• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budidaya Intensif Udang Vaname Litopenaeus Vannamei Di Laut Kajian Lokasi, Fisiologis Dan Biokimia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Budidaya Intensif Udang Vaname Litopenaeus Vannamei Di Laut Kajian Lokasi, Fisiologis Dan Biokimia"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

BUDIDAYA INTENSIF UDANG VANAME

Litopenaeus vannamei

DI LAUT: KAJIAN LOKASI, FISIOLOGIS DAN BIOKIMIA

IRZAL EFFENDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Budidaya Intensif Udang Vaname Litopenaeus vannamei di Laut: Kajian Lokasi, Fisiologis dan

Biokimia adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

Irzal Effendi

(4)

RINGKASAN

IRZAL EFFENDI. Budidaya Intensif Udang Vaname Litopenaeus vannamei di

Laut: Kajian Lokasi, Fisiologis dan Biokimia. Dibimbing oleh MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI, ENANG HARRIS, EDDY SUPRIYONO, MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan SUKENDA.

Tingginya permintaan udang di pasar dunia menuntut upaya peningkatan produksi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi budidaya udang vaname

Litopenaeus vannamei. Salah satu terobosan ekstensifikasi budidaya udang

adalah dengan memanfaatkan laut dengan beberapa keunggulan, antara lain potensi pengembangan sangat besar, kadar oksigen terlarut relatif tinggi sehingga tidak perlu kincir, carrying capacity yang besar sehingga bisa diarahkan ke

intensifikasi budidaya, mutu daging udang yang dihasilkan relatif lebih baik. Upaya tersebut sesungguhnya sudah banyak dilakukan, namun kinerja pertumbuhan, kelangsungan hidup dan konversi pakan yang diperoleh masih sangat bervariasi yang disebabkan oleh belum mantapnya teknologi budidaya dan kondisi lingkungan laut. Berdasarkan hal tersebut maka telah dilakukan penelitian dengan 4 tahap, yaitu: 1) kesesuaian lokasi budidaya udang vannamei di laut, 2) kinerja produksi udang vannamei yang dibudidayakan di laut dari juvenil bioflok dan juvenile perifiton, 3) respon fisiologis dan biokimia udang vaname yang dibudidayakan di laut pada ukuran awal dan padat tebar berbeda, 4) mutu daging udang yang dibudidayakan di laut.

Penelitian pertama bertujuan untuk mengetahui kondisi dan kesesuaian lokasi untuk budidaya udang vaname di laut dengan mengamati aspek oseanografi dan kualitas air. Lokasi penelitian berupa gosong (Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang) dan selat (Pulau Karya) di Kepulauan Seribu, Jakarta. Gosong Pulau Semak Daun, selat Pulau Karya dan gosong Pulau Panggang memiliki luas masing-masing 315,0; 12,0 dan 102,8 ha dengan kedalaman 4,6 m (0,5-28,1 m); 14,6 m (0,5-26,7 m) dan 5,3 m (0,8-13,6 m), serta kecepatan arus 12,9; 12,7 dan 13,5 cm/detik. Berdasarkan hasil pengamatan densitas, salinitas dan suhu, gosong Pulau Semak Daun yang memiliki kawasan yang paling luas cenderung terjadi pengadukan (turnover) yang mengindikasikan sirkulasi air yang lebih baik,

sedangkan selat Pulau Karya dan gosong Pulau Panggang yang cenderung mengalami stratifikasi. Nilai kualitas air di lokasi kajian berada dalam kisaran yang sesuai untuk udang vaname, kecuali kecerahan. Gosong Pulau Semak Daun lebih disarankan untuk lokasi budidaya udang vaname.

Penelitian kedua bertujuan membandingkan kinerja pendederan teknologi bioflok dengan teknologi perifiton dan mengevaluasi kinerja juvenil yang dihasilkan dari kedua teknokogi tersebut di dalam sistem pembesaran di laut. Penelitian dilakukan di gosong Pulau Semak Daun dan terdiri dari tahap pendederan dan pembesaran. Di tahap pendederan, post larva (PL) udang

vaname umur 10 hari (PL10) ditebar dengan kepadatan 2.667 ekor/m3 dalam tanki pada teknologi bioflok dan 1.333 ekor/m3 dalam KJA pada teknologi perifiton. PL udang dipelihara selama 21 hari dan diberi pakan buatan berbentuk tepung (40% protein), tujuh kali sehari secara blind feeding. Pada pendederan bioflok,

(5)

frekuensi 6 kali sehari secara restriksi. Setiap 10 hari sekali dilakukan pengukuran contoh udang. Bobot akhir, panjang akhir, pertumbuhan harian, kelangsungan hidup (survival rate, SR), konversi pakan (feed conversion ratio,

FCR) udang pada pendederan dengan teknologi bioflok lebih baik dibandingkan dengan teknologi perifiton, demikian pula juvenile bioflok dalam sistem pembesaran (P<0,05).

Meskipun laut memiliki kandungan okisgen terlarut yang relatif tinggi dan

carrying capacity yang besar sehingga budidaya udang di perairan ini bisa

diarahkan ke intensifikasi dengan padat tebar yang tinggi, namun hasil penelitian kedua menunjukkan kinerja produksi sistem pembesaran di laut masih di bawah kinerja tambak. Percobaan dilakukan dalam KJA dan dirancang secara faktorial dengan 2 faktor: ukuran awal dan padat penebaran udang, masing-masing dengan 3 taraf dan setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Ukuran awal terdiri dari 2, 4 dan 6 cm, sedangkan padat penebaran terdiri dari 300, 500 dan 700 ekor/m2. Udang dipelihara selama 100 hari dan diberi pakan berupa pelet (38-40% protein) sebanyak 5-6% dari bobot biomasa per hari dengan frekuensi 6-7 kali per hari. Pengukuran kinerja produksi dilakukan pada akhir pemeliharaan, sedangkan parameter fisiologi dan biokimia udang dilakukan pada hari ke 60, 80 dan akhir pemeliharaan. Berdasarkan kepada kinerja pertumbuhan, bobot akhir, FCR dan SR maka ukuran awal dan padat penebaran udang vaname terbaik masing-masing adalah 2 cm dan 300 ekor/m2. Mengacu kepada gambaran glukosa, glikogen, kolesterol, HDL, LDL, trigliserida, THC dan respiratory burst, semakin besar

ukuran dan semakin tinggi padat tebar tampaknya udang semakin stres, terutama di akhir pemeliharaan.

Penelitian keempat bertujuan untuk membandingkan kandungan proksimat, asam amino, asam lemak, taurin, astaksantin dan mineral daging udang vaname yang dibudidayakan di laut (udang laut) dan di tambak (udang tambak). Sampel udang diambil dari KJA di Kepulauan Seribu Jakarta dan tambak Lampung masing-masing berukuran 13,34-16,08 g dan 13,70-17,10 atau ketika mencapai umur pemeliharaan masing-masing 100 dan 82 hari. Kedua sistem budidaya tersebut memiliki luas, kedalaman, padat tebar, ukuran dan asal benur, pertumbuhan, SR, FCR, produksi biomasa dan kualitas air yang berbeda. Hasil analisis proksimat menunjukkan udang laut memiliki kandungan air dan karbohidrat yang lebih tinggi serta kandungan abu dan protein yang lebih rendah dibandingkan dengan udang tambak. Dalam penelitian ini udang laut memiliki kandungan asam amino, asam lemak dan mineral yang hampir sama dengan udang tambak, perbedaan hanya pada histidina, treonina, alanina, asam miristat, asam palmitoleat, asam linoleat asam cis-11,14-eikosedienoat dan besi.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa perairan gosong lebih cocok untuk budidaya udang vaname di laut. Juvenil bioflok lebih baik dibandingkan dengan juvenil perifiton untuk budidaya udang vaname di laut dengan ukuran dan padat tebar masing-masing adalah 2 cm dan 300 ekor/m2. Daging udang yang dipelihara di laut memiliki kandungan air dan karbohidrat yang lebih tinggi serta kandungan abu dan protein yang lebih rendah dibandingkan dengan udang tambak. Berdasarkan penelitian ini disarankan memanfaatkan perairan gosong dan juvenil bioflok ukuran 2 cm dengan kepadatan 300 ekor/m2.

(6)

SUMMARY

IRZAL EFFENDI. Intensive Culture of White Shrimp Litopenaeus vannamei in

Sea Net Cages: Location, Physiologycal and Biochemical Studies. Under the supervision of MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI, ENANG HARRIS, EDDY SUPRIYONO, MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR and SUKENDA.

