Data hasil pengembangan produk berupa data kualitatif dan kuantitatif. Hasil ini digunakan sebagai acuan dalam proses pengembangan produk dari awal hingga akhir. Penyusunan modul guided discovery mengacu kepada sintak dari guided discovery itu sendiri yang dikemas secara sistematis dan dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan singkat. Pertanyaan ini bertujuan untuk mendorong munculnya kemauan siswa berpikir, pertanyaan yang diberikan disesuaikan dengan materi yang sedang dipelajari.
Selain itu, pertanyaan ini juga berfungsi untuk memusatkan perhatian siswa dan mengarahkan siswa dalam menemukan konsep dari materi yang sedang dipelajari. Van Hong, et al. (2017) mengatakan bahwa dengan memberikan pertanyaan kepada siswa menyebabkan siswa akan fokus dengan materi yang sedang dipelajari. Kelengkapan materi pada modul mengacu silabus kimia kurikulum 2013, materi juga disesuaikan dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Materi termokimia dalam modul disusun menjadi 5 bagian, sehingga dalam penerapannya dilakukan sebanyak lima kali kegiatan belajar. Sub materi tersebut yaitu entalpi dan persamaan termokimia, macam-macam perubahan entalpi, penentuan entalpi secara langsung, penentuan entalpi secara tidak langsung, dan entalpi pembakaran bahan bakar.
Validasi modul mengacu pada standar penilaian Buku Teks Pelajaran Tahun 2014 oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang terbagi menjadi empat aspek. Pertama, kelayakan isi dengan penjabaran berikut ini. Kelayakan isi berkaitan dengan penilaian dimensi sikap, dimensi pengetahuan, dimensi keterampilan, tahap pembelajaran guided discovery, commit to user commit to user
dan indikator berpikir kritis yang terdapat pada modul. Dimensi sikap yang lebih ditonjolkan dalam modul adalah sikap sosial seperti jujur, tanggung jawab, dan kerjasama. Dimensi pengetahuan berkaitan dengan kelengkapan materi, kesesuaian materi dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar.
Kesesuaian materi dengan perkembangan ilmu ditunjukkan melalui fenomena termokimia yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan akan mudah memahami termokimia, karena siswa pernah mengalami atau bahkan mengamati secara langsung fenomena tersebut.
Kedua, kelayakan penyajian yang berkaitan dengan teknik penyajian modul, penyajian pendukung materi, dan penyajian proses pembelajaran. Ketiga, kelayakan bahasa untuk mengetahui apakah kalimat yang terdapat pada modul mudah dipahami oleh siswa. Hal ini untuk menjadikan siswa lebih mandiri dan mengurangi bimbingan intensif dari guru (Sumarti, Supartono &
Diniy, 2014). Keempat, kelayakan grafik untuk mengetahui kesesuaian ukuran tulisan, posisi tulisan, dan pemilihan warna pada modul. Hasil data secara kualitatif menunjukkan masih terdapat beberapa kekurangan pada masing-masing aspek modul sehingga perlu dilakukan perbaikan. Setelah dilakukan perbaikan maka modul dinyatakan valid dan bisa diterapkan dalam pembelajaran.
2. Analisis Hasil Uji Coba Produk
a. Uji Coba Skala Terbatas dan Skala Menengah
Uji coba produk awal dilakukan untuk mengetahui keterbacaan modul berdasarkan penilaian guru dan siswa. Terdapat 4 aspek yang dinilai oleh guru dan siswa terhadap modul, menunjukkan pada setiap aspek masih perlu dilakukan perbaikan-perbaikan. Penilaian aspek isi secara umum berkaitan dengan kejelasan dari keseluruhan materi yang terdapat pada modul. Penilaian aspek bahasa berkaitan dengan kejelasan penggunaan bahasa dan tulisan. Aspek penyajian untuk megetahui kejelasan tahap guided discovery dan kemampuan modul sebagai bahan ajar yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Aspek yang terakhir adalah aspek commit to user commit to user
kegrafikan, dimana guru dan siswa menilai tampilan dan desain modul yang dilengkapi dengan kombinasi warna dan disertai gambar. Penilaian pada skala terbatas secara umum mengkategorikan setiap aspek pada modul sudah baik, namun perlu dilakukan perbaikan pada keseluruhan aspek modul.
