Karakteristik Bahan Baku
Karakterisasi bahan baku bertujuan untuk mengetahui karakteristik biji jarak pagar yang digunakan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar minyak, kadar serat, dan kadar karbohidrat (by difference). Hasil karakterisasi biji jarak pagar terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karaksteristik biji jarak pagar
Parameter Uji Nilai Hasil penelitian sebelumnya (Aprilyanti 2012) Kadar air (% bb) 7.87 8.03 Kadar minyak (% bb) 30.87 30.39 Kadar serat (% bb) 30.71 29.95 Kadar abu (% bb) 5.05 4.85 Kadar protein (% bb) 18.06 17.77 Kadar karbohidrat (% bb) 7.48 9.01
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa hasil karakterisasi bahan baku yang diperoleh pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya (Aprilyanti 2012). Hal tersebut dikarenakan varietas biji jarak yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya.
Kadar minyak dan kadar air di dalam biji jarak merupakan parameter yang penting di dalam proses produksi biodiesel karena akan berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas biodiesel yang dihasilkan. Kadar air yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 7.87%. Kadar air tersebut memiliki selisih ±0.16% dari penelitian sebelumnya (Aprilyanti 2012) yaitu sebesar 8.03%. Kadar minyak yang didapat pada penelitian ini sebesar 30.87 %, sedangkan pada penelitian Aprilyanti (2012) hasilnya sebesar 30.39%. Nilai kadar air dan kadar minyak yang diperoleh tidak berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan nilai penelitian Apriliyanti (2012). Adapun perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya perlakuan pasca panen dan penyimpanan bahan baku.
Kandungan air yang tinggi di dalam biji jarak dapat menghambat proses transesterifikasi in situ dan menyebabkan menurunnya kualitas biodiesel. Kandungan air yang tinggi pada bahan akan menyebabkan saponifikasi ester sehingga akan menurunkan efisiensi proses transesterifikasi (Kartika et al. 2011). Selain itu kadar air yang tinggi akan menyebabkan terjadinya hidrolisis trigliserida pada bahan menjadi asam-asam lemak bebas, sehingga bilangan asam pada biodiesel akan meningkat. Menurut Corro et al. (2010), transesterifikasi yang menggunakan katalis basa harus menggunakan bahan yang memiliki kandungan FFA <2%, maka dari itu pada penelitian ini kadar air dan kadar FFA pada biji jarak pagar dikondisikan <2%.
Kadar minyak yang tinggi pada biji jarak pagar akan menghasilkan konversi trigliserida menjadi biodiesel yang tinggi. Kadar minyak biji jarak dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya varietas biji jarak yang digunakan, usia panen, dan penanganan pasca panen. Kadar minyak yang tinggi diperoleh dari biji jarak pagar
7 dengan tingkat kematangan yang tepat, jika dipanen lebih awal (belum matang) akan menyebabkan kadar minyak rendah.
Selain kadar air dan kadar minyak, faktor lainnya yang dapat berpengaruh dalam proses produksi biodiesel melalui transesterifikasi in situ adalah ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel yang digunakan dapat meningkatkan kontak bahan dengan pelarut, meningkatkan efisiensi saat proses ekstraksi dan transesterifikasi, dan akan berpengaruh terhadap peningkatan rendemen biodiesel (Kartika et al. 2011). Pada penelitian ini, biji jarak pagar dihancurkan menggunakan blender untuk memperkecil ukuran menjadi 20 mesh.
Terdapat selisih ±0.2% untuk nilai kadar abu dan kadar protein yang diperoleh bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya Aprilyanti (2012). Kadar abu adalah jumlah mineral pada bahan yang tidak ikut terbakar saat proses pengabuan. Kadar abu yang tinggi dapat disebabkan oleh bahan pengotor yang terdapat di dalam bahan.
Kadar serat yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki selisih ±0.7%, dibandingkan dengan penelitian Aprilyanti (2012). Kadar serat dari biji jarak terdiri dari komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Kadar serat di dalam biji jarak dipengaruhi oleh komposisi kulit biji dan kernel biji. Biji jarak yang memiliki kadar serat yang tinggi, umumnya memiliki daging buah yang kecil. Berdasarkan hal tersebut, maka secara tidak langsung kadar serat di dalam biji jarak akan mempengaruhi kadar lemak.
