• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Risiko Aliran Piroklastik Gunungapi Merapi Pasca Erupsi 2010 Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Risiko Aliran Piroklastik Gunungapi Merapi Pasca Erupsi 2010 Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RISIKO ALIRAN PIROKLASTIK

GUNUNGAPI MERAPI PASCA ERUPSI 2010

MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH

DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

FAJAR YULIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Risiko Aliran Piroklastik Gunungapi Merapi Pasca Erupsi 2010 Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

FAJAR YULIANTO. Analisis Risiko Aliran Piroklastik Gunungapi Merapi Pasca Erupsi 2010 Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan SYAIFUL ANWAR.

Kejadian erupsi Merapi pada 26 Oktober – 23 November 2010 telah menyebabkan terjadinya kerusakan lahan pada lingkungan sekitarnya. Selain itu, juga telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda. Banyaknya material erupsi yang dikeluarkan berupa endapan piroklastik telah merubah dan menutup kondisi topografi permukaan di sekitar lereng Merapi. Perubahan morfologi pada puncak dan topografi di sekitar lereng Merapi pasca erupsi 2010 dapat membuka peluang potensi aliran piroklastik dengan arah yang berbeda dari kondisi sebelumnya. Selain itu, kondisi tersebut juga dapat mempengaruhi besarnya risiko yang ditimbulkan di daerah sekitarnya.

Pada penelitian ini, analisis perubahan kondisi topografi akibat erupsi Merapi 2010, dilakukan dengan membandingkan data Digital Elevation Model (DEM) pada saat sebelum (pre-) dan sesudah (post-) kejadian erupsi. Pendekatan metode Interferometri Synthetic Aperture Radar (InSAR) telah digunakan dalam penelitian ini untuk menghasilkan data DEM. Pengolahan metode InSAR diterapkan pada data citra satelit Advanced Land Observing Phased Array L-Band Synthetic Aperture Radar - ALOS PALSAR level 1.0 (raw data) dengan referensi ketinggian data DEM SRTM resolusi 30 m. Prediksi arah aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana aliran piroklastik dapat terjadi akibat perubahan kondisi topografi. Penggunaan algoritma Monte Carlo pada software Volcanic Risk Information System (VORIS) dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) diterapkan dalam penelitian ini untuk mengetahui arah aliran piroklastik. Akibat adanya perubahan kondisi topografi pasca erupsi Merapi 2010, dapat diprediksi bahwa peluang utama aliran piroklastik memiliki kecenderungan mengarah ke Sungai Gendol dan Sungai Opak hingga menempuh jarak radius berturut-turut adalah 8 km dan 10 km, dan menyebar dengan peluang kecil ke arah Sungai Woro dengan jarak 5 km dari puncak Merapi. Peta Kerentanan Vulkanik ditentukan berdasarkan Analisis Multi Kriteria (AMK) dari penggabungan antara aspek Fisik (F), Sosial (S), Ekonomi (E) dan Lingkungan (L) di daerah penelitian. Mekanisme pembobotan yang dilakukan berdasarkan Proses Hierarki Analisis (PHA) pada metode Perbandingan Berpasangan (PB), menghasilkan formula Volc_Vulnb = ((0.31 * F) + (0.34 * S) + (0.20 * E) + (0.16 * L)). Analisis risiko vulkanik pasca erupsi Merapi 2010 secara skematis dapat ditentukan berdasarkan kombinasi antara peta bahaya vulkanik dan peta kerentanan vulkanik. Bedasarkan peta bahaya hasil prediksi aliran piroklastik, potensi risiko tinggi hingga sangat tinggi terdapat pada daerah di sepanjang Sungai Opak sampai dengan jarak radius 10 km dari puncak Merapi dan sepanjang Sungai Gendol dengan jarak radius sekitar 7 km dari puncak Merapi.

(5)

SUMMARY

FAJAR YULIANTO. Risk analysis of pyroclastic flows of the 2010 post- eruption of Merapi volcano using remotely sensed data and Geographic Information Systems, Supervised by: BOEDI TJAHJONO and SYAIFUL ANWAR.

Merapi volcano eruptions on 20 October - 23 November 2010 have been caused the land degradation in the surrounding area. In addition, it has also resulted in loss of life and property loss. The amount of material erupted, which was issued in the form of pyroclastic deposits have been changed and close the surface topography on the slopes of Merapi. Morphological changes in the summit and slopes of Merapi, post of the 2010 eruption could open up opportunities pyroclastic flows in different directions of the previous conditions. In addition, these conditions may also affect the magnitude of the risk posed in the surrounding area.

In this research, the analysis of changes in topography caused by the 2010 eruption of Merapi volcano, has been done by comparing the Digital Elevation Model (DEM) data on the conditions pre- and post-eruptions. Method of Interferometry Synthetic Aperture Radar (InSAR) has been used in this research to generate DEM data. InSAR processing methods applied to the Advanced Land Observing Phased Array L-Band Synthetic Aperture Radar - ALOS PALSAR level 1.0 (raw data) with reference altitude is DEM SRTM data, which has a resolution of 30 m. The prediction of the pyroclastic flow direction of the 2010 post-eruption of Merapi volcano needs to be conducted to determine the extent of pyroclastic flows caused by changes topographic conditions. The use of Monte Carlo algorithms in software Volcanic Risk Information System (VORIS) – Geographic Information System (GIS) has been applied in this research to know the direction of pyroclastic flows. The post-eruption conditions due to changes in topography, can be predicted that the main opportunities flows have a tendency vulnerability maps. Based on the prediction of the pyroclastic flow map, there is a potential high risk areas along the Opak river up to a distance of 10 km from the peak of Merapi and Gendol river along with a radius of about 7 km from the peak of Merapi.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

ANALISIS RISIKO ALIRAN PIROKLASTIK

GUNUNGAPI MERAPI PASCA ERUPSI 2010

MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH

DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Risiko Aliran Piroklastik Gunungapi Merapi Pasca Erupsi 2010 Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Nama : Fajar Yulianto NIM : A153120061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Boedi Tjahjono, MSc Ketua

Dr Ir Syaiful Anwar, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

Dr Boedi Tjahjono, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan Februari - Juli 2014 adalah Analisis Risiko Aliran Piroklastik Gunungapi Merapi Pasca Erupsi 2010 Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Boedi Tjahjono, MSc dan Dr Ir Syaiful Anwar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan motivasi, arahan kepada penulis selama menjalani penelitian tesis. Terimakasih kepada Dr Baba Barus, MSc selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah memberikan beasiswa pendidikan sekolah pascasarjana dan ketersediaan data penginderaan jauh untuk penyusunan tesis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 3

METODE 7

Kerangka Penelitian 7

Lokasi Penelitian 8

Bahan dan Alat Penelitian 9

Metodologi Penelitian 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Model topografi sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010 23 Prediksi arah aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 29 Analisis kerentanan dan risiko vulkanik pasca erupsi Merapi

2010 44

SIMPULAN DAN SARAN 86

Simpulan 86

Saran 86

DAFTAR PUSTAKA 87

LAMPIRAN 92

(12)

DAFTAR TABEL

1 Data-data yang dipergunakan dalam penelitian 10

2 Parameter input algoritma Monte Carlo untuk mensimulasikan peluang aliran piroklastik erupsi Merapi 2010 (Sumber: Charbonnier et al. (2013))

13

3 Skala nilai kepentingan untuk metode Perbandingan Berpasangan (PB) 15 4 Nilai Random Index (RI) pada berbagai tingkatan order (Sattry &

Sodenkamp 2008)

17 5 Indikator dalam menentukan Kerentanan Fisik di daerah penelitian

(BNPB 2012)

18 6 Indikator dalam menentukan Kerentanan Sosial di daerah penelitian

(BNPB 2012)

21 7 Indikator dalam menentukan Kerentanan Ekonomi di daerah penelitian

(BNPB 2012)

22 8 Indikator dalam menentukan Kerentanan Lingkungan di daerah

penelitian (BNPB 2012)

22 9 Estimasi perubahan kondisi topografi sebelum dan sesudah erupsi

Merapi 2010 pada penampang melintang P1, P2, P3, P4 dan P5 di daerah penelitian

25

10 Komposisi deposit material erupsi Merapi 2010 pada 4 (empat) phase erupsi 1, 2, 3 dan 4 (Sumber: Modifikasi dari Charbonnier et al. (2013))