The high demand for shrimp in world markets requires efforts to increasing the production through intensification and extensification of white shrimp Litopenaeus vannamei culture. One of the breakthroughs of shrimp

farming extensification is to utilize the sea. Shrimp farming in the sea has several advantages are high development potential, water renewal and dissolved oxygen is higher so no added energy is needed for water exchange or aeration, high carrying capacity so that it can be directed to the intensification of shrimp culture, and better shrimp meat quality. Based on several previous studies, the growth performance, survival, feed conversion and productivity of shrimp culture in the sea is still very varied and lowered than ponds system which indicates that sea shrimp culture technology is not establised yet. As a new production systems that are very different from land-based pond system, shrimp culture in the sea requires some important information such as the location criterias, seed quality and size, stocking density, physiological and biochemical condition and shrimp meat quality. Therefore, it has been studied comprised four steps: 1) location suitability for shrimp culture in the sea, 2) production performance of white shrimp under sea floating net cages with biofloc and periphyton juvenile 3) physiology and biochemical responses of white shrimp under sea floating net cages with different initial size and stocking density, and 4) meat quality of white shrimp cultured in the sea.

The purpose of first study was to evaluate oceanography and water quality condition of Semak Daun Island, Karya Island and Panggang Island waters of Thousand Islands, Jakarta for white shrimp Litopenaeus vannamei culture

location. The location have an area of 315,0; 12,0 and 102,8 ha, and average water depth of 4,6 (ranged 0,5-28,1); 14,6 (0,5-26,7) and 5,3 (0,8-13,6) m, current water of 12,9 (ranged 1,2-55,2); 12,7 (1,9-28,0) and 13,5 (4,4-19,1) cm/second, respectively. Based on water temperature, salinity and density, Semak Daun Island waters seemingly occurred turn over which indicated good water circulation, and stratification for Panggang Island and Karya Island waters. Generaly, water quality were within the range suitable for white shrimp, except water transparancy. Semak Daun Island waters more recommended for white shrimp culture location by giving cage cover and shelter as well as wary of the high waves that usually occured in February and July-August.

(7)

triplicate 3x3x3 m cages at the density of 550 shrimp/m and reared for 120 days. Juvenil were fed commercial pellet six times daily with restricted feeding method refer to feeding level of white shrimp. Intermediate rearing by using BFT shows better growth rate, final weight and length, survival rate (SR), feed conversion ratio (FCR) and biomass production performance compared to PPT (P<0,05). In grow-out phase, BTF juvenile reach marketable size and also shows better growth performance, final weight, SR, FCR, and biomass production compared to the rest (P<0,05). It is concluded that BFT better than PPT in term of intermediate rearing as well as produced better seed quality.

The third study aims to determine best initial size and stocking rate of white shrimp under floating net cages in the sea by measuring the performance of production, physiological and biochemical parameters. The study was designed as factorial by 2 factors: initial size and stocking density of shrimp with 3 levels, respectively. The initial size consists of 2, 4 and 6 cm, while the stocking density of 300, 500 and 700 fish/m2. Shrimp production performance were measured at the end of rearing, while the shrimp physiological and biochemical were measured at the day of 60, 80 and the end of rearing. Based on the growth performance, final weight, FCR and SR, the best initial size and stocking rate for shrimp culture under sea floating net cages was 2 cm and 300 individuals/m2, respectively. On larger size and higher stocking density, the shrimp seemingly experiencing stress referring to glucose, cholesterol, HDL, LDL triglycerides, THC and respiratory burst variables, especially at the end of rearing.

The fourth study was conducted to compare proximate, amino acid, fatty acid, taurin, astaxanthin and mineral of white shrimp meat under sea floating net cage (sea shrimp) with brackishwater pond (pond shrimp). The samples of shrimp meat came from sea floating net cage of Thousand Islands, Jakarta and brackishwater pond of Lampung with a weight range of 13,34-16,08 and 13,70-17,10 g or 100 and 82 days of culture, respectively. Both system have different characteristics in terms of area, depth, stocking density, size and origin of seed, growth, SR, FCR, biomass production and water quality. The results of proximate analysis showed that sea shrimp has a higher water and carbohydrate content and lower ash dan protein content than brackishwater pond shrimp. Sea shrimp contains amino acids, fatty acids and minerals similar to shrimp ponds, the only difference in the histidine, threonine, alanine, myristic acid, palmitoleic acid, linoleic acid, acid cis-11,14-eicosedienoic and iron.

In general it can be concluded that coral reef waters seemingly more suitable for white shrimp culture location in the sea. BFT juvenile is better than PPT juvenile for white shrimp culture in the sea with initial size of 2 cm and stocking density of 300 shrimp/m2. White shrimp meat under sea net cage has higher water and carbohydrate content and lower ash and protein content than pond shrimp. Based on this research, it is recommended to use BFT juvenile with size of 2 cm and stocking density of 300 shrimp/m2.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

BUDIDAYA INTENSIF UDANG VANAME

Litopenaeus vannamei

DI LAUT: KAJIAN LOKASI, FISIOLOGIS DAN BIOKIMIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ketut Sugama, MSc Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc

(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian dalam disertasi ini adalah upaya membudidayakan udang di laut, dengan judul “Budidaya Intensif Udang Vaname Litopenaeus vannamei di

Laut: Kajian Lokasi, Fisiologis dan Biokimia”. Upaya ini didasari tingginya permintaan udang di pasar dunia dan domestik, sementara di sisi lain terdapat potensi laut yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk memproduksi udang. Untuk itu perlu dirancang teknologi budaya udang di laut sejak pemilihan lokasi hingga produksi, dan penelitian ini dilakukan untuk menyediakan beberapa landasan untuk perancangan tersebut. Disertasi ini merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Muhammad Agus Suprayudi MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan juga kepada Dr Ir Eddy Supriyono MSc, Prof Dr Ir Enang Harris MS, Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior MSc dan Dr Ir Sukenda MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberi komentar, saran dan masukan untuk penyusunan dan perbaikan disertasi ini. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Dr Ir Dedi Jusadi MSc dan Dr Dinamella Wahjuningrum SSi MSi yang telah memberi masukan dan perbaikan pada saat penyusunan proposal penelitian serta Dr Ir Widanarni MSi selaku Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur yang telah memberi masukan dan perbaikan dalam rangka penjaminan mutu penelitian. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof Dr Ketut Sugama MSc dan Dr Ir Kukuh Nirmala MSc sebagai Penguji Ujian Tertutup di luar Komisi Pembimbing yang telah memberi masukan yang berharga disertasi ini berupa komentar, perbaikan, saran dan wawasan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB yang telah mendorong penyelesaian penelitian ini secara tepat waktu, Kemenristekdikti Republik Indonesia yang telah membiayai penelitan ini melalui program Penelitian Institusi Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) IPB, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB yang membantu dalam penyediaan fasilitas lapangan di Kepulauan Seribu dan administrasi penelitan.

(14)

menyediakan udang tambak dari Lampung yang dibantu oleh Murhasan, Ahmad Saifudin dan Hadi Saputra. Terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Prof Dr Kadarwan Soewardi MSc yang telah menyediakan udang tambak dari Karawang sebagai pembanding dalam penelitian kualitas daging udang, dan waktu untuk mendiskusikan beberapa bagian dari penelitian ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Shavika Miranti, SPi MSi yang telah membantu mengambil, preparasi dan menganalisis seluruh sampel udang dalam rangka memengumpulkan data fisiologi dan biokimia, serta membantu menyajikan seluruh data penelitian dan mengedit laporan. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Ranta yang telah membantu preparasi sampel udang di laboratorium. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teknisi Balai Sea Farming PKSPL LPPM IPB di Kepulauan Seribu: Widi, Riki, Anwar, Donald, Rahmat yang telah membantu menjaga dan memelihara udang penelitian di laut serta sampling udang. Terimakasih juga disampaikan kepada Yuli Rohmalia yang telah membantu mengelola informasi, administrasi seminar dan ujian, Ir Bambang Yudo MSi dan Ir Vepriyanti yang telah membantu mengelola keuangan penelitian. Ucapan terimakasih tentu saja untuk Ibunda Hj Darmalis Ruhana dan Ayahanda H Muhammad Syair SM (Almarhum) tercinta serta Istri Dina Herdini dan anak-anaku Muhammad Thoriq Ilham, Muhammad Irsyad Ramadhan, Athifa Yasmina Humaira tersayang yang selalu memberi dukungan moril kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian.

Semoga disertasi ini bisa bermanfaat untuk akademisi, peneliti dan praktisi yang berminat dalam pengembangan marikultur dan udang.

