• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Data

Nyamuk Aedes aegypti tersebar di seluruh pelosok tanah air, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Kota Bogor berada pada ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan letak ketinggian tersebut maka, Kota Bogor menjadi daerah potensial berkembangnya nyamuk Aedes aegypti penyebab penyakit DB.

Gambar 2 Peta sebaran jumlah penderita penyakit DB di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2009, 2010 dan 2011

15

Warna merah pada Gambar 2 menunjukkan daerah endemis penyakit DB, kelurahan yang termasuk kategori tersebut adalah Kelurahan Batutulis, Ranggamekar, Cibuluh, Cimahpar, Tanah Baru, Tegalgundil, Bantarjati, Kedunghalang, Ciparigi, Ciluar, Baranangsiang, Katulampa, Tajur, Sindangsari, Sindangrasa, Sukasari, Batutulis, Ranggamekar, Pamoyanan, Mulyaharja, Bondongan, Empang, Cikaret, Cipaku, Lawanggintung, Harjasari, Pabaton, Cibogor, Sempur, Tegal Lega, Babakan, Ciwaringin, Panaragan, Kebon Kalapa, Gudang, Paledang, Babakan Pasar, Tanahsereal, Kebonpedes, Kedungbadak, Kedungjaya, Kedungwaringin, Kayumanis, Cibadak, Kencana, Sukaresmi, Sukadamai dan Mekarwangi.

Warna kuning menunjukkan daerah sporadis penyebaran DB, kelurahan yang termasuk kategori tersebut adalah Kelurahan Genteng, Rancamaya, Kertamaya, Bojongkerta, Pakuan dan Margajaya. Kelurahan Muarasari berwarna hijau dan menjadi daerah yang potensial untuk penyebaran penyakit DB dan dikelilingi oleh kelurahan tetangga yang merupakan daerah sporadis dan endemis kasus DB.

Gambar 3 Jumlah penderita DB di Kota Bogor tahun 2009, 2010 dan 2011 Jumlah penderita DB di Kota Bogor 2009, 2010 dan 2011 pada Gambar 3 menunjukkan Kecamatan Bogor Barat yang terdiri dari 16 Kelurahan terdapat penderita DB tertinggi dalam kurun waktu 3 tahun dari 2009 sampai 2011 dibandingkan 5 Kecamatan lainnya. Kecenderungan turunnya angka jumlah penderita DB terjadi pada tahun 2011. Pada tahun 2010 penderita DB di Kecamatan Bogor Barat berjumlah 444, turun menjadi 173 di tahun 2011. Hal yang serupa terjadi di 5 Kecamatan lainnya. Cenderung jumlah penderita DB mengalami penurunan di tahun 2011. Sementara Kecamatan Bogor Selatan yang juga terdiri dari 16 Kelurahan merupakan Kecamatan kedua setelah Bogor Timur yang paling sedikit jumlah Penderita DB nya dalam kurun waktu 3 tahun 2009, 2010 dan 2011. 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Bogor Selatan Tanah Sareal Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Timur Bogor Barat Ju m lah P e n d e r ita D B

Kecamatan di Kota Bogor

Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011

Tabel 1 Korelasi jumlah penderita penyakit DB di Kota Bogor tahun 2009, 2010 dan 2011

Peubah Yi,2009 Yi,2010 Yi,2011

Korelasi Nilai-p Korelasi Nilai-p Korelasi Nilai-p

Yi,2009 1 0.84** 0.00 0.78** 0.00

Yi,2010 0.84** 0.00 1 0.75** 0.00

Yi,2011 0.78** 0.00 0.75** 0.00 1 **. Signifikan pada taraf 0.01

Keterangan tabel:

Yi,2009 adalah jumlah penderita penyakit DB di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2009, Yi,2010 adalah jumlah penderita penyakit DB di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2010 dan Yi,2011 adalah jumlah penderita penyakit DB di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2011.

