• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Laju Respirasi

Respirasi merupakan proses metabolisme oksidatif yang mengakibatkan perubahan-perubahan fisikokimia pada buah yang telah dipanen. Semakin renda h laju respirasi buah memberikan umur simpan buah yang semakin panjang. Laju respirasi buah pepaya IPB 1 selama penyimpanan dihitung berdasarkan produksi

CO2 dan konsumsi O2. Perubahan laju respirasi pepaya IPB 1 selama

penyimpanan mengalami peningkatan dan menurun pada akhir penyimpanan (Lampir an 2 dan 3).

Pada suhu ruang, laju respirasi mengalami kenaikan produksi CO2 sebesar

26.02 ml/kg jam dan laju konsumsi O2 sebesar 20.7 ml/kg jam pada hari ke-4,

penurunan laju respirasi terjadi sampai hari ke-8 tetapi pada hari ke -16 laju respirasi naik dengan tajam sehingga laju produksi CO2 61.85 ml/kg jam dan konsumsi O2

56.6 ml/kg jam. Hal ini dikarenakan pada buah pepaya di dalam toples ditumbuhi kapang yang melakukan aktivitas sehingga terjadi peningkatan produksi CO2.

Wills et al. (1981) menjelaskan bahwa penurunan laju respirasi setelah puncak klimakterik disebabkan adanya jumlah adenosin dipospat (ADP) yang bertindak sebagai aseptor. Selain itu, konsentrasi pospat dan mitokondria sebagai konsentrasi adenosin tripospat (ATP) dalam reaksi metabolik juga menurun. Ditambahkan Pantastico (1989) kenaikkan laju respirasi mendadak menunjukkan bahwa pada suhu ruang terjadi proses klimakterik.

Pengukuran laju respirasi hari ke-12 pada suhu 10oC untuk laju produksi CO2 sebesar 27.38 ml/kg jam dan konsumsi O2 sebesar 25.4 ml /kg jam. Untuk

suhu 15oC rata-rata produksi CO2 adalah 32.31 ml/kg jam dan konsumsi O2 30.7

ml/kg jam. Sedangkan laju respirasi pada suhu 5oC hari ke-4 paling rendah yaitu produksi CO2 4.41 ml/kg jam dan konsumsi O2 3.1 ml/kg jam, dapat dilihat pada

0 10 20 30 40 50 60 0 4 8 12 16

Lama penyimpanan (hari)

Laju produksi CO

2

(ml/kg jam) Suhu ruang

Suhu 5 C Suhu 10 C Suhu 15 C

Gambar 4 Laju produksi CO2 selama penyimpanan buah pepaya IPB 1 pada

suhu 5oC, 10oC, 15oC dan suhu ruang.

0 10 20 30 40 50 60 70 0 4 8 12 16

Lama penyimpanan (hari)

Laju konsumsi O

2

(ml/kg jam) suhu ruang

suhu 5 C suhu 10 C suhu 15 C

Gambar 5 Laju konsumsi O2 selama penyimpanan buah pepaya IPB 1 pada

suhu 5oC, 10oC, 15oC dan suhu ruang.

Penyimpanan pada suhu 5oC memberikan nilai laju respirasi terendah dibandingkan dengan suhu ruang, 10 dan 15oC. Buah pepaya yang disimpan pada suhu 5oC terlihat segar, namun setelah disimpan pada suhu yang lebih tinggi maka buah pepaya mengalami perubahan warna kulit buah hijau kehitam-hitaman dan buah tidak dapat matang hal ini disebut dengan chilling injury (Gambar 6) . Muchtadi dan Sugiono (1989) menjelaskan bahwa suhu rendah dapat menghambat proses respirasi, aktivitas mikroorganisme dan enzim. Semakin tinggi suhu maka laju respirasi semakin cepat hingga mencapai suhu optimum dan kecepatan respirasi menurun kembali bila batas suhu optimum telah terlewati. Ditambahkan Muchtadi (1992) laju respirasi mengikuti hukum Van Hoff yang menyatakan

21

bahwa laju respirasi kimia dan biokimia meningkat 2-3 kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10oC.

