• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Titik Longsor dan Hubungan antara Titik-titik Longsor dengan Parameter Pembentuk Longsor

Identifikasi Titik Longsor

Daerah penelitian secara geomorfologi meliputi wilayah yang tercakup dalam jajaran pegunungan vulkanik berumur Kuarter yang terdiri dari tiga gunungapi, dimana kondisi dari dua gunungapi tergolong aktif (Gunung Gede dan Gunung Salak) dan satu gunungapi tergolong dormant (Gunung Talaga). Kenampakan geomorfologi dari ketiga unit vulkanik tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 menunjukkan bahwa kenampakan geomorfologi dari ketiga unit vulkanik tersebut pada citra lebih mudah dibedakan dari segi kenampakan teksturnya. Morfologi daerah vulkanik ini dicirikan oleh relief perbukitan dan pegunungan serta mempunyai pola aliran radial, sedangkan informasi litologi dapat diketahui dari peta geologi maupun observasi lapangan sehingga dapat membantu untuk mengetahui morfogenesis vulkanik daerah penelitian. Tingkat torehan dan tekstur permukaan lahan yang tampak pada citra membantu membedakan tahapan perkembangan bentuklahan atau morfokronologi dari setiap unit geomorfologi. Pada unit geomorfologi Gunung Gede-Pangrango terlihat bahwa torehan-torehan yang ada umumnya lebih ringan dibandingkan dengan torehan pada unit geomorfologi pada Gunung Salak dan unit geomorfologi Gunung Talaga. Hal ini dikarenakan Gunung Gede-Pangrango relatif lebih muda dan masih aktif, sementara itu Gunung Salak tampak sudah lebih berkembang tingkat torehannya, apalagi pada Gunung Talaga yang relatif paling terdenudasi dan sudah lebih banyak mengalami perubahan pada bagian lerengnya

Gambar 6. Kondisi geomorfologi daerah penelitian. (a) unit geomorfologi Gunung Talaga, (b) unit geomorfologi Gunung Salak, dan (c) unit geomorfologi

Gunung Gede Pangrango dilihat dari citra SRTM resolusi 30 m

Berdasarkan hasil pencarian, identifikasi, dan pengamatan lapangan, titik-titik longsor yang diperoleh data sebanyak 76 titik-titik yang meliputi titik-titik-titik-titik longsor baru (belum lama terjadi) dan titik-titik longsor lama (terjadi di tahun-tahun sebelumnya). Dari data tersebut, sebanyak 35 titik longsor berada pada unit geomorfologi vulkanik Gede-Pangrango, 36 titik longsor berada pada unit geomorfologi vulkanik Salak, dan 5 titik berada pada unit geomorfologi vulkanik Talaga. Dari hasil identifikasi, titik-titik longsor ditemukan pada berbagai macam penggunaan lahan, yaitu di penggunaan lahan permukiman, lahan pertanian, dan

kebun campuran. Beberapa titik longsor sangat sulit untuk dijangkau dalam survei sehingga tidak diperoleh titik koordinatnya. Oleh karena itu, jumlah titik-titik pengamatan yang diperoleh dalam penelitian ini agak terbatas, yaitu hanya pada wilayah yang masih dapat dijangkau. Dengan demikian, dimungkinkan masih terdapat titik-titik longsor lain yang belum ditemukan (karena sulitnya medan untuk mencapai titik-titik tersebut). Sebaran dari jumlah titik longsor di ketiga unit geomorfologi vulkanik tersebut disajikan pada Tabel 8, dan secara spasial dapat dilihat pada Gambar 7.