28 11 Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix antara peta

model dengan peta referensi berdasarkan koreksi ketinggian (hc = 1 m) 30 12 Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix antara peta

model dengan peta referensi berdasarkan koreksi ketinggian (hc = 2 m) 30 13 Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix antara peta

model dengan peta referensi berdasarkan koreksi ketinggian (hc = 3 m) 31 14 Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix antara peta

model dengan peta referensi berdasarkan koreksi ketinggian (hc = 4 m) 31 15 Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix antara peta

model dengan peta referensi berdasarkan koreksi ketinggian (hc = 5 m) 31 16 Parameter input algoritma Monte Carlo untuk mensimulasikan

prediksi peluang aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010

37 17 Matriks penilaian komposit dan perhitungan nilai Consistency Ratio

(CR) pada bobot sub-indikator ketersediaan Fasilitas Umum di daerah penelitian

44

18 Matriks penilaian komposit dan perhitungan nilai Consistency Ratio (CR) pada bobot sub-indikator ketersediaan Fasilitas Transportasi di daerah penelitian

47

19 Matriks penilaian komposit dan perhitungan nilai Consistency Ratio (CR) pada bobot indikator Kerentanan Fisik di daerah penelitian

49 20 Perhitungan akurasi, reliabilitas menggunakan cross-correlation matrix

peta indeks IBI dan peta referensi pada lokasi A di daerah penelitian

53 21 Perhitungan akurasi, reliabilitas menggunakan cross-correlation matrix

peta indeks IBI dan peta referensi pada lokasi B di daerah penelitian

(13)

22 Perhitungan akurasi, reliabilitas menggunakan cross-correlation matrix peta indeks IBI dan peta referensi pada lokasi C di daerah penelitian

54 23 Perhitungan akurasi, reliabilitas menggunakan cross-correlation matrix

peta indeks IBI dan peta referensi pada lokasi D di daerah penelitian

54 24 Rekapitulasi akurasi, reliabilitas dan overall accuracy menggunakan

cross-correlation matrix peta indeks IBI dan peta referensi di daerah penelitian

54

25 Hasil perhitungan error analysis distribusi populasi menggunakan Root Mean Square Error (RMSE) dan Population Distribution Error (PDE)

55 26 Matriks penilaian komposit dan perhitungan nilai Consistency Ratio

(CR) pada bobot indikator Kerentanan Sosial di daerah penelitian

58 27 Estimasi perhitungan nilai luas lahan produktif dan PDRB di

Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Sumber: Kabupaten Dalam Angka, BPS 2013)

61

28 Estimasi perhitungan nilai luas lahan produktif dan PDRB di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah (Sumber: Kabupaten Dalam Angka, BPS 2013)

62

29 Estimasi perhitungan nilai luas lahan produktif dan PDRB di

Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah (Sumber: Kabupaten Dalam Angka, BPS 2013)

63

30 Estimasi perhitungan nilai luas lahan produktif dan PDRB di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah (Sumber: Kabupaten Dalam Angka, BPS 2013)

63

31 Matriks penilaian komposit dan perhitungan nilai Consistency Ratio (CR) pada bobot indikator Kerentanan Ekonomi di daerah penelitian

65 32 Matriks penilaian komposit dan perhitungan nilai Consistency Ratio

(CR) pada bobot indikator Kerentanan Lingkungan di daerah penelitian 67 33 Matriks penilaian komposit dan perhitungan nilai Consistency Ratio

(CR) pada Kerentanan Vulkanik di daerah penelitian

73

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka penelitian 8

2 Lokasi daerah penelitian - Gunungapi Merapi yang terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

9 3 Peta geologi distribusi material piroklastik pada kejadian 4 (empat)

phase erupsi Merapi 2010. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010 (Sumber: Charbonnier et al. (2013)

14

4 Fungsi Fuzzy Set Membership (Gemitzi et al. 2006) 19 5 DEM hasil pengolahan data citra satelit ALOS PALSAR menggunakan

metode InSAR. (A) DEM PALSAR dengan akusisi sebelum dan (B) DEM PALSAR dengan akusisi sesudah erupsi Merapi 2010

24

(14)

referensi peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) di daerah penelitian. (A) Akusisi data DEM PALSAR sebelum erupsi Merapi 2010. (B) Akusisi data DEM PALSAR sesudah erupsi Merapi 2010

7 (A) dan (B) lokasi penampang melintang (profile P1 – P5) untuk mengetahui perubahan topografi di daerah penelitian akibat erupsi Merapi 2010. Batas warna kuning menunjukkan distribusi delineasi material piroklastik erupsi Merapi 2010. (A) Citra satelit ASTER tanggal 15 November 2010, dan (B) DEM PALSAR sesudah erupsi Merapi 2010. Pada citra ASTER unsur warna dapat menunjukkan persebaran endapan piroklastik 2010, sedangkan pada DEM PALSAR unsur tekstur yang dapat menunjukkan persebaran tersebut.

25

8 Ekstraksi penampang melintang data DEM PALSAR sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010. (A) Profil P1, (B) Profil P2, (C) Profil P3, (D) Profil P4, dan (E) Profil P5

26

9 Sedimentasi (deposits) aliran piroklastik erupsi Merapi 2010. (A) Inset lokasi survei lapangan yang dilakukan oleh Charbonnier et al. 2013. (B) Lokasi Gend 3, (C) Gend 1, (D) Opak 1, dan (E) Kepu.

Keterangan: m: Massive, B: Block, L: Lapilli, dan A: Ash deposits (Sumber: Charbonnier et al. 2013)

27

10 Hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan koreksi ketinggian hc = 1 m. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010

32

11 Hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan koreksi ketinggian hc = 2 m. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010

33

12 Hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan koreksi ketinggian hc = 3 m. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010

34

13 Hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan koreksi ketinggian hc = 4 m. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010

35

14 Hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan koreksi ketinggian hc = 5 m. (A) phase 1: 26-29 Okt 2010, (B) phase 2: 30 Okt – 3 Nov 2010, (C) phase 3: 4-5 Nov 2010, dan (D) phase 4: 6-23 Nov 2010

36

15 Prediksi simulasi aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI) – 1 dan koreksi

(15)

ketinggian hc = 4 m. (A) Flow length maksimum: 5 km, (B) Flow length maksimum: 10 km, (C) Flow length maksimum: 15 km, dan (D) Flow length maksimum: 20 km

16 Prediksi simulasi aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI) – 2 dan koreksi ketinggian hc = 4 m. (A) Flow length maksimum: 5 km, (B) Flow length maksimum: 10 km, (C) Flow length maksimum: 15 km, dan (D) Flow length maksimum: 20 km

39

17 Prediksi simulasi aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI) – 3 dan koreksi ketinggian hc = 4 m. (A) Flow length maksimum: 5 km, (B) Flow length maksimum: 10 km, (C) Flow length maksimum: 15 km, dan (D) Flow length maksimum: 20 km

40

18 Prediksi simulasi aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dengan menggunakan algoritma Monte Carlo pada software VORIS

berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI) – 4 dan koreksi ketinggian hc = 4 m. (A) Flow length maksimum: 5 km, (B) Flow length maksimum: 10 km, (C) Flow length maksimum: 15 km, dan (D) Flow length maksimum: 20 km

41

19 Perbandingan distribusi deposit material piroklastik erupsi Merapi 2010 dengan hasil prediksi peluang aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010. Dibuat berdasarkan simulasi algoritma Monte Carlo pada software VORIS dengan input topografi DEM PALSAR pasca erupsi Merapi 2010 pada skala VEI – 4, koreksi ketinggian hc=4 m dan flow length maksimum: 20 km.

42

20 Zonasi keterkaitan jarak antar masing-masing indikator pada fasilitas umum di daerah penelitian

45 21 Zonasi perhitungan total parameter Fasilitas Umum (FU) 46 22 Zonasi keterkaitan jarak antar masing-masing indikator pada fasilitas

transportasi dan penggunaan lahan (lahan terbangun/permukiman) di daerah penelitian.