Besarnya perbedaan lonjakan laju respirasi pada penyimpanan suhu 10dan

15oC maka dapat dikatakan bahwa penyimpanan pada suhu 10oC dapat

menghambat laju respirasi buah pepaya, aktifitas enzim, reaksi-reaksi kimia- biokimia maupun pertumbuhan mikroorganisme. Hingga hari terakhir penyimpanan suhu 10oC kondisi buah pepaya masih tetap segar, warna kulit tetap hijau dan buah tetap keras, untuk selanjutnya suhu 10oC akan digunakan dalam penyimpanan pepaya sebe lum dilakukan pematangan buatan.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 6 Penampakan buah pepaya IPB 1 setelah penyimpanan; (a) suhu ruang hari ke-8, (b) suhu 5oC hari ke-16, (c) suhu 10oC hari ke-16, dan (d) suhu 15oC hari ke -16.

mengevaluasi sifat proses respirasi. Sifat proses respirasi ditentukan dar i perbandingan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2 yang dinyatakan dengan

nilai RQ (Respiration Quotient) pada Tabel 4.

Tabel 4 Rata-rata laju respirasi dan RQ (Respiration Quotient) buah pepaya IPB 1 selama penyimpanan

Rata-rata laju respirasi Suhu (oC) Produksi CO2 (ml/kg jam) Konsumsi O2 (ml/kg jam) RQ Suhu ruang 32.8 27.9 1.17 5oC 2.6 2.9 0.88 10oC 11.7 9.7 1.20 15oC 15.0 13.2 1.13

Nilai RQ pada suhu ruang sebesar 1.62 berarti Nilai RQ > 1 maka substra t yang dipakai adalah asam-asam organik. Untuk suhu 10 dan 15oC nilai RQ = 1 maka substrat yang dipakai dalam respirasi adalah glukosa, sedangkan pada suhu 5oC apabila RQ < 1 maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi misalnya substrat yang dipakai mempunyai perbandingan O2 terhadap karbon ya ng lebih kecil dari

pada heksosa, oksidasi belum selesai dan CO2 yang digunakan masih melakukan

sintesa dalam pembentukkan asam oksaloasetat dan asam malat dari piruvat dan CO2 (Muc htadi 1992) .

Hasil analisis ragam (Lampiran 7 dan 8) terlihat bahwa pada perlakuan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P 0.05) terhadap laju respirasi buah pepaya selama penyimpanan. Hasil uji lanjut menggunakan Duncan pada taraf 5% menunjukkan bahwa laju res pirasi berbeda nyata pada penyimpanan hari ke-4 dan 8 namun tidak berbeda nyata pada hari ke 12 dan 16.

Peng aruh Suhu Penyimpanan Te rhadap Mutu Buah Pepaya

Hasil pengamatan suhu penyimpanan dingin terhadap mutu buah dalam mempertahankan kesegaraan buah pepaya, penggunaan suhu rendah sampai batas tertentu selama penyimpanan dapat memperpanjang fase praklimakterik sehingga umur simpan buah menjadi lebih lama. Keberhasilan memperpanjang umur simpan

23

buah segar ditunjukkan dengan penurunan laju pematangan dan pencegahan kerusakan fisik serta biologis yang meliputi TPT dan kekerasan.

Total Padatan Terlarut (TPT)

Kandungan TPT selama penyimpanan mengalami peningkatan dan pada akhirnya terjadi penurunan. Winarno dan Wirakartakusumah (1981) menjelaskan bahwa pada saat terjadinya proses respirasi maka terjadi pemecahan oksidatif dari bahan-bahan yang kompleks seperti karbohidrat, lemak dan protein yang menyebabkan pati turun dan gula sederhana terbentuk. Ditambahkan Winarno (2002), peningkatan gula terjadi karena akumulasi gula sebagai hasil degradasi pati sedangkan penurunan TPT terjadi karena sebagian gula digunakan untuk proses respirasi.

