• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Topografi Sebelum dan Sesudah Erupsi Merapi 2010

Pengolahan model topografi dalam penelitian ini telah menghasilkan data DEM PALSAR pada akusisi sebelum erupsi Merapi 2010 (input akusisi data ALOS PALSAR 29 Januari 2010 dan 16 Maret 2010) dan sesudah erupsi Merapi 2010 (input akusisi data ALOS PALSAR 30 November 2010 dan 01 Februari 2011). Gambar 5 menunjukkan data DEM PALSAR hasil dari pengolahan dengan metode InSAR pada akusisi sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010. Data DEM PALSAR sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010 yang telah dihasilkan dalam penelitian ini memiliki resolusi spasial 30 m. Perhitungan akurasi pada data tersebut, yang dinyatakan dalam RMSE, menunjukkan hasil dengan nilai sebesar 9.08 m untuk akusisi sebelum erupsi dan 8.31 m untuk akusisi sesudah erupsi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa estimasi kesalahan atau error rata-rata secara vertikal pada data tersebut adalah sebesar 9.08 m dan 8.31 m. Perhitungan tersebut dilakukan berdasarkan data referensi Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25,000 yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG), dengan menggunakan titik tinggi sebanyak 488 lokasi pada akusisi sebelum erupsi dan 311 lokasi pada akusisi sesudah erupsi.

Perbedaan jumlah pengambilan lokasi sampel untuk perhitungan RMSE

tersebut dilakukan karena ada beberapa lokasi yang sama dari data akusisi sesudah erupsi telah mengalami perubahan elevasi ketinggian (akibat deposit material piroklastik), sehingga pengurangan terhadap jumlah titik lokasi sampel perhitungan RMSE pada akusisi sesudah erupsi dapat dilakukan. Pengambilan titik tinggi tersebut dilakukan pada lokasi-lokasi yang relatif tetap dan tidak mengalami banyak perubahan elevasi secara vertikal.

24

Gambar 5. DEM hasil pengolahan data citra satelit ALOS PALSAR

menggunakan metode InSAR. (A) DEM PALSAR dengan akusisi sebelum dan (B) DEM PALSAR dengan akusisi sesudah erupsi Merapi 2010

Gambar 6. Perbedaan nilai ketinggian antara data DEM PALSAR dengan data referensi peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) di daerah penelitian. (A) Akusisi data DEM PALSAR sebelum erupsi Merapi 2010. (B) Akusisi data DEM PALSAR sesudah erupsi Merapi 2010

Selain itu, pemilihan lokasi juga dilakukan pada daerah yang relatif terbuka untuk menghindari adanya bias ketinggian akibat pengaruh tutupan vegetasi atau lahan terbangun lainnya. Hal ini dilakukan karena adanya perbedaan akusisi antara data referensi yang digunakan dengan data DEM PALSAR hasil

25 dari penelitian ini. Gambar 6 menunjukkan perbedaan nilai ketinggian antara data DEM PALSAR dengan nilai titik tinggi pada data referensi peta RBI. Perubahan kondisi topografi akibat erupsi Merapi 2010 dalam penelitian ini dapat diketahui dengan membuat penampang melintang atau profil secara vertikal pada data DEM PALSAR dengan akusisi sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010. Beberapa lokasi penampang melintang tersebut dapat disajikan dalam Gambar 7 dan secara detil hasil ekstraksi penampang melintang pada profile P1 – P5 dapat disajikan dalam Gambar 8 dan Tabel 9.

Gambar 7. (A) dan (B) lokasi penampang melintang (profile P1 – P5) untuk mengetahui perubahan topografi di daerah penelitian akibat erupsi Merapi 2010. Batas warna kuning menunjukkan distribusi delineasi material piroklastik erupsi Merapi 2010. (A) Citra satelit ASTER tanggal 15 November 2010, dan (B) DEM PALSAR sesudah erupsi Merapi 2010. Pada citra ASTER unsur warna dapat menunjukkan persebaran endapan piroklastik 2010, sedangkan pada DEM PALSAR unsur tekstur yang dapat menunjukkan persebaran tersebut.

