• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN (UDHP) GENOTIPE PADI HIBRIDA

B. UDHP di Lahan Sawah Tadah Hujan 1 Curah Hujan

B.4.4. Bobot Gabah per Rumpun

5. PEMBAHASAN UMUM

Salah satu teknologi alternatif dalam upaya meningkatkan produksi padi di lahan sawah tadah hujan adalah pengembangan galur/genotipe hibrida. Beberapa genotipe padi hibrida yang memiliki nilai standar heterosis tinggi berdasarkan perbandingan terhadap varietas cek dengan rata-rata potensi poduksi 11.88-14.32 ton ha-1

Penggunaan larutan PEG 6000 untuk pengujian genotipe padi hibrida terhadap cekaman kekeringan baik pada fase perkecambahan maupun fase bibit serta perlakuan cekaman kekeringan di pot dapat mengidentifikasi beberapa genotipe hibrida toleran kekeringan berdasarkan perbandingan varietas cek Limboto (Gambar 3 dan 5 serta Tabel 17, 25 dan 36). Untuk menentukan metode mana yang efektif dapat mendeteksi secara dini genotipe toleran kekeringan, maka , telah diperoleh dari perakitan padi hibrida sistem 3 galur yang menggunakan GMJ tipe Wild abortive (WA) dan Kalinga (KA) dengan galur pemulih kesuburan (R) (Purwoko et al. 2010). Genotipe-genotipe tersebut belum diketahui toleransinya terhadap kekeringan. Genotipe hibrida potensial untuk dikembangkan di lahan sawah tadah hujan masih membutuhkan proses seleksi. Dalam seleksi dihadapkan pada masalah banyaknya galur/genotipe yang akan diuji di lapangan, sehingga membutuhkan banyak biaya, tenaga dan waktu. Oleh karena itu diperlukan pengembangan metode pengujian/seleksi yang efektif dan efisien serta dapat mendeteksi secara dini genotipe-genotipe hibrida yang potensial dikembangkan di lahan sawah tadah hujan, sehingga dapat mengatasi banyaknya galur yang akan diuji di lapangan dan mempercepat siklus seleksi dalam perbaikan atau perakitan varietas.

Percobaan menggunakan perlakuan berbagai konsentrasi PEG 6000 menunjukkan bahwa larutan PEG 6000 konsentrasi 25% atau menurut Mexal et al. (1975) setara 0.99 MPa, cukup efektif memberikan cekaman kekeringan pada padi sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi secara dini genotipe padi hibrida toleran cekaman kekeringan. Asay dan Johnson (1983) menyatakan PEG dapat mendeteksi dan membedakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan, karena PEG dapat menginduksi stres air pada tanaman dengan mengurangi potensial air (Verslues at al. 2006), dan dapat digunakan pada potensial air -0.59 sampai -1.13 MPa (Blum et al. 1980).

harus ada kesesuaian dengan pengelompokan genotipe hibrida toleran kekeringan berdasarkan kriteria hasil dari perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah (Tabel 25 dan 36).

Tabel 36 Genotipe toleran cekaman kekeringan berdasarkan beberapa metode pengujian No. PEG 6000 Cekaman kekeringan di pot (KA 60 % KL) Simulasi kekeringan di lahan sawah 3)*S 3) Fase perkecambah Fase bibit 1)*S 2)*PS

1 BI485A/BP15 BI485A/BP15 BI485A/BP15 BI485A/BP15

2 BI599A/BP15 BI599A/BP15 BI599A/BP15 BI599A/BP15

3 Hipa 8 BI485A/BP12 BI485A/BP12 BI485A/BP12

4 - BI485A/BP10 BI485A/BP10 -

5 - Maro BI485A/BP5 -

Keterangan: Berdasarkan peubah 1)= panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah;

2)

=bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun; 3)= indeks toleransi dan indeks kepekaan terhadap kekeringan; KA 60% KL=Kadar air tanah 60% kapasitas lapangan; *S=berkorelasi dengan hasil simulasi; *PS=berkorelasi dengan hasil di pot dan simulasi.