Gambar 7 menunjukkan bahwa perubahan kandungan TPT buah pepaya semakin meningkat dan kemudian terus menurun pada akhir penyimpanan. Pada suhu ruang kandungan padatan terlarut meningkat dari 10.2% brix menjadi 11.6% brix selama penyimpanan hari ke -8 kemudian mengalami pembusukan sehingga tidak dilakukan lagi pengukuran. Untuk penyimpanan pada suhu 5oC terjadi peningkatan menjadi 11.6% brix, sedangkan pada suhu 10oC terjadi peningkatan menjadi 12.7%brix, pada suhu 15oC terjadi peningkatan menjadi 12.05%brix sampai hari ke -12, tetapi penyimpanan pada hari ke-16 kandungan TPT terjadi penurunan masing-masing menjadi 8.7%brix, 11.2% brix, dan 10.7% brix. 0 2 4 6 8 10 12 14 0 4 8 12 16

Lama penyimpanan (hari)

Total padatanterlarut ( oBrix) Suhu ruang Suhu 5 C Suhu 10 C Suhu 15 C

Gambar 7 Perubahan TPT buah pepaya IPB 1 selama penyimpanan pada suhu 5oC, 10oC, 15oC dan suhu ruang.

suhu berpengaruh nyata (P 0.05) terhadap TPT buah pepaya selama penyimpanan. Hasil uji lanjut menggunakan Duncan pada taraf 5% menunjukkan bahwa TPT tidak berbe da nyata pada penyimpanan hari ke-0, 4 dan 16 namun berbeda nyata pada penyimpanan hari ke -8 dan 12. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa perubahan TPT selama penyimpanan suhu 10oC terjadi peningkatan yang lebih tinggi pada penyimpanan hari ke-12.

Kekerasan

Kekerasan buah pepaya cenderung menurun selama penyimpanan. Penurunan kekerasan pada bua h pepaya yang disimpan disebabkan oleh degradasi hemiselulosa dan pektin menjadi asam pektat yang larut dalam air (Winarno dan Wirakartakusumah 1981). Melunaknya buah disebabkan oleh perombaka n propektin yang tidak larut atau hidrolisis zat pati dan lemak (Pantastico 1986).

Gambar 8 menunjukkan bahwa perubahan kekerasan buah pepaya cenderung menurun dengan semakin lama penyimpanan. Pada suhu ruang penurunan kekerasan sangat cepat sebesar 3.5 kgf menjadi 1.5 kgf terjadi pada hari ke-8 selanjutnya pada hari ke-12 sampai hari 16 tidak dapat dilakukan pengukuran karena buah pepaya mengalami kerusakan dan pembusukan. Pada suhu 10oC kekerasan menjadi 1.9 kgf , sedangkan pada suhu 15oC kekerasan

menjadi 1.75 kgf. Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 10oC terjadi penurunan kekerasan lebih kecil dibandingkan dengan suhu 15oC, sedangkan penyimpanan pada suhu 5oC penurunan kekerasan sangat kecil dari 3.5 kgf menjadi 2.6 kgf. Hal ini berarti penyimpanan pada suhu dingin mampu mempertahankan kekerasan buah pepaya. Jika dilihat perbedaan pada masing- masing perlakuan, dimana suhu 5oC terlihat nilai kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan suhu 10 dan 15oC, namun suhu 5oC tidak dapat digunakan karena terjadi kerusakan fisologis selama penyimpanan sepe rti warna kulit coklat kehitaman, lekukan, cacat, gagal matang sehingga dipilih suhu 10oC sebagai suhu penyimpanan.

25 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 0 4 8 12 16

Lama penyimpanan (hari)

Kekerasan (kgf)

Suhu ruang Suhu 5 C Suhu 10 C Suhu 15 C

Gambar 8 Perubahan kekerasan buah pepaya IPB 1 selama penyimpanan pada suhu 5oC, 10oC, 15oC dan suhu ruang.

Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 11 dan 12) diperoleh bahwa lamanya penyimpanan buah pepaya berpengaruh nyata (P 0.05) terhadap kekerasan. Hasil uji lanjut menggunakan Duncan pada taraf 5% menunjukkan bahwa penurunan nilai kekerasan tidak berbeda nyata pada penyimpanan hari ke- 0, 4 dan 8 tetapi berbeda nyata pada penyimpanan hari ke-12 dan 16. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa perubahan kekerasan buah selama penyimpanan terjadi penurunan sampai hari ke-16. Hal ini dikarenakan selama penyimpanan terus berlangsung proses pematangan.

Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Etilen Terhadap Laju Respirasi Selama Pematangan

Selama proses respirasi, O2 dalam ruang pematangan akan semakin

berkurang sedangkan CO2 akan semakin meningkat (Gambar 9). Konsentrasi CO2

yang melebihi batas toleransi dapat menghambat daya picu terhadap pematangan. Dari hasil penelitian terlihat bahwa laju respirasi selama pematangan menunjukkan pola yang sama yaitu terjadi peningkatan laju respirasi, setelah tercapai pematangan penuh (puncak respiras i) maka laju respirasi akan menurun kembali. Pola ini merupakan pola respirasi buah golongan klimakterik.

Gambar 9 Pengukuran laju respirasi buah pepaya IPB 1 selama pematangan buatan.

Laju respirasi buah pepaya pada suhu 20oC pada konsentrasi etilen 50 ppm puncak respirasi terjadi pada jam ke -16 dengan produksi CO2 dan konsumsiO2

sebesar 33.12 ml/kg jam dan 31.6 ml/kg jam, sedangkan pada konsentrasi etilen 100 ppm produksi CO2 terjadi pada jam ke -18 sebesar 26.82 ml/kg jam dengan

konsumsi O2 sebesar 23.3 ml/kg jam dan pada konsentrasi etilen 150 ppm

produksi CO2 dan konsumsiO2 terjadi pada jam ke-4 sebesar 26.98 ml/kg jam dan

23.1 ml/kg jam (Gambar 10, 11 dan Lampiran 5).

Laju respirasi buah pepaya IPB 1 pada pematangan 25oC produksi CO2 dan

konsumsi O2 tertinggi terdapat pada konsentrasi etilen 50 ppm dan terjadi pada

jam ke-18 sebesar 39.46 ml/kg jam dan 39.1 ml/kg jam. Pada konsentrasi etilen 100 ppm produksi CO2 terjadi pada jam ke -10 sebesar 32. 22 mlkg jam dan

konsumsi 31.5 ml/kg jam. Adapun pada konsentrasi etilen 150 ppm produksi CO2

dan konsumsiO2 terjadi pada jam ke -10 dengan nilai lebih rendah yaitu 31.42

ml/kg jam dan konsumai sebesar 31.1 ml/kg jam (Gambar 12, 13 dan Lampiran 6). Pemberian etilen pada buah-buahan klimakterik akan mengeser atau mempercepat terjadinya puncak klimakterik, namun tidak mempengaruhi tingginya laju respirasi (Tucker 1993). Selama pematangan buatan konsentrasi etilen berpengaruh nyata dalam mempercepat laju respirasi, semakin rendah konsentrasi etilen dan semakin tinggi suhu yang diberikan maka laju respirasi semakin meningkat serta wa ktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak klimakterik semakin cepat.

27

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah suhu pematangan maka laju respirasi akan semakin kecil, akan tetapi pada konsentrasi etilen yang semakin tinggi maka laju respirasi semakin kecil. Laju respirasi CO2 pada suhu 20oC dengan

konsentrasi etilen 50 ppm selama pematangan memperlihatkan grafik lebih rendah dibandingkan dengan suhu 25oC. Penambahan konsentrasi etilen 100 dan 150 ppm selama pematangan buatan tidak memberikan perbedaan yang besar untuk mengeser atau mempercepat terjadinya puncak klimakterik dibandingkan dengan konsentrasi etilen 50 ppm. Somer (1992) melaporkan bahwa pada buah klimakterik, etilen berperan sebagai memicu terjadinya proses klimakterik respirasi.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Lama penyimpanan setelah pematangan (jam)

