• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara ringkas hasil uji pra-estimasi dapat dijelaskan sebagai berikut, uji stasioneritas menunjukan hampir seluruh variabel yang digunakan pada penelitian ini tidak stasioner pada level kecuali untuk variabel suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank) yang stasioner pada level untuk tingkat kritis 5%. Oleh karena data untuk delapan variabel lainnya tidak stasioner maka perlu dilanjutkan pada uji stasioneritas pada first difference dimana hasil uji menunjukan seluruh variabel stasioner pada first difference. Karena data yang digunakan dalam analisis VAR diharuskan stasioner pada level maka penelitian ini menggunakan data first difference yang kemudian diolah dengan menggunakan metode SVAR.

Berdasarkan hasil uji lag optimal, baik pada kasus multiple objectives

maupun inflation targeting dengan sasaran operasional base money maupun suku bunga PUAB, jumlah lag yang optimal dalam penelitian ini didasarkan pada nilai

Akaike Information Criterion (AIC) yang terkecil atau minimum yaitu optimal pada lag satu. Kemudian hasil uji stabilitas VAR menunjukan bahwa sistem VAR yang digunakan adalah bersifat stabil. Hal tersebut dapat dibuktikan dari 8 root

yang diuji pada model multiple objectives dan model inflation targeting yang dipengaruhi oleh shock M0 memiliki modulus dari seluruh roots of characteristic polynomial dengan kisaran 0.69-0.15, sementara itu pada model multiple objectives dan model inflation targeting yang dipengaruhi shock suku bunga PUAB dari 8 root yang diuji menghasilkan modulus dengan kisaran 0.69-0.016. Secara lengkap hasil uji pra-estimasi disajikan pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 5.

Uji Kausalitas Granger

Uji Kausalitas Granger digunakan untuk melihat hubungan kausalitas antara variabel yang diestimasi. Secara ringkas hasil Uji Kausalitas Granger dapat dijelaskan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Uji Kausalitas Granger Sasaran Operasional

Base Money (M0) Suku Bunga PUAB

OIL FFR - INF Y REER - GBC - M2 - Keterangan:

1 Sample period 2003-2012; M0 = base money; MMR = suku bunga PUAB; OIL = harga minyak

dunia; FFR = fed fund rate; INF = inflasi; Y = output; REER = nilai tukar rupiah; GBC = total kredit bank; M2 = broad money

2 “↔” menunjukkan bahwa ada hubungan kausalitas dua arah

“→” dan “←” menunjukkan ada hubungan kausalitas searah dari variabel makroekonomi (variabel sasaran operasional) ke variabel sasaran operasional (variabel makroekonomi)

Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah pada variabel base money sebagai sasaran operasional dengan variabel inflasi, nilai tukar rupiah, total kredit bank dan broad money (M2). Di sisi lain, terdapat hubungan kausalitas dua arah pada variabel suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional dengan variabel output. Sedangkan pada variabel suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional, variabel inflasi berpengaruh signifikan terhadap suku bunga PUAB tetapi tidak berlaku sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa variabel base money merupakan sasaran operasional yang lebih baik dalam mempengaruhi variabel-variabel makroekonomi yang digunakan dalam estimasi khususnya variabel inflasi dibandingkan dengan suku bunga PUAB.

Hasil Penelitian

Model SVAR (Structural Vector Autoregession) pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis perbandingan efektivitas kebijakan multiple objectives dengan kebijakan inflation targeting di Indonesia. Masing-masing kebijakan moneter tersebut dimodelkan dengan menggunakan sasaran operasional yang berbeda yaitu dengan menggunakan base money (M0) dan money market rate atau suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank). Merujuk pada penelitian terdahulu (A. Mishra dan V. Mishra, 2010), kebijakan dengan multiple objectives

menetapkan target sasaran operasionalnya setelah melihat pengaruh inflasi, output dan nilai tukar pada waktu tertentu. Berbeda halnya dengan kebijakan inflation targeting, target sasaran operasional ditetapkan setelah hanya melihat pengaruh inflasi pada waktu tertentu.