47

23 Zonasi perhitungan total indikator Fasilitas Transportasi (ST) 48 24 Zonasi perhitungan total Kerentanan Fisik (VF) berdasarkan

penggabungan total indikator Fasilitas Umum, Fasilitas Transportasi dan Penggunaan Lahan (lahan terbangun/permukiman)

50

25 Hasil perhitungan pendekatan Index-based Built-up Index (IBI) pada citra satelit Landsat 8 LDCM di daerah penelitian

52 26 Hasil proses klasifikasi penggunaan lahan permukiman dan

non-permukiman di daerah penelitian

53 27 Estimasi distribusi jumlah penduduk tahun 2012 di daerah penelitian 57 28 Zonasi pemetaan dasymetric pada parameter kerentanan sosial di

daerah penelitian berdasarkan skor kelas indeks

58 29 Zonasi perhitungan total kerentanan sosial (VS) dari penggabungan

(16)

dan rasio kelompok umur, berdasarkan mekanisme pembobotan pada metode Perbandingan Berpasangan pada penilaian tim ahli (pakar) 30 Zonasi indikator dalam penentuan Kerentanan Ekonomi (VE) di daerah

penelitian. (A) Estimasi luas lahan produktif budidaya tanaman pangan. (B) Estimasi luas lahan produktif budidaya tanaman

holtikultura. (C) indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). 65

31 Zonasi perhitungan total Kerentanan Ekonomi (VE) dari

penggabungan total indikator lahan produktif (LP) dan PDRB di daerah penelitian berdasarkan mekanisme pembobotan pada metode Perbandingan Berpasangan pada penilaian tim ahli (pakar).

67

32 Zonasi indikator dalam penentuan Kerentanan Lingkungan (VL) di daerah penelitian. (A) Estimasi kelas luas hutan (B) Estimasi kelas luas semak belukar.

68

33 Zonasi perhitungan total Kerentanan Lingkungan (VL) berdasarkan mekanisme pembobotan pada metode Perbandingan Berpasangan dari penilaian tim ahli (pakar) pada penggabungan total parameter luas hutan dan semak belukar di daerah penelitian

69

34 Perbandingan peta bahaya aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dari hasil simulasi dan peta kawasan rawan bencana (KRB) dari Badan Geologi ESDM

70

35 Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) pasca erupsi Merapi tahun 2010 Badan Geologi Kementerian ESDM, (Sumber: Mei et al. 2013)

71 36 Peta Kerentanan Vulkanik di daerah penelitian, berdasarkan

penggabungan parameter Kerentanan Fisik, Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

72

37 Risiko vulkanik berdasarkan prediksi bahaya simulasi aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dan Kerentanan Vulkanik di daerah

penelitian

74

38 Risiko vulkanik berdasarkan bahaya Kawasan Rawan Bencana (KRB) pasca erupsi Merapi 2010 dan kerentanan vulkanik di daerah penelitian

75 39 Zonasi perhitungan total Kerentanan Fisik (VF) berdasarkan indikator

BNPB dengan justifikasi mengacu pada penelitian sebelumnya oleh Lavigne (1999), Quesada et al. (2007), Sagala & Yasaditama (2012)

78

40 Zonasi perhitungan total Kerentanan Ekonomi (VE) berdasarkan indikator BNPB dengan justifikasi mengacu pada penelitian sebelumnya oleh Cutter et al. (2000); Quesada et al. (2007); Habibi dan Buchori (2013)

80

41 Zonasi perhitungan total Kerentanan Lingkungan (VL) berdasarkan indikator BNPB dengan justifikasi mengacu pada penelitian

sebelumnya oleh Cutter et al. (2000); Quesada et al. (2007); Habibi dan Buchori (2013)

81

42 Peta Kerentanan Vulkanik di daerah penelitian, berdasarkan indikator BNPB dengan justifikasi mengacu pada penelitian sebelumnya yang meliputi penggabungan parameter Kerentanan Fisik, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

82

(17)

piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dan Kerentanan Vulkanik di daerah penelitian, dengan indikator BNPB yang dijustifikasi mengacu pada penelitian sebelumnya

44 Risiko Vulkanik berdasarkan bahaya Kawasan Rawan Bencana (KRB) pasca erupsi Merapi 2010 dan Kerentanan Vulkanik di daerah

penelitian, dengan indikator BNPB yang dijustifikasi mengacu pada penelitian sebelumnya

84

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar partisipasi pakar (ahli) dan kuisioner penelitian 92 2 Perhitungan overall accuracy cross-correlation matrix pada peta hasil

simulasi algoritma Monte Carlo dengan peta referensi

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia secara geografis dan geologis terletak pada daerah tektonik aktif. Adanya pertemuan tiga lempeng tektonik aktif, yaitu: Lempeng Pasifik (bagian timur), Euro-Asia (bagian utara) dan Indo-Australia (bagian selatan) telah mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan terhadap bencana alam. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bertumbukan, sehingga lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah dari lempeng Euro-Asia dan menimbulkan gempa bumi, munculnya jalur gunungapi, sesar dan patahan (Sutikno 2007). Sebaran gunungapi di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian gunungapi Sirkum Pasifik yang terbentuk sebagai akibat tumbukan lempeng-lempeng tersebut. Gunungapi tersebut membentuk jalur melengkung (active volcanic arc) seperti busur, yang dapat dibagi menjadi empat busur utama, yaitu: (a) Busur gunungapi Sunda, merupakan deretan gunungapi yang terletak di Pulau Sumatera, Jawa dan Kepulauan Nusa Tenggara Barat hingga Timur, (b) Busur gunungapi Banda, merupakan deretan gunungapi yang terletak di Kepulauan Banda, (c) Busur gunungapi Maluku, merupakan deretan gunungapi yang tersebar di Kepulauan Maluku - Halmahera dan (d) Busur gunungapi Sulawesi Utara - Sangihe, merupakan deretan gunungapi yang tersebar di Sulawesi Utara dan Kepulauan Sangihe atau Sangir-Talaud (Hamilton 1989).

Gunungapi Merapi merupakan salah satu gunungapi aktif di Indonesia yang terletak di Pulau Jawa dengan tipe stratovolcano. Gunungapi tersebut memiliki dua dapur magma, dimana interval waktu antar erupsi merupakan waktu terjadinya beberapa aktivitas di dapur magma yang pertama. Meningkatnya suhu dan tekanan pada dapur magma pertama menyebabkan pergerakan magma menuju ke dapur magma kedua. Adanya peningkatan aktivitas secara terus menerus menyebabkan magma bergerak ke daerah bertekanan rendah menuju permukaan melalui kawah (vent) dan membentuk kubah lava (BPPTK 2010). Pertumbuhan kubah lava yang terbentuk oleh Merapi berpotensi untuk runtuh (collapsed)

karena adanya pengaruh gaya gravitasi dan tekanan tenaga endogen dari dalam bumi (Voight et al. 2000). Guguran kubah lava tersebut dapat membentuk suatu aliran piroklastik, sebagai bahaya primer dari Merapi yang bersifat merusak, mematikan, memiliki temperatur dan kecepatan tinggi untuk meluncur (Hartini 2010). Bahaya tersebut tentunya akan mempunyai dampak risiko tinggi apabila terjadi di wilayah dengan penduduk yang relatif padat dan terdapat beberapa fasilitas infrastruktur yang penting (Yulianto & Parwati 2012). Sebagai fenomena alam, erupsi gunungapi merupakan bahaya alam (natural hazard) yang tidak dapat dihindari keberadaan maupun kejadiannya (Zen 2009).

Kejadian bencana dapat mengakibatkan perubahan kondisi bentang lahan

(19)

2

bencana melalui manajemen yang baik, sehingga dampak dari suatu kejadian bencana dapat diminimalisir (BNPB 2012).

Perumusan Masalah

Lereng Gunungapi Merapi merupakan wilayah yang subur dan berpotensi baik untuk lahan pertanian. Kondisi tersebut sangat mendukung dan menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk setempat untuk tinggal di daerah tersebut. Ancaman vulkanik Merapi seakan sudah menjadi bagian dari adaptasi lingkungan bagi penduduk setempat. Penduduk, rumah, lahan pertanian, ternak dan aset lainnya merupakan bagian penting dari elemen risiko (risk) yang perlu diwaspadai terhadap kemungkinan bahaya erupsi Merapi agar tidak menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang relatif besar (Darmawan 2012).