Bogor, Agustus 2016

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran 2

Tujuan dan Manfaat Penelitian 3

Kebaruan 4

Tahapan Penelitian 4

KELAYAKAN LOKASI BUDIDAYA UDANG VANAME Litopenaeus

vannamei DALAM KARAMBA JARING APUNG DI LAUT 5

Abstract 5

Abstrak 5

Pendahuluan 6

Bahan dan Metode 7

Hasil dan Pembahasan 9

Simpulan dan Saran 19

KINERJA PRODUKSI UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YANG

DIPELIHARA DALAM KARAMBA JARING APUNG DI LAUT DARI

JUVENIL BIOFLOK DAN PERIFITON 20

Abstract 20

Abstrak 20

Pendahuluan 21

Bahan dan Metode 22

Hasil dan Pembahasan 26

Simpulan dan Saran 32

RESPON FISIOLOGIS DAN BIOKIMIA UDANG VANAME Litopenaeus

vannamei YANG DIPELIHARA DALAM KARAMBA JARING APUNG DI

LAUT DENGAN UKURAN AWAL DAN PADAT TEBAR BENUR YANG

BERBEDA 33

Abstract 33

Abstrak 33

Pendahuluan 34

Bahan dan Metode 35

Hasil dan Pembahasan 38

Simpulan dan Saran 54

KUALITAS DAGING UDANG YANG DIBUDIDAYAKAN DI KARAMBA

JARING APUNG LAUT DAN TAMBAK 55

(16)

Abstrak 55

Pendahuluan 56

Bahan dan Metode 57

Hasil dan Pembahasan 62

Simpulan dan Saran 69

PEMBAHASAN UMUM 70

DAFTAR PUSTAKA 73

(17)

DAFTAR TABEL

1. Persentasi kedalaman laut di perairan Pulau Semak Daun, Pulau

Karya dan Pulau Panggang (%). 10

2. Fisika dan kimia air laut di perairan Pulau Semak Daun, Pulau Karya dan Pulau Panggang, dan baku mutu air laut untuk biota laut dan

udang vaname Litopeneus vannamei di tambak. 15

3. Jumlah taksa, kelimpahan, keragaman, keseragaman dan dominansi

fitoplankton dan zooplankton di gosong Pulau Semak Daun. 16 4. Jenis dan jumlah pakan untuk setiap ukuran udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dipelihara dalam pembesaran di

karamba jaring apung di laut. 24

5. Bobot dan panjang akhir, pertumbuhan harian, kelangsungan hidup, dan FCR udang vaname Litopenaeus vannamei pada pendederan

dengan teknologi bioflok dan teknologi perifiton. 26

6. Kinerja pembesaran udang vaname Litopenaeus vannamei dari

juvenil bioflok dan juvenil perifiton. 27

7. Fisika-kimia air laut di dalam dan di luar karamba jaring apung

(KJA) pada budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei. 28

8. Kinerja produksi udang vaname Litopenaeus vannamei dalam

pembesaran di karamba jaring apung di laut pada berbagai ukuran

awal dan padat tebar. 40

9. Kadar glukosa hemolim udang vaname Litopenaeus vannamei dalam

pembesaran di karamba jaring apung laut pada berbagai ukuran awal

dan padat tebar (mg/dL). 41

10. Kadar glikogen daging udang vaname Litopenaeus vannamei dalam

pembesaran di karamba jaring apung laut pada berbagai ukuran awal

dan padat tebar (mg/dL). 41

11. Kadar kolesterol hemolim udang vaname Litopenaeus vannamei

dalam pembesaran di karamba jaring apung laut pada berbagai

ukuran awal dan padat tebar (mg/dL). 42

12. Kadar trigliserida hemolim udang vaname Litopenaeus vannamei

dalam pembesaran di karamba jaring apung laut pada berbagai

ukuran awal dan padat tebar (mg/dL). 42

13. Kadar HDL hemolim udang vaname Litopenaeus vannamei dalam

pembesaran di karamba jaring apung laut pada berbagai ukuran awal

dan padat tebar (mg/dL). 43

14. Kadar LDL hemolim udang vaname Litopenaeus vannamei dalam

pembesaran di karamba jaring apung laut pada berbagai ukuran awal

dan padat tebar (mg/dL). 44

15. Nilai pH daging udang vaname Litopenaeus vannamei dalam

pembesaran di karamba jaring apung laut pada berbagai ukuran awal

dan padat tebar. 44

16. Total hemocyte count (THC) udang vaname Litopenaeus vannamei

dalam pembesaran di karamba jaring apung laut pada berbagai

(18)

17. Respiratory burst (RB) udang vaname Litopenaeus vannamei dalam

pembesaran di karamba jaring apung laut pada berbagai ukuran awal

dan padat tebar (OD 630 nm). 45

18. Spesifikasi budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei di

karamba jaring apung di laut dan tambak dari sampel daging udang

dalam penelitian ini. 58

19. Fisika-kimia air laut dalam karamba dan tambak dimana contoh udang vaname Litopeneus vannamei diambil untuk analisis kualitas

daging. 59

20. Hasil analisis proksimat daging udang vaname Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan di karamba jaring apung laut (udang

laut) dan tambak (udang tambak) (% w/w). 62

21. Kandungan asam amino daging udang vaname Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan di karamba jaring apung laut (udang

laut) dan tambak (udang tambak) (dalam % w/w). 63

22. Kandungan asam lemak daging udang vaname Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan di karamba jaring apung laut (udang

laut) dan tambak (udang tambak) (dalam % w/w). 64

23. Kandungan astaksantin daging udang vaname Litopenaeus vannamei

yang dibudidayakan di karamba jaring apung laut (udang laut) dan

tambak (udang tambak) (dalam mg/kg). 64

24. Kandungan mineral daging udang vaname Litopenaeus vannamei

yang dibudidayakan di karamba jaring apung laut (udang laut) dan

tambak (udang tambak) (dalam mg/kg). 65

DAFTAR GAMBAR

1. Perumusan masalah dan kerangka berpikir pengembangan budidaya

udang di laut. 3

2. Lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, Jakarta. Titik putih menunjukkan stasiun pengamatan arus dan kualitas air laut yang

tersebar di setiap lokasi penelitian. 8

3. Tinggi gelombang maksimum (garis merah) dan minimum (garis biru)

rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir di lokasi penelitian. 10 4. Suhu di perairan gosong Pulau Semak Daun (a), selat Pulau

Panggang–Pulau Karya (b) dan gosong Pulau Panggang (c)

masing-masing pada saat pasang dan surut. 12

5. Salinitas di perairan gosong Pulau Semak Daun (a), perairan selat Pulau Panggang–Pulau Karya (b) dan gosong Pulau Panggang (c)

masing-masing pada saat pasang dan surut. 13

6. Densitas di perairan gosong Pulau Semak Daun (a), perairan selat Pulau Panggang–Pulau Karya (b) dan gosong Pulau Panggang (c)

masing-masing pada saat pasang dan surut. 14

7. Bobot juvenil udang vaname Litopenaeus vannamei pada setiap

(19)

8. Panjang tubuh udang vaname Litopenaeus vannamei dalam

pembesaran di karamba jaring apung di laut pada berbagai ukuran

awal dan padat tebar di setiap sampling. 39

9. Bobot tubuh udang vaname Litopenaeus vannamei dalam pembesaran

di karamba jaring apung di laut pada berbagai ukuran awal dan padat

tebar di setiap sampling. 39

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kinerja produksi udang vaname Litopenaeus vannamei yang

dibudidayakan dalam karamba jaring apung (KJA) di laut. 84 2. Uji t-test kinerja produksi pendederan udang vaname Litopenaeus

vannamei dengan tekonologi biofloc dan teknologi perifiton. 84

3. Uji t-test kinerja produksi pembesaran udang vaname Litopenaeus

vannamei dengan tekonologi bioflok dan teknologi perifiton. 86

4. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data pertumbuhan harian udang vaname Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba

jaring apung (KJA) di laut. 88

5. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data bobot panen udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba jaring

apung (KJA) di laut. 89

6. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data kelangsungan hidup udang vaname Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba

jaring apung (KJA) di laut. 90

7. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data FCR pemeliharaan udang vaname Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba

jaring apung (KJA) di laut. 91

8. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data glukosa udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba jaring

apung (KJA) di laut. 92

9. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data glikogen udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba jaring

apung (KJA) di laut. 95

10. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data kolesterol udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba jaring

apung (KJA) di laut. 98

11. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data trigliserida udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba jaring

apung (KJA) di laut. 101

12. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data HDL udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba jaring

apung (KJA) di laut. 104

13. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data LDL udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba jaring

