• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menentukan Stakeholder Sistem

Whitten, dkk (2004) mendefinisikan stakeholder sebagai orang yang mempunyai ketertarikan terhadap sistem yang ada ataupun sistem yang ditawarkan. Stakeholder bisa termasuk pekerja teknis dan non teknis, bisa juga pekerja dalam dan luar. Semua stakeholder yang terkait dalam sistem usaha tani nilam mempunyai kebutuhan tersendiri yang muncul dari kepentingan masing-masing stakeholder terhadap sistem tersebut.

Pelaku-pelaku sistem yang termasuk di dalam sistem usaha tani nilam antara lain :

e. Petani (kelompok tani)

Adapun kebutuhan-kebutuhan petani adalah :

• Modal yang besar untuk memulai usaha tani nilam

• Harga nilam yang stabil

• Adanya penyuluhan yang mendalam dan menjawab permasalahan mengenai budidaya (penyakit, pemupukan, dll) juga mengenai perawatan alat penyulingan nilam.

• Tenaga kerja (teknologi) untuk mempercepat proses kerja dalam pengolahan lahan.

• Produktifitas yang tinggi

• Tenaga ahli dalam menolong masyarakat untuk menggunakan dan merawat alat penyulingan.

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

f. Petani penyuluh pertanian (PPL)

Adapun kebutuhan-kebutuhan dari petani penyuluh lapangan adalah : Pelatihan-pelatihan baik tentang bagaimana menghadapi masyarakat maupun mengenai pertanian yang mayoritas digeluti masyarakat (usaha tani nilam, gambir, kopi dll.)

g. Pengumpul

Adapun kebutuhan-kebutuhan dari pengumpul adalah :

• Adanya produk yang kontinu dan kualitas terjamin

• Harga yang stabil

h. Pemerintah (dinas yang terkait)

Adapun kebutuhan-kebutuhannya adalah :

Training untuk membangun sarana dan prasarana pendukung pengembangan pertanian

Formulasi Masalah Sistem

Beberapa masalah yang dapat diformulasikan pada sistem adalah : f. Kurangnya modal

Usaha tani nilam membutuhkan modal yang cukup besar untuk pengerjaan lahan, pembibitan, pemupukan pengendalian hama dan untuk pengolahan daun nilam menjadi minyak nilam. Petani nilam memiliki modal yang sangat terbatas.

g. Minimnya pemahaman tentang pertanian nilam

Kabupaten Pakpak Bharat adalah salah satu wilayah yang sangat berpotensi untuk pertanian nilam dilihat dari topografi dan luasnya wilayah tapi masyarakat masih kurang memahami secara teoritis tentang

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

bagaimana sesungguhnya bertani nilam yang baik. Pertanian nilam masih dikerjakan secara kebiasaan turun temurun. Hal ini karena terbatasnya kegiatan pelatihan bagi pertanian nilam.

Hal ini terlihat ketika beberapa tahun terakhir, munculnya penyakit layu daun dan masyarakat tidak mengetahui cara pengendalian sama sekali. Saat ini petani hanya memotong atau mencabut bagian yang terkena penyakit, hal ini kurang efektif karena penyakit tersebut cenderung menyerang tanaman nilam yang lain.

h. Tidak adanya PPL khusus untuk petani nilam

Sehingga ketika ada permasalahan seperti di atas, PPL kurang bisa memberi saran dikarenakan PPL bukan orang yang berkompeten akan hal itu. Masyarakat juga sangat kesulitan karena tidak adanya tenaga ahli untuk memperbaiki alat penyulingan nilam dan tidak ada bengkel untuk memperbaikinya.

i. Kurangnya tenaga kerja

Dengan wilayah pertanian yang sangat luas dan masih banyaknya potensi pembukaan lahan pertanian, tetapi tenaga kerja masyarakat yang sangat minim untuk mengerjakan pengolahan lahan sehingga lahan yang bisa diolah juga cukup terbatas. Di Kabupaten Pakpak Bharat tidak ada traktor untuk pengolahan lahan dikarenakan topografi lahan yang cukup curam. j. Harga nilam yang tidak stabil

Penurunan harga nilam yang sangat drastis dimulai tahun 2008 menyebabkan petani beralih ke usaha tani lain, seperti gambir. Adanya animo petani menanam nilam jika harga tinggi dan mata pencaharian

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

petani berubah-ubah tidak hanya tergantung pada nilam. Hal ini mengakibatkan tidak kontinunya produk nilam yang dijual.