Tabel 36 menunjukkan bahwa penggunaan 25% PEG 6000 pada fase perkecambahan yang dapat mengidentifikasi genotipe BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 serta Hipa 8 sebagai genotipe toleran kekeringan berdasarkan karakter/peubah panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering kecambah berkorelasi dengan hasil dari perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah (Tabel 37). Penggunaan 25% PEG 6000 pada fase bibit dapat mengidentifikasi genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 serta Maro sebagai genotipe toleran kekeringan berdasarkan karakter/peubah bobot kering akar, bobot kering tajuk dan skor tingkat kekeringan daun yang berkorelasi dengan hasil dari perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah dan di pot (Tabel 38). Hal ini membuktikan bahwa PEG 6000 dapat mendeteksi secara dini genotipe toleran dan peka kekeringan, tetapi seleksi dini dengan menggunakan 25% PEG 6000 pada fase bibit umur 7 hari dalam kultur hara dapat mengelompokkan genotipe hibrida toleran kekeringan yang paling sesuai dengan pengelompokan genotipe toleran kekeringan berdasarkan kriteria hasil di lapangan dibandingkan dengan pada fase perkecambahan (Tabel 36).

Tabel 37 Korelasi indeks vigor, panjang akar, panjang plumula, bobot kering akar, bobot kering kecambah pada perlakuan PEG 6000 dan bobot gabah per rumpun perlakuan cekaman kekeringan di pot dan simulasi kekeringan di lahan sawah

Peubah P akar P plumula BK akar BK kecambah BGRp BGRs Indek vigor 0.46 0.72** 0.68* 0.82** 0.35 0.35 P akar 0.43 0.60* 0.60* 0.26 0.59* P plumula 0.45 0.71** 0.51 0.51 BK akar 0.92** 0.26 0.66** BK kecambah 0.25 0.58* BGRp 0.56*

Keterangan: P=panjang, BK=bobot kering, BGRp=bobot gabah per rumpun di pot, BGRs=bobot gabah per rumpun di lahan sawah, *=nyata pada α=0.05, **=sangat nyata pada α=0.01.

Pada stadia bibit umur 7 hari dengan kondisi pertumbuhan perakaran dan tajuk yang relatif seragam, tanaman lebih responsif terhadap cekaman kekeringan dibanding pada fase perkecambahan yang masih dipengaruhi oleh faktor internal benih. Adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan dicirikan oleh adanya perubahan karakter bukan hanya pada perubahan karakter akar tapi juga karakter daun. Perubahan karakter terutama pada tingkat kekeringan daun atau penggulungan daun sebagai respon dari tanaman ketika terpapar cekaman kekeringan sudah dapat dievaluasi pada fase bibit dibanding pada fase kecambah. Herawati (2010) menyatakan penggunaan PEG 6000 pada stadia bibit umur 7 hari lebih disarankan untuk mengamati perbedaan panjang akar relatif pada penapisan padi gogo untuk hasil yang lebih baik. Oleh karena itu, penggunaan PEG 6000 konsentrasi 25% pada stadia bibit dalam kultur hara dapat mengidentifikasi genotipe toleran kekeringan lebih mendekati pengelompokan genotipe toleran kekeringan berdasarkan kriteria hasil di lapangan (di pot dan di lahan sawah).

Metode seleksi dini menggunakan PEG 6000 konsentrasi 25% pada stadia bibit umur 7 hari dalam kultur hara cukup handal, pelaksanaannya mudah dan relatif cepat serta dapat mengatasi masalah banyaknya jumlah individu yang harus diseleksi jika dilakukan langsung di lapangan, yang membutuhkan biaya yang lebih banyak. Lewis dan Christiansen (1981); Fukai et al. (2008); Sie et al. (2008) menyatakan bahwa metode yang dipilih tidak hanya murah dan pelaksanaannya cepat tetapi juga harus handal untuk menyeleksi genotipe dalam jumlah banyak sekaligus dan dapat memisahkan genotipe toleran dan peka. Kumashiro dan

Yamaguchi-Shinozaki (2008) menyatakan metode seleksi yang dapat memberikan hasil cepat dan dilaksanakan dengan mudah dan murah merupakan solusi untuk mengatasi masalah dalam program pemuliaan tanaman pada generasi awal.

