• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dan Pemurnian

Berdasarkan hasil isolasi tiga lokasi diperoleh 55 isolat BPF, 35 isolat BPS, dan 40 isolat Azospirillum. Hasil isolasi tersaji pada Tabel 2. Isolat tersebut dipilih secara visual berdasarkan karakteristik yang terbentuk dari masing – masing koloni bakteri.

Tabel 2 Hasil isolasi BPF, BPS, dan Azospirillum dari tiga lokasi pengambilan contoh tanah

Sampel Tanah Jumlah Isolat Bakteri

BPF BPS Azospirillum

Bangko Kuning 11 8 20

Sepintun 19 15 12

Sungai Banir 25 12 18

9

Isolat

Cawan

Isolat

Gambar 2. Ilustrasi uji antagonis antar mikroorganisme

Uji Hipersensitivitas

Pengujian ini dilakukan untuk melihat potensi bakteri sebagai patogen pada tanaman. Hasil peremajaan, lalu dipindahkan ke dalam media LB dan dikocok selama 24 jam. Inokulasi pada daun tanaman tembakau menggunakan syringe tanpa jarum sebanyak 1 ml tanpa meninggalkan luka pada daun tanaman dan dikeringanginkan. Setiap strain diinokulasikan pada daun yang berbeda. Pengamatan dilakukan selama 48 jam setelah penyuntikkan. Kontrol negatif dalam pengujian ini dilakukan dengan menggunakan aquades steril.

Uji Aktivitas Hemolitik

Pengujian ini dilakukan untuk menguji patogenitas terhadap hewan dan manusia. Kultur isolat ditumbuhkan pada media Blood Agar yang telah dicampur dengan darah domba 5%, dan inkubasi selama 24 - 48 jam pada suhu ruang. Isolat yang mampu menghemolisis sel darah merah ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni yang menunjukkan bahwa isolat tersebut berpotensi menyebabkan patogen terhadap hewan dan manusia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dan Pemurnian

Berdasarkan hasil isolasi tiga lokasi diperoleh 55 isolat BPF, 35 isolat BPS, dan 40 isolat Azospirillum. Hasil isolasi tersaji pada Tabel 2. Isolat tersebut dipilih secara visual berdasarkan karakteristik yang terbentuk dari masing – masing koloni bakteri.

Tabel 2 Hasil isolasi BPF, BPS, dan Azospirillum dari tiga lokasi pengambilan contoh tanah

Sampel Tanah Jumlah Isolat Bakteri

BPF BPS Azospirillum

Bangko Kuning 11 8 20

Sepintun 19 15 12

Sungai Banir 25 12 18

10

BPF ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni. Isolat BPS ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekeliling koloni setelah ditambahkan indikator Congo Red (CR) 0.1%. Isolat Azospirillum ditunjukkan dengan terbentuknya pellikel di media NFB.

BPF dengan jumlah isolat 55, selanjutnya ditumbuhkan kembali dalam media pikovskaya dan dipilih secara visual berdasarkan zona bening yang terbentuk di sekeliling koloni bakteri seperti yang terlihat pada Gambar 3. Setiap bakteri memiliki kemampuan yang berbeda – beda dalam melarutkan fosfat dalam bentuk (Ca3(PO)4)2 di dalam media. Dari 55 isolat yang ditumbuhkan kembali dalam media pikovskaya 10 diantaranya tidak tumbuh, 13 diantaranya tidak dapat dilihat kemampuannya karena terkontaminasi.

BPS dengan jumlah 35, selanjutnya ditumbuhkan kembali dalam media CMC dan dipilih secara visual berdasarkan zona bening yang terbentuk setelah ditambahkan indikator Congo Red, seperti yang terlihat pada Gambar 4. Dari 35 isolat yang ditumbukan kembali dalam media CMC, 7 diantaranya terkontaminasi dan 7 diantaranya tidak tumbuh.