Tabel 9.Estimasi perubahan kondisi topografi sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010 pada penampang melintang P1, P2, P3, P4 dan P5 di daerah

penelitian

Profile Perubahan elevasi DEM (dalam meter)

1 2 3 4

P1 0(A) +40(A) -30(A) +60(A)

P2 0(B) +15(B) +18(B) +20(B)

P3 +7(C) +5(C) +8(C) +9(C)

P4 +5(D) +20(D) +20(D) +3(D)

P5 +20(E) +15(E) -10(E) +5(E)

26

Gambar 8. Ekstraksi penampang melintang data DEM PALSAR sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010. (A) Profil P1, (B) Profil P2, (C) Profil P3, (D) Profil P4, dan (E) Profil P5

27

Gambar 9. Sedimentasi (deposits) aliran piroklastik erupsi Merapi 2010. (A) Inset lokasi survei lapangan yang dilakukan oleh Charbonnier et al. 2013. (B) Lokasi Gend 3, (C) Gend 1, (D) Opak 1, dan (E) Kepu.

Keterangan: m: Massive, B: Block, L: Lapilli, dan A: Ash deposits

(Sumber: Charbonnier et al. 2013)

Secara umum, hasil analisis perubahan kondisi topografi di daerah penelitian sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010 menunjukkan adanya perubahan yang disebabkan oleh proses penambahan elevasi ketinggian akibat sedimentasi atau pengendapan material piroklastik dan pengurangan akibat proses penggerusan atau erosi. Nilai perubahan (+) pada profil P1 (A2, A4), profil P2 (B2, B3, B4), profil P3 (C1, C2, C3, C4), profil P4 (D1, D2, D3, D4), dan profil P5 (E1, E2, E4) menunjukkan adanya penambahan elevasi ketinggian akibat proses pengendapan material piroklastik akibat erupsi Merapi 2010. Nilai pengurangan (-) pada profil P1 (A3) dan profil P5 (E3) menunjukkan adanya penurunan elevasi karena adanya proses penggerusan atau erosi dan hanyutnya material yang ada di permukaan karena terbawa oleh aliran air hujan (proses fluvial). Nilai (0) pada profil P1 (A1) dan profil P2 (B1) menunjukkan tidak

28

adanya perubahan kondisi topografi selama periode sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010.

Tabel 10. Komposisi deposit material erupsi Merapi 2010 pada 4 (empat) phase

erupsi 1, 2, 3 dan 4 (Sumber: Modifikasi dari Charbonnier et al. (2013))

Phase erupsi Komposisi deposit material erupsi Keterangan 1: 26-19 Okt 2010 Deposit massive Block, Lapilli dan

Ash dengan ketebalan lapisan lebih dari 4 meter (survei lapangan)

Gend3-5 dan

Opak1

2: 30 Okt-03 Nov 2010 Deposit Lapilli dan Ash dengan ketebalan lapisan lebih dari 4 meter (survei lapangan)

Deposit massive Block, Lapilli dan

Ash dengan ketebalan lapisan lebih dari 7 meter

Komposisi deposit massive Block, Lapilli dan Ash dengan ketebalan lapisan lebih dari 10 meter (survei lapangan)

S5, Gend2 dan 13, Opak1, Kali, Kop, Bak1

Gend3-6-7-8-15, Opak1-2, Kali Gend3 dan 16, Opak1, Pet, Kop, Kepu, Bak2 3: 4-5 Nov 2010

Deposit massive Block, Lapilli dan

Ash dengan ketebalan lapisan lebih dari 5 meter

Komposisi deposit massive Block, Lapilli dan Ash dengan ketebalan lapisan lebih dari 4 meter (survei lapangan)

