Salah satu terobosan mengatasi isu intensifikasi dan ekstensifikasi tambak udang adalah dengan membudidayakan udang di laut. Berdasarkan kepada beberapa penelitian terdahulu, kinerja pertumbuhan, kelangsungan hidup, konversi pakan dan produktivitas budidaya udang di laut masih sangat bervariasi yang mengindikasikan teknologi yang belum mantap. Sebagai sistem produksi yang baru dan berbeda dengan tambak, budidaya udang di laut memerlukan informasi awal terkait kriteria lokasi, kualitas benur udang, kondisi fisologis dan biokimia udang, dan kualitas daging udang. Kondisi laut menuntut kesiapan benur udang yang akan ditebar dan mempengaruhi fisiologi dan biokimia serta kualitas daging. Berdasarkan hal tersebut maka telah dilakukan 4 tahap penelitian, yaitu: 1) kriteria dan kelayakan lokasi budidaya udang di laut: kajian oseanografi dan kualitas air, 2) kualitas benur udang untuk budidaya di laut: benur bioflok dengan benur perifiton, 3) kajian fisiologi dan biokimia udang yang dibudidayakan di laut, dan 4) kualitas daging udang yang dibudidayakan di laut.
Pada penelitian pertama, perairan gosong Pulau Semak Daun relatif lebih dinamis dilihat dari peubah suhu, salinitas dan densitas air laut, meskipun kecepatan arus di perairan ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan gosong Pulau Panggang (Tabel 1). Di perairan ini terjadi pergerakan masa air secara vertikal dan horisontal. Pergerakan masa air secara vertikal ini disebabkan oleh adanya pengadukan, sedangkan pergerakan air secara horisontal disebabkan oleh perbedaan densitas air laut secara horisontal yang terjadi di perairan gosong Semak Daun baik pada saat pasang maupun surut. Perbedaan densitas secara horisontal ini dapat menghasilkan arus permukaan laut yang sangat kuat. Dinamika air laut yang relatif tinggi di perairaan Pulau Semak Daun disebabkan oleh luas perairan yang relatif lebih tinggi (315,0 ha) dibandingkan dengan perairan gosong Pulang Panggang (102,8 ha) dan selat Pulau Panggang-Pulau Karya (12,0 ha). Pada perairan yang lebih luas energi angin bisa membangkitkan arus dan gelombang yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada luasan yang sempit. Selain itu gosong Pulau Semak Daun memiliki enam pintu air dibandingkan dengan gosong Pulau Panggang yang hanya memiliki tiga pintu air, atau selat Pulau Panggang-Pulau Karya yang hanya dua pintu. Pintu air ini adalah celah pada karang penghalang yang merupakan tempat masuk dan keluarnya air laut pada saat pasang dan surut.
Dinamika air laut yang tercipta di suatu kawasan perairan laut akan mempengaruhi kualitas air di kawasan tersebut, terutama oksigen terlarut yang penting bagi marikultur. Pergerakan masa air dalam sistem water-based
mariculture adalah sirkulasi air yang menjamin pasokan oksigen terlarut bagi
biota kultur, sehingga bisa menggantikan peran kincir yang biasa digunakan dalam budidaya udang di tambak (Paquotte et al. 1998, Zarain-Herzberg et al.
2010). Kandungan oksigen terlarut di gosong Pulau Semak Daun, selat Pulau Panggang-Pulau Karya dan gosong Pulau Panggang berkisar masing-masing antara 7,4-9,4; 5,8-8,7 dan 7,8-10,8 mg/L, bahkan di perairan terakhir mencapai nilai jenuh. Oksigen terlarut di perairan merupakan faktor pembatas (limiting
factor) di dalam produksi akuakultur, ketiadaan bahkan ketidakcukupan oksigen
berarti ketiadaan produksi (Rosas et al. 1997, Rosas et al. 1999). Tingginya
kandungan oksigen terlarut di laut secara alami merupakan keunggulan budidaya udang di laut (Paquotte et al. 1998, Zarain-Herzberg et al. 2010). Secara umum,
kualitas air di lokasi penelitian layak untuk udang vaname, kecuali parameter kecerahan. Kecerahan yang mengindikasikan intensitas cahaya terlalu tinggi untuk udang vaname sehingga bisa berdampak terhadap fisiologi dan biokimia udang. Dari penelitian ini diperoleh kriteria air laut dan kelayakan lokasi untuk budidaya udang vanamei di laut. Meskipun demikian, hasil ini perlu diuji lebih lanjut melalui serangkaian penelitian budidaya di lokasi terpilih dan mengkaji kinerja produksi yang dicapai.
Pendederan dengan teknologi bioflok menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan teknologi perifiton dalam hal bobot akhir, panjang akhir, pertumbuhan harian kelangsungan hidup dan FCR (Tabel 5). Pada teknologi bioflok, bakteri sengaja dikultur untuk menjadi bioremidiator yang mengubah buangan nitrogen berupa metabolit, feses dan sisa pakan menjadi protein mikroba (Crab et al. 2007). Protein mirkoba ini menjadi makanan suplemen yang kaya
protein, PUFA, dan lipid bagi udang kultur (McIntosh et al. 2000; Buford et al.