Selanjutnya, pada uji skala menengah penilaian modul mengalami peningkatan dimana modul dikategorikan sangat baik meskipun masih terdapat beberapa saran pada aspek penyajian dan aspek kegrafikan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa modul dapat digunakan untuk uji coba selanjutnya yaitu pembelajaran di dalam kelas.
b. Uji Coba Skala Luas
Penilaian siswa dan guru pada uji skala luas mengalami peningkatan dibandingkan uji coba skala terbatas dan uji coba skala menengah. Pada uji coba skala ini hanya terdapat saran berkaitan dengan kualitas cetakan modul, sehingga tidak terdapat perbaikan yang perlu dilakukan baik pada aspek isi, penyajian, bahasa, maupun grafik. Selain itu, pada uji coba luas juga diperoleh hasil kemampuan berpikir kritis siswa seperti pada Tabel 4.18.
Terlihat bahwa terdapat skor tertinggi terdapat pada indikator eksplanasi.
Indikator ini muncul pada semua sintak pembelajaran guided discovery dengan melibatkan siswa secara langsung untuk memberikan argumen/pendapatnya terhadap masalah yang disajikan dalam modul (Widura, et al., 2015). Keaktifan siswa memberikan argument/pendapat saat proses pembelajaran dapat melatih mereka untuk berpikir dan mengemukaan alasan secara konseptual (Facione, 2013). Perbedaan indikator eksplanasi antara kelas eksperimen dan kelas kontrol paling tinggi terdapat di SMA Negeri 9 Pontianak seperti yang terlihat pada Gambar 4.3.
Indikator analisis dilatihkan pada sintaks identifikasi masalah dan mengolah data (Widura, et al., 2015). Kegiatan analisis pada saat identifikasi masalah yaitu siswa terlebih dahulu menganalisis fenomena/masalah yang disajikan di dalam modul, kemudian siswa diminta untuk merumuskan masalah. Kegiatan analisis pada tahap mengolah data muncul pada saat siswa commit to user commit to user
diminta untuk memberikan dugaan sementara terhadap sesuatu yang belum diketahui kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. Proses pada saat siswa melakukan pengolahan data menunjukkan siswa melakukan pembelajaran bermakna karena siswa mengkaitkan informasi baru dengan informasi yang telah dimilikinya (Dahar, 2011). Seringnya siswa melakukan kegiatan analisis saat menggunakan modul secara tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam melakukan analisis. Berdasarkan Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 perbedaan indikator analisis sangat tinggi antara kelas ekperimen dan kelas kontrol terdapat di SMA Negeri 8 Pontianak dan SMA Negeri 9 Pontianak.
Indikator interpretasi dilatihkan pada sintak identifikasi masalah dan pengumpulan data. Kegiatan interpretasi pada sintak identifikasi masalah yaitu merumuskan hipotesis, sedangkan pada tahap pengumpulan data yaitu merancang percobaan/penemuan untuk membuktikan hipotesis. Proses ini sejalan dengan teori belajar penemuan dimana memberikan kesempatan kepada siswa melakukan penemuan melalui kegiatan praktikum (Hosnan, 2014). Hal serupa juga dikemukakan oleh Nuswowati & Purwanti (2018) bahwa kelebihan modul yaitu melatih siswa menemukan solusi dari masalah dengan penelitian atau kerja ilmiah bukan dengan menghafal, siswa dilatih berpikir logis dalam membuat kesimpulan sesuai konsep yang benar, dan dilatih berpikir sistematis mengikuti pola metode ilmiah sehingga mereka lebih optimal mengingat konsep yang berkaitan dengan observasi yang dilakukan.
Perbedaan indikator interpretasi antara kelas eksperimen dan kelas kontrol paling tinggi terdapat di SMA Negeri 9 Pontianak seperti yang terlihat pada Gambar 4.3. Indikator inferensi dilatihkan pada sintak verifikasi melalui kegiatan meninjau ulang hipotesis berdasarkan fakta yang ditemukan.
Perbedaan indikator inferensi antara kelas eksperimen dan kelas kontrol paling tinggi terdapat di SMA Negeri 9 Pontianak seperti yang terlihat pada Gambar 4.3. Indikator evaluasi dilatihkan pada sintak menyimpulkan melalui kegiatan menilai kredibilitas kesimpulan dari konsep yang ditemukan. commit to user commit to user
Perbedaan indikator evaluasi antara kelas eksperimen dan kelas kontrol paling tinggi terdapat di SMA Negeri 7 Pontianak seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.