Gend2-3

Gend1-2-3-4

4: 6-23 Nov 2010

Deposit Lapilli dan Ash dengan ketebalan lapisan lebih dari 7 meter (survei lapangan)

Deposit massive Block, Lapilli dan

Ash dengan ketebalan lapisan lebih dari 15 meter (survei lapangan)

S1-2-3-4-6, Kali, Opak1

Gend1-3-4

Menurut Charbonnier et al. (2013), erupsi Merapi 2010 telah mengakibatkan perubahan kondisi topografi di daerah penelitian, karena adanya proses sedimentasi (deposits) material piroklastik. Gambar 9 menunjukkan sedimentasi aliran piroklastik erupsi Merapi 2010 dengan jenis dan ukuran

29

massive block hingga ash deposits. Sedimentasi aliran piroklastik tersebut menurut BGVN (2011), Pallister et al. (2013), Surono et al. (2012), Charbonnier

et al. (2013) dan berdasarkan catatan kejadian erupsi Merapi 2010 terbentuk dalam rentang 4 (empat) phase erupsi, yaitu: Phase 1: 26-19 Oktober 2010, Phase

2: 30 Oktober – 03 November 2010, Phase 3: 4-5 November 2010, dan Phase 4: 6-23 November 2010. Komposisi material erupsi tersebut terbentuk dalam kombinasi campuran jenis dan ukuran, seperti: mBLA (Massive Blocks, Lapilli

dan Ash); mLA (Massive Lapilli dan Ash); csLA (cross-stratified Lapilli dan Ash); sLA (stratified Lapilli dan Ash) and mA (Massive Ash). Ketebalan sedimentasi relatif bervariasi seperti yang disajikan dalam Gambar 9 dan Tabel 10.

Hasil analisis estimasi perubahan kondisi topografi sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010 pada penampang melintang P1, P2, P3, P4 dan P5 pada Tabel 9 dan Gambar 8 yang telah dihasilkan dalam penelitian ini, menunjukkan adanya variasi nilai ketebalan sedimentasi atau deposit yang nilainya hampir sama dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Charbonnier et al. (2013). Berdasarkan survei lapangan pada beberapa lokasi seperti yang disajikan pada Gambar 6. Hasil penelitian ini tidak menunjukkan perbandingan akumulasi deposit material erupsi Merapi 2010 pada 4 (empat) phase seperti yang telah dilakukan oleh Charbonnier

et al. (2013), melainkan hanya dapat menunjukkan akumulasi deposit material erupsi Merapi 2010 secara umum berdasarkan perbandingan antara data DEM PALSAR pada akusisi sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010.

Prediksi Arah Aliran Piroklastik Pasca Erupsi Merapi 2010

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa erupsi Merapi 2010 telah menyebabkan perubahan kondisi topografi di daerah penelitian. Adanya perubahan tersebut, tentunya dapat mempengaruhi arah aliran piroklastik berikutnya, apabila terjadi erupsi di waktu yang akan datang (dalam hal ini disebut sebagai pasca erupsi Merapi 2010). Hal ini dikarenakan material padat aliran piroklastik arahnya ditentukan dan dikontrol oleh kondisi topografi. Oleh karena itu, prediksi arah aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 penting dilakukan untuk memprediksi bahaya aliran piroklastik di waktu yang akan datang akibat perubahan kondisi topografi. Evaluasi hasil dari penggunaan algoritma Monte Carlo perlu dilakukan yaitu dengan mensimulasikan arah aliran piroklastik pada saat erupsi Merapi 2010. Dengan demikian gambaran dari penggunaan metode algoritma Monte Carlo pada software VORIS dalam mensimulasikan aliran piroklastik tersebut dapat diketahui dan dievaluasi.