Biji jarak terdiri dari bagian cangkang dan daging biji dengan persentase 37% dan 63% (Kartika et al. 2011). Apabila komposisi cangkang biji lebih besar dibanding daging biji, maka kadar serat yang dihasilkan juga tinggi. Kandungan serat yang tinggi akan menghasilkan ampas biodiesel yang baik sehingga dapat dimanfaatkan kembali menjadi papan partikel dan produk lain.
Kadar karbohidrat diperoleh dengan menggunakan perhitungan by difference, yaitu jumlah keseluruhan bahan (100%) dikurangi jumlah kadar air, kadar abu, kadar minyak, kadar protein, dan kadar serat. Kadar karbohidrat pada penelitian ini (7.48%) sedangkan penelitian Aprilyanti (2012) sebesar 9.01%. Perbedaan kadar karbohidrat pada penelitian ini disebabkan karena adanya perbedaan beberapa nilai parameter uji lainnya.
Optimasi Proses Produksi Biodiesel
Proses produksi biodiesel pada penelitian ini melalui transesterifikasi in situ,
menggunakan pelarut metanol serta heksan sebagai co-solvent. Metanol merupakan ekstraktan dan reaktan yang berfungsi untuk mengekstrak minyak di dalam biji jarak, kemudian bereaksi dengan minyak tersebut sehingga dapat terbentuk biodiesel. Pelarut metanol dipilih karena harga metanol lebih murah dan waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi lebih cepat bila dibandingkan dengan pelarut lainnya seperti etanol.
Menurut Kartika et al. (2013) pelarut metanol kurang efektif untuk mengekstrak minyak dari dalam biji jarak, sehingga diperlukan co-solvent seperti heksan agar ekstraksi minyak jarak dapat berlangsung secara maksimal. Heksan merupakan ekstraktan yang berfungsi untuk mengekstraksi minyak di dalam biji jarak. Heksan bersifat nonpolar sehingga hanya mengekstrak minyak dari dalam biji jarak, bukan senyawa polar seperti air (Kartika et al. 2013). Semakin tinggi minyak yang dapat terekstrak dari biji jarak, diharapkan akan semakin tinggi pula rendemen biodiesel yang diperoleh.
8
Katalis yang dapat digunakan pada proses transesterifikasi in situ adalah katalis basa atau asam. Penelitian ini menggunakan katalis basa kuat (KOH) yang ditambahkan pada metanol untuk mempercepat reaksi. Katalis basa akan menghasilkan rendemen biodiesel yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan katalis asam (Leung et al. 2010). Adapun alasan lain dipilihnya KOH sebagai katalis pada penelitian ini karena harganya murah, proses produksi biodiesel dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah, lebih efektif jika dibandingkan dengan katalis asam, dan memiliki aktivitas katalitik yang tinggi. Berdasarkan penelitian Shuit et al. (2010), transesterifikasi in situ minyak jarak pagar menggunakan katalis asam (H2SO4) membutuhkan waktu 24 jam untuk memperoleh rendemen sebanyak 99.8%.
Penelitian ini mengoptimasikan 4 faktor kondisi proses yaitu rasio heksan/total pelarut, suhu reaksi, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan. Faktor-faktor perlakuan tersebut digunakan untuk menentukan titik optimum rendemen dan mutu biodiesel (viskositas, bilangan asam, bilangan penyabunan, dan bilangan ester). Dengan menggunakan RSM dapat diperoleh kondisi proses terbaik untuk menghasilkan nilai respon yang optimum
Rendemen Biodiesel
Rendemen biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 70.6-82.5%. Berdasarkan hasil analisis SMSS, lack of fit, R2, dan adjusted R2 (Tabel 3), model yang sesuai untuk mengoptimasi kondisi proses dengan respon rendemen adalah model polinomial orde satu atau linier.