Azospirillum dengan jumlah isolat 40, selanjutnya ditumbuhkan kembali dalam media NFB dan dipilih berdasarkan pellikel yang terbaik yang terbentuk di media NFB. Dari 40 isolat yag ditumbuhkan kembali pada media NFB, 2 diantaranya tidak tumbuh, 8 diantaranya pellikel tidak utuh, dan 3 diantaranya terkontaminasi.

Gambar 3 Contoh koloni bakteri isolat bakteri pelarut fosfat

11

Selanjutnya dilakukan proses pemurnian (purification). Pemurnian dilakukan sebanyak 2-3 kali sampai diperoleh koloni tunggal sesuai yang diharapkan tanpa adanya kontaminan. Hasil proses pemurnian diperoleh 22 isolat BPF, 18 isolat BPS, dan 20 isolat Azospirillum. Hasil pemurnian tersebut selanjutnya akan dilakukan seleksi sesuai dengan karakteristik bakteri.

Seleksi Bakteri Pelarut Fosfat

Sebanyak 22 isolat bakteri pelarut fosfat (BPF) diperoleh dari hasil isolasi dan pemurnian. Kemudian isolat tersebut akan diseleksi dengan dua tahap yaitu uji kualitatif dan uji kuantitatif. Tahap pertama yaitu uji kualitatif dilakukan dengan menentukan Indeks Pelarutan (IP) yang dibentuk oleh BPF. Indeks pelarutan merupakan perbandingan antara diameter zona bening dengan diameter koloni bakteri. Zona bening (holozone) yang terbentuk di sekeliling koloni karena mikroorganismea pelarut fosfat mampu mensekresikan asam – asam organik yang dapat mengubah P yang tidak larut menjadi larut (Gonggo dan Yuni 2006). Hasil uji kualitatif tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil uji kualitatif BPF berdasarkan nilai indeks pelarutan

Kode Isolat Indeks Pelarutan Kode Isolat Indeks Pelarutan

BPF2.1 1.45 BPF3.4 1.28 BPF2.1.1 1.02 BPF3.5 1.55 BPF2.2 1.81 BPF1.1 0.82 BPF2.2.3 1.60 BPF1.3 1.22 BPF2 .3 1.20 BPF1.4 1.21 BPF2.4 1.32 BPF1.5 1.17 BPF2.5 1.49 BPF1.6 1.50 BPF3.1.4 1.05 BPF1.7 1.55 BPF3.2.1 1.65 BPF1.8 1.42 BPF3.3.1 1.05 BPF1.9 1.05 BPF3.3.1 1.07 BPF1.10 1.07

Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai IP tertinggi adalah isolat BPF2.2 dengan nilai IP 1.81. Hal tersebut menunjukkan bahwa isolat BPF2.2

12

mampu melarutkan fosfat yang berasal dari (Ca3(PO4)2) lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri lain dalam media dengan sumber P yang sama. Sedangkan bakteri yang memiliki nilai IP terendah adalah BPF1.1 dengan nilai IP 0.82.

Tahap kedua seleksi BPF adalah uji kuantitatif. Pengujian ini perlu dilakukan dalam tahap penyeleksian kemampuan BPF dalam melarutkan fosfat agar lebih tepat dan akurat. Menurut Isroi (2008), pengujian secara kuantitatif lebih sensitif daripada pengujian dengan indeks pelarutan fosfat. Oleh karena itu, uji kuantitatif penting dilakukan untuk mendapatkan dua isolat BPF yang terbaik memiliki nilai IP tertinggi dan daya larut P tertinggi. Hasil uji kualitatif dan uji kuantitatif BPF disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji kualitatif dan uji kuantitatif bakteri pelarut fosfat Kode Isolat IP P-Tersedia

(ppm)