Hasil simulasi dari penggunaan algoritma Monte Carlo untuk erupsi Merapi 2010 dapat disajikan dalam Gambar 10 – 14. Simulasi tersebut dilakukan berdasarkan skenario pada koreksi ketinggian (hc) antara 1-5 m. Hasil perhitungan

overall accuracy cross-correlation matrix antara peta simulasi dengan peta referensi secara umum disajikan dalam Tabel 11 – 15, sedangkan detail perhitungannya disajikan dalam Lampiran 2. Secara spasial, peluang aliran piroklastik dapat digambarkan pada rentang nilai antara 0 hingga 1. Peluang aliran mendekati nilai 1 (legenda: warna merah) menunjukkan bahwa aliran piroklastik mempunyai peluang besar untuk terjadi dan meluncur di lokasi tersebut di lereng Merapi. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut posisi sel piksel mampu mengalirkan dari satu sel piksel ke delapan piksel lainnya dengan selisih

30

ketinggian topografi DEM bernilai positif. Sedangkan, pada peluang aliran piroklastik mendekati angka 0 (legenda: warna biru) mempunyai peluang kecil untuk terjadi dan meluncur di lokasi tersebut di lereng Merapi. Hal ini disebabkan selisih ketinggian topografi pada sel piksel yang bertetanggaan cenderung mendekati nilai nol (0) hingga negatif, sehingga peluang terjadinya aliran menjadi lemah. Hasil perhitungan overall accuracy menunjukkan bahwa adanya koreksi ketinggian (hc) pada data DEM memberikan pengaruh terhadap distribusi peluang aliran piroklastik di daerah penelitian. Pada koreksi ketinggian (hc) = 1, 2, 3, 4 dan 5 m, besarnya overall accuracy berturut-turut adalah 76.38, 77.38, 77.00, 77.75, dan 77.25%. Dari nilai-nilai tersebut, hc = 4 m pada skenario tersebut dapat memberikan nilai akurasi terbaik dalam menggambarkan kondisi phase erupsi Merapi 2010 jika dibandingkan dengan hc = 1, 2, 3 dan 5 m.

Tabel 11. Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix antara peta simulasi dengan peta referensi berdasarkan koreksi ketinggian (hc = 1 m)

Perhitungan (%)

Phase erupsi Merapi 2010

Rata-rata total (%) 1 2 3 4 Rata-rata akurasi 72.00 72.00 61.00 77.00 70.50 Rata-rata reliabilitas 82.00 82.00 92.00 73.00 82.25 Overall accuracy 77.00 77.00 76.50 75.00 76.38

Tabel 12. Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix antara peta model dengan peta referensi berdasarkan koreksi ketinggian (hc = 2 m)

Perhitungan (%)

Phase erupsi Merapi 2010

Rata-rata total (%) 1 2 3 4 Rata-rata akurasi 74.00 74.00 61.00 81.00 72.50 Rata-rata reliabilitas 83.00 81.00 93.00 72.00 82.25 Overall accuracy 78.50 77.50 77.00 76.50 77.38

31 Tabel 13. Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix antara peta

model dengan peta referensi berdasarkan koreksi ketinggian (hc = 3 m)

Perhitungan (%)

Phase erupsi Merapi 2010

Rata-rata total (%) 1 2 3 4 Rata-rata akurasi 73.00 74.00 67.00 80.00 73.50 Rata-rata reliabilitas 82.00 83.00 85.00 72.00 80.50 Overall accuracy 77.50 78.50 76.00 76.00 77.00

Tabel 14. Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix antara peta model dengan peta referensi berdasarkan koreksi ketinggian (hc = 4 m)

Perhitungan (%)

Phase erupsi Merapi 2010

Rata-rata total (%) 1 2 3 4 Rata-rata akurasi 72.00 75.00 68.00 79.00 73.50 Rata-rata reliabilitas 82.00 84.00 89.00 73.00 82.00 Overall accuracy 77.00 79.50 78.50 76.00 77.75

Tabel 15. Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix antara peta model dengan peta referensi berdasarkan koreksi ketinggian (hc = 5 m)

Perhitungan (%)