Di bulan Maret-April petani menjual nilam dengan harga Rp 260.000-Rp 310.000/ Kg.

Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe (STTU Jehe) Kondisi Topografi

Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe terletak diantara Lintang Utara 2,250 -2,450 dan Bujur Timur 960-970, berada pada ketinggian 650-950 meter diatas permukaan laut. Luas wilayahnya adalah 473,62 km2, dengan suhu udara subtropis atau sedang dan curah hujan 2500-3000 mm/tahun. Batas-batas wilayah yaitu :

Sebelah Utara : Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kecamatan Lae Parira

Kecamatan Sidikalang.

Sebelah Selatan : Kecamatan Salak dan Kerajaan Sebelah Timur : Kecamatan Kerajaan

Sebelah Barat : Kabupaten Aceh Singkil

Propinsi Nangroe Aceh Darussalam

Kecamatan STTU Jehe terdiri dari 10 (sepuluh) desa, yaitu 1. Desa Kaban Tengah, 2. Desa Bandar Baru, 3. Desa Tanjung Meriah, 4. Desa Tanjung Mulia, 5. Desa Simberuna, 6. Desa Perolihen, 7. Desa Maholida, 8. Desa Malum, 9. Desa Perjaga, dan 10. Desa Mbinalum.

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

Pengolahan Lahan

Menurut Sudaryani dan Sugiharti (1998) tanaman nilam berproduksi secara optimum apabila ditanam pada lahan dengan ketinggian 10-400 dpl, beriklim panas, curah hujan antara 2.500-3.500 mm/tahun, suhu ideal antara 24-280C dengan kelembapan di atas 75%.

Lahan diolah dengan mengunakan cangkul, kemudian petani menaburkan kompos setelah 1-2 minggu dengan rata-rata pemberian 0,05-0,625 kg/m2, tapi ada juga petani yang tidak memberikan kompos hal ini dikarenakan lahan tersebut baru dibuka jadi petani beranggapan lahan tersebut masih kaya akan unsur hara sisa pembusukan daun-daun selama bertahun dan ada juga karena masyarakat tidak mempunyai modal. Menurut Santoso (1990) pemberian kompos sebagai pupuk dasar bertujuan untuk membuat struktur tanah menjadi remah dan gembur, pemberian pupuk kandang sekitar 10-20 ton/ha. Kepemilikan lahan untuk usaha tani nilam di daerah ini yaitu 0,12 ha-2.5 ha/KK.

Pada umumnya masyarakat membuat bedengan dengan ukuran yang tidak terlalu diperhatikan, hanya perkiraan saja. Tanaman nilam tidak menghendaki adanya air tergenang, untuk itu perlu adanya bedengan.

Penanaman

Penanaman harus dilakukan pada musim penghujan karena nilam sangat membutuhkan air semasa pertumbuhannya. Bibit biasanya diperoleh dari tanaman sebelumnya, yang dibeli seharga Rp 100/ batang. Bisa dikatakan pengambilan bibit seperti ini sangat asal-asalan. Bibit ini tidak terjamin kualitasnya dan kondisi kesehatannya. Oleh karena itu tidak heran jika nilam yang ditanam oleh petani sering terserang oleh penyakit.

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

Bibit itu sebagian dipolybag terlebih dahulu tapi kebanyakan petani menanam secara langsung, tanpa disemai atau dipolybag. Varietas nilam yang ada pada petani saat ini adalah nilam Sidikalang.

Jarak tanam diperkirakan saja dengan jarak 30cm x 30cm, 30cm x 50cm, 30cm x 100cm, tapi petani sering mengatakan bahwa dalam 1 meter terdapat 3 tanaman.

Penyulaman

Istilah dalam petani sering disebut ‘penyisipan’ yaitu menyisipkan tanaman untuk mengganti tanaman yang mati. Tanaman yang mati bisa dilihat setelah 2-4 minggu dan langsung bisa disisip, dengan teknik yang sama seperti penanaman.