Laju Produksi CO 2 (ml/kg jam) 50 ppm 100 ppm 150 ppm

Gambar 10 Laju produksi CO2 buah pepaya IPB 1 selama pematangan pada

suhu 20oC dengan konsentrasi etilen 50, 100 dan 150 ppm.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Lama penyimpanan setelah pematangan (jam)

Laju Produksi CO 2 (ml/kg jam) 50 ppm 100 ppm 150 ppm

Gambar 11 Laju produksi CO2 buah pepaya IPB 1 selama pematangan pada

0 5 10 15 20 25 30 35 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Lama penyimpanan setelah pematangan (jam)

Laju konsumsi O

2

(ml/kg jam) 50 ppm

100 ppm 150 ppm

Gambar 12 Laju konsumsi O2 buah pepaya IPB 1 selama pematangan pada

suhu 20oC dengan konsentrasi etilen 50, 100 dan 150 ppm.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Lama penyimpanan setelah pematangan (jam)

Laju konsumsi O

2

(ml/kg jam) 50 ppm

100 ppm 150 ppm

Gambar 13 Laju konsumsi O2 buah pepaya IPB 1 selama pematangan pada

suhu 25oC dengan konsentrasi etilen 50, 100 dan 150 ppm.

Berdasarkan perhitungan laju respirasi Tabel 5 menunjukkan perbandingan antara produksi CO2 dan konsumsi O2 dinyatakan dengan nilai RQ. Proses laju

respirasi pada konsentrasi etilen 50 ppm menunjukkan nilai RQ sama dengan 1, hal ini berarti substrat yang digunakan pada saat berlangsungnya respirasi adalah glukosa, sedangan konsentrasi yang lain nilai RQ>1.

29

Tabel 5 Rata-rata laju respirasi dan RQ (Respiration Quotient) buah pepaya IPB 1 selama pematangan

Rata -rata laju respirasi Suhu Konsentrasi etilen Produksi CO2 (ml/kg jam) Konsumsi O2 (ml/kg jam) RQ 20oC 50 ppm 100 ppm 150 ppm 20.09 22.09 21.78 21.1 17.8 15.7 1.0 0.8 0.7 25oC 50 ppm 100 ppm 150 ppm 23.91 21.91 22.36 23.4 20.7 15.5 1.0 0.9 0.7

Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Etilen Terhadap Mutu Setelah Pematangan

Hasil pengamatan suhu penyimpanan dingin terhadap mutu buah dalam meningkatkan mutu buah pepaya selama pematangan dengan menggunakan konsentrasi etilen sebagai bahan pemicu pematangan sehingga dapat menghasilkan mutu dan warna yang seragam. Keberhasilan meningkatkan mutu buah pepaya ditunjukkan dengan laju respirasi, kekerasan, TPT, susut bobot, warna dan organoleptik sebagai parameternya.

Total Padatan Terlarut (TPT)

Total Padatan Terlarut (TPT) buah pepaya IPB 1 yang telah disimpan selama 12 hari selanjutnya dilakukan pematangan buatan pada semua suhu 20 dan 25oC dan konsentrasi etilen 50, 100, 150 ppm. Pada suhu 20oC dengan konsentrasi 50, 100, 150 ppm TPT mengalami peningkatan dari hari ke-0 sampai ke-3 yaitu 9.5-13.3% brix, 10.9-13.3% brix dan 10.8-12% brix, sedangkan pada hari ke-4 mengala mi penurunan menjadi 12.2, 10.7, dan 10.2% brix. Pada suhu 25oC dengan konsentrasi 100 dan 150 ppm, TPT mengalami peningkatan pada hari ke -2 yaitu 10.5-13.4% brix dan 10.2-11.5% brix, sedangkan TPT akan mengalami penurunan pada hari ke-3 sampai hari ke -4 sebesar 11.9-10.7% brix dan 11.0-10.2% brix. Sedangkan pada suhu 25oC dengan konsentrasi 50 ppm TPT meningkat pada hari ke-0 sampai hari ke-3 sebesar 9.8-13.0% brix dan pada hari ke-4 terjadi penurunan menjadi 11.7%brix.