Phase erupsi Merapi 2010

Rata-rata total (%) 1 2 3 4 Rata-rata akurasi 72.00 72.00 68.00 77.00 72.25 Rata-rata reliabilitas 82.00 82.00 92.00 73.00 82.25 Overall accuracy 77.00 77.00 80.00 75.00 77.25

32

Gambar 10. Hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan koreksi ketinggian hc = 1 m. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010

33

Gambar 11. Hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan koreksi ketinggian hc = 2 m. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010

34

Gambar 12. Hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan koreksi ketinggian hc = 3 m. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010

35

Gambar 13. Hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan koreksi ketinggian hc = 4 m. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010

36

Gambar 14. Hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan koreksi ketinggian hc = 5 m. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010

37 Pada penelitian ini, skenario aliran piroklastik pasca erupsi Merapi dibuat berdasarkan tingkat volume erupsi, yaitu berupa Volcanic Explosivity Index (VEI)

pada skala 1, 2, 3 dan 4 dengan variasi maximum flow length adalah 5, 10, 15 dan 20 km (Tabel 16). Koreksi ketinggian hc = 4 m dipilih berdasarkan skenario terbaik pada perhitungan overall accuracy phase erupsi Merapi 2010. Pemilihan skala VEI tersebut didasarkan pada catatan sejarah dari erupsi Merapi. Seperti yang dicatat oleh Borisova et al. (2013) yang menyatakan bahwa sejarah indeks erupsi Merapi terletak pada rentang skala VEI 1 hingga 4 dari tahun 1822 – 2010. Pada tahun 2010, menurut Surono et al. (2012) erupsi eksplosif Merapi merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Merapi, yaitu dengan skala VEI =4.

Tabel 16. Parameter input algoritma Monte Carlo untuk mensimulasikan prediksi peluang aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010

VEI Topografi Volume

(m3) Panjang aliran maksimum (km) Lokasi vent (X;Y) Koreksi ketinggian (m) 1 DEM PALSAR 10 x 105 5 – 20 439093; 9166128 4 2 DEM PALSAR 10 x 106 5 – 20 439093; 9166128 4 3 DEM PALSAR 10 x 107 5 – 20 439093; 9166128 4 4 DEM PALSAR 10 x 108 5 – 20 439093; 9166128 4

Keterangan: DEM PALSAR: post-erupsi Merapi 2010, Volume: menentukan jumlah iterasi ideal

Hasil dari prediksi simulasi aliran piroklastik ditunjukkan pada Gambar 15 – 18, sedangkan perbandingan distribusi material piroklastik antara erupsi Merapi 2010 dengan hasil prediksi pasca erupsi Merapi 2010 ditunjukkan pada Gambar 19. Dari perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa kejadian erupsi Merapi 2010 mirip dengan prediksi yang dilakukan, yaitu: pada skala VEI 4, koreksi ketinggian hc=4 m, dan panjang aliran maksimum 20 km. Pada kondisi erupsi Merapi 2010 aliran piroklastik sebagian besar mengarah ke Sungai Gendol hingga menempuh jarak lebih dari 15 km dari puncak Merapi, sedangkan aliran yang menuju ke arah Sungai Opak hanya menempuh jarak hingga 8 km dari puncak Merapi. Namun, akibat adanya perubahan kondisi topografi pasca erupsi Merapi 2010, diprediksi bahwa peluang utama aliran piroklastik tetap mengarah ke Sungai Gendol dan Sungai Opak hingga radius berturut-turut 8 km dan 10 km, dan tetap mempunyai peluang kecil ke arah Sungai Woro dengan jarak 5 km dari puncak Merapi.