Tabel 8. Sebaran jumlah titik longsor dari setiap unit geomorfologi

No Unit Geomorfologi Jumlah Titik Longsor

1. Gunung Gede-Pangrango 35

2. Gunung Salak 36

3. Gunung Talaga 5

Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa ukuran longsor pada unit geomorfologi vulkanik Gede-Pangrango dan Salak relatif lebih bervariasi, dari kecil hingga besar (Lampiran 7), sedangkan pada unit geomorfologi vulkanik Talaga hanya ditemukan jenis longsor yang berukuran besar. Umur tubuh gunungapi yang telah lama mengalami proses denudasi (G. Talaga) tampaknya dapat menjadi penciri untuk ukuran longsoran yang banyak terjadi di daerah penelitian. Jika dilihat berdasarkan batas kecamatan (administrasi), maka persebaran titik longsor paling banyak adalah terdapat di Kecamatan Kadudampit yang diikuti oleh Kecamatan Parungkuda, Kecamatan Parakansalak dan kecamatan-kecamatan lainnya (Tabel 9).

Tabel 9. Jumlah kejadian longsor berdasarkan administrasi

No. Kecamatan Jumlah Titik Longsor

1 Kadudampit 15 2 Parungkuda 11 3 Parakan Salak 11 4 Cicurug 8 5 Caringin 8 6 Cisolok 5 7 Nagrak 5 8 Sukaraja 4 9 Kabandungan 4 10 Sukabumi 3 11 Cibadak 2

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa jumlah kejadian longsor tertinggi terdapat pada Kecamatan Kadudampit dan terendah pada Kecamatan Cibadak dengan titik longsor masing-masing 15 dan 2 kejadian. Hal ini dikarenakan Kecamatan Kadudampit memiliki topografi berbukit dan bergunung (Gambar 1), dan berdasarkan hasil pengamatan lapang, longsor banyak terjadi akibat adanya aktivitas manusia, seperti pemotongan lereng untuk pembuatan jalan dan permukiman. Gejala ini mirip dengan pendapat Gerrard (1981) bahwa beberapa penyebab longsor yang paling utama adalah kondisi topografi (ketinggian/elevasi dan kemiringan lereng).

19

Dalam halaman berikut akan diuraikan secara singkat hubungan antara jumlah titik-titik longsor yang diperoleh di lapangan dengan parameter-parameter penentu longsor, yaitu elevasi, litologi, jenis tanah, curah hujan, lereng, penggunaan/penutupan lahan, dan bentuklahan (landform).

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Elevasi

Apabila elevasi daerah penelitian dipilah menjadi dua, yaitu <600 mdpl (dataran dan perbukitan) dan >600 mdpl (pegunungan), maka hasil pemetaan memperlihatkan bahwa titik-titik longsor yang berada pada elevasi <600 mdpl terdapat sebanyak 34 kejadian longsor, dan pada elevasi >600 mdpl terdapat sebanyak 42 kejadian longsor (Gambar 8). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi elevasi, maka jumlah kejadian longsor semakin banyak. Menurut Mukti (2012), hal tersebut cukup wajar dikarenakan semakin bertambahnya elevasi maka peluang keberadaan kelas kemiringan lereng, terutama dari miring hingga terjal, semakin besar. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Gerrad (1981), bahwa pada elevasi tinggi secara umum mempunyai banyak lereng-lereng yang curam, meskipun pada beberapa tempat di dataran tinggi juga terdapat lereng yang landai. Titik-titik longsor di daerah penelitian yang berada pada elevasi >1200 tidak diidentifikasi dalam penelitian ini karena sulitnya medan yang untuk mencapai daerah tersebut sehingga pada grafik tidak ditandai adanya kejadian titik longsor. Contoh lapangan kejadian longsor berdasarkan elevasi dapat dilihat pada Gambar 9, sedangkan persebaran titik longsor di daerah penelitian terhadap elevasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 8. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan elevasi

(a) (b)

Gambar 9. Kejadian longsor berdasarkan elevasi. (a) Lokasi longsor pada ketinggian <600 mdpl (Kecamatan Parakan Salak), dan (b) lokasi longsor pada

21

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Litologi (Sifat Batuan)