Tabel 3 Nilai parameter-parameter optimasi untuk respon rendemen
SMSS Lack of Fit Adjusted Keterangan Parameter Prob>F Prob>F R2 R2
Linier 0.0418 0.8749 0.3281 0.2161 Cocok 2FI 0.7596 0.8237 0.4331 0.1181
Kuadratik 0.7307 0.7595 0.5050 0.0099 Kubik 0.7461 0.4317 0.7669 -0.3051
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa model linier memiliki nilai SMSS
yang signifikan (P<0.05), sedangkan untuk model-model lainnya nilai SMSS tidak signifikan (P>0.05). Hal tersebut berarti bahwa model linier lebih cocok dibandingkan dengan model kuadratik ataupun model kubik. Hal tersebut didukung dengan nilai lack of fit yang tidak signifikan dan lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan nilai lack of fit dari model-model lainnya. Berikut adalah model polinomial orde satu yang diperoleh:
y = 76.19 – 1.81X1 + 0.63X2 + 0.84X3 – 0.28X4
Nilai R2 menunjukkan konstribusi faktor regresi terhadap respon (Lina 2013). Semakin besar nilai R2, makasemakin besar konstribusi atau pengaruh faktor terhadap respon. Adjusted R2 digunakan untuk menentukan kesesuaian nilai R2 yang diperoleh, dimana semakin kecil selisih antara nilai R2 dengan adjusted R2 maka nilai R2 tersebut semakin baik. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai R2 untuk model linier adalah 32.18%. Walaupun nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan model-model lainnya, tetapi selisih dengan nilai adjusted R2 adalah yang paling rendah (11.2%). Hal ini menegaskan bahwa model linierlah yang paling cocok digunakan untuk mengoptimasi kondisi proses produksi biodiesel dengan respon rendemen.
9
X1:Rasio Heksan/Total Pelarut
X3 :W ak tu Re ak si X4 :Ke ce p atan P en g ad u k an
X1:Rasio Heksan/Total Pelarut
X1:Rasio Heksan/Total Pelarut
Berdasarkan hasil analisis signifikansi pengaruh variabel-variabel terhadap respon (Lampiran 5) diperoleh hasil bahwa hanya variabel rasio heksan/total pelarut yang berpengaruh secara signifikan terhadap respon rendemen biodiesel. Variabel-variabel lainnya (suhu reaksi, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap rendemen biodiesel. Gambar 2 menunjukkan kontur pengaruh rasio heksan/total pelarut terhadap rendemen biodiesel pada berbagai suhu reaksi, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan.
Gambar 2 Kontur pengaruh rasio heksan/total pelarut terhadap rendemen pada berbagai kondisi proses
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa rendemen biodiesel meningkat seiring dengan penurunan rasio heksan/total pelarut. Berdasarkan penelitian Pujiastuti (2012), peningkatan heksan sebagai co-solvent tidak meningkatkan rendemen biodiesel secara signifikan. Hal tersebut dapat terjadi karena penggunaan heksan sebagai co-solvent hanya dapat meningkatkan ekstraksi minyak dari biji jarak, namun tidak memiliki kemampuan untuk mentransformasi minyak jarak menjadi biodiesel. Metanol berfungsi sebagai ekstraktan dan reaktan yang berperan penting di dalam proses transesterifikasi. Minyak jarak yang telah terekstrak akan bereaksi dengan metanol pada proses transesterifikasi sehingga dapat terbentuk metil ester dan gliserol. X2 :S u h u Rendemen (%) Rendemen (%) Rendemen (%)
10
Berdasarkan Gambar 2 juga dapat diketahui pengaruh faktor suhu reaksi, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan terhadap rendemen. Semakin tinggi suhu reaksi akan meningkatkan rendemen biodiesel, namun peningkatan yang terjadi tidak signifikan. Suhu diperlukan untuk mencapai kondisi reaksi. Pemanasan menyebabkan molekul-molekul minyak terdispersi dan terdistribusi ke dalam metanol dan bereaksi sehingga terjadi pemutusan ikatan gliserida dan membentuk metil ester. Suhu dapat menurunkan energi reaksi aktivasi, yaitu energi minimum yang digunakan untuk memulai reaksi. Semakin tinggi suhu, maka semakin banyak energi yang dapat digunakan reaktan untuk mencapai energi aktivasi. Berdasarkan penelitian Teng et al.