Tabel 38 Korelasi tinggi tajuk, panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, nisbah bobot akar tajuk, skor tingkat kekeringan daun fase bibit pada perlakuan PEG 6000 dan bobot gabah per rumpun perlakuan cekaman kekeringan di pot dan simulasi kekeringan di lahan sawah Peubah P akar BK akar BK tajuk NAT SKD BGRp BGRs Tinggi tajuk 0.16 0.51 0.87** -0.75** -0.79** 0.13 0.53 P akar 0.13 0.12 -0.38 0.10 0.60* 0.38 BK akar 0.79** -0.04 -0.88** -0.05 0.63* BK tajuk -0.62* -0.85** 0.17 0.70* NAT 0.26 -0.27 -0.47 SKD -0.05 -0.62* BGRp 0.56*

Keterangan: P=panjang, BK=bobot kering, NAT=nisbah bobot akar tajuk, SKD=skor tingkat kekeringan daun, BGRp=bobot gabah per rumpun di pot, BGRs=bobot gabah per rumpun di lahan sawah, *=nyata pada α=0.05, **=sangat nyata pada α=0.01.

Percobaan di pot dengan perlakuan cekaman kekeringan pada kadar air 60% kapasitas lapangan yang diberikan pada saat antesis tidak menyebabkan penurunan pertumbuhan yang nyata. Penurunan pertumbuhan relatif kecil karena cekaman kekeringan terjadi pada saat pertumbuhan vegetatif relatif sudah stabil. Namun demikian akibat perlakuan cekaman kekeringan terjadi penurunan hasil yang drastis berkisar antara 64.8-99.3 persen, atau rata-rata mencapai 78.4 persen. Media di pot umumnya menghadapi adanya hambatan mekanis untuk penetrasi dan perkembangan akar karena ukuran pot yang sangat terbatas, sementara akar merupakan paramater kriteria seleksi penting untuk tanaman toleran kekeringan (Breseghello et al. 2008). Hal ini berimplikasi pada nilai indeks toleransi yang relatif sangat rendah dan indeks kepekaan yang relatif tinggi, sehingga dalam penentuan genotipe toleran kekeringan dan peka berdasarkan kriteria nilai indeks kepekaan terhadap kekeringan (ISK) < 1.0 dikategorikan sebagai toleran kekeringan dan nilai ISK ≥ 1.0 dikategorikan sebagai peka terhadap cekaman kekeringan atau berdasarkan perbandingan nilai ISK varietas cek Limboto dan IR64.

Pada percobaan simulasi kekeringan di lahan sawah, pengaruh perlakuan cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan, relatif sama dengan pengaruh perlakuan cekaman kekeringan di pot yaitu secara umum menurunkan pertumbuhan yang relatif kecil (Tabel 18), kecuali terhadap peubah panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering tajuk. Respon tanaman secara morfologi menunjukkan bahwa perlakuan cekaman kekeringan menghambat pertumbuhan panjang akar baik pada genotipe hibrida maupun varietas cek, dibandingkan dengan tanpa cekaman kekeringan. Rata-rata penurunan panjang akar mencapai 23.6 persen. Semua genotipe memiliki panjang akar yang tidak berbeda nyata dengan varietas cek Limboto, kecuali genotipe BI485A/BP5 (Tabel 19). Hal yang sama juga terjadi pada bobot kering tajuk (Tabel 20), karena terjadinya penurunan luas daun yang berdampak pada pengurangan produksi bahan kering. Hal ini berimplikasi pada nisbah akar tajuk (NAT) yang relatif kecil pada genotipe hibrida uji termasuk genotipe toleran kekeringan.