Faktor geologi yang memicu terjadinya longsor adalah ditentukan oleh struktur batuan dan komposisi mineralogi (kepekaan longsor) yang dicirikan oleh jenis batuan. Jenis batuan yang diacu dalam penelitian ini diambil dari peta bentuklahan (Landform) dan juga hasil observasi lapangan. Berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat bahwa jumlah kejadian titik longsor banyak terjadi pada batuan lahar, yaitu sebanyak 62 titik kejadian longsor (Gambar 11). Batuan lahar adalah formasi batuan hasil endapan proses fluvio-vulkanik yang umumnya berada pada lereng yang relatif lebih landai. Pada lereng yang lebih landai tersebut, aktivitas manusia (memanfaatkan lahan) tampak lebih dominan, sehingga tidak sedikit hasil dari aktivitas tersebut yang kemudian memicu terjadinya longsor, terutama pada tebing-tebing perlembahan yang digunakan untuk penambangan, lahan pertanian, atau lahan yang dipotong untuk jalan (Gambar 12). Adapun untuk kejadian longsor pada jenis batuan tuff terdapat 9 kejadian. Dalam hal ini tuff adalah jenis batuan yang berbutir halus dan pada umumnya mempunyai kerentanan lebih tinggi terhadap longsor dibandingkan dengan jenis batuan vulkanik lain. Pada wilayah yang berbatuan lava jumlah kejadian longsor hanya sebanyak 5 kejadian. Batuan lava (dan juga termasuk batuan breksi vulkanik) adalah jenis batuan vulkanik yang kompak, sehingga memiliki sifat tidak mudah longsor. Namun demikian, Darsoatmodjo dan Soedrajat (2002), menyebutkan bahwa batuan breksi yang kompak apabila berada di atas lapisan yang mempunyai bidang luncur miring ke arah lereng yang terjal, maka akan tetap rawan terhadap longsor. Secara spasial persebaran titik longsor dan kaitannya dengan kondisi litologi dapat dilihat pada Gambar 13.

(b) (a)

Gambar 12. Contoh kejadian longsor di lapangan (a) batuan dari endapan lahar di sekitar kejadian longsor dan (b) longsor di lapangan dari endapan lahar yang menewaskan 3 korban jiwa yang terjadi pada tanggal 11 Maret

2015

23

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Jenis Tanah

Berdasarkan hasil observasi lapangan kejadian longsor jauh lebih banyak terjadi pada tanah-tanah Latosol daripada tanah Andosol, sedangkan pada jenis-jenis tanah yang lain tidak teridentifikasi adanya titik longsor (Gambar 14).

Gambar 14. Grafik hubungan antara jumlah titik longsor dengan jenis tanah Berdasarkan Gambar 14 terlihat bahwa jumlah kejadian titik longsor terbanyak terdapat pada pada jenis tanah Latosol, yaitu sebanyak 73 kejadian. Hal ini bisa disebabkan oleh sifat tanah Latosol itu sendiri yang lebih rentan terhadap longsor daripada tanah lain seperti tanah Andosol. Menurut Dudal dan Soepraptoharjo (1957), tanah Latosol umumnya mempunyai tekstur lempung hingga liat, sehingga jika lapisan liat ini berada di lapisan bawah permukaan tanah maka dapat membentuk suatu lapisan kedap air yang selanjutnya dapat berfungsi sebagai bidang luncur dan menyebabkan longsor. Hal tersebut sesuai juga dengan pendapat Sitorus (2006) yang menyatakan bahwa tekstur liat (clay) relatif kedap air sehingga dapat membentuk bidang luncur terutama pada lahan yang berlereng agak curam hingga curam. Untuk hasil penelitian ini, keterkaitan antara titik longsor dengan jenis tanah secara spasial dapat dilihat pada Gambar 15.

