3.8 Teknik Analisis Data
4.2.4 Pembahasan Berkaitan dengan Hasil Belajar (Aspek Afektif, Aspek Psikomotorik, dan Aspek Kognitif)
Dalam penelitian ini telah diukur tiga aspek hasil belajar yaitu karakter rasa ingin tahu (aspek afektif), keterampilan pemecahan masalah (aspek psikomotorik), dan kemampuan pemecahan masalah (aspek kognitif). Sudah dijelaskan bahwa model pembelajaran yang diterapkan yaitu Superitem berbantuan scaffolding mampu meningkatkan ketiga aspek hasil belajar yang disebutkan. Upaya yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah dengan membentuk karakter rasa ingin tahu dan keterampilan pemecahan masalah selama 5 kali pertemuan pembelajaran. Peningkatan yang dialami oleh kelima subjek penelitian sebenarnya memang diusahakan oleh peneliti agar terbentuk. Peneliti memberikan gagasan bahwa proses pembentukan karakter melalui 3 proses sederhana, yaitu dipaksa, terpaksa, dan biasa. Pada awalnya siswa memang dipaksa untuk dapat melakukan tindakan sesuai dengan indikator-indikator karakter rasa ingin tahu dan keterampilan pemecahan masalah yang telah dituangkan peneliti dalam lembar pengamatan. Dengan bantuan scaffolding, peneliti yang bertindak sebagai guru memberikan dorongan kepada siswa dan subjek penelitian yang masih belum terbiasa melakukannya. Proses selanjutnya yaitu terpaksa. Siswa yang masih belum terbiasa memiliki karakter rasa ingin tahu atau keterampilan pemecahan masalah akan merasa terpaksa melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan. Meskipun demikian, siswa tersebut tetap mencoba melakukannya walaupun masih kurang tuntas ataupun asal-asalan. Pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan 5 kali bertujuan untuk membiasakan siswa membentuk karakter dan keterampilannya. Karena, setelah siswa tersebut mencobanya, lama kelamaan siswa akan terbiasa melakukannya. Meskipun demikian, tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebab dalam 5 kali pertemuan ada juga siswa yang mengalami penurunan dengan tidak membiasakannya. Agar proses pembentukan karakter dan keterampilan pemecahan masalah dapat terbentuk dalam diri siswa, maka perlu dilakukan terus menerus dalam waktu yang relatif lama.
Setelah terbentuknya aspek afektif dan aspek psikomotorik yaitu karakter rasa ingin tahu dan keterampilan pemecahan masalah, maka aspek kognitif-pun akan terbentuk pula. Hal ini dikarenakan aspek afektif dan aspek psikomotorik diusahakan terbentuk melalui model pembelajaran Superitem berbantuan scaffolding. Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurutnya, bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa.
Berkaitan dengan pembelajaran Superitem yang diterapkan dalam penelitian ini, berikut adalah empat prinsip yang dikemukakan Vygotsky seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) dan deskripsi yang dilakukan peneliti selama pembelajaran. 1) Pembelajaran Sosial (Social Leaning).
Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.
Peneliti menggunakan pembelajaran Superitem berbantuan scaffolding, yang diberikan kepada siswa sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, siswa diberikan tugas terstruktur untuk mencatat pertanyaan apa yang tidak diketahui dalam materi untuk didiskusikan di kelas sehingga dalam pembelajaran terjadi interaksi antara guru dengan siswa ataupun siswa dengan siswa.
2) ZPD (Zone of Proximal Development).
Vygotsky menyatakan bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak. Dalam penelitian, siswa diberikan soal superitem berdasarkan taksonomi solo yang tingkat kesulitannya meningkat. Pada soal level 4 yaitu extrended abstract, siswa diberikan scaffolding atau arahan seperlunya agar dapat memecahkannya. 3) Masa Magang Kognitif (Cognitif Apprenticeship).
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai.
Peneliti menyusun buku siswa yang terdapat soal-soal yang dapat melatih keterampilan dan kemampuan pemecahan masalah siswa. Dalam indikator karakter rasa ingin tahu, siswa diberi kesempatan untuk bertanya kepada teman atau guru baik pada saat pelajaran maupun di luar jam pelajaran. Siswa juga dianjurkan untuk membaca buku serta mencari-cari informasi dimanapun berada. 4) Pembelajaran Termediasi (Mediated Learning).
Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
Dalam penelitian ini, scaffolding digunakan sebagai bantuan pada model pembelajaran Superitem yang diterapkan. Siswa diberikan buku siswa yang disusun sesuai dengan pembelajaran yang diterapkan dan aspek penilaian yang diukur. Dalam buku siswa terdapat soal-soal, diantaranya soal ilustrasi, analogi, soal superitem, latihan mandiri, dan tugas.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas-tugas-tugas itu berada dalam ZPD (zona of proximal development ) mereka. Dalam penelitian ini yang dibudayakan adalah karakter rasa ingin tahu (aspek afektif) dan keterampilan pemecahan masalah (aspek psikomotorik). Keterampilan pemecahan masalah dibentuk dengan cara memberikan soal-soal superitem dan soal yang terdapat pada Buku siswa. Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah siswa (aspek kognitif) dapat meningkat.
162
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil simpulan sebagai berikut.
(1) Karakter rasa ingin tahu siswa (afektif) dalam pembelajaran menggunakan model Superitem berbantuan scaffolding mengalami peningkatan yang ditunjukkan dengan peningkatan skor gain. Skor gain diperoleh melalui hasil pengamatan dan diperkuat dengan wawancara. Dari kelima subjek penelitian S1 mendapatkan gain dengan kriteria tinggi sedangkan keempat subjek yang lain yaitu S2, S3, S4, dan S5 mendapatkan gain dengan kriteria sedang. Meskipun demikian kelima subjek penelitian mengalami peningkatan karakter rasa ingin tahu (aspek afektif) jika dibandingkan dengan awal pertemuan.
(2) Keterampilan pemecahan masalah (psikomotorik) siswa dalam pembelajaran menggunakan model Superitem berbantuan scaffolding mengalami peningkatan yang ditunjukkan dengan peningkatan skor gain. Skor gain diperoleh melalui hasil pengamatan dan diperkuat dengan wawancara selama penelitian. Selama lima kali pertemuan pembelajaran kelima subjek penelitian menunjukkan peningkatan yang sangat baik jika dibandingkan dengan pertemuan pertama. Hasil pengamatan dengan kelima subjek penelitian menghasilkan gain dengan kriteria tinggi semua.
(3) Meningkatnya karakter rasa ingin tahu (afektif) dan keterampilan pemecahan masalah (psikomotorik) siswa yang ditunjukkan dengan skor gain dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah (kognitif) siswa dengan tercapainya KKM yaitu lebih dari atau sama dengan 71. Peringkat pertama masih diduduki oleh S1 dengan nilai 99,7 yang pada tes pendahuluan juga mendapat peringkat pertama.. Peringkat kedua justru diraih oleh S5 dengan nilai 75,8 yang pada tes pendahuluan mendapat peringkat terakhir. Peringkat ketiga adalah S2 dengan nilai 75,6 hanya selisih 0,2 dengan S5. Selanjutnya untuk peringkat keempat dan kelima adalah S3 dan S4 dengan nilai sama yaitu 75,8. Dengan demikian kemampuan pemecahan masalah siswa dapat meningkat melalui pembelajaran dengan model Superitem berbantuan scaffolding.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, saran yang dapat direkomendasikan peneliti adalah sebagai berikut.
(1) Guru dapat menerapkan model pembelajaran Superitem untuk mengajarkan materi pokok trigonometri serta pokok-pokok bahasan lain khususnya materi yang cocok untuk disusun dalam bentuk soal superitem sebagai inovasi baru dalam pembelajaran.
(2) Model pembelajaran Superitem sangat cocok jika digunakan dengan bantuan scaffolding. Sebab, peran guru dalam menuntun siswa untuk mencapai tahap-tahap taksonomi solo sangat dibutuhkan sehingga scaffolding merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh. Selain itu, diperlukan persiapan yang matang untuk menyediakan soal-soal yang lebih beragam dalam bentuk superitem.
(3) Bagi siswa yang ingin membentuk karakter rasa ingin tahu dan keterampilan pemecahan masalah agar kemampuan pemecahan masalah meningkat, dapat menerapkan tiga proses sederhana yaitu dipaksa, terpaksa, biasa.
(4) Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan mengembangkan pembelajaran matematika yang dapat membentuk karater siswa selain karakter rasa ingin tahu, serta pengukuran terhadap aspek yang lainnya.