Penyiangan

Penyiangan dilakukan untuk membuang tanaman pengggangu dilakukan pada umur 3 bulan, penyiangan bisa 1- 3 kali selama umur produktif tanaman dan biasanya menggunakan cangkul.

Pemupukan

Pemupukan dilakukan setelah penyiangan, pupuk yang sering digunakan masyarakat adalah kompos, Urea, Ponska 1515, ZA, KCL, SS, dan SP 36 dengan rata-rata penggunaan yang sangat kecil. Pemupukan hanya dilakukan sekali karena umur produktif tanaman yang hanya 1 tahun (2 kali panen). Menurut Santoso (1999) pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali sebelum panen yang pertama. Pemupukan I pada umur 1 bulan rata-rata pemberian pupuk Urea 50-75 kg/ha, ZA 50-75 kg/ha, TSP 50-75 kg/ha dan KCL 25-50 kg/ha. Pemupukan II

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

dan III masing-masing pada umur 3 bulan dan 5 bulan dengan rata-rata pemberian setengah dari jumlah pemupukan yang I. Pemupukan dilakukan lagi 2-4 minggu setelah pemanenan selama masa produktif.

Pengendalian Hama dan Penyakit

Hampir tidak ada petani yang menggunakan obat-obatan untuk pengendalian hama dan penyakit, hal ini karena masyarakat tidak tahu obat-obatan apa yang harus digunakan jika penyakit tertentu datang. Penyakit yang sering menyerang yaitu penyakit layu daun yang muncul pada umur 4 bulan. Saat ini petani hanya mencabut atau memotong tanaman yang terserang tapi hal ini kurang efektif karena penyakit akan menyerang tanaman yang lain atau bagian yang lain. Obat-obatan yang pernah digunakan oleh petani yaitu Drusbun.

Pemangkasan

Tidak ada dilakukan karena masyarakat meyakini bahwa lebih banyak daun lebih baik walaupun terkadang banyak yang saling mengganggu untuk memperoleh sinar matahari.

Pembumbunan

Pembumbunan dilakukan setelah pemanenan tetapi dilakukan sekaligus penyiangan kedua, jadi hampir tidak diperhatikan berapa tinggi tanah yang harus ditimbun.

Pemanenan

Umur panenan nilam yang pertama setelah 6 bulan dengan menggunakan pisau tajam. Jarak pemanenan itu sekitar 25-40 cm dari tanah. Petani tidak ada

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

melakukan perajangan hanya mematah-matahkan daun dengan tangan sepanjang ± 10 cm. Kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari dengan menggelar di atas tikar. Petani mengenali daun yang sudah bisa disuling dari kerapuhan dan warna hitam kecoklatan atau setelah dikeringkan selama 2-3 hari di bawah matahari yang cukup terik. Daun yang sudah kering biasanya dibiarkan selama semalam sebelum disuling.

Alat penyulingan yang digunakan masyarakat yang modern merupakan hasil sumbangan pemerintah berkapasitas 300 kg dengan waktu penyulingan 10 jam. Pada umumnya masyarakat kurang mengetahui cara kerja alat tersebut, petani hanya melakukan penyulingan berdasarkan kebiasaan seperti telah diajarkan oleh teknisi yang pernah memperkenalkan alat tersebut kepada masyarakat.

Penyuluhan pernah dilakukan sebanyak 2 kali, dan pengawasan juga pernah dilakukan tapi hanya 2-3 kali di awal pengenalan alat.

Petani dikenakan biaya untuk penyulingan sebesar Rp 30.000/suling. Penyulingan membutuhkan kayu bakar sebanyak 3 kubik/suling dengan harga Rp75.000-Rp100.000/kubik.