38

Gambar 15. Prediksi simulasi aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI) – 1 dan koreksi ketinggian hc = 4 m. (A) Flow length maksimum: 5 km, (B) Flow length maksimum: 10 km, (C) Flow length maksimum: 15 km, dan (D) Flow length maksimum: 20 km

39

Gambar 16. Prediksi simulasi aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI) – 2 dan koreksi ketinggian hc = 4 m. (A) Flow length maksimum: 5 km, (B) Flow length maksimum: 10 km, (C) Flow length maksimum: 15 km, dan (D) Flow length maksimum: 20 km

40

Gambar 17. Prediksi simulasi aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI) – 3 dan koreksi ketinggian hc = 4 m. (A) Flow length maksimum: 5 km, (B) Flow length maksimum: 10 km, (C) Flow length maksimum: 15 km, dan (D) Flow length maksimum: 20 km

41

Gambar 18. Prediksi simulasi aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI) – 4 dan koreksi ketinggian hc = 4 m. (A) Flow length maksimum: 5 km, (B) Flow length maksimum: 10 km, (C) Flow length maksimum: 15 km, dan (D) Flow length maksimum: 20 km

42

Gambar 19. Perbandingan distribusi deposit material piroklastik erupsi Merapi 2010 dengan hasil prediksi peluang aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010. Dibuat berdasarkan simulasi algoritma Monte Carlo

pada software VORIS dengan input topografi DEM PALSAR pasca erupsi Merapi 2010 pada skala VEI – 4, koreksi ketinggian hc=4 m dan flow length maksimum: 20 km.

Pada prediksi utama aliran pasca erupsi Merapi 2010 ini, tampak bahwa kewaspadaan terhadap aliran yang mengarah ke Sungai Opak perlu ditingkatkan hingga radius lebih dari 10 km dari puncak Merapi. Peluang ini tampaknya jika dibandingkan dengan peluang aliran yang mengarah ke Sungai Gendol (Gambar 18 – 19). Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan arah aliran tersebut, dikarenakan adanya perubahan topografi permukaan yang menutup alur Sungai Gendol, sehingga membuka peluang aliran ke arah Sungai Opak. Faktor lainnya, seperti: tutupan vegetasi, area permukiman ataupun penggunaan lahan lainnya akan cenderung diabaikan sebagai faktor penghambat aliran piroklastik. Hal ini terjadi karena sifat dari aliran piroklastik yang cenderung merusak, memiliki temperatur tinggi dan kecepatan meluncur yang tinggi akan mudah melewati beberapa objek yang ada disekitarnya.

Dalam penelitian ini, algoritma Monte Carlo telah digunakan untuk menghasilkan peluang aliran piroklastik. Meskipun, pada awalnya penggunaan algoritma ini digunakan untuk mensimulasikan aliran lava, penerapannya dapat

43 digunakan untuk mereproduksi dan memprediksi simulasi aliran piroklastik. Pada kenyataannya, secara konseptual aliran lava dan aliran piroklastik memiliki karakteristik yang berbeda. Aliran piroklastik dapat terjadi pada letusan gunungapi dengan karakteristik eksplosif (explosive), sedangkan, aliran lava dapat terjadi pada letusan gunungapi dengan karakteristik efusif (effusive) (Lavigne et al.

2000). Keduanya merupakan produk dari letusan gunungapi, yang alirannya terkontrol oleh faktor topografi (Connor et al. 2012). Mekanisme aliran piroklastik dipengaruhi oleh interaksi bahan padat, cair, dan gas yang bercampur dan dilepaskan mengalir dengan fragmentasi vesikular, dimana tekanan fluida dalam aliran piroklastik dapat menghilang jauh lebih cepat daripada aliran lava karena viskositas gas yang rendah (Widiwijayanti el at. 2009). Sementara itu, aliran lava merupakan bentuk aliran dinamis dari batuan cair yang terjadi selama letusan, ketika panas kandungan gas yang relatif sedikit dan mudah menguap ketika sudah mencapai permukaan (Kilburn & Luongo 1993; Connor et al. 2012;. Widiwijayanti et al. 2009).