Nisbah akar tajuk (NAT) yang kecil diduga karena adanya tren yang berlawanan antara perkembangan masa akar dan pajang akar akibat cekaman kekeringan. Ketika diameter akar menurun karena kekeringan menyebabkan akar lebih panjang tetapi masa akar berkurang, yang menyebabkan bobot kering akar menurun dan NAT rendah (Gowda et al. 2011). Nisbah akar tajuk bervariasi antar sistem budidaya. Pada kondisi lahan kering NAT meningkat (Price et al. 2002), dibandingkan dengan NAT di lahan sawah pada kondisi cekaman kekeringan (Banoc et al. 2000). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan NAT dan pertumbuhan panjang akar, tetapi kondisi kekeringan yang sangat parah dan kehadiran lapisan padas (hardpans) yang kompak dan keras telah mengurangi partisi asimilat ke akar menyebabkan pertumbuhan akar terhambat (Gowda et al. 2011) .

Rata-rata bobot gabah per rumpun yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah relatif lebih tinggi dibanding dengan bobot gabah per rumpun pada perlakuan cekaman kekeringan di pot, karena adanya kemampuan penetrasi akar untuk mencapai zona yang lembab pada kedalaman ± 20 cm di lahan sawah, meskipun pada lapisan tanah bagian atas sudah sangat kekeringan.

Genotipe yang diidentifikasi toleran kekeringan akibat perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah adalah BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 dengan daya hasil berturut-turut 2.82, 2.58 dan 2.72 ton gabah per ha, yang relatif sama dengan Limboto yaitu sebesar 2.73 ton per ha, sedangkan IR64 hanya menghasilkan 1.42 ton per ha. Genotipe tersebut juga menghasilkan indeks panen yang tinggi yaitu berturut-turut 0.76, 0.70 dan 0.60. Hasil gabah yang tinggi berimplikasi pada nilai indeks toleransi terhadap kekeringan (IT) yang tinggi dan nilai indeks kepekaan terhadap kekeringan (ISK) yang rendah. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 menghasilkan nilai IT ≥ 80 persen dan ISK ≤ 0.50 (Tabel 25).

Penetapan kriteria genotipe toleran kekeringan berdasarkan nilai IT dan ISK tampak pada kisaran nilai yang berbeda antara simulasi kekeringan di lahan sawah dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot. Hal ini disebabkan pengujian pada media pot memiliki banyak faktor pembatas untuk perkembangan akar dibanding dengan perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah dimana dinamika air tanah cukup tinggi pada saat periode pengeringan. Curah hujan pada saat penelitian cukup tinggi mulai sejak tanam sampai dengan panen (Lampiran 13 dan 14). Dengan demikian selama periode pengeringan kemungkinan pengaruh dinamika air tanah pada saat periode tersebut tidak dapat dihindari, meskipun demikian hasil pengamatan kadar air tanah pada kedalaman ± 16 cm menunjukkan sudah terjadi cekaman kekeringan pada akhir vegetatif hingga 2 minggu setelah antesis (awal pengisian biji) seperti yang diharapkan.

Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 akibat cekaman kekeringan mempercepat hari kematangan gabah/umur panen, 4 hingga 5 hari dan memperpendek periode pengisian biji dibanding tanpa cekaman kekeringan (Tabel 22). Pengaruh kekeringan terhadap umur panen dan periode pengisian biji sangat tergantung pada genotipe (Lafitte et al. 2006). Villa et al. (2011) melaporkan bahwa secara umum hasil biji padi hibrida lebih tinggi dibanding dengan padi inbrida pada berbagai kondisi lingkungan. Pada lahan sawah yang tercekam kekeringan, padi hibrida yang berbunga lebih awal umumnya produksinya tinggi. Hal yang sama juga telah dilaporkan oleh Lafitte dan Courtois (2002) bahwa produksi pada kondisi cekaman kekeringan secara konsisten lebih

tinggi pada kultivar yang matang lebih awal. Pantuwan et al. (2002) menyatakan bahwa mekanisme drought escape dari genotipe umur genjah dengan hasil tinggi pada kondisi cekaman kekeringan karena adanya kontribusi cadangan asimilat pra-antesis selama periode pengisian biji.