(20)

14. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data pH daging udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba jaring

apung (KJA) di laut. 110

15. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data total hemosit count (THC)

udang vaname Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam

karamba jaring apung (KJA) di laut. 113

16. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey data respiratory burst udang

vaname Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan dalam karamba

jaring apung (KJA) di laut. 116

17. Uji t-test proksimat daging udang vaname Litopenaeus vannamei

yan g dibudidayakan di karamba jaring apung (KJA) dan tambak. 119 18. Uji t-test kandungan asam amino daging udang vaname Litopenaeus

vannamei yang dibudidayakan di karamba jaring apung (KJA) dan

tambak. 121

19. Uji t-test kandungan asam lemak dan asam lemak bebas (taurin) daging udang vaname Litopenaeus vannamei yang dibudidayakan di

karamba jaring apung (KJA) dan tambak. 124

20. Uji t-test kandungan astaxanthin udang vaname Litopenaeus

vannamei yang dibudidayakan di karamba jaring apung (KJA) dan

tambak. 128

21. Uji t-test kandungan mineral daging udang vaname Litopenaeus

vannamei yang dibudidayakan di karamba jaring apung (KJA) dan

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Permintaan udang dunia diperkirakan mencapai 5 juta ton per tahun dengan importir utama Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Vietnam, Cina dan Korea Selatan masing-masing mengimpor sebanyak 568.650, 320.000, 223.423, 155.000, 78.000 dan 63.000 ton pada 2014 (FAO GLOBEFISH 2015). Sementara itu pada saat yang sama produksi hanya 3,6 juta ton (2,37 juta ton diantaranya adalah udang vaname) dengan produsen utama India, Ekuador, Indonesia dan Thailand masing-masing mengekspor sebanyak 345.404, 300.576, 181.351 dan 167.057 ton. Dari data di atas menunjukkan peluang pengembangan produksi udang masih tinggi, dan diperkirakan akan tetap tinggi sejalan dengan kecenderungan peningkatan permintaan dunia. Produksi udang budidaya selama ini hampir seluruhnya dilakukan di tambak, padahal terdapat potensi sumberdaya alam lain yang bisa digunakan yaitu laut. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki laut seluas 5,8 juta km2, 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km. Ini merupakan potensi yang besar untuk pengembangan budidaya udang di laut. Laut memiliki kandungan mineral dan oksigen terlarut yang relatif tinggi, pH stabil dan buffer capacity yang besar, sehingga bisa digunakan untuk budidaya

udang hemat energi dan intensif, serta tekstur, rasa, warna dan bau produk yang lebih baik dibandingkan dengan yang di tambak (Liang et al. 2008, Maicá et al.

2014). Pemanfaatan laut untuk budidaya (marikultur) di Indonesia dewasa ini kurang dari 1%.

Upaya membudidayakan udang vaname di laut telah dicoba antara lain dalam karamba jaring apung (KJA) (Lampiran 1). Paquotte et al. (1998) mencoba

memelihara udang vaname ukuran 0,5 g dalam KJA 5,5x2,8x1,0 m3 yang ditempatkan di perairan estuaria dengan kepadatan 41-95 ekor/m2 selama 150 hari, dan mendapatkan kelangsungan hidup (survival rate, SR), pertumbuhan,

konversi pakan (feed conversion ratio, FCR) dan ukuran panen masing-masing

sebesar 57-76%; 0,11 g/hari; 2,58-3,15 dan 15 g. Zarain-Herzberg et al. (2006)

juga mencoba memelihara udang vaname ukuran 0,5 g dalam KJA 3,0x2,0x1,2 m yang ditempatkan di teluk Santa María Meksiko dengan kepadatan 100-200 ekor/m2 selama 63 hari, dan mendapatkan SR, FCR, ukuran panen dan produksi biomasa masing-masing sebesar 87-95%; 0,72-0,98; 6,94-9,33 g dan 0,88-1,30 kg/m2. Zarain-Herzberg et al. (2010) kemudian mencoba memelihara udang

vaname ukuran 0,5-1,0 g dalam KJA berukuran 3x3x1 m3 di perairan teluk dengan kepadatan yang lebih tinggi yakni 200-300 ekor/m2 selama 58 hari, dan mendapatkan SR, pertumbuhan, FCR, ukuran panen dan produksi biomasa masing-masing sebesar 77,4-81,2%; 0,17-0,18 g/hari; 0,84-0,93; 11,7-12,0 g dan 1,9-2,6 kg/m2. BBL Lampung (2014) juga pernah mencoba memelihara udang vaname dalam KJA berukuran 3x3 m di perairan teluk selama 100 hari, dan mendapatkan SR, pertumbuhan, ukuran panen dan produksi biomasa masing-masing sebesar 42%; 0,1 g/hari; 15,4 g dan 7,2 kg/m2. Udang vaname juga pernah dibudidayakan dalam KJA di laut secara polikultur dengan rumput laut selama 100 hari dan diperoleh SR, pertumbuhan dan produktivitas masing-masing sebesar 82-100%, 0,06-0,12 g/hari dan 0,39-0,92 kg/m2 (Lombardi et al. 2006).

(22)

19,73-100%, pertumbuhan 0,06-0,26 g/hari, ukuran akhir 6,94-22,58 g/ekor, FCR 0,72-5,44, dan produktivitas 0,39-6,62 kg/m2. Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi yang belum mantap dan adanya pengaruh dari kondisi lingkungan laut. Kondisi laut menuntut kesiapan benur udang yang akan ditebar dan mempengaruhi fisiologi dan biokimia serta kualitas daging. Arus, gelombang, cahaya (kecerahan), salinitas dan suhu air laut relatif berbeda dengan tambak dan bisa menyebabkan stres pada udang yang dibudidayakan. Faktor lingkungan laut dan teknologi budidaya secara bersama-sama akan mempengaruhi fisiologi dan biokimia udang serta pada akhirnya akan berdampak kepada kinerja produksi, SR, pertumbuhan, FCR, dan produktivitas (Kumlu dan Eroldogan 2000, Pascual et al.

2003, Spanopoulos-Hernández et al. 2005, Pan et al. 2007, Li et al. 2008,

Sasikumar dan Krishnakumar 2011, Zhou et al. 2011, González-Ortegón et al.

2013, Ross et al. 2013, Zhao et al. 2015). Oleh karena itu, kriteria laut untuk

budidaya udang harus ditetapkan dan udang yang akan ditebar ke laut harus disiapkan serta kondisi udang saat pemeliharaan dan setelah dipanen harus dipahami guna memantapkan teknologi budidaya udang di laut. Perlu dilakukan penelitian yang terkait dengan kriteria lokasi, kualitas benur, kondisi fisiologis dan biomikia, dan kualitas daging udang yang dibudidaya udang di laut.

Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran

Permintaan udang baik secara kuantitas maupun kualitas terus meningkat, sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan produksi Upaya tersebut dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi budidaya di tambak. Salah satu sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya udang adalah laut. Upaya membudidayakan udang di laut sesungguhnya sudah dilakukan di beberapa negara seperti Meksiko, Brazil, Amerika Serikat dan juga Indonesia, namun hasilnya yang masih sangat bervariasi. Kinerja pertumbuhan berkisar antara 0,06-0,26 g/hari, kelangsungan hidup 19,7-100% dan FCR 0,72-5,44 yang mengindikasikan teknologi budidaya udang di laut ini belum mantap dan besarnya pengaruh lingkungan laut. Teknologi yang belum mantap tersebut mencakup pemilihan lokasi, penyiapan benur, ukuran dan padat tebar, hingga panen dan kualitas produk yang dihasilkan. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan penting dalam pengembangan budidaya udang di laut adalah belum diketahinya beberapa aspek berikut ini:

a. Kriteria dan kelayakan lokasi di laut untuk pengembangan budidaya udang b. Kualitas benur udang yang cocok dengan kondisi lingkungan laut yang

memberikan kinerja produksi terbaik

c. Ukuran awal tebar dan padat tebar udang yang terbaik yang didasarkan kepada kinerja produksi dan respon fisiologis dan biokimia

(23)

Gambar 1. Perumusan masalah dan kerangka berpikir pengembangan budidaya udang di laut

Laut memiliki karakteristik gelombang, arus dan suhu yang lebih dinamis serta salinitas dan kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tambak. Hal ini bisa mempengaruhi fisiologi dan biokimia sehingga menyebabkan udang yang dibudidayakan di laut menjadi stres dan mempengaruhi kinerja produksi. Stres merupakan respon fisiologis dan biokimia hewan terhadap kondisi lingkungan hidup. Kondisi lingkungan laut menjadi stressor bagi udang yang dibudidayakan,

selain perlakuan budidaya (padat penebaran, ukuran tebar dan sebagainya). Oleh karena itu perlu diketahui aspek kriteria perairan untuk lokasi budidaya udang vaname di laut, fisiologi dan biokimia serta kualitas daging udang yang dipelihara di laut, dan keterkaitan antar aspek tersebut.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:

1. Kriteria dan kesesuaian lokasi dengan mengukur parameter oseanografi dan kualitas air perairan lokasi budidaya udang vaname di laut.

