertumbuhan Total Factor Productivity setiap provinsi di Pulau Jawa tahun 1986-2010 (%)

Perhitungan TFP dilakukan dengan menghitung pertumbuhan pertahun dari kelima variabel fungsi produksi, yaitu output industri (Q), tenaga kerja (TK),

-0,40 -0,30 -0,20 -0,10 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 T F P ( % )

15 bahan baku (B), energi (E), dan sewa modal (SM). Perhitungan ini dilakukan kepada masing-masing provinsi untuk setiap tahunnya. Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan TFP di Pulau Jawa yang melingkupi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Nilai TFP di Pulau Jawa terlihat lebih berfluktuatif dibandingkan nilai TFP di luar Pulau Jawa pada Gambar 3. Hal ini membuktikan bahwa di Pulau Jawa progres teknologinya sangat dipengaruhi input karena pulau ini merupakan wilayah yang menjadi pusat perekonomian di Indonesia.

Nilai TFP pada krisis tahun 1998 menjadikan beberapa wilayah bernilai negatif kecuali Provinsi Jawa Timur. Provinsi tersebut bernilai positif, artinya teknologi industri di wilayah tersebut tidak rentan terhadap krisis tahun 1998. Nilai TFP yang positif disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu tingkat produktivitas tenaga kerja yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah tenaga kerja di Jawa Timur mencapai lebih dari sembilan ratus ribu jiwa menjadikan industri dapat memaksimalkan proses produksinya. Pada tahun 2008 nilai TFP negatif di beberapa provinsi yang ada di Pulau Jawa dikarenakan kondisi makroekonomi Indonesia yang tidak stabil setelah adanya krisis keuangan global di Amerika Serikat. Pondasi ekonomi dan keuangan di Indonesia yang semakin baik menjadikan krisis tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan.

Sumber: Lampiran 1

Gambar 3 Pertumbuhan Total Factor Productivity setiap provinsi di luar Pulau Jawa tahun 1986-2010 (%)

Nilai TFP periode 1986-2010 pada provinsi yang ada di luar Pulau Jawa terlihat lebih konstan pergerakannya daripada pertumbuhan TFP di Pulau Jawa. Teknologi sektor industri masih tergolong lemah karena wilayah ini jauh dari pusat perekonomian sehingga keunggulan yang dimiliki oleh wilayah di luar Pulau Jawa adalah sumber daya alam yang melimpah. Tenaga kerja yang ada di luar Pulau Jawa biasanya melakukan migrasi karena dinilai akan lebih produktif jika bekerja di Pulau Jawa sebagai pusat perekonomian. Oleh karena itu, semakin terhambatnya perkembangan dan pertumbuhan faktor-faktor produksi di wilayah luar Pulau Jawa. Adanya migrasi tersebut menjadikan semakin konstan nilai TFP yang dihasilkan, maka lima dari enam provinsi di luar Pulau Jawa sangat rentan terhadap krisis tahun 1998.

-2,00 -1,50 -1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 T F P ( % )

Sumatera Utara Riau Jambi

16

Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur merupakan provinsi di luar Pulau Jawa yang terkena dampak krisis tahun 1998 sehingga mengakibatkan nilai TFP menurun. Pertumbuhan TFP yang lambat dapat menunjukkan modal yang belum dialokasikan secara efisien dan belum dimanfaatkan secara keseluruhan (Felipe 1997). Nilai TFP negatif disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kondisi makroekonomi wilayah yang tidak stabil setelah adanya krisis 1998. Biaya produksi yang dikeluarkan oleh industri pengolahan adalah biaya untuk bahan baku, energi, dan sewa modal. Hampir 90% bahan baku dan modal merupakan barang-barang impor. Hal ini mengakibatkan industri pengolahan di beberapa wilayah di luar Pulau Jawa tidak bisa mendapat keuntungan yang maksimal dari nilai tambah yang dihasilkan oleh proses produksi yang dilakukan, karena bahan baku dan modal yang dipakai sebagian dari impor. Pada tahun 2004 terjadi penurunan yang sangat jauh oleh Provinsi Jambi. Hal ini disebabkan oleh daerah luar Pulau Jawa yang tergantung kepada investasi, terutama investasi asing yang konstan pada tahun 2004 menjadikan input industri tidak dapat digunakan secara maksimal.