Gambar 14 Alat pengukur TPT buah pepaya IPB 1 selama pematangan buatan.

Hasil pengukuran TPT buah pepaya IPB 1 selama pematangan buatan dapat dilihat pada Gambar 14, 15 dan 16. TPT setelah pematangan buatan cende rung meningkat kemudian menurun. Menurut Muchtadi dan Sugiono (1992), bila pati terhidrolisis maka akan terbentuk glukosa sehingga kadar gula dalam buah akan meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa aktifitas enzim yang merubah pati, hemiselulosa dan propektin yang terdapat pada buah pepaya dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi etilen selama pematangan buatan. Ditambahkan juga oleh Winarno dan Wirakartakusumah (1981), kenaikan TPT dikarenakan terjadinya hidrolisis karbohidrat menjadi senyawa glukosa dan fruktosa, sedangkan penurunan TPT disebabkan oleh kadar gula sederhana yang mengalami perubahan menjadi alkohol, aldehid dan asam.

Proses hidrolisis pati menjadi gula dan air selama respirasi buah dipengaruhi oleh rangsangan gas etilen yang diberikan serta suhu selama pematangan buatan.

Kecepatan proses respirasi pada pematangan buatan dengan suhu 25oC

memberikan nilai laju respirasi lebih tinggi dibandingakan pada pematangan buatan dengan suhu 20oC. Menurut Pantastico (1993), besarnya laju perombakan pati menjadi gula dipengaruhi oleh suhu dan enzim.

31 0 2 4 6 8 10 12 14 0 1 2 3 4 5

Lama penyimpanan setelah pematangan (hari)

Total padatan terlarut (Brix)

50 ppm 100 ppm 150 ppm

Gambar 15 Perubahan kadar TPT buah pepaya IPB 1 setelah pematangan pada suhu 20oC dengan konsentrasi etilen 50, 100 dan 150 ppm.

0 2 4 6 8 10 12 14 0 1 2 3 4 5

Lama penyimpanan setelah pematangan(hari)

Total padatan terlarut (Brix)

50 ppm 100 ppm 150 ppm

Gambar 16 Perubahan kadar TPT buah pepaya IPB 1 setelah pematangan pada suhu 25oC dengan konsentrasi etilen 50, 100 dan 150 ppm.

Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 13 dan 14) dan uji Duncan dengan taraf 5% menunjukkan bahwa TPT berpengaruh nyata (P 0.05) terhadap konsentrasi dan suhu setelah pematangan buatan pepaya IPB 1. Pada saat pematangan dengan etilen, TPT pada hari ke-0, 3 dan 4 berbeda tidak nyata tetapi pada hari ke-2 berbeda nyata. Peningkatan TPT tertinggi terjadi pada suhu 20oC dengan konsentrasi 50 ppm.

Kekerasan

Kecepatan proses pe lunakan tekstur buah pepaya yang diberi beberapa taraf konsentrasi etlen berpengaruh terhadap suhu pematangan buatan (Gambar 17). Pada perlakuan suhu 20oC memberikan nilai kekerasan setelah pematangan buatan

hari ke-4 pada suhu 20 dan 25oC dengan konsentrasi 50, 100 dan 150 ppm. Pada suhu 20oC masing-masing konsentrasi etilen memberikan nilai kekerasan sebesar 1.3-0.6 kgf, 1.3-0.4 kgf, 1.0-0.4 kgf, sedangkan pada suhu 25oC nilai kekerasan buah pepaya IPB 1 sebesar 1.1-0.6 kgf, 1.1-04 kgf, 1.0-0.3 kgf . (Gambar 18 dan 19). Hal ini disebabkan selama proses pematangan buatan kecepatan respirasi sangat tergantung pada suhu yang diberikan, semakin tinggi suhu pematangan buatan maka semakin cepat perubahan komposisi yang terjadi dalam jaringan buah sehingga perubahan komposisi dinding sel akibat aktifitas enzim yang semakin cepat.