24

25

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Curah Hujan

Berdasarkan keterkaitannya dengan curah hujan, jumlah titik longsor pada kelas curah hujan 2500-3000 mm/tahun hanya sebanyak 3 titik longsor, sebaliknya jumlah titik longsor terbanyak berada pada kelas curah hujan 4000-4500 mm/tahun yaitu sebanyak 30 titik longsor (Gambar 16). Secara teori hal tersebut tampak wajar karena curah hujan adalah pemicu terjadinya longsor, sehingga semakin tinggi curah hujan suatu area maka semakin banyak jumlah kejadian longsor yang terjadi. Dalam teori, curah hujan bersifat meningkatkan kejenuhan tanah serta menaiknya muka air tanah, sehingga jika hujan turun pada lereng-lereng dengan material penyusun (tanah dan batuan) yang rentan terhadap longsor, maka akan menurunkan daya kuat geser tanah/batuan tersebut dan sebaliknya menambah berat massa tanah. Untuk titik-titik longsor yang berada pada kelas curah hujan >5.000 mm/th dalam penelitian ini tidak dilakukan identifikasi dikarenakan kondisi medan yang sulit dijangkau pada saat survey. Selain itu, pada wilayah dengan kelas curah hujan di atas 4500 mm/tahun, pada umumnya sudah sangat jarang ditemukan aktivitas manusia, sehingga pengaruh aktivitas manusia sebagai pemicu longsor relatif sangat kecil. Secara spasial, persebaran titik-titik longsor dalam hubungannya dengan curah hujan di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 17.

26

27

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Kemiringan Lereng

Secara teori, kemiringan lereng adalah salah satu faktor pemicu terjadinya longsor di lahan perbukitan/pegunungan. Dengan demikian semakin curam suatu lereng maka peluang terjadinya longsor juga semakin besar. Hal tersebut disebabkan volume dan kecepatan aliran air (over landflow) permukaan meningkat sejalan dengan meningkatnya kecuraman lereng, akibatnya kondisi ini berpotensi untuk menyebabkan longsor (Naisah, 2014).

Berdasarkan jumlah titik longsor yang ditemukan di lapangan, terdapat 8 titik longsor yang berada pada kelas kemiringan lereng 0-8%, 49 titik longsor pada kelas kemiringan lereng 8-15%, 16 titik longsor pada kelas kemiringan lereng 15-25%, dan 2 titik longsor terjadi pada kelas kemiringan lereng 25-45% (Gambar 18). Gejala ini tampak berbeda dengan peluang teoritis seperti yang disebutkan di atas, dimana semakin curam suatu lereng maka semakin besar peluang terjadinya longsor. Salah satu penyebabnya adalah bahwa kelas kemiringan lereng yang digunakan dalam peta adalah kelas kemiringan lereng umum atau global yang tidak mencakup kondisi kemiringan lereng lokal. Padahal berdasarkan hasil observasi lapangan, terlihat banyak longsor yang terjadi pada area-area dengan kemiringan lereng 8-15% (pada peta) namun memiliki kemiringan lereng lokal (pada titik longsor) yang lebih besar. Lereng-lereng terjal ini dihasilkan oleh aktivitas manusia, seperti pemotongan lereng untuk keperluan penggunaan lahan tertentu, seperti tambang, permukiman, dan pembangunan jalan. Dampak dari pemotongan lereng tersebut adalah menurunkan stabilitas lereng, sehingga lereng mudah mengalami longsor (Gambar 19 dan Lampiran 8 dan 9). Persebaran titik-titik longsor yang telah diplot di atas peta kelas lereng disajikan pada Gambar 20.

Gambar 18. Grafik hubungan jumlah titik dengan kemiringan lereng

28

29

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Penutupan/Penggunaan Lahan Vegetasi merupakan faktor penting dalam menjaga kemantapan lereng, karena dengan tidak adanya tumbuhan atau pepohonan maka daerah pegunungan akan sangat rentan terhadap proses longsor. Menurut Asdak (2003), pengaruh vegetasi penutup tanah adalah untuk melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan dan voulme air, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, serta mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air. Sistem perakaran vegetasi juga banyak membantu dalam menjaga kemantapan lereng apalagi jika dapat menembus celah-celah pada batuan induk tanah tersebut.