Tabel 10 Nilai rata-rata Total Factor productivity (TFP) sebelum dan setelah krisis di 10 provinsi tahun 1986-2010 (%)

Provinsi Nilai TFP (%) Rata-rata TFP Rata-rata TFP sebelum krisis Rata-rata TFP setelah krisis Pulau Jawa DKI Jakarta 0.062124 0.075832 0.054612 Jawa Barat 0.001492 -0.005168 0.013181 Jawa Tengah -0.018068 -0.032408 0.002915 Jawa Timur 0.014914 -0.007908 0.013623

Luar Pulau Jawa

Sumatera Utara -0.005729 -0.020329 -0.009649 Riau -0.016224 -0.035974 0.034601 Jambi -0.104213 -0.101218 -0.117037 Sumatera Selatan 0.077796 0.111657 0.069781 Kalimantan Timur -0.011016 0.004177 -0.006019 Sulawesi Tenggara -0.069024 -0.151756 -0.090371 Sumber: Lampiran 1

TFP merupakan pendekatan produktivitas yang menggambarkan ketersediaan teknologi agar input yang digunakan lebih efisien. Nilai rata-rata TFP di Indonesia periode 1986-2010 masih tergolong lemah karena enam provinsi menunjukkan hasil yang negatif (Jawa Tengah, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara) dan empat provinsi bernilai positif (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan). Periode sebelum krisis yaitu pada tahun 1986-1997 nilai rata-rata TFP di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Sulawesi Tenggara bernilai negatif, artinya teknologi masih lemah sehingga penggunaan input kurang efisien di wilayah tersebut. Pada tahun 1999-2010 atau periode setelah krisis nilai rata-rata TFP menjadi positif di beberapa wilayah. Provinsi yang bernilai negatif setelah krisis yaitu Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Setelah adanya krisis pada tahun 1998 banyak industri yang tidak

17 berorientasi impor dapat bertahan sehingga masih bisa melakukan proses produksi. Hasilnya yaitu nilai rata-rata TFP positif pada enam provinsi terutama provinsi yang ada di Pulau Jawa. Nilai positif pada TFP setelah adanya krisis dikarenakan perekonomian Indonesia yang berada pada fase pemulihan ekonomi pada periode 2002-2010 sehingga produksi yang dihasilkan stabil dan nilai TFP menjadi positif.

Pulau Jawa merupakan wilayah maju yang memiliki investasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah di luar Pulau Jawa. Investasi tersebut melingkupi investasi dalam negeri (PMDN) maupun luar negeri (PMA). Investasi asing adalah cara utama terjadinya transfer teknologi ke negara sedang berkembang (Djankov dan Hoekman 2000). Oleh karena itu, nilai rata-rata TFP di Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan luar Pulau Jawa. Provinsi di Pulau Jawa yang mempunyai nilai rata-rata TFP yang positif yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur mempunyai nilai PMA yang tinggi.

TFP sebelum krisis baik Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa nilai rata-ratanya negatif, sedangkan setelah krisis wilayah Pulau Jawa bernilai positif dan luar Pulau Jawa masih bernilai negatif. Nilai rata-rata TFP tertinggi yaitu Provinsi Sumatera Selatan dan DKI Jakarta. Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang maju di Pulau Sumatera sehingga pusat perekonomian sebagian besar berada di provinsi ini. DKI Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia sehingga pusat perekonomian semua provinsi berada di Provinsi DKI Jakarta. Hal inilah yang menjadikan Sumatera Selatan dan DKI Jakarta memiliki nilai rata-rata TFP tertinggi untuk periode 1986-2010. Provinsi yang mempunyai nilai rata-rata TFP terendah yaitu Provinsi Sumatera Utara dan Kalimantan Timur yang termasuk ke dalam wilayah luar Pulau Jawa. Hal ini membuktikan bahwa adanya perbedaan penyerapan teknologi di berbagai wilayah sehingga terjadinya penurunan dan perlambatan share industri pengolahan terhadap PDRB di setiap wilayah di Indonesia.

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Total Factor Productivity

Analisis faktor-faktor yang memengaruhi Total Factor Productivity (TFP) menggunakan model Error Correction Model (ECM) yaitu dengan menduga model jangka panjang dan jangka pendek. ECM merupakan salah satu model dinamis yang diterapkan secara luas dalam analisis ekonomi. Tujuan utama dari ECM adalah untuk mengatasi masalah data time series yang tidak stasioner dan mengatasi regresi palsu. ECM digunakan untuk mengatasi perbedaan kekonsistenan hasil estimasi jangka pendek dengan jangka panjang. Cara mengatasinya yaitu dengan disekuilibrium pada satu periode dikoreksi pada periode selanjutnya, sehingga tidak ada kesalahan dalam model analisisnya.