Kode Isolat IP P-Tersedia (ppm) BPF2.1 1.45 47.8 BPF3.4 1.28 57.5 BPF2.1.1 1.02 74.9 BPF3.5 1.55 27.1 BPF2.2 1.81 218.3 BPF1.1 0.82 31.5 BPF2.2.3 1.60 178.9 BPF1.3 1.22 56.5 BPF2 .3 1.20 66.2 BPF1.4 1.21 52.1 BPF2.4 1.32 40.2 BPF1.5 1.17 140.1 BPF2.5 1.49 55.7 BPF1.6 1.50 51.8 BPF3.1.4 1.05 139.6 BPF1.7 1.55 174.8 BPF3.2.1 1.65 179.2 BPF1.8 1.42 9.7 BPF3.3.1 1.05 35.8 BPF1.9 1.05 71.7 BPF3.3.1 1.07 91.7 BPF1.10 1.07 47.8

Tabel 4 menunjukkan bahwa isolat BPF yang secara kualitatif memiliki nilai IP tinggi, tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan BPF dalam melarutkan P dalam media cair (uji kuantitatif). Isolat BPF yang memiliki nilai IP tertinggi dan daya larut P paling tinggi adalah isolat BPF2.2 dengan P-larut 218.3 ppm. Hal ini menunjukkan isolat tersebut memiliki daya larut P tertinggi dengan sumber fosfat berasal dari (Ca3(PO4)2) dibandingkan dengan BPF lain dalam media cair ataupun padat dengan sumber P yang sama. BPF yang memiliki daya larut P terendah adalah isolat BPF1.9 dengan P-larut 9.7 ppm dan nilai tersebut tidak berbanding lurus dengan nilai indeks pelarutan fosfat yang bernilai 1.42.

13 Secara umum, seluruh isolat yang diuji memiliki kemampuan melarutkan fosfat pada media pikovskaya dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (tanpa penambahan bakteri), dimana nilai P-tersedia dalam kontrol sebesar 1.0 ppm. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dua isolat terbaik yaitu isolat BPF2.2 dan isolat BPF3.2.1, kedua isolat BPF tersebut memiliki nilai IP paling tinggi dan berbanding lurus dengan daya larut P dalam media cair pikovskaya.

Seleksi Bakteri Perombak Selulosa

Hasil dari isolasi dan pemurnian diperoleh 18 isolat Bakteri Perombak Selulosa (BPS) yang berpotensi dalam merobak selulosa. Seleksi BPS terbaik dilakukan dengan menguji BPS menggunakan media agar spesifik Carboxy methyl cellulose (CMC). Pengujian dilakukan dengan melihat kemampuan BPS dalam mendegradasi selulosa pada media CMC. Hasil pengujian indeks selulolitik tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji kemampuan BPS berdasarkan nilai indeks selulolitik (IS) Kode Isolat Indeks Selulolitik Kode Isolat Indeks Selulolitik

BPS2.1 0.27 BPS3.3.2 0.25 BPS2.1.1 0.75 BPS3.4 0.29 BPS2.3 0.03 BPS3.5 1.00 BPS2.5 0.23 BPS1.4.1 0.57 BPS3.1 0.14 BPS1.4.2 0.33 BPS3.2 0.11 BPS1.5 0.07 BPS3.2 0.10 BPS1.6 0.09 BPS3.3 0.19 BPS1.8 0.15 BPS3.3.1 0.13 BPS1.9 0.14

Isolat yang mampu mendegradasi selulosa ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni yang diperjelas dengan dengan menggunakan indikator Congo Red 0.1%. Tabel 5 menunjukkan bahwa dari hasil pengujian selulolitik dua isolat yang memiliki nilai IS paling tinggi adalah BPS2.1.1 yaitu 0.75 dan BPS3.5 yaitu 1.00. Isolat yang memiliki IS paling rendah adalah BPS3.1 yaitu 0.03.