165
Anni, C. 2006. Psikologi Belajar. Semarang: Unoversitas Negeri Semarang Press. Arifin, Z. 2009. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, Prosedur. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya Offset.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V). Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2007. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Balitbang. 2011. Hasil Ujian Nasional Tahun pelajaran 2010/2011 untuk Perbaikan Mutu Pendidikan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan. BSNP. 2006. Draf Final Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Standar Kompetensi
Mata Pelajaran Matematika SMP dan MTs. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Darsono. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.
Depdiknas. 2007. Analisis Butir Soal Secara Manual. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas.
Dikmenum. 2008. PU Penetapan KKM. Tersedia di http://www.dikmenum.go.id/ [diakses tanggal 13 Febuari 2013]
Firdaus, A. 2009. Pembelajaran Matematika dengan Tugas Bentuk Superitem. Tersedia di http://madfirdaus.wordpress.com/. [diakses: 20 Januari 2013]. Fitri, Agus Z. 2012. Reinventing Human Character: Pendidikan Karakter berbasis
Nilai dan Etika di Sekolah. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: JICA-IMSTEP Universitas Negeri Malang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tersedia di http://kamusbesarbahasaindonesia.org/ [diakses tanggal 2 Febuari 2013].
Kamus Besar. Tersedia di http://kamusbesar.com/ [diakses tanggal 2 Febuari 2013]. Kauchak, Donald P. 1998. Learning & Teaching Research-Based Method Third
Edition. USA: A Viacom Company.
Kemendiknas. 2010. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemendiknas.
Kuswana, Wowo Sunaryo. 2012. Taksonomi Kognitif: Perkembangan Ragam
Berpikir. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Lian, Lim Hooi, and Yew, Wun Thiam. n. d. Superitem Test: An Alternative Assessment Tool to Assess Students’ Algebraic Solving Ability. Tersedia
di http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/default.htm [diakses 7 Januari 2013]
Marsigit. 2011. Pengembangan Nilai-nilai Matematika dan Pendidikan Matematika sebagai Pilar Pembangunan Karakter Bangsa. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Nilai-nilai dan Aplikasi dalam Dunia Matematika sebagai Pilar Pembangunan Karakter Bangsa. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Murdiono, M. 2010. Strategi Internalisasi Nilai-nilai Moral Religius dalam Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Jurnal Cakrawala Pendidikan. Tersedia di http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132304487/B6-JURNAL CAKRAWALA PENDIDIKAN LPM UNY_0.pdf [diakses 15-06-2013].
Nasution. 2003. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Grafika Offset
Prabowo, A. 2008. Keefektifan Model Pembelajaran Bernuansa Problem Based Learning Berbantuan Media film beserta Aplikasi 3Dsmax Terhadap Penguasaan Kompetensi Mahasiswa Mata Kuliah Geometri Ruang. Tesis. Jurusan Matematika UNNES. Tidak diterbitkan.
Purnomo, A. Eko. 2011. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika dengan Metode MURDER Bernuansa Problem Based Learning (PBL)
Materi Bangun Datar Kelas VII. Tersedia di
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/128/jtptunimus-gdl-ekoandypur-6367-1-ekoandy-d.pdf [diakses tanggal 17 Febuari 2013]
Rahmawati, Indri. 2011. Pengaruh Metode Think Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dalam Pembelajaran Matematika terhadap Kompetensi Strategis.
Skripsi. Tersedia di http://repository.upi.edu [diakses tanggal 11 Febuari 2013].
Ruseffendi, E.T. 2006. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Stuyf, Rachel van der. 2002. Scaffolding as a Teaching Strategy. Tersedia di http://condor.admin.ccny.cuny.edu/.../Van%20Der%20Stuyf%20Paper.doc [diakses tanggal 17 Febuari 2013].
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.
Suhadi. 2010. Tips untuk Guru: Rasa Ingin Tahu itu Penting. Tersedia di http://suhadinet.wordpress.com/ [diakses tanggal 2 Febuari 2013].
Suherman, E, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Suherman, E. 2003. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA.
Sumarmo, U. 2010. Evaluasi dalam Pembelajaran Matematika. Bandung: FMIPA UPI.
Suyitno, A. 2004. Dasar- Dasar dan Proses Pembelajaran Matematika I. Semarang: UNNES.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tersedia di - [diakses 15-06-2013].
Wardhani, S dkk. 2010. Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika di SMP. Modul disajikan dalam Program Bermutu Better Education through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.