Kejadian erupsi Merapi telah mengakibatkan beberapa dampak, seperti: kerusakan lingkungan, degradasi lahan, korban jiwa, harta benda dan lain-lainnya. Dampak dari beberapa kejadian erupsi Merapi telah tercatat sejak tahun 1822. Pada tahun 1900 erupsi Merapi telah mengakibatkan rusaknya lima desa, dan menewaskan lebih dari 100 korban jiwa. Pada tahun 1920, 1932, 1961, 1996, 1973, 1974, 1975, 1976, 1994, 1995, 1996 dan 1998 telah mengakibatkan lebih dari 300 orang korban jiwa dan lebih dari 500 rumah rusak (Lavigne et al. 2000; Yulianto & Parwati 2012; Yulianto et al. 2013). Kejadian erupsi Merapi tahun 2010 merupakan erupsi terbesar yang pernah terjadi sejak tahun 1900. Erupsi tersebut telah mengakibatkan lebih dari 368 korban jiwa dan lebih dari ratusan ribu jiwa harus diungsikan ke wilayah aman dengan jarak radius 25 km dari puncak Merapi (Aisyah et al. 2010; Darmawan 2012). Selain itu, kejadian tersebut juga mengakibatkan rusaknya beberapa fasilitas infrastruktur, jaringan listrik dan telekomunikasi, permukiman dan ketersediaan air bersih (BNPB 2010).

Kejadian erupsi Merapi 2010 selain mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, juga telah menyebabkan terjadinya kerusakan lahan pada lingkungan sekitarnya. Banyaknya material erupsi yang keluar berupa endapan piroklastik telah merubah dan menutup kondisi topografi permukaan di sekitar lereng Merapi. Endapan material tersebut ditransportasi melalui alur-alur sungai yang memiliki hulu di puncak Merapi. Selain itu, perubahan morfologi puncak Merapi juga semakin terbuka terutama ke arah tenggara hingga selatan (Darmawan 2012; Yulianto et al. 2013).

Melihat kondisi dan permasalahan tersebut, adanya perubahan pada morfologi puncak dan topografi di sekitar lereng Merapi pasca erupsi 2010 maka dapat membuka peluang terjadinya aliran piroklastik dengan arah yang berbeda dari kondisi sebelumnya. Selain itu, kondisi tersebut juga akan mempengaruhi besarnya risiko yang ditimbulkan di daerah sekitarnya. Upaya mitigasi perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat risiko yang mungkin akan terjadi akibat bahaya erupsi Merapi, yaitu dengan melakukan inventarisasi informasi-informasi terkait, seperti: peta aliran piroklastik maupun peta risiko berdasarkan hasil analisis terhadap kemungkinan terjadinya bencana erupsi mendatang. Berdasarkan uraian perumusan masalah tersebut diatas, maka terdapat beberapa pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mendasari dilakukannya penelitian ini, yaitu:

(20)

3

(2)Bagaimanakah arah aliran piroklastik pacsa erupsi Merapi 2010 berdasarkan perubahan kondisi topografi di daerah penelitian?

(3)Bagaimanakah kerentanan dan risiko vulkanik pasca erupsi Merapi 2010 di daerah penelitian?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang, perumusan permasalahan, dan pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah:

(1)Membuat model topografi pada kondisi saat sebelum dan sesudah erupsi Merapi 2010 di daerah penelitian.

(2)Memprediksi arah aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 di daerah penelitian.

(3)Menganalisis kerentanan dan risiko vulkanik pasca erupsi Merapi 2010 di daerah penelitian.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

(1)Memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat digunakan untuk inventarisasi analisis bahaya dan risiko vulkanik, khususnya di daerah penelitian.

(2)Memberikan masukan terhadap pemerintah pusat, pemerintah daerah dan beberapa instansi terkait yang dapat digunakan untuk mengambil kebijakan dan keputusan dalam manajemen risiko bencana di daerah penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA

UNISDR (2009) telah mendefinisikan bencana, bahaya, kerentanan dan risiko yang dapat dijabarkan sebagai berikut: (a) bencana (disaster) adalah gangguan terhadap fungsi masyarakat yang menyebabkan kehilangan jiwa, materi, dan kerusakan lingkungan; (b) bahaya (hazard) adalah fenomena yang berpotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya; (c) kerentanan (vulnerability) adalah tingkat kehilangan suatu komponen dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya yang terdapat dalam suatu risiko yang diakibatkan oleh munculnya suatu fenomena dan (d) risiko (risk) adalah tingkat kerugian yang dihasilkan dari interaksi antara bahaya dan kerentanan.

Gunungapi Merapi dapat dikategorikan sebagai gunungapi aktif dengan tipe stratovolcano yang dicirikan dengan bentuk kerucut dan berlereng curam. Gunungapi tersebut mempunyai tipe erupsi khusus, sehingga disebut sebagai tipe erupsi Merapi. Tipe erupsi Merapi dicirikan dengan adanya suatu guguran kubah lava yang membentuk aliran dan disebut sebagai aliran piroklastik (BPPTK 2010; Yulianto et al. 2013). Istilah piroklastik berasal dari Bahasa Yunani, yaitu: “pyro,

(21)

4

berbentuk bulat), block (hampir sama dengan bomb tapi berbentuk runcing), kerakal, kerikil, pasir, debu dan gas (Yamashita & Miyamoto 1993; Muridan 1997).

Charbonnier et al. (2013) dalam penelitiannya melakukan evaluasi aliran piroklastik pada kejadian erupsi Merapi 2010. Metodologi penelitian, dalam melakukan pemetaan aliran piroklastik tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Charbonnier dan Gertisser (2012) dan Darmawan (2012). Penggunaan software Titan2D dan Volcflow

diterapkan pada penelitian tersebut untuk memodelkan aliran piroklastik pada kejadian erupsi Merapi tahun 2006 dan 2010. Data DEM Merapi (courtesy of C. Gerstenecker, TU Darmstadt, Germany), dengan resolusi 15 m dan akurasi vertikal ± 9 m yang menggambarkan kondisi topografi digunakan sebagai salah satu masukan (input) data untuk pemetaan bahaya piroklastik. Update data DEM untuk simulasi erupsi Merapi tahun 2006 dan 2010 dilakukan melalui penyesuaian modifikasi (modification adjustments) pada data DEM. Modifikasi data DEM pada penelitian tersebut hanya dilakukan pada area puncak Merapi, sedangkan, pada daerah sekitarnya yang telah mengalami perubahan topografi akibat erupsi sebelumnya atau proses lain tidak dimodifikasi. Hal ini tentu akan memberikan pengaruh pada hasil simulasi bahaya aliran piroklastik yang dikontrol oleh topografi.

Penelitian ini mempunyai topik yang sama dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Charbonnier dan Gertisser (2012) dan Charbonnier et al. (2013). Namun dalam penelitian ini, metodologi untuk update data DEM didasarkan pada pendekatan Interferometry. Pendekatan ini dilakukan dengan pengolahan data master dan slave citra Synthetic Aperture Radar (SAR), atau disebut sebagai Interferometry Synthetic Aperture Radar (InSAR) (e.g., Massonnet & Feigl 1998; Sambodo & Soleh 2011; Philibosian & Simons 2011). Algoritma

Monte Carlo digunakan dalam penelitian ini untuk membuat model bahaya peluang aliran piroklastik. Algoritma tersebut awalnya dikembangkan oleh Felpeto et al. (2007) untuk simulasi numerik aliran lava. Selanjutnya, dalam penelitian ini diaplikasikan untuk mensimulasikan peluang aliran piroklastik.

Pendekatan algoritma Monte Carlo dipilih dalam penelitian ini untuk melakukan pemetaan aliran piroklastik di daerah penelitian. Model algoritma

Monte Carlo mengasumsikan bahwa topografi sebagai faktor utama yang menentukan jalannya aliran piroklastik. Konsep pendekatan yang digunakan dalam model ini adalah sistem aliran piksel yang diterapkan pada data elevasi ketinggian atau topografi dalam hal ini aliran dapat menyebar dari satu tempat ke tempat lainnya pada 8 (delapan) piksel tetangga. Peluang aliran suatu sel dapat dihitung berdasarkan rasio antara jumlah sel yang telah dialiri terhadap total sel yang telah dihitung (Felpeto et al. 2007). Penggunaan metode ini memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan penggunaan metode dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah: penggunaan parameter input data yang relatif lebih sedikit dengan proses yang relatif cepat untuk pemetaan aliran piroklastik. Hal tersebut, tentunya dapat diaplikasikan untuk kegiatan respon cepat (quick response) dan pemetaan cepat (rapid mapping). Selain itu, penggunaan metode ini tidak menuntut kemampuan dari pengguna

(22)

5

Pada umumnya, penggunaan metode dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menuntut kemampuan tersebut, dengan proses yang relatif lama.