Gambar 7 Contoh isolat BPS3.5 yang mampu membentuk zona bening di sekeliling koloni

14

Perbedaan nilai indeks selulolitik disebabkan karena jenis isolat yang berbeda yang memiliki kemampuan menghasilkan selulase yang berbeda pula dalam menghidrolisis substrat CMC. Menurut Goenadi et al (1993), bahwa bakteri memiliki kemampuan yang berbeda – beda dalam mendegradasi selulosa tergantung dari jenis strain bakteri tersebut. Zona bening yang terbentuk di sekeliling koloni BPS tersebut pada CMC menunjukkan adanya enzim endo-β-,4- glukanase (CMC-ase) yang dapat memutuskan ikatan β-1,4 pada serat selulosa tersebut secara acak dan semakin tinggi nisbah tersebut menunjukkan semakin tinggi aktivitas spesifik enzim selulasenya, khususnya enzim endo-β-,4-glukanase (Ma’ashum 2003). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dua isolat terbaik yaitu isolat BPS2.1.1 dan isolat BPS3.5 kedua isolat BPF tersebut mampu merombak selulosa lebih baik dibandingkan isolat lainnya.

Seleksi Azospirillum

Azospirillum merupakan bakteri yang mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati yang mampu memicu pertunbuhan tanaman. Hasil isolasi dan pemurnian diperoleh 20 isolat yang selanjutnya diuji dengan menggunakan metode Kjeldahl. Pengujian dilakukan untuk mendapatkan dua isolat Azospirillum terbaik, hasil pengujian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji kemampuan Azospirillum menambat Nitrogen dengan metode kjeldahl

Kode Isolat Kadar N (%) Kode Isolat Kadar N (%)

AZ2.1 1.01 AZ1.4 0.28 AZ2.2 1.01 AZ1.5 0.98 AZ2.2 0.11 AZ1.6 0.13 AZ2.3 0.07 AZ1.8 0.11 AZ2.4 1.10 AZ1.9 0.08 AZ2.5 0.24 AZ1.10 0.13 AZ2.5.1 0.12 AZ3.1 1.08 AZ1.1 0.55 AZ3.2 1.12 AZ1.2 0.19 AZ3.3 1.09 AZ1.3 1.08 AZ3.5 1.05

Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan jumlah Nitrogen (N) yang mampu ditambat oleh Azospirillum. Jumlah N tertinggi yang ditambat oleh Azospirillum adalah isolat AZ3.2 dengan kadar N 1.12% yang berasal dari lokasi Sungai Banir. Selanjutnya, isolat AZ2.4 mampu menambat N dengan kadar N 1.10% yang berasal dari lokasi Sepintun. Jumlah N terendah yang ditambat oleh Azospirillum adalah isolat AZ1.9 dengan kadar N 0.08%. Metode Kjeldahl yangdigunakan dalam menentukan jumlah nilai N yang ditambat oleh Azospirillum dalam media NFB cair prinsipnya adalah mendegradasi protein bahan organik dengan menggunakan asam sulfat pekat untuk menghasilkan nitrogen sebagai ammonia, kemudian menghitung jumlah nitrogen yang terlepas sebagai ammonia lalu menkonversikan dalam kadar protein dengan mengalikannya dengan konstanta tersebut (Arief 1989). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dua isolat terbaik

15 yaitu isolat AZ2.4 dan isolat AZ3.2. Kedua isolat BPF tersebut mampu menambat N2 lebih baik dibandingkan dengan isolat lain.

Selanjutnya, enam bakteri berpotensi hasil seleksi diamati bentuk morfologi koloni dari masing – masing bakteri. Enam isolat bakteri tersebut akan dilakukan uji lebih lanjut untuk mendapatkan bakteri berpotensi yang dapat digunakan sebagai bio”organic”fertilizer.