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa keterbatasan yang dapat disampaikan terkait penggunaan metode dalam penelitian ini untuk memetakan aliran piroklastik. Meskipun, metode yang digunakan adalah cepat dan objektif untuk memproduksi aliran piroklastik, namun terdapat beberapa keterbatasan yang dapat ditunjukkan dalam penelitian ini. Secara umum, hasil algoritma Monte Carlo dapat digunakan untuk mereproduksi aliran piroklastik pada kejadian erupsi Merapi 2010 yang dapat menunjukkan nilai peluang tinggi (warna merah). Namun, dari hasil simulasi terlihat adanya arus aliran yang muncul sebagai bahaya di luar peta referensi. Arah aliran tersebut cenderung menuju ke arah Sungai Opak, Woro dan Kuning dengan peluang rendah (warna biru). Hal ini menunjukkan bahwa peluang tinggi yang dihasilkan oleh algoritma Monte Carlo tampak terlihat dapat menggambarkan skenario kondisi erupsi Merapi 2010. Sementara itu, peluang rendah menunjukkan adanya kemungkinan peluang bahaya yang dapat mengalir ke tempat lain. Nilai peluang tinggi cenderung menunjukkan adanya aliran bahan padat dari material piroklastik (mirip dengan peta referensi). Ketersediaan update

data DEM sangat penting diperlukan, sebagai faktor utama yang akan mengendalikan jalannya aliran piroklastik dan dapat mempengaruhi tingkat akurasi hasil simulasi untuk pemetaan bahaya vulkanik. Penggunaan metode ini memiliki keuntungan relatif cepat dalam proses, karena tidak diperlukan banyak parameter serta tidak menuntut kemampuan komputasi bagi penggunanya. Hal ini sangat cocok diterapkan dalam kegiatan pengelolaan bencana untuk pemetaan yang cepat dan direkomendasikan untuk memprediksi kemungkinan adanya bahaya erupsi, seperti yang ditunjukkan oleh arus aliran yang terprediksi. Keterbatasan model ini adalah: a) model yang dihasilkan bersifat statis, yang berarti bahwa dinamika perjalanan waktu tidak dipertimbangkan dalam model ini, b) model yang dihasilkan hanya menyajikan kemungkinan aliran, sehingga bukan informasi dinamika waktu dan kedalaman aliran piroklastik, c) akurasi model yang dihasilkan tergantung pada kondisi data DEM dan parameter yang digunakan untuk simulasi.

44

Analisis Kerentanan dan Risiko Vulkanik Pasca Erupsi Merapi 2010 Analisis Kerentanan

Kerentanan Fisik (VF) ditentukan berdasarkan indikator dari ketersediaan Fasilitas Umum (FU), Fasilitas Transportasi (ST), dan Penggunaan Lahan (PL) (dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai area permukiman atau lahan terbangun). Pada indikator ketersediaan Fasilitas Umum (FU), hasil zonasi keterkaitan jarak antar sub-indikator yang diperhitungkan dengan menggunakan fungsi jarak (Euclidean Distance) dalam analisis spasial (pada setiap sel piksel objek dengan posisi sumbu x dan y) disajikan dalam Gambar 20. Gambar tersebut menunjukkan zonasi pada (a) sub-indikator fasilitas kesehatan, (b) fasilitas pendidikan atau sekolah, (c) fasilitas perdagangan, (d) fasilitas peribadatan, (e) fasilitas perkantoran, (f) fasilitas telekomunikasi.

Pembobotan pada setiap sub-indikator ketersediaan Fasilitas Umum dengan menggunakan metode PB oleh beberapa pakar ahli (responden) menghasilkan bobot pada setiap sub-indikator seperti yang disajikan dalam Tabel 17. Dari hasil pembobotan pada Tabel 17, terlihat bahwa fasilitas kesehatan merupakan kriteria paling penting (bobot tertinggi) dengan nilai 0.30 pada skala maksimal 1 yang mempengaruhi analisis ketersediaan Fasilitas Umum di daerah penelitian. Urutan selanjutnya adalah fasilitas pendidikan, telekomunikasi, perdagangan, perkantoran, dan peribadatan, berturut-turut mempunyai nilai bobot sebesar 0.20, 0.15, 0.13, 0.12, dan 0.09.