2. Kinerja benur (tokolan) udang yang dibudidayakan di laut dari pendederan dengan teknologi bioflok dan perifiton.

3. Aspek fisiologi dan biokimia serta kinerja produksi udang yang dibudidayakan di laut pada padat penebaran dan ukuran tebar yang berbeda.

4. Kualitas daging udang yang dibudidayakan di laut dan dibandingkan dengan yang di tambak melalui analisis proksimat, asam amino, asam lemak, mineral dan sebagainya.

Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi landasan untuk pengembangan teknologi budidaya udang vaname di laut.

(24)

Kebaruan

Informasi tentang teknologi budidaya udang vaname di laut secara lebih komprehensif yang mencakup kriteria dan kesesuain lokasi, teknologi pendederan dan pembesaran, fisiologi dan biokimia udang, ukuran dan padat tebar terbaik, dan kualitas daging udang.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini direncanakan dalam 4 tahap, sebagai berikut:

1. Mengkaji kriteria dan keseuaian lokasi budidaya udang vaname di laut melalui

pengukuran parameter oseanografi dan kualitas air laut. 2. Membandingkan kinerja produksi udang vaname yang dibudidayakan di laut

antara juvenil bioflok dengan juvenil perifiton.

3. Mengkaji respon fisiologi dan biokimia serta kinerja produksi udang vaname yang dibudidayakan di laut dengan ukuran dan padat tebar yang berbeda. 4. Membandingkan kualitas daging udang vaname yang dibudidayakan di laut

(25)

KELAYAKAN LOKASI BUDIDAYA UDANG VANAME Litopenaeus vannamei DALAM KARAMBA JARING APUNG DI LAUT

Abstract

The purpose of this study was to evaluate the oceanography and water quality condition of Semak Daun Island, Karya Island and Panggang Island waters of Thousand Islands, Jakarta for white shrimp Litopenaeus vannamei

culture location. The location have an area of 315,0; 12,0 and 102,8 ha, and average water depth of 4,6 (ranged 0,5-28,1); 14,6 (0,5-26,7) and 5,3 (0,8-13,6) m, current water of 12,9 (ranged 1,2-55,2); 12,7 (1,9-28,0) and 13,5 (4,4-19,1) cm/second, respectively. Based on the water temperature, salinity and density, Semak Daun Island waters seemingly occurred turn over which indicated good water circulation, and stratification for Panggang Island and Karya Island waters. Generaly, the temperature, turbidity, dissolved solids, suspended solids, dissolved oxygen, pH, salinity, ammonia, nitrate, phosphate and plankton were within the suitable range for white shrimp, except water transparancy. Semak Daun Island waters more recommended for white shrimp culture location by giving cage cover and shelter as well as wary of the high waves that usually occured in February and July-August.

Keywords: coral reef waters, mariculture, strait, stratification, turnover Abstrak

Penelitian bertujuan untuk mengetahui kondisi dan kesesuaian lokasi untuk budidaya udang vaname di laut dengan mengamati aspek oseanografi dan kualitas air. Lokasi penelitian adalah perairan terlindung berupa gosong (Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang), dan selat (Pulau Karya) di Kepulauan Seribu, Jakarta. Gosong Pulau Semak Daun, selat Pulau Karya dan gosong Pulau Panggang memiliki luas masing-masing 315,0; 12,0 dan 102,8 ha dengan kedalaman 4,6 (0,5-28,1); 14,6 (0,5-26,7) dan 5,3 (0,8-13,6) m, serta kecepatan arus 12,9; 12,7 dan 13,5 cm/detik. Gosong Pulau Semak Daun, dengan kawasan yang lebih luas, memiliki sirkulasi air yang lebih baik berdasarkan kepada kecenderungan terjadinya pengadukan (turnover), sedangkan selat Pulau Karya

dan Gosong Pulau Panggang cenderung mengalami stratifikasi. Nilai suhu, kekeruhan, kecerahan, padatan terlarut, padatan tersuspensi, oksigen terlarut, pH, salinitas, amonia, nitrat, fosfat dan plankton di perairan tersebut berada dalam kisaran yang sesuai untuk udang vaname, kecuali kecerahan. Gelombang tinggi umumnya terjadi pada Februari dan Juli-Agustus. Gosong Pulau Semak Daun lebih disarankan untuk lokasi budidaya udang vaname dengan pemberian penutup

dan shelter pada wadah budidaya.

(26)

Pendahuluan

Untuk memenuhi kebutuhan udang dunia yang cenderung terus meningkat, maka diperlukan upaya peningkatan produksi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei di tambak. Di

tengah upaya tersebut, ada potensi sumber daya alam yang sangat besar yang juga bisa dimanfaatkan untuk peningkatan produksi udang, yaitu laut. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki laut seluas 5,8 juta km2 dengan 17.504 pulau dan 95,181 km garis pantai tentu menyimpan potensi yang besar untuk pengembangan budidaya udang di laut. Dengan kandungan oksigen terlarut alami yang relatif tinggi, budidaya udang di laut tidak memerlukan kincir sehingga bisa menghemat biaya produksi. Udang yang dibudidayakan di laut juga memiliki tekstur, rasa, warna dan bau produk yang lebih baik (Liang et al. 2008, Maicá et al. 2014).

Dengan demikian, pengembangan budidaya udang di laut selain untuk peningkatan volume produksi juga dalam rangka menekan biaya produksi dan meningkatkan mutu produk.

Upaya membudidayakan udang di laut sudah dilakukan antara lain oleh Paquotte et al. (1998), Lombardi et al. (2006), Zarain-Herzberg et al. (2006),

Zarain-Herzberg et al. (2010), namun kelangsungan hidup, pertumbuhan, konversi

pakan (feed conversion ratio, FCR) dan produktivitas udang masih sangat

bervariasi. Kinerja pertumbuhan berkisar antara 0,06-0,26 g/hari, kelangsungan hidup 19,7-100,0% dan FCR 0,72-5,44. Hal ini tampaknya mengindikasikan besarnya pengaruh lingkungan dan belum mantapnya teknologi budidaya. Pemahaman secara komprehensif oseanografi dan kualitas air laut dan pemilihan lokasi yang cocok untuk pengembangan budidaya laut (marikultur) merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan dan keberlanjutan usaha (Perez et al. 2003a, Perez et al. 2003b, Perez et al. 2005, Dapueto et al. 2015), termasuk

pengembangan marikultur udang. Hal ini disebabkan oleh sistem produksi marikultur yang umumnya bersifat water-based aquaculture, yakni wadah

produksi berada dalam badan air, yang berbeda dengan tambak yang bersifat

land-based aquaculture. Pada water-based aquaculture pengaruh faktor alami

lingkungan suatu perairan sangat besar dan menentukan, dan bahkan seringkali tidak bisa dikontrol sepenuhnya (Bardach et al. 1972, Edward 2000, Effendi

2010). Dinamika laut merupakan faktor eksternal pada sistem marikultur akan berdampak langsung kepada biota kultur tanpa bisa dicegah, karena tidak ada batas penghalang sedikitpun antara sistem marikultur dengan ekosistem sekitarnya

(open access). Dinamika air laut ini berupa aliran masa air yang tidak akan

pernah berhenti akibat adanya gaya Coriolis, yakni perputaran bumi pada porosnya yang menjadi faktor penggerak masa air abadi (Hadi dan Radjawane 2011). Lingkungan perairan demikian, yang berbeda dengan tambak, akan berdampak kepada fisiologi dan biokimia udang kultur secara langsung dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja produksi marikultur (Dapueto et al. 2015).

Di alam, perubahan suhu perairan yang sangat kecil saja (sekitar 0,02oC) dapat menyebabkan perubahan kapadatan populasi ikan di laut (Laevastu dan Hayes 1981). Oleh karena itu, penting diketahui kondisi air laut apabila akan digunakan untuk budidaya udang.