Tabel 7 Hasil pengamatan karakteristik makroskopis bakteri berpotensi

Kode Isolat Bentuk koloni Warna koloni Tepian Elevasi

BPF2.1.1 Circular Putih susu Entire Convex

BPF3.2.1 Circular Putih

Kekuningan Bergelombang Convex

BPS3.5 Irreguler Transparan Entire Flat

BPS2.1.1 Circular Kuning Entire Convex

AZ3.2 Irreguler Kuning muda Bergelombang Flat

AZ2.4 Irreguler Putih Bergelombang Convex

Morofologi yang berbeda dapat menunjukkan strain bakteri yang berbeda. Isolat BPF2.1.1 memiliki bentuk koloni circular (bulat), dengan tepian entire (rata) dan elevasi convex (cembung) dan warna putih susu. Bentuk koloni isolat BPF2.1.1 berbeda dengan karakteristik BPF3.2.1, dimana terdapat perbedaan warna koloni putih kekuningan dengan bentuk koloni circular (bulat), tepian bergelombang dan elevasi convex (cembung). Isolat BPS3.5 memiliki bentuk Irreguler (tidak beraturan), dengan tepi entire (rata) dan elevasi datar (flat), serta berwarna transparan. Isolat BPS2.1.1 memiliki bentuk koloni circular (bulat), dengan tepi entire (rata) dan elevasi convex (cembung). Karakteristik Azospirillum dapat diamati dengan menggoreskan bakteri di media NFB agar. Koloni isolat AZ3.2 dan AZ2.4 memiliki bentuk koloni Irreguler (tidak beraturan), dengan tepian bergelombang. Namun, keduanya memiliki perbedaan pada karakteristik warna dan elevasi. Isolat AZ3.2 memiliki warna kuning muda dengan elevasi flat (datar), sedangkan isolat AZ2.4 memiliki warna putih dan elevasi convex (cembung). Perbedaan karakteristik tersebut sejalan dengan perbedaan kemampuan bakteri berpotensi pada saat pengujian, sehingga bakteri berpotensi digunakan sebagai pupuk organik hayati dengan strain yang bervariasi.

Uji Antagonisme Bakteri

Bakteri berpotensi dari tiga jenis bakteri selanjutnya dilakukan uji lebih lanjut untuk mendapatkan bakteri terbaik untuk dijadikan pupuk hayati. Pengujian antagonis dilakukan dengan metode uji kombinasi dalam satu cawan petri. Berdasarkan hasil uji antagonis secara in vitro terhadap enam isolat bakteri disajikan pada Tabel 8.

16

Tabel 8 Hasil uji antagonisme bakteri berpotensi yang dikombinasikan secara in vitro

Keterangan: + menunjukkan sifat antagonis

Tabel 8 menunjukkan isolat BPS3.5 bersifat antagonis terhadap isolat BPF2.1.1 dan AZ3.2 namun, saat uji kebalikannya tidak bersifat antagonis. Kemudian isolat AZ3.2 bersifat antagonis terhadap BPS3.5, namun saat uji kebalikannya tidak terjadi sifat antagonis.

Sifat antagonis yang dilakukan menggunakan paper disc ditunjukkan dengan zona bening yang terbentuk di sekeliling paper disc dikarenakan salah satu bentuk mempertahankan diri dan tidak kompatibel dengan perkembangan bakteri lain bahkan cenderung menghambat pertumbuhan bakteri lain. Hal ini menunjukkan bahwa isolat BPS3.5 ketika akan dijadikan pupuk hayati majemuk, maka tidak dapat digabungkan dengan isolat BPF2.1.1 dan AZ3.2. Hubungan timbal balik yang antagonistik (berlawanan) yang sering terjadi diantara mikroorganismea tanah dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti nutrisi (Mulyani 1991).

Uji Hipersensitivitas

Setelah dilakukan uji antagonis antar bakteri, maka dilakukan pengujian terhadap daun tembakau untuk melihat reaksi hipersensitivitas terhadap tanaman. Hasil uji hipersensitivitas tersaji pada Gambar 9 dan 10.