Korelasi jumlah penderita penyakit DB di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2009, 2010 dan 2011 terlihat di Tabel 1 jumlah penderita penyakit DB di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2011 dengan jumlah penderita penyakit DB di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2009 dan 2010 di 68 kelurahan di Kota Bogor memiliki hubungan nyata yaitu sebesar 0.78 dan 0.75. Hubungan antara jumlah penderita penyakit DB di kelurahan di Kota Bogor tahun 2009 dan tahun 2010 yaitu sebesar 0.84. Hubungan ini menunjukkan keterkaitan antara pola sebaran penyakit DB di tahun 2009, 2010 dan 2011 yang cenderung tetap di suatu wilayah tertentu. Pola perilaku atau kebiasaan penduduk yang belum berubah terlihat dari hubungan ini, diasumsikan bahwa penderita DB dari lingkungan perumahan atau kawasan tertentu mungkin tetap menjadi langganan penyakit DB.

Gambar 4 Jumlah penderita DB tahun 2009 berdasarkan jenis kelamin Jumlah kasus penderita DB terbanyak di tahun 2009 berdasarkan jenis kelamin seperti terlihat di Gambar 4 yaitu perempuan sebanyak 174 orang ditemukan di Bogor Barat sedangkan penderita laki-laki sebanyak 200 orang ditemukan di Bogor Utara. Penderita kasus DB berjenis kelamin laki-laki paling sedikit ditemukan di Bogor Timur sebanyak 24 orang, penderita DB perempuan paling sedikit 19 orang ditemukan di Bogor Timur.

0 50 100 150 200 250 Bogor Selatan Tanah Sereal Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Timur Bogor Barat Ju m lah p e n d e r ita p e n yak it D B

Kecamatan di Kota Bogor

Laki-laki Perempuan

17

Gambar 5 Jumlah penderita DB 2010 berdasarkan jenis kelamin

Jumlah kasus penderita DB terbanyak di tahun 2010 berdasarkan jenis kelamin seperti terlihat di Gambar 5 yaitu perempuan sebanyak 198 orang ditemukan di Bogor Utara sedangkan penderita laki-laki sebanyak 186 orang ditemukan di Bogor Utara. Penderita kasus DB berjenis kelamin laki-laki paling sedikit ditemukan di Bogor Timur sebanyak 30 orang, penderita DB perempuan paling sedikit 34 orang ditemukan di Bogor Timur.

Gambar 6 Jumlah penderita DB tahun 2011 berdasarkan jenis kelamin Jumlah kasus penderita DB terbanyak di tahun 2011 berdasarkan jenis kelamin seperti pada Gambar 6 yaitu perempuan sebanyak 74 orang ditemukan di Bogor Utara sedangkan penderita laki-laki sebanyak 73 orang ditemukan di Bogor Barat. Penderita kasus DB berjenis kelamin laki-laki paling sedikit ditemukan di Bogor Timur sebanyak 8 orang, penderita DB perempuan paling sedikit 19 orang ditemukan di Bogor Selatan dan Bogor Timur.

0 50 100 150 200 250 Bogor Selatan Tanah Sereal Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Timur Bogor Barat Ju m lah p e n d e r ita p e n yak it D B

Kecamatan di Kota Bogor

Laki-laki Perempuan 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Bogor Selatan Tanah Sereal Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Timur Bogor Barat Ju m lah p e n d e r ita p e n yak it D B

Kecamatan di Kota Bogor

Laki-laki Perempuan

Vektor penyebaran penyakit DB yaitu nyamuk Aedes aegypti menggigit manusia tidak membedakan usia dan jenis kelamin. Radius jarak terbang nyamuk Aedes aegypti ini adalah 50-100 meter. Nyamuk ini pun mempunyai kebiasaan hidup pada genangan air jernih pada bejana buatan manusia yang berada di dalam dan luar rumah, nyamuk dewasanya beristirahat dan aktif menggigit di siang hari di dalam rumah (endofilik-endofagik).