(2010), pada suhu reaksi antara 35-65 C akan terjadi peningkatan rendemen biodiesel. Namun suhu yang terlalu tinggi juga akan menurunkan rendemen biodiesel sesuai dengan penelitian Kartika et al. (2013), dimana pada peningkatan suhu dari 50-60 C terjadi penurunan rendemen biodiesel.
Pengaruh suhu dapat diketahui melalui hasil persamaan linier yang diperoleh, dimana suhu memiliki koefisien faktor yang positif. Nilai positif tersebut menandakan kesesuaian antara peningkatan faktor dan respon. Semakin tinggi nilai faktor maka akan semakin tinggi pula respon yang dihasilkan. Hal tersebut juga berlaku untuk waktu reaksi yang memiliki nilai koefisien faktor yang positif.
Waktu reaksi adalah lamanya proses yang digunakan pada proses transesterifikasi tersebut, dimana berhubungan dengan banyaknya konversi minyak di dalam biji jarak menjadi biodiesel. Waktu reaksi yang lebih lama pada proses transesterifikasi memfasilitasi molekul-molekul reaktan bertumbukan lebih lama sehingga konversi trigliserida menjadi metil ester dapat meningkatkan (Ozgul 2002). Namun waktu reaksi yang terlalu lama akan menurunkan rendemen biodiesel yang disebabkan oleh reaksi balik transesterifikasi (Kartika et al. 2013).
Kecepatan pengadukan yang digunakan, berdasarkan Gambar 2 ternyata tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai rendemen. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Kartika et al. (2013), dimana kecepatan pengadukan tidak berpengaruh terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan. Sehingga dengan menggunakan kecepatan pengadukan terendah (200 rpm), biodiesel sudah terbentuk dengan baik. Akan tetapi berdasarkan persamaan linier yang diperoleh dapat diketahui bahwa penurunan kecepatan pengadukan dapat meningkatkan rendemen. Hal tersebut karena kecepatan pengadukan memiliki koefisien faktor yang negatif. Nilai negatif tersebut menandakan jika nilai faktor semakin tinggi maka nilai respon akan semakin rendah. Pengadukan dapat meningkatkan pencampuran antara pelarut dengan bahan baku, dimana rendemen biodiesel akan tinggi jika fase minyak dan alkohol telah tercampur menjadi satu fase homogen (Korus et al. 2000). Hal tersebut memerlukan pengadukan yang sangat kuat pada awal reaksi. Bila waktu reaksi dan konversi biodiesel telah mencapai tingkat konversi maksimum sehingga campuran reaksi homogen, maka tidak bergantung lagi pada pengadukan.
Berdasarkan model polinomial orde satu atau model linier yang diperoleh pada penelitian ini dapat diestimasi kondisi proses optimum untuk memproduksi biodiesel jarak pagar melalui transesterifikasi in situ adalah rasio heksan/total pelarut (X1)= 0, suhu reaksi (X2)= 57.9 °C, waktu reaksi (X3)= 5.4 jam, dan kecepatan pengadukan (X4)= 206.6 rpm. Pada kondisi proses tersebut, rendemen biodiesel optimum yang diperoleh sebesar 82.6%. Hasil eksperimen menunjukkan rendemen biodiesel terbaik (82.5%) diperoleh pada kondisi proses X1= 0.33, X2= 50 °C, X3= 4 jam, dan X4= 400 rpm.
11 Rendemen biodiesel hasil pemodelan memiliki nilai sama dengan hasil eksperimen, dimana rendemen tersebut diperoleh pada kondisi proses rasio heksan/total pelarut dan kecepatan pengadukan lebih rendah, tetapi suhu reaksi dan waktu reaksi lebih tinggi. Perbedaan kondisi proses optimum yang diperoleh melalui optimasi dengan hasil penelitian dapat terjadi karena beberapa hal. Salah satunya karena nilai R2 yang rendah.