Kode Isolat1 Kode isolat 2 BPF2.1.1 BPF3.2.1 BPS3.5 BPS2.1.1 AZ3.2 AZ2.4 BPF2.1.1 - - - - - BPF3.2.1 - - - - - BPS3.5 + - - + - BPS2.1.1 - - - - - AZ3.2 - - + - - AZ2.4 - - - - -

Gambar 8 Contoh tahap pengujian antagonisme antar bakteri dalam satu cawan isolat 1 adalah BPF2.1.1

17

Uji hipersensitivitas dilakukan menggunakan tanaman tembakau karena tanaman ini merupakan tanaman model yang telah diketahui secara lengkap sekuen gennya termasuk gen yang menyandikan resistensi tanaman, juga ruang di antara pembuluh daunnya lebar sehingga relatif mudah untuk menginfiltrasikan suspense isolat. Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa isolat BPF2.1.1, BPF3.2.1, AZ2.4, AZ3.2A, yang diuji tidak menimbulkan atau gejala penyakit baik pada bagian yang inokulasi maupun bagian tanaman yang lain.

Pada gambar 10 menunjukkan bahwa BPS2.1.1, BPS3.5 yang diuji tidak menimbulkan atau gejala penyakit baik pada bagian yang inokulasi maupun bagian tanaman yang lain. Gejala negatif ditunjukkan dengan tidak adanya kerusakan jaringan daun tanaman atau tidak muncul gejala nekrosis di jaringan daun tanaman yang sudah diinokulasikan isolat bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri yang diuji tidak termasuk dalam kelompok patogen terhadap tumbuhan. Sehingga keenam bakteri tersebut dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk pupuk organik hayati. Respon hipersensitif menurut Klement et al. (1990) diartikan sebagai reaksi pertahanan yang cepat dari tanaman menghadapi patogen yang disertai kematian sel yang cepat atau nekrosis jaringan di daerah yang diinjeksi dengan suspensi bakteri.

Uji Aktivitas Hemolitik

Agar darah domba (ADD) adalah media standar sebagai media pertumbuhan untuk mengidentifikasi jenis bakteri dan sebagai media untuk tes sensitivitas Gambar 9 Hasil uji hipersensitivitas terhadap tanaman tembakau menunjukkan

gejala negatif untuk semua isolat bakteri pelarut fosfat dan Azospirillum

Gambar 10 Hasil uji hipersensitivitas terhadap tanaman tembakau menunjukkan gejala negatif untuk semua isolat bakteri perombak selulosa

18

antibiotik dari berbagai bakteri patogen (Abdat 2010). Hasil uji aktivitas hemolitik menggunakan media Blood agar tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil uji aktivitas hemolisis bakteri berpotensi

Kode Isolat Hari ke-

1 2 BPF2.1.1 - - BPF3.2.1 - - AZ2.4 - - AZ3.2 - + BPS2.1.1 + + BPS3.5 - -

Keterangan: + menunjukkan gejala positif zona bening di sekeliling koloni

Tabel 9 menunjukkan bahwa pada pengamatan 24 jam, isolat yang menunjukkan gejala positif adalah BPS2.1.1. Pengamatan pada inkubasi 48 jam menunjukkan gejala positif pada isolat dengan kode BPS2.1.1 dan AZ3.2. Hal itu menunjukkan bahwa isolat tersebut mampu melisiskan darah yang terkandung dalam media blood agar dengan kandungan darah domba 5% karena terbentuknya zona bening di sekeliling koloni sehingga berpotensi patogen terhadap hewan. Hemolisis karena infeksi terjadi akibat respon inflamasi yang memproduksi sitokin proinflamasi, mengaktivasi komplemen, komponen komplemen C5-C9 membentuk MAC (membrane attack complex) menyebabkan cedera membran sel yang berakibat lisis sel.13 (Bauman 2007). Empat isolat lainnya menunjukkan gejala negatif atau tidak terbentuk adanya zona bening di sekeliling koloni. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa isolat BPS3.5, BPF2.1.1, BPF3.2.1, dan AZ2.4 aman jika digunakan sebagai bio“organic”fertilizer.

Perhitungan Total Populasi Bakteri Berpotensi

Pengujian total populasi bakteri tersaji pada Tabel 10. Tabel 10 menunjukkan total populasi bakteri berpotensi yaitu BPF dengan total bakteri 8 x 107 CFU/ml untuk isolat BPF2.1.1, sedangkan total populasi BPF3.2.1 jumlah total bakteri 6 x 107 CFU/ml.