Perbandingan efektivitas kebijakan multiple objectives dengan kebijakan

inflation targeting di Indonesia dapat dianalisis melalui hasil estimasi SVAR yang diringkas pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Hasil Estimasi SVAR: Pengaruh Guncangan Sasaran Operasional

(1) (2) (3) (4) OIL -0.000189 8.12E-05 4.804859*** 5.000278*** FFR 0.102276 *** 0.110332*** -1.03666 -1.178537 INF 1.361884 ** 1.993761*** 15.77989 1.107515 Y -0.156512 * 0 8.257487*** 0 REER 0.511110 *** 0 -5.043118 0 M0 0.047235 *** 0.048747*** - - MMR - - 1.170804*** 1.232045*** GBC 0 0 0 0 M2 0 0 0 0 Keterangan:

1. (1): Persamaan Monetary Policy Instrument (MPI) untuk Multiple Objectives: MPI=M0 (2): Persamaan Monetary Policy Instrument (MPI) untuk Inflation Targeting: MPI=M0 (3): Persamaan Monetary Policy Instrument (MPI) untuk Multiple Objectives: MPI=MMR (4): Persamaan Monetary Policy Instrument (MPI) untuk Inflation Targeting: MPI=MMR 2. *** = signifikan pada taraf 1%; ** = signifikan pada taraf 5%; * = signifikan pada taraf in

Hasil estimasi SVAR menunjukkan kebijakan inflation targeting baik yang menggunakan base money ataupun suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional cenderung lebih responsif terhadap perubahan variabel makroekonomi yang digunakan pada penelitian ini dibandingkan dengan kebijakan multiple objectives. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien pada persamaan monetary policy instrument atau sasaran operasional (baik base money maupun suku bunga PUAB) yang relatif lebih besar pada kebijakan inflation targeting dibandingkan dengan kebijakan multiple objectives.

Hasil estimasi ini sesuai dengan semakin tingginya tingkat independensi Bank Indonesia dalam merespon shock pada kebijakan inflation targeting.

Sebagaimana salah satu pra-kondisi yang harus tercapai dalam menerapkan kebijakan inflation targeting adalah independensi atau kebebasan dalam menentukan instrumen kebijakan moneter yang akan digunakan oleh Bank Indonesia. Pada kebijakan inflation targeting, Bank Indonesia lebih responsif terhadap guncangan variabel makroekonomi yang dapat mempengaruhi inflasi aktual pada masa yang akan datang. Perubahan dari multiple target menjadi single target juga menjadi salah satu alasan lebih fokusnya Bank Indonesia dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kebijakan inflation targeting terbukti lebih baik diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan kebijakan multiple objectives.

Analisis selanjutnya yaitu mengenai evaluasi perbandingan kinerja kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional base money (M0) dengan kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional suku bunga PUAB. Hasil estimasi menunjukan bahwa variabel base money berpengaruh signifikan terhadap variabel inflasi pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional

base money, sedangkan pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional suku bunga PUAB variabel money market rate (suku bunga PUAB) justru tidak signifikan terhadap variabel inflasi. Hal ini tidak sejalan dengan kebijakan moneter yang sedang diterapkan di Indonesia pada saat ini, dimana

Bank Indonesia menerapkan Inflation Targeting Framework dengan

menggunakan suku bunga PUAB sebagai sasaran operasionalnya.

Berdasarkan hasil estimasi pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional base money, variabel M0 berpengaruh secara signifikan terhadap variabel inflasi. Pengaruh base money dengan inflasi sesuai dengan teori ekonomi dimana jika jumlah uang beredar meningkat maka semakin tinggi permintaan masyarakat akan uang yang pada akhirnya akan menyebabkan inflasi (demand pull inflation). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Bank Indonesia seharusnya lebih fokus kepada pengendalian base money (M0) dibandingkan dengan suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional dalam mencapai sasaran akhir yaitu target inflasi.

Pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional suku bunga PUAB, variabel output, nilai tukar dan total kredit bank berpengaruh secara signifikan terhadap variabel inflasi. Namun, justru variabel suku bunga PUAB yang berperan sebagai sasaran operasional untuk mencapai sasaran akhir target inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel inflasi itu sendiri. Hal ini mengindikasikan belum terciptanya transmisi kebijakan moneter yang efisien melalui sasaran operasional suku bunga PUAB pada kebijakan inflation targeting framework di Indonesia.

Tercapai atau tidaknya sasaran akhir dalam suatu kebijakan moneter ditentukan oleh seberapa baik sasaran operasional dapat direspon dalam suatu transmisi kebijakan moneter. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Putri (2009), Indonesia mengalami fenomena incomplete pass-through pada variabel suku bunga dimana suku bunga bank sentral yang ditransmisikan pada suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan tidak ditransmisikan secara penuh sampai pada perekonomian. Hal ini ditunjukan oleh besaran derajat pass-through terhadap tingkat harga dan pendapatan nasional yang relatif kecil yaitu lebih kecil dari satu persen di ASEAN+3 termasuk Indonesia, yang berarti bahwa perubahan kebijakan moneter melalui jalur suku bunga tidak terlalu direspon dan belum cukup efektif dalam mempengaruhi perekonomian. Selain itu, jika dilihat dari kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) suku bunga official terhadap suku bunga deposito, suku bunga kredit, IHK dan GDP, Indonesia memiliki speed

yang paling lambat diantara negara ASEAN+3 lainnya. Hal ini menunjukkan perbankan di Indonesia tidak responsif terhadap suku bunga official.