Gambar 7 Rata-rata umur penderita DB tahun 2009, 2010 dan 2011

Gambar 7 menunjukkan rata-rata umur tertinggi penderita DB di Kota Bogor pada tahun 2009 adalah Kecamatan Tanah Sareal yaitu 22 tahun 11 hari, sedangkan yang terendah di Kecamatan Bogor Tengah yaitu 14 tahun 8 bulan. Rata-rata umur tertinggi penderita DB di Kota Bogor pada tahun 2010 adalah Kecamatan Tanah Sareal yaitu 20 tahun 2 bulan, sedangkan yang terendah di Kecamatan Bogor Timur yaitu 13 tahun 7 bulan. Rata-rata umur tertinggi penderita DB di Kota Bogor pada tahun 2011 adalah Kecamatan Bogor Timur yaitu 25 tahun 6 bulan, sedangkan yang terendah di Kecamatan Bogor Selatan yaitu 10 tahun 10 bulan. Demam berdarah adalah penyakit demam yang berlangsung akut menyerang baik orang dewasa maupun anak-anak berusia di bawah 15 tahun, disertai dengan pendarahan dan dapat menimbulkan syok yang dapat menyebabkan kematian penderita.

Spesies nyamuk Aedes aegypti mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali. Sifat tersebut meningkatkan risiko penularan DB di wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat, satu individu nyamuk yang infektif dalam satu periode waktu menggigit akan mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang.

0 5 10 15 20 25 30 Bogor Selatan Tanah Sareal Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Timur Bogor Barat R ata -r ata Ju m lah P e n d e r ita D B

Kecamatan di Kota Bogor

Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011

19

Gambar 8 Kepadatan penduduk di Kota Bogor tahun 2009, 2010 dan 2011 Kota Bogor terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan, jumlah penduduk tahun 2011 adalah 967398 jiwa dengan luas wilayah 118.5 km2. Dilihat dari Gambar 8 kepadatan penduduk, Kecamatan Bogor Tengah terdiri dari 11 kelurahan merupakan kecamatan yang memiliki angka kepadatan penduduk tertinggi yaitu 13828 jiwa/km2 tahun 2009, 12472 jiwa/km2 tahun 2010 dan 12564 jiwa/km2 tahun 2011. Kecamatan Bogor Barat dan Bogor Selatan merupakan kecamatan yang memiliki kelurahan terbanyak yaitu masing-masing 16 kelurahan namun tingkat kepadatan penduduknya lebih sedikit dibandingkan Kecamatan Bogor Tengah. Kecamatan Bogor Barat merupakan kecamatan terluas yaitu 32.85 km2 dengan kepadatan penduduknya 6271 jiwa/km2 tahun 2009, 6426 jiwa/km2 tahun 2010 dan 6540 jiwa/km2 tahun 2011. Kecamatan Bogor Timur merupakan kecamatan dengan kelurahan paling sedikit yaitu 6 kelurahan, dengan kapadatan penduduk sebesar 9332 jiwa/km2 tahun 2009, 9369 jiwa/km2 dan 9519 jiwa/km2.

Perubahan penduduk meliputi perubahan jumlah dan komposisi penduduk. Perubahan jumlah penduduk diakibatkan oleh tiga komponen: fertilitas, mortalitas dan migrasi. Fertilitas atau kelahiran akan menyebabkan penambahan jumlah penduduk, mortalitas merupakan komponen demografi yang berkaitan dengan kematian atau peristiwa kematian yang berpengaruh terhadap pengurangan jumlah penduduk, sedangkan migrasi dapat menambah atau mengurangi jumlah penduduk. Secara demografi mobilitas berarti perpindahan penduduk secara geografis. Perpindahan untuk maksud menetap disebut migrasi, sedangkan perpindahan tidak untuk menetap disebut mobilitas sirkuler (tinggal sementara) dan Commuter (ulang pergi atau tidak menginap).

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 Bogor Selatan Tanah Sareal Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Timur Bogor Barat K e p ad atan P e n d u d u k

Kecamatan di Kota Bogor

Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011

Gambar 9 Mobilitas penduduk di Kota Bogor 2009, 2010 dan 2011

Mobilitas penduduk di Kota Bogor dalam kurun waktu 3 tahun yaitu 2009, 2010 dan 2011 cenderung mengalami peningkatan di beberapa Kecamatan. Kecamatan Tanah Sareal angka mobilitas penduduknya paling tinggi di tahun 2011 yaitu 1735, diikuti oleh Kecamatan Bogor Selatan sebesar 1518 dan Bogor Utara sebesar 1409.

Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan yang letaknya berada paling dekat di tengah-tengah masyarakat dan mudah dijangkau dibandingkan dengan unit pelayanan kesehatan lainnya (Rumah Sakit Swasta maupun Negeri). Fungsi Puskesmas adalah mengembangkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh meliputi aspek promosi, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Prioritas yang harus dikembangkan oleh Puskesmas harus lebih mengedepankan upaya pencegahan.

Gambar 10 Jumlah Puskesmas/Puskesmas pembantu di Kota Bogor tahun 2009, 2010 dan 2011 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 Bogor Selatan Tanah Sareal Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Timur Bogor Barat M o b il itas P e n d u d u k d i K o ta B o go r

Kecamatan di Kota Bogor

Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 0 2 4 6 8 10 12 Bogor Selatan Tanah Sareal Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Timur Bogor Barat Ju m lah P u sk e sm as/ P u sk e sm as P e m b an tu

Kecamatan di Kota Bogor

Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011

21

Kelurahan di Kota Bogor belum semuanya terdapat Puskesmas/Puskesmas pembantu. Kota Bogor terdiri dari 68 Kelurahan tetapi jumlah Puskesmas dan Puskesmas pembantu di Kota Bogor sampai tahun 2011 baru 52 unit yang terdiri dari 24 Puskesmas dan 28 Puskesmas pembantu. Jika di 68 Kelurahan di Kota Bogor memiliki satu Puskesmas dan satu Puskesmas pembantu maka totalnya masih kurang 44 Puskesmas dan 40 Puskesmas pembantu yang perlu dibangung di Kota Bogor.

Gambar 10 menunjukkan Kecamatan Bogor Selatan yang terdiri dari 16 Kelurahan, masih terdapat 5 kelurahan yang belum memiliki Puskesmas/ Puskesmas pembantu yaitu Kelurahan Pamoyanan, Empang, Cikaret, Kertamaya dan Muarasari. Kecamatan Tanah Sareal ada 3 dari 11 Kelurahan yang belum memiliki Puskesmas/Puskesmas pembantu yaitu Kedungjaya, Cibadak dan Sukadamai. Kecamatan Bogor Utara tinggal Kelurahan Cibuluh yang belum memiliki Puskesmas/Puskesmas pembantu. Kecamatan Bogor Tengah masih terdapat 2 dari 11 kelurahan yang belum memiliki Puskesmas atau Puskesmas pembantu yaitu Kelurahan Cibogor dan Paledang. Kecamatan Bogor Timur masih terdapat 2 dari 6 kelurahan yang belum memiliki Puskesmas atau Puskesmas pembantu yaitu Kelurahan Tajur dan Sindangsari.

Program wajib yang dilakukan Puskesmas atau Puskesmas pembantu di suatu kelurahan adalah promosi kesehatan (Promkes), penyuluhan kesehatan masyarakat, sosialisasi program kesehatan, perawatan kesehatan masyarakat (Perkesmas) serta pencegahan penyakit menular (P2M), surveilens epidemiologi dan pelacakan kasus: TBC, Kusta, DB, Malaria, Flu Burung, ISPA, Diare, Rabies.

Gambar 11 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Pencegahan yang murah dan efektif untuk memberantas nyamuk ini adalah dengan cara 3M yaitu menguras, menyikat dan menutup tempat-tempat penampungan air bersih, bak mandi, vas bunga dan sebagainya, paling tidak seminggu sekali, karena nyamuk tersebut berkembang biak dari telur sampai menjadi dewasa dalam kurun waktu 7-10 hari. Halaman atau kebun di sekitar rumah harus bersih dari benda-benda yang memungkinkan menampung air bersih, terutama pada musim hujan. Pintu dan jendela rumah sebaiknya dibuka setiap hari, mulai pagi hari sampai sore, agar udara segar dan sinar matahari dapat

masuk, sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang sehat. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk tersebut.