Jika dilihat dari kerterkaitannya dengan penutupan/penggunaan lahan (Gambar 21) maka terlihat bahwa jumlah kejadian longsor tertinggi berada pada penggunaan lahan sawah, yaitu sebanyak 33 kejadian longsor dibandingkan dengan pola penggunaan lahan lainnya. Lahan sawah di lokasi penelitian berada pada lereng-lereng yang umumnya miring namun dibuat berteras-teras (Gambar 22). Lahan sawah adalah lahan yang bersifat menampung air, sehingga resapan air ke dalam tanah berpeluang besar untuk memicu terjadinya longsor, apalagi struktur batuan di lereng-lereng kerucut vulkanik pada umumnya adalah searah dengan kemiringan lereng permukaannya. Selain itu perubahan musim, dari kemarau (yang meretakkan tanah) ke musim hujan, juga merupakan suatu peluang besar untuk meningkatkan jumlah resapan air ke dalam tanah sehingga meningkatkan peluang terjadinya longsor di awal musim penghujan tersebut. Ancaman longsor dari penggunaan lahan ini (sawah) perlu diwaspadai apalagi jika pada lereng-lereng bawahnya terdapat suatu area permukiman.

Gambar 21. Hubungan antara jenis penutupan/penggunaan lahan dengan jumlah titik longsor

Gambar 22. (a) contoh sawah yang berada di lokasi penelitian dan (b) contoh longsor kecil di areal persawahan

Pada penggunaan lahan permukiman jumlah kejadian longsor tercatat sebanyak 16 kejadian yang umumnya berada pada tebing-tebing sungai atau gawir dan berada pada bagian bawah lereng (Gambar 23). Lokasi ini sangat mengkhawatirkan mengingat bahwa tidak selamanya lereng mampu untuk menahan beban di atasnya, sementara itu aliran sungai mengikis bagian bawah lereng yang dapat memicu terjadinya longsor.

Pada penggunaan lahan kebun campuran jumlah longsor tercatat sebanyak 24 kejadian, sedangkan pada penggunaan lahan perkebunan jumlah kejadian longsor teridentifikasi sebanyak 4 kejadian dan 1 kejadian terdapat pada penggunaan lahan hutan. Dari pengamatan lapangan longsor pada penggunaan lahan kebun campuran dan perkebunan lebih disebabkan oleh pemotongan lereng seperti untuk tujuan pembangunan infastruktur berupa jalan yang menuju ke permukiman (Gambar 24). Adapun keadaan hutan seperti yang dimaksud diatas bukan merupakan hutan primer namun merupakan hutan sekunder yang telah mengalami penebangan dan juga pemotongan lereng untuk pembangunan infastruktur jalan di dalamnya. Sejalan dengan pendapat Pramuwijoyo dan Dwikorita (2001) bahwa pembukaan lahan hutan (termasuk pemotongan lereng untuk jalan) dapat menyebabkan tanah menjadi mudah mengalami longsor.

(a) (b)

Gambar 23. (a) contoh longsor pada bagian bawah lereng dan (b) contoh longsor di areal permukiman

31

Menurut Wahyunto (2007) penggunaan lahan pesawahan, kebun campuran, dan semak terutama pada daerah-daerah yang memiliki kemiringan lereng curam umumnya sering kali terjadi longsor. Rendahnya tutupan permukaan tanah dan vegetasi menyebabkan perakaran sebagai pengikat tanah menjadi sedikit dan lemah. Kondisi ini mempermudah tanah (yang retak-retak pada musim kemarau), sedangkan pada musim penghujan tanah tersebut menjadi lebih mudah meresapkan air pada musim penghujan sehingga mengakibatkan tanah mudah longsor. Secara spasial persebaran titik longsor berdasarkan penutupan /penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 25.