Tabel 10 Hasil uji total bakteri berpotensi pada inokulum cair

Kode Isolat Jumlah Sel (CFU/ml)

BPF2.1.1 8 x 107

BPF3.2.1 6 x 107

AZ2.4 4 x 105

BPS3.5 3 x 106

Total bakteri isolat AZ2.4 yang ditumbuhkan dalam media NFB sebanyak 4 x 105 CFU/ml. Total isolat BPS3.5 sebanyak 3 x 106 CFU/ml. Jumlah bakteri yang akan diaplikasin ini dapat dikatakan sesuai dengan yang tercantum dalam Permentan NOMOR 70/Permentan/SR.140/10/2011 mengenai standar pengujian bakteri hidup bebas.

19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Isolat BPF memiliki ciri – ciri zona bening yang terbentuk di sekeliliing koloni. Isolat BPS memiliki ciri – ciri zona bening di sekeliling koloni setelah ditanmbahkan indikator congo red. Isolat Azospirillum memiliki ciri – ciri terbentuknya pelikel.

2. Isolat BPF terbaik dengan nilai indeks pelarutan dan P-Larut tertinggi adalah isolat BPF3.2.1 dan BPF2.1.1. Isolat BPS terbaik dalam memproduksi selulosa dengan nilai indeks selulolitik tertinggi adalah isolat BPS2.1.1 dan BPS3.5. Isolat Azospirillum yang terbaik dan mampu memfiksasi N2 adalah isolat AZ3.2 dan AZ2.4.

3. Terjadi sifat antagonis antara BPS3.5 terhadap isolat BPF2.1.1 dan AZ3.2. Semua isolat tidak bersifat patogen terhadap tanaman. Namun, isolat AZ3.2 dan BPS2.1.1 berpotensi patogen terhadap hewan.

Saran

Perlu dilakukan uji efektivitas di lapangan atau rumah kaca untuk mengetahui lebih jauh pengaruh isolat terhadap pertumbuhan tanaman di tanah. Selain itu, perlu dilakukan uji lanjut terkait hormon yang mampu dihasilkan oleh empat isolat dan enzim yang dihasilkan mikroorganisme.

DAFTAR PUSTAKA

Abdat A. 2010. Pertumbuhan Streptocpccis pneumonia Pada Agar Darah Manusia dan Agar Darah Domba [skripsi]. Semang (ID): Universitas Diponogoro. Alexander M. 1977. Intoduction to soil Microbiology. New York (USA):

Academic Press.

Ahmad N, Jha KK. 1982. Effect Of Phosphate Solubilizer On Dry Matter Yield and Phosphorus Uptake By Soybean. J.Indian Soc.Soil.Sci. 30 : 105- Anwar K, Susilawati A. 2009. Penggunaan Fosfat Alam sebagai Pupuk Alternatif

untuk Meningkatkan Produksi Padi pada Tanah Masam di Kalimantan Selatan. Seminar Nasional Padi. 1: 917-928.

Agus C. 1997. Respirasi Tanah pada Lantai hutan mangium. Buletin Kehutanan. 2: 23-35.

Bauman R. 2007. Microbiology. With diseases by taxonomy. Edisi ke- 2. New York (USA): Pearson Ed. Publ. p 437-57.

Chusnia W, Surtiningsih T, Salamun. 2012. ―Kajian aplikasi pupuk hayati dalam meningktakan pertumbuhan dan produksi tanaman kacang hijau (vigna radiate L) pada polybag”. Jurnal :Dipublikasikan program S1 biologi, depertemen biologi, fakultas sains dan teknologi, UniversitasAirlangga, Surabaya.

19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Isolat BPF memiliki ciri – ciri zona bening yang terbentuk di sekeliliing koloni. Isolat BPS memiliki ciri – ciri zona bening di sekeliling koloni setelah ditanmbahkan indikator congo red. Isolat Azospirillum memiliki ciri – ciri terbentuknya pelikel.