Genotipe BI599A/BP15 pada perlakuan cekaman kekeringan memiliki tingkat kerapatan stomata yang rendah dan tetap mempertahankan status air daun relatif tetap tinggi (Gambar 9 dan 10). Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki (2007), menyatakan bahwa salah satu respon tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah berkurangnya kerapatan stomata. Jain dan Chattopadhyay (2010) melaporkan bahwa kultivar toleran mempertahankan kadar air relatif daun lebih tinggi bila dibandingkan dengan kultivar peka. Kandungan klorofil daun pada genotipe yang diidentifikasi sebagai genotipe toleran menunjukkan penurunan kandungan klorofil, sama halnya dengan varietas cek lainnya kecuali pada varietas cek Limboto (Gambar 11), yang diduga memiliki daun yang lebih tebal dan sifat mempertahankan kehijauan daun selama terjadi cekaman kekeringan (Lilley dan Fukai 1994). Daun yang tebal akan memiliki kerapatan kloroplas yang lebih tinggi per satuan luas dan karena itu kadar klorofil per satuan luas daun tinggi. Varietas cek Limboto, diduga memiliki strategi pemulihan dengan tetap mempertahankan kehijauan daun selama cekaman kekeringan, sehingga kandungan klorofil daun tetap tinggi pada akhir cekaman kekeringan (Gambar 11).

Cekaman kekeringan menyebabkan rendahnya karbohidrat nonstruktural baik pada batang, pelepah dan daun genotipe hibrida (Gambar 12). Kandungan karbohidrat yang rendah ini karena terjadi realokasi asimilat pra-antesis yang cepat dari daun dan batang ke biji selama fase pengisian biji. Hal ini dapat memperpendek periode waktu pengisian biji dan memperbaiki produksi biji. Produksi biji tergantung asimilat pra-antesis dan sumber asimilat (Pantuwan et al. 2002). Pada akhir periode cekaman kekeringan, dimana sumber fotosintesis terbatas, pengisian biji pada gandum dan barley tergantung cadangan pada batang (Bindinger et al. 1977). Oleh karena itu hasil biji pada genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe lain.

Uji daya hasil pendahuluan (UDHP) telah dilakukan di lapangan untuk mendapatkan galur/genotipe padi sawah dengan potensi produksi tinggi dengan umur genjah baik pada kondisi pengairan optimal maupun pada kondisi kekeringan. Pengujian di lapangan diperlukan agar karakter-karakter yang baik dapat diekspresikan, sehingga seleksi dapat dilakukan pada genotipe yang berpotensi hasil tinggi. UDHP di lahan sawah irigasi, menunjukkan bahwa delapan genotipe hibrida yang diuji memiliki daya hasil yang tidak berbeda nyata dengan varietas cek Ciherang dan Hipa 7. Hasil ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol) percobaan simulasi kekeringan di lahan sawah, karena kondisi kesuburan tanah yang rendah (Lampiran 1).

UDHP Di Lahan sawah irigasi Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 memiliki daya hasil menyamai varietas cek Ciherang yaitu berturut-turut 5.63, 6.87 dan 6.30 ton ha-1 (Tabel 30). Galur-galur/genotipe tersebut mempunyai postur batang yang sedang yaitu ±100 cm, yang tahan terhadap kerebahan dan umumnya petani lebih menyukai tanaman dengan ketinggian sedang (100-125 cm), karena lebih memudahkan petani pada saat panen (Kamandalu 2005).