2004a; Buford et al. 2004b; Avnimelech 2006; Wasielesky et al. 2006). Bioflok
mengandung sekitar 0,9-19,0% poly-β-hydroxybutyrate yang bisa memenuhi kebutuhan udang yang tidak lebih dari 1% (De Schryverdan Verstraete 2009; De Schryver et al. 2010; Sarmin et al. 2013). Poly-β-hydroxybutyrate adalah produk
polimer intraseluler yang diproduksi oleh beberapa jenis mikroorganisme sebagai sumber energi dan karbon. Dengan kualitas nutrisi seperti dijelaskan di atas, bioflok tidak hanya memberikan pertumbuhan PL yang tinggi (0,018 g/hari) tetapi juga bisa menghemat penggunaan pakan komersial. Hal ini bisa dilihat pada nilai FCR yang relatif lebih rendah pada pendederan dengan teknologi bioflok dibandingkan dengan teknologi perifiton. FCR pada pendederan dengan teknologi bioflok hanya 0,76 sedangkan pada teknologi perifiton mencapai 3,43. Pada percobaan ini setengah porsi pakan pelet komersial yang mahal dalam pendederan dengan teknologi bioflok digantikan dengan sumber karbohidrat yang lebih murah (molase). Kinerja pembesaran juvenil bioflok dalam KJA di laut lebih baik dibandingkan dengan juvenil perifiton dalam hal bobot akhir, pertumbuhan harian, kelangsungan hidup, FCR dan produksi biomasa (Tabel 6). Asupan nutrisi yang lebih baik pada sistem pendederan menyebabkan juvenil bioflok lebih superior dibandingkan dengan yang perifiton. Pertumbuhan harian dan bobot akhir juvenil bioflok masing-masing mencapai 0,19 g/hari dan 22,54 g (size 44, yang berarti terdapat 44 ekor udang/kg), sedangkan juvenil perifiton masing-masing hanya 0,15 g/hari dan 18,79 g. Pertumbuhan harian dalam penelitian hampir sama dengan yang diperoleh Zarain-Herzberg et al. (2006) dan Zarain-Herzberg et al.
(2010), tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan yang diperoleh Paquotte et al.
(1998). Dengan pertumbuhan harian sebesar 0,19 g/hari juvenil bioflok membutuhkan waktu sekitar 105 hari untuk mencapai ukuran ekspor (size 50-60), sedangkan untuk juvenil perifiton sekitar 134 hari. Pertumbuhan harian udang yang dipelihara dalam KJA di laut secara umum lebih rendah dibandingkan dengan standar pertumbuhan pada budidaya udang intensif di tambak menurut Wyban dan Sweeney (1991). Produksi biomasa juvenil bioflok mencapai 6,45 kg/m2 atau 64,5 ton/ha, ini setara dengan standar produksi udang vaname dalam tambak air payau dengan teknologi intensif (Wyban dan Sweeney 1991).
Berdasarkan kepada kinerja pertumbuhan, bobot akhir, FCR dan kelangsungan hidup ukuran awal dan padat penebaran udang vaname terbaik yang dipelihara dalam karamba jaring apung di laut masing-masing adalah 2 cm dan
300 ekor/m2. Mengacu kepada gambaran glukosa, kolesterol, trigliserida, THC
dan respiratory burst, pada ukuran yang lebih besar dan padat penebaran yang
lebih tinggi udang mengalami stres terutama di akhir pemeliharaan. Untuk membudidayakan udang di laut disarankan menggunakan benur berukuran 2 cm dan padat penebaran 300 ekor/m2. Hal ini menandakan sekitar umur 60 hari pemeliharaan tidak ada perbedaan kadar glukosa hemolim udang pada semua perlakuan ukuran dan padat tebar, kadar glukosa berkisar antara 19,557-23,742 mg/dL. Pada 80 hari pemeliharaan mulai terjadi perbedaan kadar glukosa hemolim udang antar perlakuan. Kadar glukosa udang vaname tertinggi terdapat pada perlakuan 4-500 dan terendah pada 6-700 (P<0,05). Pada akhir pemeliharaan (100 hari), kadar glukosa tertinggi terjadi pada udang dengan perlakuan 6-500 (P<0,05). Secara umum terlihat kadar glukosa hemolim udang meningkat pada akhir pemeliharaan yang mengindikasikan meningkatnya tingkat stres pada udang uji.
Kandungan asam amino daging udang laut hampir sama dengan udang tambak berkisar antara 14,995-15,313% w/w (Tabel 21). Sui et al. (2015)
mendapatkan kandungan asam amino umumnya lebih tinggi pada udang yang dipelihara pada salinitas tinggi (60 ppt), yang menurut Intanai et al. (2009) hal
tersebut menandakan kondisi hiperosmotik lingkungan pemeliharaan menyebabkan perubahan metabolik melalui sintesis protein. Udang laut memiliki histidin dan threonin yang relatif lebih tinggi serta alanin yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan udang tambak (P<0,01). Kandungan histidin dan threonin udang laut masing-masing mencapai 0,280 dan 0,510%, sedangkan alanin hanya 0,1373%. Asam aspartat, glisina, serina dan asam glutamat yang berpengaruh terhadap rasa manis pada krustasea (Sikorski et al.1990) ternyata sama antara
udang laut dengan udang tambak.