Pemodelan

Tahapan pertama dalam pemodelan ini ialah meregresikan peubah respon data jumlah penderita DB di 68 kelurahan di Kota Bogor (Y1) dengan peubah penjelasnya yaitu jumlah kepadatan penduduk (X1), mobilitas penduduk (X2), rata-rata umur penderita DB (X3), jumlah Puskesmas/Puskesmas pembantu (X4) di 68 kelurahan di Kota Bogor. Model persamaan regresinya diperoleh sebagai berikut:

Y2011 = 2.35 + 0.000005 X1 + 0.03078 X2 + 0.0434 X3 + 3.84 X4 (1) Hasil pengujian normalitas menggunakan histogram dan P Plot, dapat disimpulkan bahwa Y2011 dari pemodelan regresi umum (1) di atas tidak menyebar normal seperti yang terlihat pada Lampiran 3. Karena itu dilakukan transformasi data terhadap peubah respon Y2011, transformasi data yang digunakan adalah akar kuadrat. Hasil uji normalitas, kehomeganan ragam, multikolinearitas dan autokorelasi yang baru selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Model regresi baru yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Y2011 = 1.1326 + 0.000016 X1 + 0.00466 X2 + 0.0250 X3 + 0.613 X4 (2) Hasil pengujian normalitas menggunakan histogram dan P Plot pada Lampiran 4, dapat disimpulkan bahwa Y2011 dari pemodelan regresi umum (2) di atas menyebar normal. Uji homogenitas ragam berdasarkan plot prediksi dan sisaan pada Lampiran 4 menunjukan data tidak tersebar merata diatas sumbu 0 dan tidak membentuk pola, maka dapat disimpulkan ragam sisaan homogen. Nilai VIF dari setiap peubah penjelas kecil dari 5, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kolinearitas antar peubah dalam model regresi umum (2) diatas seperti yang terlihat pada Lampiran 4. Hasil perhitugan Durbin Watson dari model diperoleh 1.389. Jumlah peubah penjelas pada model regresi umum diatas ada 4, maka k=4 dengan n = 68 dan = 5% maka nilai tabelnya yaitu dl=1.4853 dan du=1.7335. Jika dibandingkan dengan nilai tabel maka nilai Durbin Watson berada pada daerah I yaitu DW=1.38918<dl=1.4853 yang artinya terdapat korelasi positif. nilai Indeks Moran untuk Y2011 berdasarkan perhitungan dalam penelitian Praja (2013) adalah 0.37.

Permasalahan autokorelasi positif dan adanya pengaruh spasial antar wilayah pada data jumlah penderita DB di Kota Bogor, maka selanjutnya dilakukan dua pendekatan model regresi yaitu pendekatan regresi sekuensial dan regresi data panel untuk mendapatkan model regresi spasial-temporal.

a. Regresi Sekuensial

Peubah penjelas yang signifikan pada model regresi (2) adalah mobilitas penduduk (X2) dan jumlah Puskesmas/Puskesmas pembantu di Kota Bogor (X4), dengan pertimbangan hal tersebut seperti terlihat pada Lampiran 4 dan korelasi antara peubah respon Y2011 dan peubah penjelas X1, X2, X3, X4 seperti terlihat pada Lampiran 5. Maka regresi antara peubah respon Y2011 dan peubah penjelasnya yang signifikan saja yang dipakai sehingga diperoleh bentuk persamaan berikut:

23

Tahapan selanjutnya pada pendekatan regesi sekuensial adalah meregresikan sisaan dari model diatas dengan WY2011 untuk melihat efek spasialnya, hasil yang diperoleh sebagai berikut:

Yi,2011 = 0.15739 WYi,2011

Koefisien regresi untuk Y2009 dan Y2010 setelah di regresikan dengan sisaan dari model regresi pada tahapan di atas tidak signifikan seperti terlihat pada Lampiran 5.

Y∗∗,2011 = −0.00563 Yi,2009 + 0.017584 Yi,2010

Sehingga, model regresi spasial-temporal dengan menggunakan regresi sekuensial menghasilkan model regresi sebagai berikut:

Yi,2011 = 1.5734 + 0.15739 WYi,2011 + 0.005260 X2i,2011 + 0.7092 X4i,2011

Pemodelan spasial-temporal dengan pendekatan sekuensial dari tahapan pertama sampai tahapan akhir sehingga mendapatkan koefesien regresi seperti pada model di atas dinyatakan dalam tabel ANOVA berdasarkan tabel ANOVA pada tiap tahapan seperti yang terlihat pada Lampiran 5 disajikan dalam Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2 ANOVA model regresi spasial-temporal dengan pendekatan regresi sekuensial

Model db JK KT F F Tabel Regresi 3 83.62 27.8733 58.50 2.76 Sisaan 64 30.50 0.4765

Total 67 114.13

Nilai R2 dan R2 (� ) melalui perhitungan diperoleh hasil sebagai berikut: R2 = 83.62 114 .12 = 0.7327 atau R2 = 73.27 dan R2 adjusted = 1−(1−0.7327)68−1 68−4= 0.7202

atau R2(adjusted)=72.02% dengan MSE = 0.4765.