Kondisi proses hasil optimasi dianggap lebih menguntungkan untuk diterapkan pada industri dengan pertimbangan rendemen yang diperoleh dan minimasi biaya produksi. Pada kondisi proses berdasarkan optimasi penggunaan pelarut heksan yang memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan metanol. Harga metanol saat ini Rp 10.000/L, sedangkan heksan Rp 12.500/L. Selain itu kecepatan pengadukan dapat diturunkan dari 400 rpm menjadi 206.6 rpm. Walaupun suhu reaksi yang digunakan lebih tinggi dan waktu reaksi lebih lama, namun peningkatan tersebut tidak terlalu tinggi. Sehingga tidak memerlukan tambahan biaya yang terlalu mahal.
Viskositas
Viskositas biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 3.28-12.64 cSt. Berdasarkan hasil analisis SMSS, lack of fit, R2, dan adjusted R2 (Tabel 4), model yang sesuai untuk mengoptimasi kondisi proses dengan respon viskositas adalah model polinomial orde ketiga atau kubik.
Tabel 4 Nilai parameter-parameter optimasi untuk respon viskositas
SMSS Lack of Fit Adjusted Keterangan Parameter Prob > F Prob > F R2 R2
Linier 0.0003 < 0.0001 0.5764 0.5058 2FI 0.0003 < 0.0001 0.7248 0.5719
Kuadratik 0.0440 < 0.0001 0.8573 0.7147
Kubik < 0.0001 0.2980 0.9998 0.9989 Cocok Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa model kubik memiliki nilai SMSS
yang signifikan (P<0.05) yang paling rendah bila dibandingkan dengan model-model lain. Hal tersebut berarti bahwa berdasarkan nilai SMSS model kubik memiliki kemungkinan lebih sesuai dibandingkan dengan model lainnya, walaupun model lain juga memiliki nilai SMSS yang signifikan. Hal tersebut didukung dengan nilai lack of fit yang tidak signifikan dan lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan nilai lack of fit
dari model-model lainnya. Berikut adalah model polinomial orde ketiga yang diperoleh:
y = 9.54 + 196.64X1 - 0.062X2 - 0.067X3 + 0.046X4 + 0.96X1X2 - 0.40X1X3 + 0.45X1X4 - 0.099X2X3 - 0.52X2X4 - 0.78X3X4 + 0.85X12 - 4.46X22 + 0.040X32
+ 0.054X42 - 0.079X1X2X3 - 0.54X1X2X4 - 0.75X1X3X4 + 0.045X2X3X4 + 1.00X12X2 - 0.33X12X3 + 0.44 X12X4 - 146.28X1X22 - 47.96X13
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai R2 untuk model kubik adalah 99.98%. Nilai tersebut paling tinggi dibandingkan dengan model-model lainnya, serta selisih dengan nilai adjusted R2 adalah yang paling rendah (0.09%). Berdasarkan nilai
R2 diketahui bahwa variabel yang digunakan dapat menjelaskan respon sebesar 99.98%, sedangkan sisanya 0.02% dijelaskan oleh variabel lain. Nilai R2dan adjusted R2 yang diperoleh menegaskan bahwa model kubiklah yang paling cocok digunakan untuk mengoptimasi kondisi proses produksi biodiesel dengan respon viskositas.
12 X3 :W ak tu Re ak si X 2 :S u h u
X1:Rasio Heksan/Total Pelarut X1:Rasio Heksan/Total Pelarut
X1:Rasio Heksan/Total Pelarut
Berdasarkan hasil analisis signifikansi pengaruh variabel-variabel terhadap respon (Lampiran 6) diperoleh hasil bahwa hanya variabel rasio heksan/total pelarut yang berpengaruh secara signifikan terhadap respon viskositas, sedangkan variabel-variabel lainnya (suhu, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap viskositas. Gambar 3 menunjukkan kontur pengaruh rasio heksan/total pelarut terhadap viskositas pada berbagai suhu reaksi, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan.