Gambar 17 Alat pengukur kekerasan buah pepaya IPB 1 setelah pematangan. Penurunan nilai kekerasan dikarenakan terjadinya hidrolisis propektin dan pektin. Pada suhu tinggi terjadi perubahan kekerasan lebih cepat dibandingkan dengan suhu rendah (Matto 1989). Kondisi ini menunjukkan kerja enzim pektinesterase, yang mengubah propektin menjadi pektin yang larut dalam air ataupun enzim á-amilase dan â-amilase bekerja lebih giat pada suhu tinggi. Ditambahkan Muchtadi (1992), bahwa kekerasan akan menurun selama penyimpanan, dimana perubahan kandungan selulosa tidak begitu besar, sedangkan kandungan hemiselulosa dan propektin mengalami perubahan yang besar, sehingga terjadi penurunan kekerasan buah pepaya disebabkan karena hemiselulosa dan propektin terdegradasi.

33

Semakin lama buah pepaya disimpan setelah pematangan buatan kekerasannya semakin berkurang hal ini disebabkan adanya daya kohesi dinding sel yang mengikat sel satu dengan yang lain menurun, sehingga pada saat dilakukan pematangan buatan akan mempercepat pelunakan buah. Buah pepaya IPB 1 pada suhu 20oC dengan konsentrasi etilen 50 ppm memberikan nilai kekerasan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan etilen 100, 150 ppm dan suhu 25oC. 0.0 0.5 1.0 1.5 0 1 2 3 4 5

Lama penyimpanan setelah pematangan (hari)

Kekerasan (kgf)

50 ppm 100 ppm 150 ppm

Gambar 18 Perubahan kekerasan buah pepaya IPB 1 pada suhu 20oC dan konsentrasi etilen 50, 100, dan 150 ppm setelah pematangan.

0.0 0.5 1.0 1.5

0 1 2 3 4 5

Lama penyimpanan setelah pematangan (hari)

Kekerasan (kgf)

50 ppm 100 ppm 150 ppm

Gambar 19 Perubahan kekerasan buah pepaya IP B 1 pada suhu 25oC dan konsentrasi etilen 50, 100, dan 150 ppm setelah pe matangan.

terlihat bahwa perlakuan suhu dan konsentrasi etilen berpengaruh nyata (p 0.05) terhadap kekerasan setelah pematangan buatan, nilai kekerasan buah pepaya IPB 1 pada suhu 20oC dengan konsentrasi 50 ppm hari ke-0, 2, 3 dan 4 tidak berbeda nyata , pada konsentrasi etilen 100 dan 150 ppm untuk hari ke-2, 3 dan ke-4 berbeda nyata. Pada suhu pematangan 25oC dengan konsentrasi etilen 50 ppm pada hari ke -0 dan ke-4 tidak berbeda nyata , sedangkan hari ke-2 dan ke-3 berbeda nyata. Adapun pada konsentrasi etilen 100 dan 150 ppm pada hari ke-2, 3 dan 4 berbeda nyata.

Susut Bobot

Susut bobot buah pepaya IPB 1 meningkat selama pematangan buatan. Hal ini dikarenakan terjadinya transpirasi dan respirasi dimana glukosa terdegradasi menjadi CO2 dan H2O. Menurut Kader (1992), kehilangan air berpengaruh

langsung terhadap kehilangan bobot, kerusakan tekstur , kerusakan kandungan gizi, kelayuan dan pengkerutan buah.

Gambar 20 dan 21 menunjukkan bahwa perubahan susut bobot pada suhu 20oC dengan konsentrasi etilen 50, 100 dan 150 ppm sebesar 3. 3-5. 8%, 3.1-6.8%

dan 3.7-8.2%, sedangkan peningkatan susut bobot pada suhu 25oC dengan

konsentrasi 50, 100 dan 150 ppm sebesar 5.7-6.5%, 3.7-8.7% dan 4.7-9.4%. Kehilangan bobot selama penyimpanan setelah dilakukan pematangan buatan dapat menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan seperti kulit keriput dan buah menjadi layu, hal ini akan mengurangi kesegaran buah. Proses transpirasi dan respirasi berlangsung terus selama pematangan buatan, sehingga semakin lama pematangan buatan maka susut buah akan semakin meningkat. Wills et al. (1998) menyatakan bahwa kehilangan air pada buah bergantung pada kehilangan tekanan uap air pada komoditas dengan lingkungan. Susut bobot buah akibat respirasi dan transpirasi dapat ditekan dengan menaikkan RH, menurunkan suhu, mengurangi gerakan udara dan penggunaan kemasan.