Pemasaran

Sistem pemasaran minyak nilam di kecamatan ini masih tradisionil. Dari produsen (petani) dibeli oleh pedagang pengumpul di kecamatan kemudian dijual kepada pedagang besar dan kemudian di jual ke eksportir dalam negeri dan akhirnya kepada importir luar negeri. Rantai pemasaran terlalu panjang sehingga kurang menguntungkan petani produsen. Sejauh ini tanggapan pengumpul terhadap kualitas minyak nilam cukup bagus karena pembeli sendiri mempunyai

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

alat penguji ketika melakukan pembelian minyak. Harga nilam di masyarakat pada bulan Maret- April yaitu Rp260.000-Rp310.000/Kg.

Kecamatan Kerajaan Kondisi Topografi

Kecamatan Kerajaan dengan ibukotanya Sukaramai terletak di antara Lintang Utara 980-98,30 dan Bujur Timur 250-300. Dengan luas wilayah 147,61 km2 yang terletak 700-1.400 meter di atas permukaan laut. Batas-batas wilayah yaitu,

Sebelah Utara : Kabupaten Dairi Sebelah Timur : Kecamatan Tinada

Sebelah Selatan : Kecamatan Pergetteng-getteng sengkut Sebelah Barat : Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe

Kecamatan ini terdiri dari 10 desa yaitu Majanggut I, Majanggut II, Pardumuan, Perpulungan, Kutasaga, Kutadame, Kuta Mariah, Sukaramai, Surung Mersada dan Perduhapen. Pada umumnya daerah ini berbukit-bukit dengan kemiringan bervariasi antara 700-1.400 m sehingga terjadi iklim hujan tropis yang dipengaruhi angin musim. Kondisi topografi sebagai berikut :

- Datar : 1.824 ha - Berombak : 1.520 ha - Bergelombang : 7.904 ha - Curam : 912 ha - Terjal : 18.240 ha

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

Iklim di kecamatan ini tidak menentu adakalanya musim penghujan dan adakalanya musim kemarau. Musim penghujan biasanya pada bulan Januari, Maret, dan Juli-Desember setiap tahunnya. Pada umumnya kecamatan ini mempunyai udara yang dingin hanya sebagian kecil desa yang udaranya agak panas yaitu Majanggut II (Kuta Liang).

Pengolahan lahan

Lahan diolah dengan mengunakan cangkul, kemudian petani menaburkan kompos setelah 1-2 minggu dengan rata-rata pemberian 0,01-0,01667 kg/m2, hampir semua masyarakat menggunakan kompos. Hal ini karena masyarakat diberi penyuluhan tentang pertanian nilam di tahun 2006. Luas nilam di Kecamatan Kerajaan masih sempit karena masyarakat rata-rata masih baru memulai penanaman nilam sejak tahun 2006 yaitu 0,12-0,5 ha/KK.

Pada umumnya masyarakat tidak membuat bedengan karena menurut mereka tidak terlalu berpengaruh karena lahan yang cukup miring sehingga kemungkinan air tergenang kecil.

Penanaman

Penanaman harus dilakukan pada musim penghujan, dan bibit biasanya diperoleh dari tanaman sebelumnya, yang dibeli seharga Rp 100/ batang.

Bibit itu ada sebagian dipolybag terlebih dahulu tapi kebanyakan petani menanam secara langsung, tanpa disemai atau dipolybag. Varietas nilam yang ada pada petani saat ini adalah nilam Sidikalang karena pembibitan selalu diambil dari tanaman sebelumnya milik sendiri atau dari sesama petani.

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

Jarak tanam diperkirakan saja dengan jarak 30cm x 30cm, 30cm x 50cm, 30cm x 100cm, tapi petani sering mengatakan bahwa dalam 1 meter terdapat 3 tanaman.

Penyulaman

Istilah dalam petani sering disebut ‘penyisipan’ yaitu menyisipkan tanaman untuk mengganti tanaman yang mati. Tanaman yang mati, bisa dilihat setelah 2-4 minggu dan langsung bisa disisip, dengan teknik yang sama seperti penanaman.

Penyiangan

Penyiangan dilakukan untuk membuang tanaman pengggangu dilakukan pada umur 3 bulan, penyiangan bisa 1- 3 kali selama umur produktif tanaman. Teknisnya biasanya dengan menggunakan cangkul. Petani tidak pernah menggunakan bahan kimia dalam proses penyiangan karena bahan kimia tersebut bisa merusak tanaman nilam.