Nilai koefisien determinasi sebesar R2=73.27% dan R2(adjusted)=72.02% menunjukkan besarnya keragaman peubah respon yang mampu dijelaskan oleh peubah penjelas dalam model regresi spasial-temporal dengan pendekatan regresi sekuensial. Warga Kota Bogor mulai menerapkan pola hidup sehat dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungannya. Meskipun pada Tabel 1 terlihat korelasi yang tinggi dan nyata antara penderita DB antara tahun 2009, 2010 dan 2011. Tapi setelah dilakukan pemodelan regresi dengan memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sebaran penyakit DB yaitu mobilitas penduduk. Nilai koefisien Yi,2009 dan Yi,2010 tidak signifikan, hal ini menunjukkan asumsi awal bahwa penderita DB di tahun sebelumnya bisa saja terkena DB lagi tidak terpenuhi. Tetapi karena didukung oleh sarana transportasi yang baik dan mobilitas penduduk yang tinggi di Kota Bogor maka penyebaran penyakit DB di Kota Bogor masih tetap tinggi meskipun sudah mengalami penurunan di tahun 2011 ini.

Penyebaran penyakit BD di Kota Bogor masih terjadi dan penyebaran nyamuk Aedes aegypti terus terjadi antar kelurahan di Kota Bogor. Hal ini dikarenakan kemampuan terbang nyamuk ini bisa mencapai radius 100 m. Penyebaran antar kelurahan ini terlihat dari nilai koefisien 0.15739 dari WYi,2011, angka menunjukkan jika rata-rata jumlah penderita DB dari tetangga sekitar kelurahan ke-i tahun 2011 di Kota Bogor 10 orang maka kemungkinan terdapat penderita DB di kelurahan ke-i di tahun ke-t adalah sekitar 2 orang.

Nilai koefisien dari faktor mobilitas penduduk di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2011 (X2i,2011) sebesar 0.005260 berarti bahwa jika di kelurahan ke-i di tahun 2011 terdapat mobilitas penduduk sebanyak 1000 orang, maka peluang ditemukan penderita DB di kelurahan ke-i di tahun 2011 bertambah sebanyak 5 orang. Faktor mobilitas penduduk ini juga menunjukkan bahwa bisa saja warga Kota Bogor tidak hanya bisa terkena gigitan nyamuk Aedes aegypti di rumahnya saja, tetapi juga di tempat umum dan lingkungan kerjanya yang mungkin kurang memperhatikan kebersihan lingkungan. Nilai koefisien dari faktor jumlah Puskesmas/Puskesmas pembantu di 68 Kelurahan di Kota Bogor tahun 2011 X4i,2011 sebesar 0.7092 berarti bahwa jika di kelurahan ke-i di tahun 2011 ada 1 Puskesmas/Puskesmas pembantu maka akan menambah kemungkinan penderita DB di kelurahan ke-i di tahun 2011 ditemukan sebanyak 1 orang. Tetapi, secara teori keberadaan Puskesmas/Puskesmas pembantu harusnya membantu dalam mencegah penyebaran dan peningkatan jumlah penderita DB di suatu kelurahan bukan malah sebaliknya. Hal ini berarti bahwa bukan terpenting jumlah keberadaan Puskesmasnya dalam mengurangi penyakit DB, tetapi bagaimana kesadaran warga Kota Bogor dalam memperhatikan kesehatan diri dan lingkungannya.

b. Data Panel

Pemodelan regresi spasial-temporal dengan pendekatan data panel menghasilkan model prediksi berikut:

Yit = −7.98 + 3.33 D2009 + 3.71 D2010 + 0.85558 WYit+ 0.000202 X1it + 0.03552 X2it + 0.0312 X3it + 3.79 X4it