Pembuatan model topografi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode InSAR. InSAR adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengekstraksi informasi ketinggian atau topografi dari suatu permukaan bumi yang didasarkan pada perhitungan informasi beda phase. Perhitungan informasi beda phase tersebut dilakukan pada dua buah citra satelit SAR yang memiliki satu lintasan orbit yang sama, tetapi memiliki waktu akusisi perekaman yang berbeda. Pola gelap terang yang dihasilkan dalam proses interferometri mengandung informasi beda ketinggian yang dapat diekstraksi menjadi data DEM (Sambodo & Soleh 2011). Penggunaan metode ini efektif dan baik digunakan untuk merepresentasikan informasi topografi dalam bentuk DEM, meskipun tingkat pengolahan data yang relatif sulit dan akurasi yang diperoleh masih kurang baik jika dibandingkan dengan metode pengukuran lainnya, seperti: survei lapangan menggunakan Global Positioning System (GPS) atau perhitungan ketinggian berdasarkan paralaks pada citra stereo satelit penginderaan jauh sensor optik (Kriswati et al. 2012). Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan apabila digunakan dalam pembuatan DEM. Metode pengukuran lapangan membutuhkan titik pengukuran yang banyak dan menyebar untuk menghasilkan suatu DEM yang baik, selain itu diperlukan juga waktu yang relatif lama dan biaya yang mahal untuk operasionalnya. Pada citra paralaks sensor optik mudah diproses untuk menghasilkan DEM dengan akurasi tinggi, namun permasalahan atmosferik dan tutupan awan menjadi kendala utama dalam penggunaan metode ini. Adapun, pada citra satelit dengan sensor SAR tidak terpengaruh dengan kondisi atmosferik, awan dan cuaca yang buruk, serta waktu perekaman data yang dapat dilakukan baik pada siang hari maupun malam hari (Trisakti & Pradana 2006). Berdasarkan kondisi lingkungan di sekitar Merapi yang selalu tertutup oleh awan, dan kondisi medan di lapangan yang relatif sulit untuk dijangkau, memungkinkan penggunaan metode InSAR dapat diterapkan dalam membangun model topografi di daerah penelitian.

Habibi dan Buchori (2013) telah melakukan penelitian terkait model spasial kerentanan sosial, ekonomi, dan kelembagaan terhadap bencana Gunungapi Merapi di Kecamatan Dukun dan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Metodologi yang dipergunakan dalam penelitian tersebut menggunakan pendekatan pemodelan spasial SIG untuk mengolah dan menganalisis basis data kerentanan sosial, ekonomi, dan kelembagaan kawasan rawan bencana Gunungapi Merapi. Dari penelitian tersebut, salah satunya diperoleh informasi terkait peta tingkat kerentanan sosial, ekonomi, dan kelembagaan di daerah penelitian. Kelemahan dari penyajian peta tersebut masih direpresentasikan dalam bentuk peta choropleth, dimana informasi yang dihasilkan masih dalam bentuk satuan unit administrasi wilayah, yang kurang merefleksikan distribusi penduduk dalam menggambarkan kerentanan sosial, ekonomi dan kelembagaan di daerah tersebut.

(23)

6

Ketersedian data secara spasial biasanya direpresentasikan dalam bentuk peta

choropleth (Liu et al. 2006; Harvey 2008; Bajat et al. 2011). Dalam penyajiannya, kelemahan peta choropleth terletak pada informasi data yang dihasilkan oleh unit sensus penduduk, karena memilki keseragaman dalam unit administrasi dan tidak merefleksikan distribusi penduduk yang sebenarnya (Hay et al. 2005; Langford et al. 2008; Lung et al. 2013). Untuk mengatasi kelemahan dari penggunaan metode

choropleth tersebut, beberapa penelitian telah dikembangkan untuk melakukan penurunan data sensus melalui pemetaan dasymetric (Tian et al. 2005; Briggs et al.

2006).

Pemetaan dasymetric merupakan salah satu metode pemetaan tematik berbasis wilayah yang menghasilkan informasi spasial lebih rinci (Khomarudin 2010). Pemetaan dasymetric memiliki keunggulan dalam menghasilkan peta distribusi populasi yang lebih realistis jika dibandingkan dengan pemetaan

choropleth. Hal ini dapat dilakukan dengan proses tumpang susun (overlay) data sensus penduduk dan batas administrasi wilayah dengan informasi penggunaan lahan atau penutup lahan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) (Bajat et al.

2011; Linard et al. 2013). Beberapa metode dalam mengestimasi distribusi penduduk telah dikembangkan dengan menggunakan data penginderaan jauh, seperti yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya oleh Zha et al. (2003); Xu (2007); Briggs et al. (2006); Khomarudin (2010); Alahmadi et al. (2013).

Zha et al. (2003) melakukan klasifikasi wilayah urban menggunakan citra Landsat ETM dengan pendekatan Normalized Difference Built-up Index (NDBI). Selanjutnya, Xu (2007) melakukan pengembangan NDBI dalam mengekstrak wilayah terbangun (built-up area) dengan menggunakan pendekatan Index-based Built-up Index (IBI) yang dikombinasikan dari tiga parameter indeks, yaitu: NDBI, Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI) dan Modified Normalized Difference Water Index (MNDWI). Briggs et al. (2006) dalam penelitiannya melakukan pemodelan distribusi penduduk menggunakan pemetaan dasymetric. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengkombinasikan analisis berbasis GIS dengan mengunakan data penutup lahan. Informasi penutup lahan diturunkan melalui data Defense Meteorological Satellite Program (DMSP) yang dapat digunakan untuk menunjukkan indikator dimana penduduk tersebut tinggal. Khomarudin (2010) dalam penelitiannya telah melakukan klasifikasi permukiman menggunakan data TerraSAR-X, yang didasarkan pada penggunaan analisis speckle dirvergence dan

neighborhood. Pemetaan distribusi penduduk dilakukan dengan mengkombinasikan hasil klasifikasi permukiman dengan data sensus penduduk yang dimodelkan berdasarkan aktivitasnya pada saat siang dan malam hari. Alahmadi et al. (2013) dalam penelitiannya telah menggunakan citra Landsat ETM dan data sensus penduduk untuk menurunkan data informasi populasi penduduk. Distribusi penduduk dalam penelitiannya diperkirakan berdasarkan pada jumlah penduduk rata-rata per unit hunian dengan penutup lahan. Selanjutnya, hasil dari model tersebut digunakan sebagai peta referensi dalam mengevaluasi model lainnya.

(24)

7

Kerentanan Sosial adalah suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial pada suatu wilayah dalam menghadapi bahaya. Kerentanan Ekonomi adalah suatu kondisi tingkat kerepuhan ekonomi pada suatu wilayah dalam menghadapi bencana. Kerentanan Lingkungan adalah suatu kondisi tingkat kerapuhan lingkungan pada suatu wilayah yang rawan terhadap bencana. Analisis risiko dapat digambarkan secara skematis melalui kombinasi antara bahaya dan kerentanan dari suatu bencana. Penilaian risiko dilakukan melalui konsep tumpang susun (overlay)

antara peta bahaya dan kerentanan, dimana pada dasarnya operasi yang dilakukan diaplikasikan melalui penggunaan perhitungan nilai atribut untuk memberikan penilaian risiko. Penilaian risiko (risk) bencana tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi tingkat bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) (Wisner

et al. 2004).

METODE

Kerangka Penelitian

(25)

8

Gambar 1. Kerangka penelitian

Lokasi Penelitian

Gunung Merapi secara geografis terletak pada posisi koordinat 7°32′26.99LS and 110°2641.34BT, dengan elevasi ketinggian 2,914 meter di

atas permukaan air laut. Secara administrasi wilayah, lokasi daerah penelitian terletak pada dua provinsi yang berbeda di Pulau Jawa, yaitu: Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunungapi tersebut pada jarak radius 0 hingga 30 km dari puncak Merapi dikelilingi secara administrasi oleh 4 wilayah kabupaten, yaitu: Sleman (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), Magelang, Klaten, dan Boyolali (Provinsi Jawa Tengah) (Gambar 2). Gunung Merapi dapat dikategorikan ke dalam kelompok gunungapi muda di Pulau Jawa bagian selatan, yang terletak pada zona subduksi, yaitu pertemuan antara lempeng tektonik Indo-Australia dengan Eurasia yang mempunyai karakteristik erupsi eksplosif dari magma yang bersifat andesitic (Lavigne et al. 2000; Yulianto et al.

2013).