Pemupukan

Pemupukan dilakukan setelah penyiangan, pupuk yang sering digunakan masyarakat adalah kompos/dolomit, Urea, TSP, KCL, SS, dan SP 36. dengan rata-rata penggunaan yang sangat kecil. Pemupukan hanya dilakukan sekali karena umur produktif tanaman yang hanya 1 tahun (2 kali panen).

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

Pengendalian Hama dan Penyakit

Petani tidak ada yang menggunakan obat-obatan untuk pengendalian hama dan penyakit, hal ini karena masyarakat tidak tahu obat-obatan apa yang harus digunakan jika penyakit tertentu datang.

Pemangkasan

Tidak ada dilakukan karena masyarakat meyakini bahwa lebih banyak daun lebih baik walaupun terkadang banyak yang saling menggangu untuk memperoleh sinar matahari.

Pembumbunan

Pembumbunan dilakukan setelah pemanenan tetapi dilakukan sekaligus penyiangan kedua, jadi hampir tidak diperhatikan berapa tinggi tanah yang harus ditimbun.

Pemanenan

Umur panenan nilam yang pertama setelah 7-8 bulan dengan menggunakan pisau tajam. Jarak pemanenan itu sekitar 10-30 cm dari tanah. Petani tidak ada melakukan perajangan hanya mematah-matahkan daun dengan tangan sepanjang ± 10 cm. Kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari yang digelar di atas tikar. Petani mengenali daun yang sudah bisa disuling dari kerapuhan dan warna hitam kecoklatan atau setelah dikeringkan selama 2-3 hari di bawah matahari yang cukup terik. Daun yang sudah kering biasanya dibiarkan selama semalam sebelum disuling.

Alat penyulingan yang digunakan masyarakat yang modern merupakan hasil sumbangan pemerintah berkapasitas 100 kg dengan waktu penyulingan 6-8

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

jam. Penyuluhan pernah dilakukan sebanyak 2 kali tapi hanya kepada ketua kelompok tani dan pengawasan juga pernah dilakukan 2-3 kali di awal pengenalan alat.

Petani dikenakan biaya untuk penyulingan sebesar 1 ons minyak/suling dengan biaya operator Rp30.000/suling. Operator itu sendiri adalah ketua kelompok tani yang ikut dalam penyuluhan tentang alat tersebut, tapi masyarakat yang sudah paham menggunakan alat tersebut tidak perlu meminta diawasi oleh operator. Penyulingan membutuhkan kayu sebanyak 1-1,5 kubik/suling dengan harga Rp60.000-Rp75.000/kubik.

Pemasaran

Saat ini petani masih menjual di kalangan pengumpul walaupun ada juga petani yang langsung menjual ke pedagang besar. Harga nilam di masyarakat pada bulan Maret-April yaitu Rp260.000-Rp310.000/Kg. Rantai pemasaran masih cukup panjang, dapat dilihat pada skema di bawah ini

Gambar 1. Skema tataniaga pemasaran nilam Petani

(Produsen)

Pedagang Pengumpul Pedagang Besar

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

Dalam sistem tataniaga ini, petani menjual minyak nilam mereka kepada pedagang pengumpul atau pedagang besar yang ada di desa. Lalu pedagang akan menjual minyak nilam tersebut kepada eksportir.

Produktifitas

Produktifitas nilam diukur dari banyaknya produksi minyak tiap tahunnya dari tiap lokasi. Petani melakukan pengolahan daun nilam hingga menjadi minyak untuk mendapatkan nilai jual lebih. Baik menggunakan alat suling modern maupun alat suling tradisional. Produktifitas nilam sendiri dipengaruhi oleh luas lahan, kondisi lahan, teknik budidaya dan teknik pengolahan daun nilam.