Tabel 17. Matriks penilaian komposit dan perhitungan nilai Consistency Ratio (CR) pada bobot sub-indikator ketersediaan Fasilitas Umum di daerah penelitian

Sub-indikator FKES FPED FDAG FIBD FKAT FKOM Bobot (G) (CR)

FKES 1.00 1.49 2.29 3.26 2.50 2.05 0.30 0.00 FPED 0.67 1.00 1.53 2.18 1.67 1.37 0.20 FDAG 0.44 0.65 1.00 1.42 1.09 0.90 0.13 FIBD 0.31 0.46 0.70 1.00 0.77 0.63 0.09 FKAT 0.40 0.60 0.92 1.31 1.00 0.82 0.12 FKOM 0.49 0.73 1.12 1.59 1.22 1.00 0.15

Keterangan: FKES: fasilitas kesehatan, FPED: fasilitas pendidikan (sekolah), FDAG: fasilitas perdagangan, FIBD: fasilitas peribadatan, FKAT: fasilitas perkantoran, dan FKOM: fasilitas telekomunikasi. CR: Consistency Ratio.

45

Gambar 20. Zonasi keterkaitan jarak antar masing-masing indikator pada Fasilitas Umum di daerah penelitian.

Berdasarkan mekanisme pembobotan tersebut, maka analisis kerentanan ketersediaan Fasilitas Umum di daerah penelitian dapat diperhitungkan dengan menggunakan formula FU = (0.30 * FKES) + (0.20 * FPED) + (0.13 * FDAG) + (0.09 * FIBD) + (0.12 * FKAT) + (0.15 * FKOM). Hasil perhitungan tersebut melalui proses tumpang susun atau overlay secara spasial disajikan pada Gambar 21. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa semakin besar nilai absolut mendekati 1, maka konstribusi kerentanan ketersediaan Fasilitas Umum akan semakin tinggi, sedangkan semakin kecil nilai absolut mendekati 0, maka konstribusinya terhadap Kerentanan Fisik akan semakin rendah. Secara umum, beberapa lokasi yang memiliki konstribusi kerentanan fasilitas umum tinggi berada di pusat-pusat kota/kecamatan yang tidak jauh dari akses jalan primer, seperti: Pakem, Sleman, Ngaglik, Minggir, Mlati dan Ngemplak (Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta), Ngluwar, Muntilan, Mungkid, Tegalrejo, Dukuh, Sawangan, Pakis, dan Secang (Kabupaten Magelang, Jawa Tengah), Tengaran, Boyolali, dan Cepogo (Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah), Ngawen, Jogonalan, Manisrenggo, Karangnongko, Jatinom, Musuk, Kemalang, dan Tulung (Kabupaten Klaten, Jawa Tangah). Adapun, beberapa lokasi yang memiliki konstribusi kerentanan Fasilitas Umum rendah terletak jauh dari pusat-pusat kota/kecamatan, seperti: Kecamatan Cangkringan, Pakem, Turi (Kabupaten Sleman, Provinci D.I. Yogyakarta) pada bagian hulu yang berdekatan dengan puncak Merapi. Kecamatan Srumbung, Dukun (Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah) pada bagian hulu yang

46

berdekatan dengan puncak Merapi. Kecamatan Selo, Cepogo, Musuk (Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah) pada bagian hulu yang berdekatan dengan puncak Merapi. Kecamatan Kemalang (Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah).

Gambar 21. Zonasi perhitungan total parameter Fasilitas Umum (FU) Hasil zonasi keterkaitan jarak pada sub-indikator Fasilitas Transportasi dalam analisis spasial disajikan dalam Gambar 22. Pada Gambar 22 menunjukkan

Dokumen terkait