Kejadian erupsi Merapi 2010

Perubahan kondisi topografi (Topografi sebagai faktor penentu

pola dan arah aliran piroklastik)

Peluang arah aliran piroklastik dengan arah berbeda dari erupsi

sebelumnya

Mempengaruhi tingkat kerentanan dan Risiko Vulkanik di daerah

penelitian

Analisis aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010

Analisis Kerentanan Vulkanik pasca erupsi Merapi 2010

Analisis Risiko aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 Pemetaan aliran piroklastik

Algoritma Monte Carlo

(Topografi InSAR)

Pemetaan Kerentanan Vulkanik (Fisik, Sosial, Ekonomi dan

(26)

9

Gambar 2. Lokasi daerah penelitian - Gunungapi Merapi yang terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data spasial dan data tabular yang dapat disajikan dalam Tabel 1. Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak

(software), yaitu: Microsoft office, SAR Scape ENVI ver 4.8, VORIS ver 2.0.1, ArcGIS, dan beberapa peralatan penunjang lainnya, seperti: Global Positioning System (GPS), kamera dijital.

Metodologi Penelitian

(27)

10

Pengumpulan dan Perolehan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari data berupa citra satelit penginderaan jauh, sedangkan data sekunder terdiri dari data hasil pengukuran atau pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti atau instansi terkait, berupa data spasial dan tabular.

Tabel 1. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian

Data Akusisi Skala/resolusi spasial Sumber data

Citra Satelit SAR

Model topografi di daerah pada kondisi sebelum dan sesudah terjadi erupsi Merapi tahun 2010 dapat direpresentasikan dalam bentuk data DEM. Pada penelitian ini, untuk mengetahui perubahan kondisi topografi akibat erupsi Merapi 2010, dapat dilakukan dengan analisis perbandingan data Digital Elevation Model (DEM) pada saat sebelum (pre-) dan sesudah (post-) kejadian erupsi. Update

(28)

11

InSAR (eg., Biegert et al. 1997; Hoffmann et al. 2001; Saifuddin et al. 2005). Metode InSAR diterapkan dalam penelitian ini menggunakan mekanisme pengukuran dan perubahan perbedaan fasa (phase), untuk mewakili posisi relative suatu objek pada permukaan bumi (e.g., Zebker dan Goldstein 1986; Bignami et al. 2013). Perubahan fase dapat diukur dengan nilai backscattering pada dua pasang citra satelit SAR, yang memiliki posisi dan lokasi yang sama dengan waktu perekaman yang berbeda. Perbedaan fasa menunjukkan perubahan posisi relatif suatu piksel (Saifuddin et al. 2005). Data citra satelit ALOS PALSAR (Advanced Land Observing Phased Array L-Band Synthetic Aperture Radar) pada level 1.0 digunakan dalam penelitian ini untuk menghasilkan update data DEM. Pengolahan data tersebut dilakukan dengan menggunakan software SARscape®. Sementara itu, data DEM SRTM yang memiliki resolusi spasial 30 m digunakan sebagai data referensi untuk update data DEM. Informasi ketinggian dari data referensi tersebut dibutuhkan sebagai input dalam perhitungan perbedaan fasa untuk konversi data elevasi.

Perhitungan akurasi vertikal dari update data DEM perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat kesalahan data (error data). Perhitungan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan root mean square error (RMSE), yang dapat disajikan dalam persamaan 1 (e.g., Sutanta 2002; Marfai & King 2007). Nilai elevasi data referensi untuk menghitung RMSE diperoleh berdasarkan nilai titik tinggi (height point) pada peta topografi dari Badan Informasi Geospasial (BIG), dengan skala 1:25,000. Pengambilan sampel lokasi dilakukan secara acak dengan mempertimbangkan kondisi topografi daerah penelitian yang relatif terbuka. Hal tersebut dilakukan karena DEM hasil InSAR merupakan data ketinggian dengan tipe Digital Surface Model (DSM). Pada tipe tersebut elevasi ketinggian yang terukur adalah elevasi yang dipengaruhi oleh penutup lahan, seperti tinggi pohon, bangunan dan lain-lain, bukan elevasi permukaan tanah. Untuk mendapatkan informasi elevasi permukaan tanah, maka pengambilan sampel elevasi dilakukan pada daerah dengan penggunaan lahan yang relatif terbuka.

= ′ (1)

Dimana: RMSE adalah tingkat kesalahan atau error, Z’ adalah nilai elevasi pada data DEM hasil interferometri, Z adalah nilai elevasi pada data DEM referensi, n

adalah banyaknya sampel data yang digunakan dalam perhitungan.

Simulasi aliran piroklastik

Jenis aliran material padat (dense material) yang disebabkan oleh runtuhnya kubah lava atau aliran front lava difokuskan dalam penelitian ini untuk mensimulasikan aliran piroklastik (e.g., Cas & Wright 1987; Widiwijayanti et al.

(29)

12

satu input data topografi dalam penggunaan algoritma Monte Carlo pada software VORIS. Model ini mengasumsikan bahwa topografi memiliki peran penting dalam menentukan arah peluang aliran material erupsi, dan menghitung jumlah peluang setiap sel piksel pada data DEM menjadi aliran. Algoritma tersebut dapat

Dimana: Pi adalah peluang aliran yang masuk dalam salah satu delapan sel piksel disekitarnya, hi adalah kondisi topografi yang direpresentasikan oleh nilai ketinggian (h) dari sebuah sel piksel pada data DEM yang terletak dalam sel piksel i=0 dan (i=1, 2, ... , 8). ∆ℎ adalah perbedaan ketinggian antara sel piksel satu dengan sel piksel tetangganya. hc adalah koreksi ketinggian yang ditambahkan dengan tinggi sel piksel pada saat aliran tersebut berada.

Selain input topografi DEM, diperlukan beberapa parameter lain dalam menjalankan proses algoritma Monte Carlo dalam software VORIS, yaitu: panjang aliran maksimum (maximum flow length), lokasi kawah (vent location), koreksi ketinggian (height correction) dan iterasi (iteration). Jumlah iterasi dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan formula aproksimasi. Fungsi dari formula tersebut awal mulanya dikembangkan oleh Jing (2010) untuk aplikasi banjir genangan (flood inundation). Dalam penelitian ini, diaplikasikan untuk menentukan jumlah iterasi piksel yang ideal. Fungsi formula ini adalah menganalisis ketinggian genangan piroklastik (H) berdasarkan perbandingan antara volume alur topografi (V) dan volume sumber erupsi (Q), dalam persamaan 5 dan 6.

'"(# = ) − * = ) − , +"( − # (5)

* = , + - ℎ (6)

Dimana: Hi adalah akumulasi ketinggian antara ketinggian genangan piroklastik pada koreksi ketinggian (hc) dan elevasi DEM (Ei) pada unit piksel ke-i, artinya

hc=Hi – Ei. dan m adalah jumlah unit piksel atau iterasi piksel yang diperlukan. A

adalah luas unit piksel.

Pada penelitian ini, evaluasi penggunaan algoritma Monte Carlo untuk mensimulasikan aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dilakukan pada 4

(30)

13

Tabel 2. Parameter input algoritma Monte Carlo untuk mensimulasikan peluang aliran piroklastik erupsi Merapi 2010 (Sumber: Charbonnier et al.

(2013))

PALSAR 25,418,510 16,000

439093;

Keterangan: DEM PALSAR: pre-erupsi Merapi 2010, Volume: menentukan jumlah iterasi ideal.

Tabel 2 menunjukkan parameter yang digunakan sebagai input atau masukan dalam menjalankan algoritma Monte Carlo dalam software VORIS.

Gambar 3 menunjukkan peta geologi material piroklastik erupsi Merapi 2010, pada 4 phase erupsi, yaitu: phase 1, 2, 3 dan 4. Peta geologi tersebut digunakan sebagai peta referensi dalam penelitian ini untuk memvalidasi simulasi aliran piroklastik erupsi Merapi 2010. Dalam penelitian ini, evaluasi dilakukan dengan memvalidasi hasil simulasi aliran piroklastik pada erupsi Merapi 2010 dengan peta referensi untuk mendapatkan besarnya tingkat reliabilitas dan akurasi. Cross-correlation matrix digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan besarnya nilai reliabilitas dan akurasi. Akurasi menunjukkan kelas yang diklasifikasikan benar berdasarkan data referensi, sedangkan reliabilitas menunjukkan kelas yang diklasifikasikan benar pada data referensi dari kelas tertentu pada model (Marfai 2003).