Analisis produktifitas dilakukan dengan menggunakan data produksi nilam selama 6 tahun dari tahun 2003-2008. Tabel di bawah ini menunjukkan data produktifitas nilam di Kecamatan STTU Jehe dan Kecamatan Kerajaan. Tabel tersebut menunjukkan perubahan produktifitas nilam di dua tempat tersebut tidak berbeda jauh. 0 20 40 60 80 100 120 140 160 2003 2004 2005 2006 2007 2008 TAHUN P RO DUK S I

Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

0 5 10 15 20 25 30 2003 2004 2005 2006 2007 2008 TAHUN PR OD U KSI

Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)

Gambar 3. Produksi nilam di Kecamatan Kerajaan

Pada tahun 1998/1999 harga minyak nilam naik dengan drastis mencapai harga Rp 1.000.000, harga ini bertahan hingga tahun 2003. Dengan kondisi harga yang melambung tinggi tersebut banyak petani nilam bahkan masyarakat non petani berbondong-bondong menanam nilam. Perkembangan areal yang semakin besar di tahun 2005-2007 tidak secara signifikan menambah produktifitas karena tidak didukung oleh faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas tersebut. Teknik budidaya yang kurang baik membuat produktifitasnya hampir sama setiap tahunnya. Salah satunya adalah pengambilan bibit yang asal-asalan, tanpa memperhatikan kesehatan bahkan ketahanannya terhadap penyakit. Tidak adanya pemberian obat-obatan sehingga tanaman mudah diserang oleh hama dan penyakit.

Pada tahun 2008 terjadi penurunan luas areal di Kecamatan STTU Jehe tetapi meningkat dalam jumlah produktifitas. Sedangkan di Kecamatan Kerajaan luas areal meningkat tinggi tetapi menurun dari segi jumlah produk hal ini

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

disebabkan adanya penyakit yang menyerang. Penyakit itu menyerang hampir seluruh tanaman nilam.

Kondisi Alat Penyulingan Nilam

Alat penyulingan pada masyarakat ada 2 jenis alat suling tradisional dan alat suling modern.

Alat suling tradisional merupakan alat yang dibuat oleh masyarakat sendiri terbuat dari drum bekas, dengan tipe alat penyulingan dengan uap. Jadi adanya pemisahan antara ketel air dan ketel daun. Alat ini ada yang berkapasitas 15 kg dan 30 kg. Biasanya alat ini digunakan oleh petani dengan jumlah produksi nilam yang sedikit.

Alat suling modern merupakan alat dari subsidi pemerintah yang ada di bawah tanggung jawab Dinas Perindustrian. Alat ini diserahkan kepada kelompok tani di tahun 2006. Saat ini ada 11 alat penyulingan dengan kapasitas berbeda yang tersebar pada masyarakat di wilayah petani nilam di Pakpak Bharat tapi hanya 2 yang beroperasi yaitu di Kaban Tengah (Kecamatan STTU Jehe) dan di Perduhapen (Kecamatan Kerajaan).

Tanggung jawab terhadap alat tersebut diserahkan kepada kelompok tani baik perawatan dan pengawasan dilakukan oleh kelompok tani sendiri. Tetapi petani mempunyai kesulitan ketika alat ini mengalami kerusakan, seperti halnya di Kecamatan Kerajaan yang ini mengalami kerusakan di bagian penutup Ketel Daun. Hal ini mengakibatkan keluarnya uap sehingga akan mengurangi produksi minyak.

Christa G. Rajagukguk : Analisis Potensi Pengolahan Minyak Nilam Di Kabupaten Pakpak Bharat (Studi Kasus di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan), 2009.

1. Dapur pembakaran

Terbuat dari beton berbentuk persegi yang dibagian atas terdapat ketel air. Di bagian bawah terdapat celah untuk memasukkan kayu bakar. Di bagian belakang terdapat cerobong asap dengan lubang terarah ke bagian atas, dengan tinggi sekitar 3 meter.

2. Ketel air (labu destilasi)

Menyatu dengan tungku pembakaran oleh beton. Ketel ini terbuat dari

stainless steel dengan posisi horizontal. Di bagian atas terdapat pipa

saluran air, alat pengukur suhu dan pipa saluran uap. 3. Ketel daun

Terbuat dari bahan stainless steel, dengan posisi vertikal. Pipa uap dialirkan dari bagian bawah ketel. Di bagian dalam terdapat saringan yang membatasi daun dengan dasar ketel. Daun akan dialiri uap panas yang akan membawa uap bercampur minyak. Uap ini akan dialirkan melalui

Dokumen terkait