2. Isolat BPF terbaik dengan nilai indeks pelarutan dan P-Larut tertinggi adalah isolat BPF3.2.1 dan BPF2.1.1. Isolat BPS terbaik dalam memproduksi selulosa dengan nilai indeks selulolitik tertinggi adalah isolat BPS2.1.1 dan BPS3.5. Isolat Azospirillum yang terbaik dan mampu memfiksasi N2 adalah isolat AZ3.2 dan AZ2.4.

3. Terjadi sifat antagonis antara BPS3.5 terhadap isolat BPF2.1.1 dan AZ3.2. Semua isolat tidak bersifat patogen terhadap tanaman. Namun, isolat AZ3.2 dan BPS2.1.1 berpotensi patogen terhadap hewan.

Saran

Perlu dilakukan uji efektivitas di lapangan atau rumah kaca untuk mengetahui lebih jauh pengaruh isolat terhadap pertumbuhan tanaman di tanah. Selain itu, perlu dilakukan uji lanjut terkait hormon yang mampu dihasilkan oleh empat isolat dan enzim yang dihasilkan mikroorganisme.

DAFTAR PUSTAKA

Abdat A. 2010. Pertumbuhan Streptocpccis pneumonia Pada Agar Darah Manusia dan Agar Darah Domba [skripsi]. Semang (ID): Universitas Diponogoro. Alexander M. 1977. Intoduction to soil Microbiology. New York (USA):

Academic Press.

Ahmad N, Jha KK. 1982. Effect Of Phosphate Solubilizer On Dry Matter Yield and Phosphorus Uptake By Soybean. J.Indian Soc.Soil.Sci. 30 : 105- Anwar K, Susilawati A. 2009. Penggunaan Fosfat Alam sebagai Pupuk Alternatif

untuk Meningkatkan Produksi Padi pada Tanah Masam di Kalimantan Selatan. Seminar Nasional Padi. 1: 917-928.

Agus C. 1997. Respirasi Tanah pada Lantai hutan mangium. Buletin Kehutanan. 2: 23-35.

Bauman R. 2007. Microbiology. With diseases by taxonomy. Edisi ke- 2. New York (USA): Pearson Ed. Publ. p 437-57.

Chusnia W, Surtiningsih T, Salamun. 2012. ―Kajian aplikasi pupuk hayati dalam meningktakan pertumbuhan dan produksi tanaman kacang hijau (vigna radiate L) pada polybag”. Jurnal :Dipublikasikan program S1 biologi, depertemen biologi, fakultas sains dan teknologi, UniversitasAirlangga, Surabaya.

20

Egamberdiyeva D, Jureiva D, Poberejskaya S, Myachina O, Teryuhova P, Seydalieva L, Aliev A. 2006. Improvement of Wheat and Cotton Growth and Nutrient Uptake by Phosphate Solubilizing Bacteria. 26th Southern Conservation. Tillage Conference. 58 – 66.

Eriksson KEL, Blanchette RA, Ander P. 1989. Microbial and Enzymatic Degradation of Wood and Wood Components. Springer- Verlag Heildeberg. New York.

FAO. 1988. Soil and Plant Analysis. FAO Soil Billetin 38(1). Roma. 241p

Gholami A, Shahsavani S, Nezrat S. 2009. The Effect of Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) on Germination, Seedling Growth and Yield of Maize. Proceedings of World Academy of Science, Engineerring and Technology. Vol.3(7). P : 2070-3740.

Gillman GP.1983. Nutrient Availability in Acid Soils of the Tropics Following Clearing and Cultivation. Proceesings of the International Workshop on Soils. Research to resolve selected problems of soils in the tropics. Townsville, Queensland Australia. 12-16-September. 189p.

Girindra. 1993. Biokimia I. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka p. 91-113.

Goenadi DH, Saraswati R, Lestari Y. 1993. Kemampuan Melarutkan Fosfat dari Berbagai Isolat Bakteri Asal Tanah dan Pupuk Kandang Sapi. Menara

Dokumen terkait