Selanjutnya, prediksi arah aliran piroklastik pasca erupsi Merapi 2010 dibuat berdasarkan input data DEM PALSAR pasca erupsi. Penggunaan data tersebut digunakan untuk menunjukkan bahwa adanya perubahan kondisi topografi dapat memberikan peluang aliran yang berbeda. Skenario aliran piroklastik pasca erupsi Merapi dibuat berdasarkan tingkat volume erupsi

(31)

14

Gambar 3. Peta geologi distribusi material piroklastik pada kejadian 4 (empat)

(32)

15

Kerentanan dan Risiko Vulkanik

Kerentanan dalam suatu proses kebencanaan dapat didefinisikan sebagai fungsi dari pola tingkah laku manusia. Tingkat kerentanan dapat dideskripsikan dari sistem sosial ekonomi daerah tersebut atau tahan dari dampak bencana alam, teknologi yang terkait, serta lingkungan (UNISDR 2012). Analisis Kerentanan Vulkanik dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode spasial Analisis Multi Kriteria (AMK). AMK adalah penggabungan beberapa kriteria secara spasial berdasarkan nilai masing-masing kriteria (Saaty 1988; Saaty dan Sodenkamp 2008). Pengambilan keputusan spasial yang dilakukan merujuk pada aplikasi analisis multi kriteria berkaitan dengan konteks elemen berdimensi spasial (Kasim 2011; Sulma 2012).

Tabel 3. Skala nilai kepentingan untuk metode Perbandingan Berpasangan (PB)

Skala Intensitas Kepentingan Keterangan

1 Sama Kedua elemen sama pentingnya. Kedua

elemen tersebut mempunyai pengaruh yang sama besar

3 Sedikit lebih penting Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lainnya. Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. 5 Lebih penting Elemen yang satu lebih penting dari pada

yang lainnya. Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen dengan yang lainnya. 7 Sangat penting Satu elemen jelas lebih mutlak penting dari pada elemen lainnya dan memiliki dominasi nyata

9 Mutlak penting Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya. Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.

2,4,6,8 Nilai menengah Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara 2 pilihan. Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan.

1/n Kebalikan (reciprocals) Nilai untuk kebalikan perbandingan. Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitas j, maka j

mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i.

(33)

16

mengacu pada Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 02 Tahun 2012, tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana di Indonesia. Secara umum, potensi kerentanan tersebut dapat disajikan dalam persamaan 7 (BNPB 2012).

* . _*0.12 = 3 ∗ *' + 3 ∗ * + 3 ∗ * + 3 ∗ *5 (7)

Dimana: Volc_Vulnb adalah Kerentanan Vulkanik yang terdiri atas penggabungan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. VF adalah kerentanan dalam aspek fisik. VS adalah kerentanan dalam aspek sosial. VE adalah kerentanan dalam aspek ekonomi. VL adalah kerentanan dalam aspek lingkungan. w adalah bobot pada masing-masing kriteria kerentanan.

Pembobotan (w) pada masing-masing kriteria dilakukan menggunakan metode Perbandingan Berpasangan (PB) dalam Proses Hierarki Analisis (PHA). Metode tersebut telah dikembangkan oleh Saaty (1970), dan digunakan sebagai alat bantu (tools) dalam pengambilan sebuah keputusan. PHA merupakan suatu metode pengukuran melalui matriks perbandingan berpasangan untuk mendapatkan skala prioritas. Dalam penelitian ini, perbandingan antara masing-masing kriteria tersebut dilakukan berdasarkan kuisioner yang diperoleh dari tim ahli (pakar) dengan tujuan untuk membuat penilaian komparatif atau preferensi tentang bobot kepentingan relatif dari masing-masing pasangan kriteria (BNPB 2012). Terdapat 9 (sembilan) pakar yang telah bersedia dalam memberikan penilaian terhadap besarnya bobot pada indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan Kerentanan Vulkanik di daerah penelitian. Dengan adanya penilaian bobot yang telah dilakukan tersebut, tentunya secara spesifik karakteristik Kerentanan Vulkanik di daerah penelitian dapat dipetakan (daftar partisipasi pakar dan kuisioner penelitian pada Lampiran 1). Penggunaan skala penilaian mutlak menggunakan metode PB dalam PHA disajikan dalam Tabel 3. Skala penilaian diletakkan bersama dalam suatu matriks dengan semua indikator pada sepanjang baris dan kolom. Faktor pembobotan diperoleh dengan menghitung eigenvektor dari matriks dan kemudian dinormalisasi hasilnya dengan nilai total 1.

Penilaian kosistensi dalam penelitian ini, menggunakan Rasio Konsistensi

(Consistency Rasio (CR)), agar dalam menentukan perhitungan eigenvektor tidak mengalami gangguan. Setiap parameter indikator dapat diurutkan berdasarkan urutan prioritas yang dianggap penting kemudian diberikan nilai kepentingan relatifnya. Hal ini untuk menjaga agar hasil penilaian yang dilakukan dapat konsisten (Marinoni 2004; Seniarwan 2013). Saaty (1988) mendefinisikan CR sebagai rasio antara Consistency Index (CI) terhadap suatu rata-rata Consistency Index atau Random Index (RI) yang dapat disajikan dalam persamaan 8 dan 9. RI dinyatakan sebagai konsistensi rata-rata matriks persegi pada berbagai n yang

di-order dengan masukan acak. Nilai RI pada berbagai tingkatan order dapat disajikan pada Tabel 4 (Saaty & Sodenkamp 2008).

6 = 7898 (8)

(34)

17

Dimana: ?@A- adalah vektor prioritas dikalikan dengan masing-masing jumlah kolom dan n adalah jumlah kriteria. Jika nilai CR<0.1 maka hasilnya dapat disebut konsisten.

Proses akhir dari penentuan bobot pada masing-masing kriteria dilakukan dengan menggabungkan nilai bobot dari masing-masing responden menjadi satu nilai, dengan menggunakan rata-rata geometrik berdasarkan persamaan 10 (Marimin 2008; Seniarwan 2013).

B = CD EF (10)

Dimana: B adalah rata-rata geometrik. n adalah jumlah responden. Xi adalah penilaian oleh responden ke-i.

Tabel 4. Nilai Random Index (RI) pada berbagai tingkatan order (Sattry & Sodenkamp 2008)

Fungsi Fuzzy Set Membership (FSM) dilakukan untuk mengkonversi nilai hasil perhitungan pada setiap indikator kerentanan yang dipergunakan dalam penelitian ini. Hal tersebut bertujuan agar setiap parameter mempunyai batas keseragaman dan standarisasi skala nilai yang sama. Setiap parameter yang terstandarisasi dalam pendekatan fungsi FSM memiliki nilai absolut yang terletak pada rentang nilai minimal 0 dan maksimal 1. Fungsi FSM dapat disajikan dalam Gambar 4 (Gemitzi et al. 2006).

(35)

18

adalah indikator fisik yang dipergunakan.

Tabel 5. Indikator dalam menentukan Kerentanan Fisik di daerah penelitian (BNPB 2012)

Indikator Sub-indikator Keterangan

Fasilitas umum Kesehatan, yang tersedia pada suatu wilayah maka tingkat kerentanan akan tingkat kerentanan semakin tinggi.

Penggunaan lahan

Lahan terbangun (permukiman)

Semakin besar, luas dan banyak lahan terbangun, maka akan semakin tinggi tingkat kerawanannya

Pada penelitian ini, untuk dapat melakukan zonasi terhadap indikator Kerentanan Fisik dapat dilakukan dengan analisis spasial fungsi jarak Euclidean Distance sebagai perangkat ekstensi yang ada dalam Sistem Informasi Geografis (SIG). Keterkaitan jarak antar masing-masing indikator dapat digambarkan dengan sel piksel pada posisi sumbu x dan y pada ruang Euclidean. Fungsi tersebut merupakan sebuah pengukuran proximity yang paling umum digunakan untuk rasio skala matrik Minkowski dengan generalisasi jarak antara titik. Fungsi jarak ini dianggap sebagai jarak yang paling pendek antar dua titik lokasi sub-indikator, dengan prinsip dasar persamaan Pythagoras. Persamaan matematik untuk menghitung Euclidean Distance disajikan pada persamaan 13 (ESRI Arc Map 2010).