(27)

budidaya udang di laut, untuk sementara bisa mengacu kepada kriteria untuk marikultur pada umumnya, yakni perairan laut terlindung berupa berupa teluk, selat, dan perairan terumbu karang atau gosong (Effendi 2010). Teluk adalah tubuh perairan yang menjorok ke daratan dan relatif terlindung oleh daratan pada ketiga sisinya, memiliki pergantian masa air yang relatif lama dibandingkan dengan gosong atau selat, bahkan pada bagian yang paling menjorok ke daratan cenderung stagnan dengan kadar oksigen yang relatif rendah (Desa et al. 2005).

Selat adalah perairan berupa lorong sempit yang menghubungkan dua badan air yang lebih besar, umumnya memiliki arus air yang relatif lebih kuat akibat penyempitan masa air, sering terjadi pengadukan (turnover) yang menyebabkan

jarang terjadi adanya stratifikasi suhu dan keragaman biota relatif rendah (Hop et al. 2006). Perairan yang mengalami turnover, pada tingkat tertentu

mengindikasikan adanya sirkulasi air yang baik untuk penyediaan oksigen terlarut dan penyebaran makanan alami melalui upwelling (Monteiro dan Largier 1999,

Behrenfeld et al. 2006). Perairan terumbu karang relatif terlindung karena

keberadaan karang yang berfungsi sebagai barrier reefs sehingga bisa meredam

energi gelombang turbulensi dan mengubahnya menjadi arus laminar, sirkulasi air relatif bagus, habitat penting kebanyakan biota laut sehingga keragaman biota relatif tinggi (Odum dan Odum 1995, Sutton 1985).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi oseanografi dan kualitas air laut di perairan Pulau Semak Daun, Pulau Karya dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta dan kesesuaiannya untuk budidaya udang vaname di dalam karamba jaring apung. Perairan Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang mewakili perairan gosong, sedangkan Pulau Karya mewakili perairan selat. Kedua jenis perairan terlindung tersebut yang umumnya terdapat di kepulauan ini. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh informasi awal kondisi lingkungan laut di ketiga lokasi terlindung tersebut dan keseuaiannya untuk budidaya udang.

Bahan dan Metode

Waktu dan Lokasi Penelitian

(28)

Gambar 2. Lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, Jakarta. Titik putih menunjukkan stasiun pengamatan arus dan kualitas air laut yang tersebar di setiap lokasi penelitian.

Parameter Pengamatan dan Pengumpulan Data

Oseanografi

Pengamatan oseanografi mencakup luas perairan, batimerti, arus (kecepatan dan arah), pasang surut (pasut), gelombang, suhu, salinitas dan densitas air laut. Pengamatan batimetri dilakukan dengan menggunakan

echosounder, dan pada kedalaman yang sangat dangkal (<2 m) digunakan stick

berskala. Echosounder dipasang di kapal dan kapal ini bergerak (tracking) di

lokasi penelitian untuk mendeteksi dan mencatat setiap kedalaman laut yang dilintasinya. Pengukuran arus, suhu, salinitas dan densitas air laut di lakukan di 19 stasiun pengamatan di peraian Pulau Semak Daun, 14 stasiun di perairan Pulau Karya dan 8 stasiun di perairan Pulau Panggang.

Arus atau gerak air laut diukur dengan menggunakan current meter pada

berbagai kedalaman, sejak permukaan hingga dasar perairan. Pengukuran di setiap stasiun pengamatan dilakukan di atas kapal. Pasang surut diukur dengan

tide mater (tide gauge) yang mengukur perubahan muka laut dengan sensor yang

dipasang di atas permukaan air laut, dan kemudian direkam ke dalam komputer. Alat ini dipasang di Balai Informasi Sea Farming di gosong Pulau Semak Daun yang bersifat permanen, sehingga bisa mendeteksi perubahan ketinggian permukaan air laut. Ketinggian gelombang, yang diukur dari puncak hingga lembah amplitudo, di lokasi penelitian diturunkan dari data angin (data sekunder) yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Jakarta, sehingga bisa diperoleh gambaran tinggi gelombang selama setahun dalam 10 tahun terakhir. Suhu, salinitas dan densitas air laut diukur dengan menggunakan CTD

(conductivity temperature depth) pada berbagai kedalaman laut.

.

Pulau Semak Daun Pulau Karya

Pulau Panggang

(29)

Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diamati mencakup peubah suhu, kekeruhan, kecerahan, padatan tersuspensi total/total suspended solid (TSS), padatan terlarut

total/total dissolved solid (TDS), pH, salinitas, oksigen terlarut/dissolved oxygen

(DO), amonia (sebagai total ammonia nitrogen), nitrat, fosfat, fitoplankton dan

zooplankton. Pengamatan kualitas air dan pengambilan contoh air dilakukan pada stasiun yang sama untuk pengamatan arus, suhu, salinitas dan densitas air laut.

Suhu, kecerahan, pH, salinitas dan DO diukur masing-masing dengan menggunakan termometer, Secchi disk, pHmeter, refraktometer dan DOmeter

secara in situ. Kekeruhan, TSS, TDS, amonia, nitrat dan fosfat diukur di

Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB, Bogor pada sampel air yang diambil dari lokasi penelitian. Beberapa sampel air difiksasi terlebih dahulu sebelum dibawa ke laboratorium dengan menggunakan

cool box. Kekeruhan diukur dengan metode nephelometrik, TSS dan TDS dengan

gravimetrik, sedangkan amonia, nitrat dan fosfat dengan metode kalorimetrik. Fitoplankton dan zooplankton diamati di bawah mikroskop, di laboratorium tersebut di atas, dari sample air yang diambil di lokasi penelitian yang telah disaring menggunakan plankton net, kemudian dihitung jumlah taksa,

kelimpahan, keragaman, keseragaman dan dominansi. Analisis Data

Data osenografi dan kualitas air laut dianalisis secara deskriptif, kemudian dibandingkan dengan standar mutu untuk biota laut dan tambak udang, guna memperoleh gambaran kesesuaiannya untuk budidaya udang di laut.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Oseanografi

(30)

Tabel 1. Persentasi kedalaman laut di perairan Pulau Semak Daun, Pulau Karya dan Pulau Panggang (%).

Pulau Semak Daun Pulau Karya Pulau Panggang Kedalaman (m)

0,5-5,0 71,0 22,1 66,6 5,0-10,0 16,2 3,9 13,4 10,0-30,0 12,9 70,4 20,0

Arus

Kecepatan (cm/detik)

Rata-rata 12,9 12,7 13,5 Min.-maks. 1,2-55,2 1,9-28,0 4,4-19,1

Arah Ke timur-tenggara (100o) Ke tenggara-selatan (163o) Ke tenggara-selatan (163o)

Pada saat penelitian, arah arus air laut umumnya menunju timur-tenggara di perairan Pulau Semak Daun dengan kecepatan rata-rata 12,9 cm/detik (berkisar 1,2-55,2 cm/detik) (Tabel 1). Di selat Pulau Karya arus laut sebagian besar menuju tenggara-selatan berkecepatan rata-rata 12,7 (1,9-28,0 cm/detik). Di gosong Pulau Panggang arus laut sebagian besar menuju tenggara-selatan dengan kecepatan rata-rata mencapai 13,5 cm/detik (4,4-19,1 cm/detik). Kecepatan arus laut minimal di selat Pulau Karya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di gosong Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, meskipun kecepatan rata-ratanya masih lebih rendah dibandingkan dengan di gosong Pulau Panggang.

Pasang surut air laut di lokasi penelitian tampaknya bersifat diurnal,

artinya pasang dan surut hanya terjadi sekali dalam 24 jam. Tinggi gelombang laut selama setahun dalam 10 tahun terakhir disajikan dalam Gambar 3, dan gelombang tinggi rata-rata terjadi pada Juli, Agustus dan Februari. Pada Juli-Agustus, gelombang laut mencapai ketinggian maksimum hingga 1,4 m dan minimum 1,2 m, sedangkan pada Januari mencapai nilai maksimum 1,2 m dan minimum 1,0 m. Dengan demikian terdapat dua kali gelombang tinggi selama setahun yakni pada Januari dan Juli/Agustus.