Hasil uji efektifitas berdasarkan Tabel 4.19 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini dapat diartikan bahwa pembelajaran menggunakan modul guided discovery lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dibandingkan pembelajaran menggunakan buku ajar yang biasa digunakan siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Situmorang & Handayani (2017) modul tidak hanya sebagai pedoman pembelajaran, namun juga digunakan sebagai solusi untuk merangsang pemikiran kritis peserta didik (Situmorang & Handayani, 2017).
Kelebihan penggunaan modul dalam pembelajaran yaitu dapat mengarahkan siswa untuk mengusai konsep seara bertahap, dimulai dari sesuatu yang sederhana hingga sesuatu yang kompleks (Nardo & Hufana, 2014). Modul yang dikembangkan juga memperhatikan hal tersebut, dimana pada tahap stimulasi siswa dirangsang dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan fenomena sehari-hari, kemudian diikuti dengan beberapa pertanyaan yang semakin kompleks pada tahap mengolah data. Pertanyaan yang terdapat pada modul merupakan karakteristik dari modul yang dikembangkan. Proses ini sesuai dengan teori belajar konstruktivis dimana siswa diberikan stimulus untuk menjawab rasa ingin tahu terhadap fenomena sekitar (Bada, 2015).
Hasil analisis uji lanjut terhadap setiap indikator diperoleh hasil bahwa tidak semua indikator mengalami peningkatan secara signifikan, seperti yang disajikan pada Tabel 4.21. Berdasarkan tabel terlihat bahwa indikator yang mengalami peningkatan signifikan di SMA Negeri 8 dan SMA Negeri 9 adalah indikator analisis, sedangkan di SMA Negeri 7 tidak mengalami peningkatan signifikan. Hal ini disebabkan karena pada saat pembelajaran, terdapat beberapa siswa di SMA Negeri 7 yang masih belum tepat merumuskan hipotesis. Peningkatan signifikan di SMA Negeri 7 yaitu pada indikator evaluasi. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa modul mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis secara signifikan pada indikator commit to user commit to user
evaluasi dan indikator analisis. Hal ini dikarenakan siswa dituntut untuk menyelesaikan permasalahan yang disajikan pada modul dengan melakukan analisis terhadap data dan memastikan bahwa kesimpulan penemuan tersebut sudah tepat.
Beberapa penelitian berkaitan dengan modul sudah pernah dilakukan, diantaranya penelitian Nuswowati & Purwanti (2018) diperoleh hasil lebih dari 75% siswa memiliki kemampuan berpikir kritis dengan kategori sangat tinggi setelah menggunakan modul pada materi hidrolisis dan buffer. Penelitian Robi, et al. (2018) bahwa modul berbasis guided discovery dapat meningkatkan berpikir kritis pada materi aritmatika dua dimensi, khususnya dalam berpikir efektif, berpikir sesuai pola, dan penilaian terhadap masalah.
Penelitian Nugroho & Subiyantoro (2017) mengenai modul berbasis guided discovery untuk meningkatkan berpikir kritis pada materi sistematika tumbuhan tinggi. Penelitian Yerimadesi, Bayharti & Oktavirayanti (2018) mengembangkan modul pada materi reaksi redoks dan sel elektrokimia. Hasil penelitian Perwitasari & Djukri (2018) bahwa terdapat perbedaan berpikir kritis yang signifikan antara siswa setelah menggunaan modul guided discovery, dengan selisih skor posttest dan pretest 15,99 untuk kelas eksperimen dan 10 untuk kelas kontrol. Penelitian Ellizar, et al. (2018) menunjukkan modul efektif memperbaiki hasil belajar pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit. Penelitian Sulistiningsih & Nasrudin (2012) menjelaskan bahwa telah dikembangkan worksheet materi termokimia untuk meningkatkan berpikir kritis. Penjabaran penelitian tersebut menunjukkan bahwa pernah dilakukan pengembangan modul berbasis guided discovery untuk meningkatkan berpikir kritis tetapi untuk materi termokimia belum pernah dilakukan, adapun yang pernah dikembangkan adalah worksheet termokimia tetapi tidak berbasis guided discovery. Kondisi tersebut menjadikan penelitian ini sebagai hal baru dan perlu dilakukan. Selain untuk menjadi pedoman siswa mengatasi kesulitan pada materi termokimia, modul ini dapat dijadikan sebagai panduan belajar yang memfasilitasi siswa membangun kompetensi berdasarkan tuntutan kurikulum 2013. commit to user commit to user