(36)

19

Dimana: d(ij) adalah jarak Euclidean pada posisi i sumbu piksel x dan j sumbu piksel y. Xi1 adalah lokasi titik 1 pada posisi i sumbu piksel x. Xj1 adalah lokasi titik 1 pada posisi j sumbu piksel y. Xip adalah lokasi titik p pada posisi i sumbu piksel x. Xjp adalah lokasi titik p pada posisi j sumbu piksel y. ip adalah titik ke- 1, 2, 3, … , p.

Gambar 4. Fungsi Fuzzy Set Membership (Gemitzi et al. 2006)

Kerentanan Sosial (VS) merupakan suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial masyarakat dalam menghadapi bencana. Potensi tersebut salah satunya dapat dianalisis dengan memasukan indikator jumlah penduduk, dalam hal ini berkaitan dengan distribusi penduduk di daerah penelitian. Data demografi yang berkaitan dengan jumlah penduduk pada umumnya diperoleh dalam bentuk tabel statistik dan disajikan secara spasial mengacu pada batas unit administrasi suatu daerah. Pemetaan dasymetric merupakan salah satu metode pemetaan tematik berbasis wilayah yang menghasilkan informasi spasial lebih rinci (Khomarudin 2010). Pemetaan dasymetric memiliki keunggulan dalam menghasilkan peta distribusi populasi yang lebih realistis jika dibandingkan dengan pemetaan choropleth. Hal ini dapat dilakukan dengan proses tumpang susun (overlay) antara data sensus penduduk, batas administrasi wilayah dengan informasi penggunaan lahan atau penutup lahan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) (Bajat et al. 2010; Linard et al. 2013). Klasifikasi area permukiman dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan Index-based Built-up Index (IBI) yang diekstraksi dengan menggunakan citra satelit Landsat 8 LDCM. Pendekatan IBI tersebut mengkombinasikan tiga informasi tematik, yaitu: NDBI, Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI), dan Modified Normalized Difference Water Index (MNDWI). Pendekatan ini mengindikasikan bahwa area permukiman akan tampak mempunyai nilai indeks terbesar dibandingkan dengan objek penggunaan lahan lainnya. Formula dari pendekatan indek IBI dapat disajikan dalam persamaan 14 – 17 (Zha et al. 2003; Xu 2007; Khomarudin 2010):

STU: = "V89 W89#"V89XW89# (14)

(37)

20

ST\: = "]^YY V89#"]^YY XV89# (16)

:U: = [W`a8 [W`a8X "bcdefghije#"bcdefghije# ] ] (17)

Dimana: MIR adalah band mid-infrared pada citra Landsat. NIR adalah band near-infrared pada citra Landsat. Red adalah band merah pada citra Landsat. Green

adalah band hijau pada citra Landsat. l adalah nilai konstanta antara 0 dan 1 yang digunakan sebagai bobot dependen untuk tutupan lahan vegetasi dan kelembagan tanah (l faktor = 0.5 dapat digunakan untuk seluruh citra).

Pengembangan terhadap metode pendekatan IBI dalam penelitian ini dilakukan dengan menambahkan fusi data menggunakan saluran pankromatik. Fusi data pankromatik tersebut dapat dilakukan setelah melakukan formulasi terhadap pendekatan IBI. Hasil klasifikasi tersebut pastinya akan mengalami gangguan dengan hadirnya speckle noise. Untuk mengatasi masalah tersebut, dapat dilakukan salah satunya dengan pendekatan segmentasi objek yang bertujuan untuk mengidentifikasi struktur spasial data terhadap geometrik resolusi citra (Pulvirenti et al. 2011; Bignami et al. 2013). Proses edit terhadap beberapa kesalahan klasifikasi dapat dilakukan berdasarkan hasil vektor segmentasi. Hal ini seperti yang telah dikemukakan oleh Xu (2007) bahwa kesalahan dalam klasifikasi dapat dijumpai, seperti pada objek lahan terbuka yang memiliki nilai IBI hampir sama dengan area terbangun (built-up areas).

Pada penelitian ini, hasil segmentasi klasifikasi permukiman dari pendekatan IBI pada citra satelit Landsat 8 LDCM digunakan sebagai input untuk melakukan estimasi distribusi penduduk secara spasial. Dengan demikian data sensus penduduk pada tahun 2012 dari data Kabupaten Dalam Angka 2013 - Badan Pusat Statistik (BPS) pada tingkat kecamatan dan batas administrasi wilayah dari Badan Informasi Geospasial (BIG) pada skala 1:25,000 diperlukan dalam penelitian ini. Estimasi distribusi penduduk secara spasial dapat dilakukan berdasarkan formula yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Khomarudin et al.

(2010). Formula untuk melakukan estimasi distribusi penduduk secara spasial disajikan dalam persamaan 18 – 20.

EK = (18)

= l J (19)

J = nm m ∗ EK (20)

(38)

21

Tabel 6. Indikator dalam menentukan Kerentanan Sosial di daerah penelitian (BNPB 2012)

Indikator Keterangan Kelas Indeks

Jumlah penduduk

Semakin banyak jumlah penduduk yang tinggal pada suatu wilayah

maka kerentanannya dalam

menghadapi suatu bencana semakin tinggi.

Persentase perbandingan jumlah penduduk wanita dan pria dalam suatu wilayah. Penduduk wanita menggambarkan kemampuan yang relatif rendah atau lebih rentan dalam menghadapi suatu bencana.

Persentase perbandingan jumlah penduduk prasejahtera dalam suatu wilayah. Semakin tinggi persentase penduduk miskin dalam suatu wilayah maka akan menambah kerentanan wilayah tersebut dalam menghadapi suatu bencana.

Persentase jumlah penduduk usia anak (<15 tahun) dan usia lanjut (>65 tahun) dengan jumlah penduduk pada usia produktif (15 – 65 tahun). Tingginya persentase penduduk usia anak dan usia lanjut menggambarkan kemampuan fisik relatif lebih rendah, karena mempunyai ketergantungan pada penduduk usia produktif dan cenderung memiliki kemampuan mobilitas yang terbatas saat menghadapi bencana.

Distribusi penduduk secara spasial yang dihasilkan tentunya memiliki potensi kesalahan (error). Perhitungan tingkat kesalahan tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan Population Distribution Error (PDE). Data referensi yang dipergunakan untuk memperhitungkan tingkat kesalahan adalah data Potensi Desa (PODES) yang terdapat pada setiap kecamatan, karena ketersediaan data PODES tersebut pada setiap kecamatan tidaklah sama (hanya terdapat pada beberapa kecamatan di daerah penelitian). Asumsi dari penggunaan data PODES ini adalah populasi penduduk yang terdapat pada satu wilayah desa dianggap sebagai jumlah sesungguhnya penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Perhitungan PDE dapat disajikan dalam persamaan 21 (Khomarudin 2010).

Gambar

Gambar 3. Peta geologi distribusi material piroklastik pada kejadian 4 (empat) phase erupsi Merapi 2010
Tabel 3. Skala nilai kepentingan untuk metode Perbandingan Berpasangan (PB)
Tabel 6. Indikator dalam menentukan Kerentanan Sosial di daerah penelitian                     (BNPB 2012)
Gambar 5. DEM hasil pengolahan data citra satelit ALOS PALSAR
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

jalan 6 (enam) lajur (baik jalan perkotaan maupun jalan luar kota) ditentukan dengan mengacu pada FC SF untuk jalan 4 (empat) lajur (tabel. 4.7, dan 4.8) dengan mengalikannya

Keuntungan dari sistem ini adalah komponen rangkaian yang banyak dipasaran yang harganya cukup terjangkau, efisiensi biaya dapat dicapai, mudah dalam perawatan,

Tentu saja, Munawir menjadi naik pitam dikatakan sebagai seorang yang sekuler terhadap Islam, karena menurut pandangan Munawir Sjadzali terhadap dirinya, ia adalah orang

Pelepasan informasi medis dapat dicatatat atau dicopy oleh pasien atau orang tua atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk

Ini sesuai de- ngan apa yang sudah dilakukan oleh LMI bahwa dalam usahanya yang memanfaatkan sumberdaya yang apa adanya, LMI bisa mencapai apa yang menjadi tujuan dibentuknya

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Ta’ala, atas segala hidayah dan rahmat-Nya serta sholawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wasallam

Maka hasil penelitian ini sesuai dengan dasar teori yaitu terdapat hubungan negatif yang bermakna antara skor self esteem dan skor tingkat ansietas pada