Analisis yang dilakukan adalah pendugaan model jangka panjang dan jangka pendek pada masing-masing provinsi. Dalam jangka panjang TFP dapat diukur sebagai progres teknologi (Felipe 1997). Provinsi yang digunakan akan dikelompokkan menjadi provinsi yang ada di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Provinsi yang dianalisis yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang mewakili Pulau Jawa. Wilayah yang akan dianalisis dan termasuk ke dalam luar Pulau Jawa yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara.

18

Tabel 11 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi TFP dalam jangka panjang di 10 provinsi tahun 1986-2010

Provinsi

Nilai Koefisien

R-Squared

PDRB

Industri PMA PMDN Ekspor Impor

Pulau Jawa

DKI Jakarta 0.647349* 0.007121 0.002660 -0.318928* -0.116189 0.758268

Jawa Barat -0.359237* -0.010968* 0.015674* -0.028994 -0.009607 0.830809

Jawa Tengah -1.097807 0.046311* -0.044718* 0.746204 0.163510* 0.764332

Jawa Timur 0.837737 -0.026457 0.005964 0.334437* 0.129442* 0.839045

Luar Pulau Jawa

Sumatera Utara -0.502186 -0.029569* 0.040556 0.280971 0.196734 0.664137 Riau 0.332336 -0.034358* 0.051215* -2.062240* -0.352019* 0.948862 Jambi 2.863207* 0.149573* -0.090179* -0.405151 0.057753 0.903537 Sumatera Selatan -0.739970 0.002015 -0.004198 -0.035768* 0.100602 0.910736 Kalimantan Timur 0.229501 0.029927* 0.023238 -0.533291 0.288959 0.732017 Sulawesi Tenggara 3.198902* 0.135162* 0.007541 0.015983 -0.004050 0.846548 Sumber: Lampiran 2

Keterangan: * signifikan pada taraf nyata 10%

Pendugaan model jangka panjang dan jangka pendek dilakukan dengan melakukan beberapa tahapan terlebih dahulu. Uji unit root dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya persoalan akar unit pada masing-masing variabel. Setelah uji dilakukan kepada masing-masing provinsi, maka terdapat beberapa variabel yang tidak stasioner pada level. Oleh karena itu, dilakukan uji Augmented

Dickey-Fuller (ADF). Uji derajat integrasi digunakan untuk mengetahui derajat

integrasi ke berapa sehingga data deret waktu dari masing-masing variabel yang akan digunakan bersifat stasioner. Hasil dari uji derajat integrasi yaitu variabel yang stasioner pada first difference.

Uji kointegrasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kestabilan dalam jangka panjang. Hasil uji ini yaitu variabel-variabel yang digunakan dalam persamaan ini sudah terkointegrasi di masing-masing provinsi. Uji ekonometrika yang dilakukan meliputi uji autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Hasil dari ketiga uji tersebut yaitu tidak terdapat gejala autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas pada persamaan di masing-masing provinsi.

Nilai R-Squared tertinggi berada di Provinsi Riau sebesar 0.948862, artinya faktor-faktor yang terdapat dalam model dapat menjelaskan keragaman sebesar 94.89% dan sisanya sebesar 5.11% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Nilai R-Squared terendah berada di Provinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 0.664137, artinya faktor-faktor yang terdapat dalam model dapat menjelaskan keragaman sebesar 66.41% dan sisanya sebesar 33.59% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Pada Tabel 11 nilai R-Squared di Pulau Jawa lebih kecil daripada di luar Pulau Jawa. Namun, nilai R-Squared di 10 provinsi tergolong tinggi karena mempunyai nilai yang mendekati 1, artinya model semakin baik (fit) (Firdaus 2011).

Metode ECM digunakan untuk melihat perilaku dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Di dalam jangka panjang wilayah luar Pulau Jawa mendominasi Penanaman Modal Asing (PMA) karena sumber daya yang ada di

19 wilayah tersebut menjadi daya tarik para investor dalam jangka panjang. Investasi asing akan menimbulkan adanya transfer teknologi industri dari luar negeri sehingga terjadinya efisiensi faktor produksi dalam jangka panjang. Di dalam jangka panjang wilayah Pulau Jawa mendominasi impor (M) karena tingginya permintaan dalam mencukupi kebutuhan bahan baku untuk proses produksi. Impor modal berupa mesin dan peralatan industri akan meningkatkan efisiensi faktor produksi dalam proses produksi karena mesin dan peralatan yang digunakan berteknologi tinggi.

Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah yang termasuk ke dalam Pulau Jawa mempunyai banyak variabel yang signifikan terhadap TFP. Variabel yang signifikan terhadap TFP di Provinsi Jawa Barat yaitu Produk Domestik Bruto (PDRB) industri, PMA, dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Variabel PDRB industri dan PMA berpengaruh signifikan tetapi nilai koefisiennya negatif, sedangkan variabel PMDN berpengaruh signifikan dan positif terhadap TFP. Variabel yang berpengaruh signifikan di Provinsi Jawa Tengah yaitu PMA, PMDN, dan impor (M). Variabel PMDN berpengaruh signifikan tetapi nilai koefisiennya negatif, sedangkan variabel PMA dan impor nilai koefisiennya positif atau sesuai dengan teori ekonomi. Nilai koefisien impor yaitu 0.163510 maka setiap impor naik 1% maka TFP akan naik sebesar 16.35%, sedangkan untuk variabel PMA nilai koefisiennya yaitu 0.046311, artinya setiap PMA naik 1% maka TFP akan naik sebesar 4.63%, (Tabel 11). Hal ini sesuai dengan penelitian Akinlo (2005) yang menyatakan bahwa investasi luar negeri atau PMA berpengaruh signifikan dan positif terhadap TFP.

Tabel 12 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi TFP dalam jangka pendek di 10 provinsi tahun 1986-2010

Provinsi

Nilai Koefisien PDRB

Industri PMA PMDN Ekspor Impor

Pulau Jawa

DKI Jakarta -0.090090 0.070791* -0.063606* -0.007693* -0.075475 Jawa Barat 0.348683* -0.006575 0.009491 -0.009488* -0.019522* Jawa Tengah -0.189884 0.100331* -0.054474* -0.013442* -0.010126 Jawa Timur -0.990006* 0.017142* -0.001769 -0.004308 -0.115684 Luar Pulau Jawa

Sumatera Utara 0.687432 -0.051497 -0.014755 0.008848 -0.167632* Riau 0.888094* -0.040685* 0.011313 -0.067611* 0.828055* Jambi 4.384525* 0.055945* -0.003607 -0.005451 0.197036 Sumatera Selatan 0.485292 -0.001670 0.003479 0.046575* 0.052486 Kalimantan Timur -1.600213 0.028471* -0.097390* -0.010215 0.084742 Sulawesi Tenggara -4.829581* 0.063821 -0.024554 0.074692* -0.020927 Sumber: Lampiran 2

Keterangan: * signifikan pada taraf nyata 10%

ECM digunakan untuk melihat perilaku dari 10 provinsi dalam jangka pendek periode 1986-2010 (Tabel 12). Variabel yang banyak signifikan positif terhadap TFP dalam jangka pendek adalah PDRB industri dan PMA. Kondisi PMA dalam jangka pendek terdapat perbedaan antara Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa. Variabel PMA di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa

20

Timur berpengaruh signifikan dan positif terhadap TFP. Hal ini sesuai dengan penelitian menurut Akinlo (2005) yang menyatakan bahwa investasi luar negeri atau PMA singifikan positif terhadap TFP. Di dalam jangka pendek variabel PMA di Pulau Jawa lebih berpengaruh daripada di luar Pulau Jawa. Hal ini memengaruhi nilai rata-rata TFP yang lebih banyak bernilai positif di Pulau Jawa (Tabel 10).

Variabel ekspor (X) dan impor (M) dalam jangka pendek nilai koefisiennya negatif di Pulau Jawa. Ekspor yang dilakukan oleh provinsi-provinsi di Indonesia masih terbatas seperti barang mentah atau barang setengah jadi sehingga dapat menurunkan nilai TFP. Impor dibutuhkan dalam suatu industri pengolahan tetapi dalam jangka pendek dapat menyebabkan ketergantungan yang terus menerus jika tidak diimbangi dengan ekspor.

Di dalam periode jangka pendek PMA dan ekspor (X) sangat memengaruhi

Dokumen terkait