Gambar 3 Kontur pengaruh rasio heksan/total pelarut terhadap viskositas pada berbagai kondisi proses
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa viskositas meningkat seiring dengan kenaikan rasio heksan/total pelarut. Hal tersebut juga sesuai dengan persamaan yang diperoleh dimana pada rasio heksan/total pelarut (X1), menghasilkan nilai koefisien yang positif. Semakin tinggi nilai viskositas, semakin rendah kualitas biodiesel tersebut. Viskositas biodiesel akan mempengaruhi kinerja biodiesel terhadap mesin diesel. Viskositas biodiesel yang terlalu tinggi dapat memperlambat aliran bahan bakar melalui injektor dan menurunkan daya pembakaran, sedangkan viskositas
X 4 :Ke ce p atan P en g ad u k an Viskositas (cSt) Viskositas (cSt) Viskositas (cSt)
13 biodiesel yang terlalu rendah dapat menyebabkan kebocoran yang akan mengurangi daya pembakaran (Setyaningsih et al. 2008).
Proses transesterfikasi dapat menurunkan viskositas minyak nabati sehingga memenuhi SNI (2.6-6 cSt, pada suhu 40 °C). Penelitian ini menghasilkan nilai viskositas yang umumnya telah memenuhi SNI, akan tetapi pada perlakuan rasio heksan/total pelarut 0.5 dan 0.67 terdapat beberapa nilai viskositas yang tidak sesuai. Hal tersebut terjadi karena penggunaan heksan dalam jumlah tinggi akan meningkatkan jumlah minyak yang terekstrak, akan tetapi minyak tersebut tidak dapat terkonversi seluruhnya menjadi biodiesel. Hal tersebut didukung dengan penelitian Pujiastuti (2012), dimana nilai viskositas yang diperoleh pada rasio heksan/total pelarut 0.5 benilai 10.76 cSt dan 12.64 cSt. Biodiesel yang tidak terkonversi dengan sempurna umumnya masih berbentuk minyak jarak yang kental, sehingga nilai viskositasnya tinggi.
Suhu reaksi yang semakin tinggi akan menurunkan viskositas, namun penurunannya tidak signifikan. Menurut Kartika et al. (2013), suhu reaksi yang lebih tinggi dapat menurunkan viskositas minyak, meningkatkan kelarutan reaktan, dapat meningkatkan laju reaksi, dan mempercepat waktu reaksi. Hal tersebut juga dapat diketahui melalui hasil persamaan kubik yang diperoleh menghasilkan koefisien faktor bernilai negatif untuk suhu. Nilai negatif menandakan hasil yang bertolak belakang antara faktor dengan respon, dimana peningkatan faktor akan menurunkan nilai respon. Hal tersebut juga berlaku untuk waktu reaksi yang memiliki nilai koefisien faktor yang negatif.
Kecepatan pengadukan yang digunakan berdasarkan Gambar 3 tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap viskositas. Akan tetapi berdasarkan persamaan kubik yang diperoleh dapat diketahui bahwa peningkatan kecepatan pengadukan yang dilakukan akan meningkatkan viskositas. Hal tersebut karena nilai koefisien dari kecepatan pengadukan adalah positif, dimana peningkatan nilai faktor akan menaikan nilai respon.
Berdasarkan model polinomial orde ketiga atau model kubik yang diperoleh pada penelitian ini dapat diestimasi kondisi proses optimum untuk viskositas adalah X1 sebesar 0.33, X2 sebesar 55.8 °C, X3 sebesar 3.2 jam, dan X4 sebesar 367 rpm. Pada kondisi proses tersebut, viskositas biodiesel optimum yang diperoleh sebesar 3.86 cSt. Hasil eksperimen menunjukkan viskositas biodiesel terbaik (3.28 cSt) diperoleh pada X1 sebesar 0.33, X2 sebesar 60 °C, X3 sebesar 4 jam, dan X4 sebesar 400 rpm. Optimasi pada viskositas adalah minimasi, sehingga semakin kecil nilainya semakin baik
Viskositas biodiesel hasil pemodelan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada hasil eksperimen, namun masih sesuai dengan SNI 04-7182-2006 mengenai biodiesel. Viskositas optimum berdasarkan model dan eksperimen diperoleh pada kondisi proses yang hampir sama, hanya waktu reaksi yang memiliki selisih cukup tinggi (1 jam). Perbedaan kondisi proses tersebut yang menyebabkan adanya selisih nilai viskositas yang diperoleh.