(a) (b)

Gambar 24. (a) contoh kejadian longsor di tepi jalan pada kebun campuran meskipun sudah diberi bangunan penguat lereng (turap), (b) pemotongan lereng pada kebun campuran untuk jalan, (c) kondisi lereng yang terpotong untuk jalan di antara perkebunan, dan (d) bekas longsoran pada hutan yang kini telah diberi

penguat lereng berupa turap

32

33

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Bentuklahan (Landform)

Hasil interpretasi geomorfologis wilayah penelitian menghasilkan 14 macam bentuklahan, yaitu kerucut vulkanik denudasional Gunung Talaga, kerucut vulkanik lereng atas Gunung Gede-Pangrango, kerucut vulkanik lereng atas Gunung Perbakti, kerucut vulkanik lereng atas Gunung Salak, kerucut vulkanik lereng bawah Gunung Salak, kerucut vulkanik lereng bawah Gunung Gede-Pangrango, kerucut vulkanik lereng tengah kompleks Gunung Salak, kerucut vulkanik lereng tengah Gunung Gede-Pangrango, kerucut vulkanik parasiter kompleks Gunung Talaga, lereng kaki Gunung Gede-Pangrango, pegunungan vulkanik lereng bawah kompleks Gunung Salak, pegunungan vulkanik kompleks GunungTalaga, dan perbukitan vulkanik kompleks Gunung Talaga (Gambar 27).

Jika dilihat dari kerterkaitannya dengan titik longsor (Gambar 26) terlihat bahwa jumlah kejadian longsor tertinggi berada pada bentuklahan kerucut vulkanik lereng bawah Gunung Salak dan kerucut vulkanik lereng bawah Gunung Gede-Pangrango. Hal ini dikarenakan pada bentuklahan tersebut aktivitas manusia tampak paling dominan (berada pada kemiringan lereng < 25 %). Mengingat bahwa pada lereng-lereng bawah dari kedua gunungapi tersebut merupakan pusat kegiatan masyarakat setempat, maka sangat wajar jika banyak terjadi proses pemotongan lereng untuk keperluan pembangunan permukiman dan jalan. Kondisi ini dapat membuat lereng-lereng di wilayah ini menjadi lebih rentan untuk mengalami longsor. Secara spasial persebaran titik-titik longsor terkait dengan bentuklahan disajikan pada Gambar 27.

35

Faktor Utama Penyebab Longsor

Untuk mengetahui faktor utama penyebab longsor di daerah penelitian, maka dalam penelitian ini dilakukan uji statistik terhadap data yang diperoleh, yakni meliputi parameter-parameter kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, penggunaan/penutupan lahan, litologi, elevasi, dan bentuklahan. Faktor utama yang dimaksud disini adalah faktor yang mempunyai bobot tertinggi atau peran besar dalam proses terjadinya longsor. Adapun berdasarkan 76 titik kejadian longsor di lapangan yang dianalisis secara statistik diperoleh hasil nilai R-Square seperti yang tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10. Derajat hubungan antara variabel longsor di lapangan

Variabel Tujuan Cox and Snell Pseudo R-Square Nagelkerke McFadden

Titik kejadian longsor (Y) 37% 43% 20%

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa variabel titik kejadian longsor (Y) mempunyai nilai pendekatan R-Square Nagelkerke sebesar 43%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian longsor yang dapat dijelaskan oleh variabel lereng lokal, elevasi, penggunaan/penutupan lahan, lereng global, curah hujan, jenis tanah, litologi, dan bentuklahan (landform) hanya mendapatkan nilai sebesar 43%, adapun sisanya (57%) dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model.