35 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 3 4 5

Lama penyimpanan setelah pematangan (hari)

Susut bobot (%)

50 ppm 100 ppm 150 ppm

Gambar 20 Perubahan susut bobot buah pepaya IPB 1 pada suhu suhu 20oC dan konsentrasi etilen 50, 100 dan 150 ppm setelah pematangan.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 3 4 5

Lama penyimpanan setelah pematangan (hari)

Susut bobot (%)

50 ppm 100 ppm 150 ppm

Gambar 21 Perubahan susut bobot buah pepaya IPB 1 pada suhu 25oC dan konsentrasi etilen 50, 100, dan 150 ppm setelah pematangan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyimpanan pada suhu 20oC dengan konsentrasi etilen 50 ppm susut bobot buah pepaya IPB 1 dapat dipertahankan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa susut bobot tidak

berpengaruh nyata (p 0.05) terhadap susut bobot buah pepaya selama

pematangan buatan.

Warna

Hasil pengukuran warna diperoleh dengan menggunakan chromameter CR- 200 dan diolah dengan Hunter (L, a, b) kemudian dikonversikan ke CIE (Y.y.x). Perubahan warna yang terjadi selama penyimpanan setelah pematangan ditandai dengan hilangnya warna hijau menjadi kuning, hal ini terjadi setelah tercapainya puncak klima kterik (Gambar 22).

(a) (d)

(b) (e)

(c) (f)

Gambar 22 Warna buah pepaya IPB 1 setelah pematangan; (a) 20oC 50 ppm, (b) 20oC 100 ppm, (c) 20oC 150 ppm, (d) 25oC 50 ppm, (e) 25oC 100 ppm, (f) 25oC 150 ppm.

Derajat kecerahan (L*)

Perubahan derajat kecerahan buah pepaya IPB 1 menunjukkan terjadinya peningkatan pada awal penyimpanan dan penurunan pada akhir penyimpanan. Derajat kecerahan pada suhu 20oC dengan konsentrasi etilen 50 ppm sebesar

37

46.57-68.42, sedangkan pada konsentrasi etilen 100 dan 150 ppm derajat kecerahan mengalami peningkatan sampai hari ke-3 sebesar 46.88-70.32 dan 49.67-67.29 dan terjadi penurunan pada hari ke -4 sebesar 65.61 dan 66.98. Pada suhu 25oC dengan konsentrasi etilen 50, 100 dan 150 ppm diperoleh derajat kecerahan sebesar 66.45, 66.80 dan 66.47 (Gambar 23 dan 24). Penurunan derajat kecerahan menunjukkan adanya degradasi pigmen warna selama proses pematangan. Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1981), buah matang diseba bkan adanya reaksi reaksi sintesis dan degradasi pigmen. Lebih lanjut Desioner (1988) melaporkan bahan pangan segar yang berwarna cerah selama penyimpanan akan mempengaruhi kemampuan sifat fisik dan kimia dalam memantulkan sinar sehingga kecerahannya berubah.

45 50 55 60 65 70 75 0 2 3 4

Lama penyimpanan setelah pematangan (hari)

Derajat kecerahan (L*)

50 ppm 20C 100 ppm 20C 150 ppm 20C

Gambar 23 Perubahan derajat kecerahan buah pepaya IPB 1 pada suhu 20oC dengan konsentrasi etilen 50, 100, dan 150 ppm setelah pematangan.

45 50 55 60 65 70 75 0 2 3 4

Lama penyimpanan setelah pematangan (hari)

Dokumen terkait