Bilangan Asam
Bilangan asam yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 0.17-1.41 mg KOH/g. Berdasarkan hasil analisis SMSS, lack of fit, R2, dan adjusted R2 (Tabel 5), model yang sesuai untuk mengoptimasi kondisi proses dengan respon bilangan asam adalah model polinomial orde ketiga atau kubik.
14
Tabel 5 Nilai parameter-parameter optimasi untuk respon bilangan asam SMSS Lack of Fit Adjusted Keterangan Parameter Prob > F Prob > F R2 R2
Linier 0.0738 0.2870 0.2897 0.1713 2FI 0.8675 0.2149 0.3738 0.0259
Kuadratik 0.3625 0.2143 0.5315 0.0630
Kubik 0.1064 0.8399 0.9308 0.6124 Cocok Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa model linier dan kubik memiliki nilai
SMSS yang signifikan (P<0.05). Akan tetapi berdasarkan nilai lack of fit, model kubik merupakan model yang paling tidak signifikan (P>0.05) dibandingkan dengan nilai
lack of fit pada model-model lainnya. Berikut adalah model polinomial orde ketiga yang diperoleh: y = - 0.33 - 23.60X1 - 0.025X2 + 0.009716X3 + 0.021X4 - 0.012X1X2 + 0.07X1X3 + 0.031X1X4 - 0.029X2X3 + 0.0075X2X4 - 0.03X3X4 + 0.11X12 + 0.54X22 + 0.029X32 + 0.033X42 + 0.05X1X2X3 - 0.031X1X2X4 + 0.00625X1X3 X4 - 0.055 X2X3X4 + 0.099X12X2 - 0.021X12X - 0.031X12X4 + 17.77X1X22 + 5.87762X13
Berdasarkan Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa nilai R2 untuk model kubik adalah 93.08%. Nilai tersebut paling tinggi dibandingkan dengan model-model lainnya, walaupun selisih dengan nilai adjusted R2 cukup besar (31.84%). Berdasarkan nilai R2 yang diperoleh dapat diketahui bahwa variabel yang digunakan menjelaskan respon sebesar 93.1%, sedangkan sisanya 6.9% dijelaskan oleh variabel lain. Nilai R2 dan adjusted R2 yang diperoleh menegaskan bahwa model kubiklah yang paling cocok digunakan untuk mengoptimasi kondisi proses produksi biodiesel dengan respon bilangan asam.
Berdasarkan hasil analisis signifikansi pengaruh variabel-variabel terhadap bilangan asam (Lampiran 7) diperoleh hasil bahwa hanya variabel rasio heksan/total pelarut yang berpengaruh secara signifikan terhadap respon viskositas, sedangkan variabel-variabel lainnya (suhu reaksi, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap bilangan asam.
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa bilangan asam menurun seiring dengan kenaikan rasio heksan/total pelarut. Hal tersebut juga sesuai dengan persamaan yang diperoleh dimana pada rasio heksan/total pelarut (X1), menghasilkan nilai koefisien yang negatif. Semakin tinggi bilangan asam, semakin rendah kualitas biodiesel tersebut. Bilangan asam dapat digunakan untuk mengetahui tingkat korosifitas biodiesel, dimana bilangan asam yang tinggi akan bersifat korosif yang akan menyebabkan kerusakan pada komponen-komponen mesin diesel (Knothe 2006). Gambar 4 menunjukkan kontur pengaruh rasio heksan/total pelarut terhadap bilangan asam pada berbagai suhu reaksi, waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan.
Berdasarkan SNI 04-7182-2006 mengenai biodiesel, bilangan asam adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam bebas dalam 1 gram biodiesel. Standar Nasional Indonesia mensyaratkan bilangan asam maksimal sebesar 0.8 mg KOH/g. Pada penelitian ini terdapat satu bilangan asam yang tidak memenuhi SNI, yaitu pada rasio heksan/ total pelarut 0.67, suhu reaksi 50 °C, waktu reaksi 4 jam, dan kecepatan pengadukan 400 rpm. Hal tersebut terjadi karena transformasi biodiesel pada kondisi proses tersebut tidak berlangsung dengan
15 X2 :S u h u X3 :W ak tu