T

ing

g

i G

elo

mb

a

ng

(

m)

Bulan

(31)

Suhu perairan di gosong Pulau Semak Daun berkisar antara 28,6-29,7 oC relatif lebih rendah dibandingkan dengan di selat Pulau Karya yang berkisar antara 29,6-30,6 oC atau gosong Pulau Panggang yang berkisar antara 29,2-30,9 oC (Gambar 4). Suhu di gosong Pulau Semak Daun relatif bervariasi antar stasiun pengamatan dan merata dari permukaan hingga dasar perairan (kedalaman 13-14 m), baik pada saat pasang maupun surut, dan ini menujukkan adanya pengadukan

(turnover). Di selat Pulau Karya suhu hangat di permukaan dan menjadi relatif

dingin dengan bertambahnya kedalaman, terutama pada saat pasang, yang menujukkan adanya stratifikasi. Pola yang sama juga terjadi di gosong Pulau Panggang, pada saat pasang maupun surut.

Salinitas air laut di gosong Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang relatif bervariasi (antara 30,90-31,47 psu) antar stasiun pengamatan, dibandingkan dengan selat Pulau Karya yang relatif konstan (sekitar 31,3 psu), baik pada saat pasang maupun surut (Gambar 5). Di gosong Pulau Panggang, salinitas yang relatif tinggi terutama terjadi pada saat pasang, dan rendah pada saat surut. Densitas air laut di lokasi penelitian mengikuti dinamika suhu dan salinitas, yakni relatif bervariasi antar stasiun pengamatan di gosong Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang dan konstan di selat Pulau Karya (Gambar 6). Di gosong Pulau Panggang memperlihatkan pola stratifikasi densitas terutama pada saat pasang. Densitas air laut di lokasi kajian umumnya berkisar antara 1018-1020 kg/m3, relatif lebih rendah dibandingkan dengan densitas air laut pada umumnya yang biasanya mencapai 1025 kg/m3.

Fisika-kimia Air

(32)

Gambar 4. Suhu di perairan gosong Pulau Semak Daun (a), selat Pulau Panggang–

Pulau Karya (b) dan gosong Pulau Panggang (c) masing-masing pada saat pasang dan surut.

Pasang

(a) (b) (c)

Surut

(33)

Pasang

(a) (b) (c)

Surut

(a) (b) (c)

Gambar 5. Salinitas di perairan gosong Pulau Semak Daun (a), perairan selat Pulau Panggang–Pulau Karya (b) dan gosong Pulau Panggang (c) masing-masing pada saat pasang dan surut.

(34)

Pasang

(a) (b) (c)

Surut

(a) (b) (c)

Gambar 6. Densitas di perairan gosong Pulau Semak Daun (a), perairan selat Pulau Panggang–Pulau Karya (b) dan gosong Pulau Panggang (c) masing-masing pada saat pasang dan surut.

(35)

Tabel 2. Fisika dan kimia air laut di perairan Pulau Semak Daun, Pulau Karya dan Pulau Panggang, dan baku mutu air laut untuk biota laut dan udang vaname Litopeneus vannamei di tambak.

No. Parameter Kedalaman (m) 1) Suhu mutu air tambak udang vaname teknologi intensif

2) Pengukuran dilakukan beberapa cm di bawah permukaan air

(36)

Tabel 3. Jumlah taksa, kelimpahan, keragaman, keseragaman dan dominansi fitoplankton dan zooplankton di gosong Pulau Semak Daun.

No. Parameter

Kondisi batimetri di ketiga lokasi penelitian bisa diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yakni <5 m, 5-10 m dan >10 m (Tabel 1). Sesuai dengan persyaratan sistem budidaya yang akan dikembangkan, perairan yang berkedalaman <5 m bisa digunakan untuk budidaya udang dalam KJT dan penculture, sedangkan yang

5-10 m atau >5-10 m untuk budidaya udang dalam KJA (Beveridge 1996). KJT dan

penculture bersifat fix oleh patok yang ditancapkan ke dasar laut, sedangkan KJA

mengikuti permukaan air laut oleh komponen pelampung. Berdasarkan deskripsi tersebut di atas, gosong Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang bisa digunakan untuk KJA dan KJT masing-masing dengan proporsi 29-33 dan 67-71%, sedangkan selat Pulau Karya sebagian besar bisa untuk KJA dan sebagian kecil saja untuk KJT. Batimeti laut di selat ini pada keladalam <5 m relatif curam sehingga mungkin menyulitkan membangun KJT apalagi penculture. Keunggulan

KJA adalah kedalaman air dalam wadah produksi relatif konstan, sedangkan KJT bervariasi bergantung pada pasang dan surut air laut.

Arus sebagai gerakan mengalirnya suatu masa air dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan densitas air laut atau dapat juga disebabkan oleh tekanan air (Illahude 1999). Arus air laut di gosong Pulau Semak Daun, selat Pulau Karya dan gosong Pulau Panggang yang bergerak dari barat menuju timur, tenggara atau selatan masing-masing dengan kecepatan rata-rata 12,9; 12,7 dan 13,5 cm/detik (Tabel 1). Arus air laut rata-rata tersebut tergolong dalam kisaran optimum untuk marikultur di pesisir (coastal mariculture) dalam KJA, KJT atau

penculture cm/detik. Menurut Effendi (2010), kecepatan arus air laut untuk

budidaya ikan dalam KJA atau KJT pada sistem coastal mariculture berkisar

antara 10-35 cm/detik. Arus laut merupakan peubah penting kriteria lokasi untuk marikultur yang menyatakan kondisi sirkulasi air laut terkait dengan ketersediaan oksigen terlarut bagi biota kultur.

(37)

selat di antara pulau-pulau kecil Kepulauan Seribu akan mengalami reduksi sehingga mungkin menjadi tidak terlalu berdampak bagi udang kultur. Energi gelombang akan diredam oleh karang yang terdapat di perairan terumbu karang

(barrier reef), sehingga seringkali berubah menjadi gelombang laminer (semilir)

dengan kecepatan arus sekitar 10-35 cm/detik.

Secara umum suhu, kekeruhan, kecerahan, TSS, TDS, pH, salinitas, DO, amonia, nitrat, fosfat perairan di ketiga lokasi tergolong dalam kisaran optimum untuk budidaya udang vaname berdasarkan kepada standar mutu air tambak udang intensif, kecuali kecerahan (Tabel 2). Kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian berkisar 5,8-10,8 mg/L, cukup memadai untuk berlangsung proses produksi biomasa udang (Rosas et al. 1997, Rosas et al. 1999). Tingginya

kandungan oksigen terlarut di laut secara alami merupakan keunggulan budidaya udang di laut karena tidak memerlukan kincir (Paquotte et al. 1998,

Zarain-Herzberg et al. 2010). Berdasarkan pengamatan di laut, udang vaname pada siang

hari berada di bagian bawah dan dasar kantong jaring KJA kemudian bergerak menyebar ke tengah dan permukaan air ketika malam tiba. Penggunaan peneduh di atas kantong jaring KJA atau shelter di dalam wadah budidaya guna

mengurangi tingginya kecerahan air laut.

Meskipun secara umum kualitas air laut di lokasi penelitian berada dalam kisaran yang optimum untuk budidaya udang, namun dinamika air laut di lokasi penelitian bisa mempengaruhi kualitas air. Dinamika air laut dalam penelitian ini digambarkan oleh parameter suhu, salinitas dan densitas air laut (Gambar 4-6). Suhu merupakan peubah penting dalam akuakultur dan merupakan faktor pengontol metabolisme udang (Ponce-Palafox et al. 1997). Dinamika suhu

perairan di gosong Pulau Semak Daun tampaknya menunjukkan kecenderungan adanya turnover, baik pada saat pasang maupun surut, yang diperlihatkan oleh

meratanya parameter ini dari permukaan hingga dasar perairan (kedalaman 13-14 m) pada setiap stasiun pengamatan, meskipun terdapat variasi antar stasiun. Sebaliknya pada di selat Pulau Karya suhu hangat di permukaan dan menjadi relatif dingin dengan bertambahnya kedalaman, terutama pada saat pasang, yang menujukkan adanya stratifikasi suhu. Pola yang sama juga terjadi di gosong Pulau Panggang, baik pada saat pasang maupun surut. Dilihat dari kepentingan budidaya udang dalam KJA, perairan yang turnover itu lebih baik dibandingkan

dengan yang mengalami stratifikasi, karena parairan yang mengalami turnover

biasanya memiliki sirkulasi air yang bagus (Monteiro dan Largier 1999, Behrenfeld et al. 2006). Perairan yang turnover seperti di gosong Pulau Semak

Daun tersebut biasanya memiliki sirkulasi yang yang baik yang menjamin ketersediaan okisgen terlarut bagi spesies kultur. Perubahan suhu dalam KJA di perairan yang mengalami turnover biasanya relatif kecil, sehingga tidak

(38)