Dari segi anakan produktif, genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 mempunyai jumlah anakan 12-15 anakan produktif (Tabel 29). Anakan produktif merupakan salah satu komponen hasil yang menentukan tinggi rendahnya hasil gabah. Pemuliaan padi tipe baru juga diarahkan pada pembentukan jumlah anakan produktif antara 8-12 batang rumpun-1 dengan jumlah gabah 150-200 butir malai-1

Komponen hasil genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 mempunyai panjang malai yang relatif panjang yaitu ± 25 cm. Genotipe tersebut juga mempunyai malai yang lebat yaitu berturut-turut 173.7, 175.8 dan 169.5 butir gabah malai

(Peng dan Khush 2003). Jumlah anakan produktif yang optimal akan mendukung hasil gabah yang tinggi, karena jumlah anakan yang banyak dan tidak produktif menjadi pesaing dari anakan produktif untuk mendapatkan cahaya matahari dan hara.

-1

yang tidak berbeda nyata dengan varietas cek Ciherang mupun Hipa 7 yaitu berturut-turut 153.0 dan 195.0 butir gabah malai-1 (Tabel 30). Tingkat

kehampaan gabah genotipe tersebut berturut-turut sebesar 11.6, 16.3 dan 20.8 persen, lebih rendah dibanding varietas Hipa 7 yang mencapai 28.2 persen, sedangkan tingkat kehampaan gabah Ciherang sebesar 17.9 persen.

Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 mempunyai umur panen yang genjah dibanding varitas cek Ciherang dan Hipa 7 yaitu berturut-turut 116.7, 115.0 dan 117.7 hari, sedangkan umur panen cek Ciherang dan Hipa 7 yaitu 120 hari (Tabel 29). Di daerah tropis, umur varietas yang optimum untuk dapat berpotensi hasil tinggi adalah 120 hari, karena tanaman dianggap mempunyai cukup waktu untuk proses fotosintesis dan pertumbuhan vegetatif untuk mendukung hasil tinggi (Yoshida dan Parao 1976). Umur varietas padi 100-130 hari dapat diharapkan sudah dapat memberikan hasil yang maksimal (Abdullah 2004). Sebaliknya varietas padi dengan umur genjah mempunyai peluang yang besar untuk ditanam pada daerah iklim kering dengan periode hujan singkat, karena dapat melepaskan diri dari kekeringan (drought escape). Mekanisme ini melibatkan perkembangan fenologi yang cepat (pembungaan lebih awal dan pemasakan lebih awal) dan remobilisasi asimilat pra-antesis (Mitra 2001).

Hasil percobaan di lahan sawah tadah hujan dimana tanaman berada pada kondisi tingkat cekaman kekeringan sangat parah, karena hanya 2 minggu pertama setelah tanam terjadi hujan (Tabel 31 dan 32, Gambar 13 dan Lampiran 11). Ini menunjukkan bahwa genotipe BI599A/BP15 mampu menghasilkan bobot gabah 5.62 gram rumpun-1 dengan daya hasil 0.9 ton ha-1. Hasil ini 3x lebih tinggi dibanding varietas cek Hipa7 yang dideskripsikan untuk lahan sawah tadah hujan dengan daya hasil 0.34 ton gabah ha-1. Sementara varietas Limboto merupakan varietas toleran kekeringan hanya mampu menghasilkan 0.29 ton gabah ha-1

Limboto merupakan varietas toleran kekeringan. Selama pertumbuhan di lapangan pada kondisi kekeringan sangat parah Limboto tetap mempertahankan kehijauan daun tetap tinggi tetapi tingkat pengisian gabah jauh lebih rendah dibandingkan dengan genotipe BI599A/BP15 (Gambar 14 dan Tabel 35). Fukai dan Cooper (1995) menyatakan bahwa ada 4 kategori sifat resistensi kekeringan pada padi tadah hujan yaitu melepaskan diri dari kekeringan (drought escape), (Tabel 35).