Berdasarkan variabel penyebab longsor di atas, selanjutnya diperoleh model persamaan regresi logistik ordinal, sebagai berikut:

Berdasarkan kedua persamaan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa parameter yang memberikan kontribusi atau bobot yang paling besar terhadap terjadinya longsor di daerah penelitian adalah parameter curah hujan yang diikuti berturut-turut oleh parameter-parameter litologi, penggunaan/tutupan lahan, lereng global, jenis tanah, bentuklahan, dan elevasi. Parameter ini diambil berdasarkan nilai yang signifikan terhadap kejadian longsor dengan selang kepercayaan 95% dimana parameter yang signifikan adalah curah hujan, litologi, dan penggunaan/penutupan lahan. Nilai signifikansi dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Lampiran 5.

Dalam kaitannya dengan nilai signifikasi tersebut, maka parameter curah hujan memberikan pengaruh secara nyata (signifikan) dalam memicu terjadinya longsor. Adapun untuk parameter penutupan/penggunaan lahan yang banyak

17,742 – 0,002E + 0,008 LL + -3,682 (L1) + M-2,981 (L2) + 3,774(L3) + -3,287(L4) + -1,927(LULS2) + 0,682 (LULS3) +1,512 (LULS4) +19,188 (CH1) + 20,210(CH2) +19,858(CH3)+ 20,901(CH4) + 0,399 (LF2) + 19,789(LT1)+-1,491(LT2) + 1,078(T3) 15,382 – 0,002E + 0,008 LL + -3,682 (L1) + M-2,981 (L2) + 3,774(L3) + -3,287(L4) + -1,927(LULS2) + 0,682 (LULS3) +1,512 (LULS4) +19,188 (CH1) + 20,210(CH2) +19,858(CH3)+ 20,901(CH4) + 0,399 (LF2) + 19,789(LT1)+-1,491(LT2) + 1,078(T3) = P (Y > 1) P ( Y ≤ 1) ln P (Y > 2) P ( Y ≤ 2) ln =

memberikan pengaruh adalah kebun campuran/semak, sementara itu untuk parameter litologi (batuan) jenis batuan yang banyak memberikan pengaruh besar (signifikan) terhadap proses longsor adalah breksi tuff dan lava tuff. Dalam hal ini faktor keberadaan tuff dimungkinkan sebagai penyebab mudahnya terjadi proses longsor.

Adapun untuk parameter yang bernilai negatif menunjukan arah hubungan parameter dengan kejadian longsor yang berlawanan arah. Artinya, jika nilai parameter naik maka cenderung akan menurunkan peluang kejadian longsor, begitupun sebaliknya. Mengingat rendahnya nilai R-Square, maka pemilihan parameter yang diamati dimungkinkan belum memberikan keterkaitan secara nyata terhadap fenomena tanah longsor, atau dapat pula dikarenakan oleh terbatasnya jumlah sampel yang diperoleh. Oleh sebab itu, model yang telah dibuat ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh jumlah titik pengamatan yang lebih banyak lagi dengan penambahan parameter, agar peluang terjadinya error

dalam menetapkan variabel dan pengukuran akan menjadi lebih kecil. Estimasi Persebaran Spasial Daerah Bahaya Longsor

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik ordinal seperti tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa parameter yang paling banyak mempengaruhi terjadinya longsor secara berturut-turut adalah curah hujan, litologi, penutupan /penggunaan lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, bentuklahan, dan elevasi. Di sisi lain, jika dilihat dari studi literatur (hasil penelitian-penelitian sebelumnya) seperti dari Ikqra (2012), Silviani (2013), Fransiska (2014), dan Damanik (2015) didapatkan bahwa parameter penyebab longsor yang utama adalah kemiringan lereng. Urutan secara komparatif adalah kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan/penutupan lahan, litologi, jenis tanah, bentuklahan, dan elevasi. Lereng yang menjadi parameter utama ini diperkuat oleh pernyataan Hardiyatmo

Dokumen terkait