Salinitas air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Ross 1970, Nontji 1987). Salinitas mengalami stratifikasi di perairan goba Pulau Panggang, terutama pada saat air laut pasang, yakni tinggi di permukaan kemudian menurun dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 5). Di goba ini juga terdapat variasi salinitas pada saat pasang dengan saat surut, salinitas yang relatif tinggi terutama terjadi pada saat pasang, dan rendah pada saat surut. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh penggunaan air tawar oleh masyarakat yang mendiami pulau ini untuk keperluan rumah tangga yang umumnya berasal dari hasil penyulingan air laut, dan buangan air ini seluruhnya menuju laut disekitarnya. Pulau Panggang merupakan tempat pemukiman penduduk dengan tingkat kepadatan mencapai 43.389 orang/km2. Variasi salinitas relatif besar pada perairan yang dekat dengan daratan akibat pengaruh run off air dari daratan (Laevastu dan Hayes 1981). Perubahan salinitas

yang tiba-tiba bisa berdampak kepada fisiologi dan biokimia udang kultur. Suhu, salinitas dan kedalaman/tekanan akan menentukan densitas air laut, yakni massa air laut per satu satuan volume. Oleh karena itu dinamika densitas air laut mengikuti pola dinamika suhu dan salinitas. Semakin tinggi salinitas dan tekanan atau kedalaman maka densitas akan meningkat. Densitas merupakan salah satu parameter terpenting dalam mempelajari dinamika laut. Perbedaan densitas yang kecil secara horisontal (misalnya akibat perbedaan pemanasan di permukaan) dapat menghasilkan arus laut yang sangat kuat. Perairan goba Pulau Semak Daun memiliki variasi densitas yang tinggi antar stasiun pengamatan (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa perairan tersebut memiliki dinamika (sirkulasi air) yang relatif lebih tinggi dibanding lokasi penelitian lainnya. Dinamika air laut yang relatif tinggi di perairaan Pulau Semak Daun disebabkan oleh luas perairan yang relatif lebih tinggi (315,0 ha) dibandingkan dengan perairan gosong Pulang Panggang (102,8 ha) dan selat Pulau Karya (12,0 ha). Pada perairan yang lebih luas energi angin bisa membangkitkan arus dan gelombang yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada luasan yang sempit (Nontji 1987). Selain itu gosong Pulau Semak Daun memiliki enam pintu air dibandingkan dengan gosong Pulau Panggang yang hanya memiliki tiga pintu air, atau selat Pulau Karya yang hanya dua pintu. Pintu air ini adalah celah pada karang penghalang yang merupakan tempat masuk dan keluarnya air laut pada saat pasang dan surut. Pada saat pasang air, masuk ke kawasan gosong melalui pintu tersebut dan pada saat surut air keluar melalui pintu itu juga.

(39)

indeks dominansi yang mencapai 0,33. Untuk pengembangan budidaya udang vaname di gosong Pulau Semak Daun perlu diatur jumlah karamba yang dibolehkan sesuai dengan daya dukung kawasan ini, dan teknik pemberian pakan yang benar, serta penerapan cara budidaya udang yang baik (CBUB) untuk menekan buangan limbah organik ke perairan. Hal ini disebabkan oleh sifat perairan gosong yang semi tertutup oleh adanya karang-karang penghalang.

Dari pembahasan di atas tampak bahwa perairan gosong Pulau Semak Daun memiliki kesesuaian yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dua lokasi kajian lainnya dilihat dari aspek dinamika air laut yakni dengan adanya

turnover, baik pada saat pasang maupun surut. Perairan yang mengalami

turnover, pada tingkat tertentu mengindikasikan adanya sirkulasi air yang baik

untuk penyediaan oksigen terlarut dan penyebaran makanan alami melalui

upwelling (Monteiro dan Largier 1999, Behrenfeld et al. 2006).

Simpulan dan Saran

Kondisi oseanografi dan kualitas air gosong Semak Daun, selat Pulau Karya dan gosong Pulau Panggang memiliki kesesuaian untuk budidaya udang vaname di laut. Berdasarkan fenomena turnover dan stratifikasi dari kajian

(40)

KINERJA PRODUKSI UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YANG DIPELIHARA DALAM KARAMBA JARING APUNG DI LAUT DARI

JUVENIL BIOFLOK DAN PERIFITON

Abstract

Intermediate rearing should be done to the post larvae (PL) prior reared in sea floating net cage. This experiment was conducted to compare the production performance of biofloc (BFT) and periphyton (PPT) juvenile of white shrimp

Litopenaeus vannamei to reach marketable size in floating net cage. The study

consists of two steps they were intermediate rearing and grow-out. In intermediate rearing phase, post larvae were stocked in triplicate at the density of 2.666 PL/m3 for BFT and 1.333 PL/m3 for PPT. PL was fed five times daily with the blind feeding methods and reared for 21 days prior grow-out. In grow-out phase, shrimp juvenile were stocked in triplicate 3x3x3 m cages at the density of 550 juvenile/m2 and reared for 120 days. Juvenile were fed commercial pellet six times daily with restricted feeding method refer to feeding level of white shrimp. Sampling was done in every 10 days. Intermediate rearing by using BFT shows better growth rate, final weight and length, survival rate, feed conversion and biomass production performance compared to PPT (P<0.05). In grow-out phase, BTF juvenile reach marketable size and also shows better growth performance, final weight, survival, feed conversion, and biomass production compared to the rest. It is concluded that BFT better than PPT in term of intermediate rearing as well as produced better seed quality.

Key words: intermediate rearing, grow out, growth rate, survival rate, fed convertion rasio

Abstrak

Pendederan perlu dilakukan pada post larvae (PL) 10 udang vaname

Litopenaeus vannamei sebelum dibesarkan dalam karamba jaring apung (KJA) di

laut. Penelitian ini bertujuan membandingkan kinerja produksi juvenil bioflok dengan juvenil perifiton udang vaname dalam pembesaran di KJA. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu pendederan dan pembesaran. Pada tahap pendederan, PL10 ditebar dengan kepadatan 2666 ekor/m3 dengan teknologi bioflok dan 1333 ekor/m3 dengan teknologi perifiton. PL udang dipelihara selama 21 hari dan diberi pakan dengan frekuensi lima kali sehari secara blind feeding mengikuti

standar budidaya udang vaname. Pada tahap pembesaran udang dipelihara dalam KJA berukuran 3x3x3 m dengan kepadatan 550 ekor/m2 dan diulang 3 kali. Udang dipelihara selama 120 hari dan diberi pakan pelet komersial dengan frekuensi 6 kali sehari secara restriksi. Untuk penyesuaian pakan dilakukan sampling bobot setiap 10 hari sekali. Kinerja pendederan udang dengan teknologi bioflok lebih baik dibandingkan dengan teknologi perifiton (P < 0,05). Benih bioflok yang dibesarkan di KJA memiliki kinerja produksi yang lebih baik dibanding benih perifiton.

Gambar

Gambar 1. Perumusan masalah dan kerangka berpikir pengembangan budidaya
Gambar 2. Lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, Jakarta.  Titik putih
Gambar 3.  Tinggi gelombang maksimum (garis merah) dan minimum (garis biru)
Gambar 4. Suhu di perairan gosong Pulau Semak Daun (a), selat Pulau Panggang–
+7

Referensi

Dokumen terkait

Prevalensi dan Derajat Infestasi Ektoparasit pada Udang Vaname Litopenaeus vannamei di Tambak Intensif dan Tradisional di Kabupaten Gresik.. Jurnal Ilmiah Perikanan

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis keragaan usaha tambak udang vaname pada petani udang yang melakukan usaha tambak udang vaname secara mandiri dan

Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui mengetahui profil dan manajemen kegiatan budidaya udang vaname sistem intensif di Kecamatan Sluke, mengetahui analisis usaha,

Hal ini menunjukkan bahwa penambahan molase pada tambak udang intensif dan ditunjang dengan oksigen yang cukup dapat memacu perkembangan bakteri heterotrof sehingga

 Pada budidaya udang vaname ekstensif plus disarankan menggunakan pintu air yang terbuat dari pintu kayu untuk memperoleh kuantitas yang cukup, kualitas air yang baik, dan

Dilain pihak pada kegiatan budidaya vaname teknologi intensif yang menggunakan benur vaname yang sama, pada lokasi dan air sumber yang sama, dan waktu pemeliharaan yang

Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui mengetahui profil dan manajemen kegiatan budidaya udang vaname sistem intensif di Kecamatan Sluke, mengetahui analisis usaha,

Dalam kegiatan budidaya udang vaname di tambak intensif salah satu hal yang penting diperhatikan yaitu pengelolaan kualitas air, dimana pengelolaan kualitas air