penghindaran (drought avoidance), toleransi (drought tolerance) dan pemulihan (drought recovery) setelah kekeringan terjadi. (Fukai et al. 1999) menyatakan bahwa pemeliharaan kehijauan daun pada kondisi kekeringan merupakan contoh mekanisme adaptasi toleransi kekeringan padi tadah hujan. Drought escape merupakan strategi yang sangat efektif untuk mengurangi pengaruh yang tidak menguntungkan dari kekeringan yang menyesuaikan ketersediaan air dengan fenologi tanaman (Mitchell et al. 1998). Dengan demikian kehijauan daun Limboto pada kondisi kekeringan parah dimana hanya terjadi hujan dua minggu pertama setelah tanam, mengindikasikan varietas Limboto bersifat toleran kekeringan, sedangkan genotipe BI599A/BP15 mengembangkan lebih dari satu mekanisme/strategi adaptasi yaitu drought escape dan toleransi kekeringan. Pada kondisi kekeringan genotipe BI599A/BP15 disamping mempercepat umur berbunga/panen (Tabel 22 dan 34) juga memiliki kerapatan stomata yang rendah dan tetap mempertahankan kadar air relatif daun tetap tinggi pada kondisi kekeringan (Gambar 9 dan 10). Mitra (2001) menyatakan bahwa sering kali tanaman menggunakan lebih dari satu mekanisme untuk toleran kekeringan. Oleh karena itu genotipe BI599A/BP15 mampu menghasilkan gabah yang lebih baik pada kondisi kekeringan dibandingkan genotipe yang lain.

Gambar 14 Penampilan genotipe BI599A/BP15 (H7) dan varietas Limboto (H12) pada fase reproduktif di lahan sawah tadah hujan pada kondisi kekeringan sangat parah

Semua genotipe yang diuji dalam kondisi kekeringan yang parah tersebut mengalami penghambatan pertumbuhan dengan tinggi postur batang kurang dari 100 cm atau berkisar antara 65-82 cm (Tabel 34). Dibandingkan dengan genotipe

lain, genotipe BI599A/BP15 memiliki postur yang lebih tinggi, dan relatif sama dengan varietas cek Limboto. Genotipe ini dibanding dengan genotipe lainnya dan varietas cek mempunyai panjang daun bendera, total biomasa yang lebih tinggi, namun relatif sama dengan varietas cek Limboto. Jumlah anakan produktif untuk semua genotipe relatif sama yaitu antara 11-13 anakan. Sementara itu umur berbunga pada genotipe BI599A/BP15 relatif lebih genjah yang sama dengan genotipe dan varietas cek lainnya (Tabel 34).

Dari segi komponen hasil ke empat genotipe hibrida dan dua varietas cek memiliki panjang malai yang relatif sama yaitu berkisar 21 cm, kecuali dengan varietas cek IR64 yang memiliki panjang malai yang lebih rendah (18 cm). Demikian halnya dengan jumlah gabah per malai dan tingkat pengisian gabah lebih baik pada genotipe BI599A/BP15 masing-masing dapat mencapai 124 butir dan persentase pengisian mencapai 31 persen yang relatif sama dengan genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan hibrida cek Hipa 7. Jumlah gabah per malai yang tinggi terdapat pada genotipe BI485A/BP3 dan varietas cek Limboto, tetapi memiliki tingkat pengisian biji yang sangat rendah atau tingkat kehampaan gabah yang tinggi.

Dengan demikian genotipe padi hibrida yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut di lahan sawah tadah hujan dan juga di lahan sawah irigasi dengan potensi hasil tinggi dan umur cukup genjah adalah genotipe BI599A/BP15. Genotipe BI599A/BP15 yang tercekam kekeringan pada fase kritis mampu menghasilkan gabah 2.72 ton ha-1, sedangkan IR64 hanya menghasilkan gabah 1.42 ton ha-1 (Tabel 34). Hal ini memberikan peluang bahwa pada kondisi curah hujan yang terbatas tetapi tidak terjadi kekeringan terus menerus selama fase vegetatif hingga reproduktif, dapat ditanam genotipe BI599A/BP15. Sebaliknya apabila terjadi kekeringan parah yang sebelumnya tidak dapat diramalkan, petani masih mendapatkan hasil walaupun produktivitas < 1 ton ha-1

Dari keseluruhan penelitian ini telah dapat diidentifikasi genotipe padi