Koefisien regresi dari pebuah dummy D2009, D2010, peubah penjelas X1it dan X2it tidak signifikan seperti yang terlihat pada Lampiran 6. Model prediksi baru dengan mengeluarkan peubah yang tidak signifikan diperoleh hasil berikut:

Yit =−4.47 + 0.93919 WYit + 0.02844 X2it + 4.06X4it

Nilai koefisien determinasi R2 = 56.3% dan R2 � = 55.7 % berarti bahwa model prediksi di atas mampu menjelaskan keragaman antara data jumlah penyakit DB di Kota Bogor tahun 2009, 2010 dan 2011, menggambarkan pola hubungan spasial antar wilayah kelurahan di Kota Bogor dengan temporal antar waktu 2009, 2010 dan 2011 dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam model adalah mobilitas penduduk dan jumlah Puskesmas/Puskesmas pembantu di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2009, 2010 dan 2011 sebesar 56.3% dengan MSE=153.

Koefisien negatif sebesar -4.47 menunjukkan rata-rata penurunan jumlah penderita DB di tahun 2011 dibandingkan jumlah penderita DB tahun 2009 dan 2010 hal ini terlihat pada Gambar 3. Jumlah penderita DB tahun 2009 adalah 1510 kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2010 menjadi 1791 dan turun di tahun

25

2011 menjadi 612. Nilai koefisien 0.93919 dari WYit menunjukkan jika rata-rata jumlah penderita DB dari tetangga sekitar kelurahan ke-i tahun ke-t di Kota Bogor sebesar 10 orang maka kemungkinan terdapat penderita DB di kelurahan ke-i di tahun ke-t adalah sekitar 9 orang.

Nilai koefisien dari faktor mobilitas penduduk di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2009, 2010 dan 2011 X2it sebesar 0.02844 diartikan bahwa jika terdapat mobilitas penduduk di kelurahan ke-i tahun ke-t sebanyak 100 orang berdampak pada peluang ditemukannya kasus DB di kelurahan ke-i di tahun ke-t sebanyak 3 orang. Nilai koefisien dari faktor jumlah Puskesmas/Puskesmas pembantu di 68 kelurahan di Kota Bogor tahun 2009, 2010 dan 2011 X4it sebesar 4.06 bukan berarti dengan penambahan jumlah Puskesmas di Kota Bogor maka semakin meningkat jumlah penderita penyakit DB. Karena penyakit DB adalah penyakit yang berkaitan dengan pola perilaku masyarakat yaitu pola hidup bersih dan sehat. Puskesmas melalui program wajibnya berusaha mengingatkan dan menghimbau masyarakat untuk memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan sekitarnya dalam upaya mencegah penyebaran penyaki menular seperti DB. Saat ini sudah ada 3 Puskesmas di Kota Bogor yaitu Puskesmas Pasir Mulya, Tanah Sereal dan Mekar Wangi yang membuka layanan rawat inap. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah Kota Bogor dalam memperhatikan kesehatan bagi warganya.

5 SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Model regresi spasial-temporal dengan pendekatan regresi sekuensial dan regresi data panel menunjukkan adanya pengaruh spasial terhadap penyebaran penyakit DB di Kota Bogor. Faktor-faktor non-spasial yang berpengaruh terhadap jumlah pederita demam berdarah (DB) di Kota Bogor pada pendekatan regresi sekuensial dan regresi data panel yaitu mobilitas penduduk dan jumlah Puskesmas/Puskesmas pembantu di 68 kelurahan di Kota Bogor. Kelurahan Muarasari yang tidak ditemukan kasus DB di tahun 2009, 2010 dan 2011. Jumlah penderita DB mengalami penurunan dari 1791 di tahun 2010 turun menjadi 612 di tahun 2011. Hal ini menunjukkan keberhasilan dari program pemerintah melalui Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam upaya mengurangi penyebaran penyakit DB di Kota Bogor. Nilai koefisien regresi sekuensial untuk efek temporal jumlah penderita DB di tahun 2009 sebesar -0.00563 (p=0.62) dan tahun 2010 sebesar 0.017584 (p=0.08) tidak signifikan terhadap jumlah penderita DB di Kota Bogor pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan telah adanya kesadaran warga

Dokumen terkait