Berdasarkan Gigineishvili (2011), negara maju memiliki nilai pass-through

yang lebih kuat dikarenakan struktur finansial yang lebih stabil sehingga dapat membuat suku bunga berfungsi lebih baik dalam memberikan sinyal transmisi kebijakan moneter. Sebaliknya pada negara berkembang seperti Indonesia, nilai

pass-through pada umumnya lemah sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk memperbaiki struktur finansial dan memperkuat transmisi kebijakannya. Sehingga kebijakan moneter yang bergantung pada kekuatan interest rate pass-through

seperti inflation targeting misalnya, tidak akan optimal diterapkan pada negara yang memiliki derajat pass-through yang lemah seperti Indonesia. Oleh karena itu, akan lebih baik jika Bank Indonesia merubah sasaran operasionalnya dengan

mengadopsi kerangka kebijakan moneter yang menggunakan monetary

aggregates atau nilai tukar sebagai sasaran operasionalnya.

Di sisi lain pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasioal suku bunga PUAB, variabel nilai tukar memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menjelaskan perubahan tingkat inflasi dibandingkan pada kebijakan

inflation targeting dengan sasaran operasional base money (M0). Hal ini sesuai dengan kebijakan nilai tukar yang memang dilakukan oleh Bank Indonesia pada periode penerapan kebijakan inflation targeting framework yang bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Penerapan kebijakan nilai tukar dilatarbelakangi oleh besarnya pengaruh nilai tukar terhadap harga-harga domestik (exchange rate pass through) yang pada akhirnya dapat mempengaruhi tingkat inflasi aktual. Padahal seharusya penerapan kebijakan inflation targeting framework menganut sistem nilai tukar mengambang bebas dimana nilai tukar dibiarkan berfluktuasi secara bebas. Pada kenyataannya, banyak negara emerging markets termasuk Indonesia, enggan untuk membiarkan nilai tukar bergerak secara penuh meskipun telah mengadopsi inflation targeting framework atau sering disebut dengan istilah

“fear of floating”. Fakta inilah yang dapat menguatkan bahwa masih belum efektifnya penerapan kebijakan inflation targeting framework di Indonesia sehingga seringkali inflasi aktual berada diluar target inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Perbandingan sasaran operasional yang digunakan dalam kebijakan moneter di Indonesia juga perlu dikaji lebih lanjut. Sasaran operasional digunakan dalam suatu kebijakan moneter sebagai instrumen transmisi kebijakan moneter untuk

mencapai sasaran akhir yang telah ditargetkan oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, tahapan analisis selanjutnya yang akan digunakan adalah perbandingan

Impulse Respons Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition

(FEVD) pada kebijakan moneter pure inflation targeting dengan sasaran operasional yang berbeda yaitu base money (M0) dan suku bunga PUAB.

Impulse Response Function

Analisis IRF akan menjelaskan dampak dari guncangan (shock) pada satu variabel terhadap variabel lain, dimana dalam analisis ini tidak hanya dalam waktu pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon kedepan sebagai infomasi jangka panjang. Pada analisis ini dapat melihat respon dinamika jangka panjang setiap variabel apabila ada inovasi (shock) tertentu sebesar satu standar error pada setiap persamaan. Sumbu horisontal merupakan periode dalam kuartal, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan nilai respon dalam persentase.

Dalam analisis ini menggunakan dua model yaitu model inflation targeting

dengan sasaran operasional base money (M0) dan model inflation targeting

dengan sasaran operasional suku bunga PUAB. Pada model inflation targeting

dengan sasaran operasional base money (M0) akan melihat pengaruh guncangan

base money (M0) tehadap variabel inflasi, output, nilai tukar rupiah, total kredit bank dan broad money (M2). Sedangkan, pada model inflation targeting dengan sasaran operasional suku bunga PUAB akan melihat pengaruh guncangan suku bunga PUAB terhadap variabel inflasi, output, nilai tukar rupiah, total kredit bank dan broad money (M2).

Hasil IRF secara garis besar menunjukan bahwa pada kebijakan inflation targeting baik yang menggunakan sasaran operasional base money (M0) maupun suku bunga PUAB, variabel nilai tukar memberikan respon terbesar terhadap guncangan monetary policy instrument. Hal ini menunjukkan bahwa peran nilai tukar relatif lebih besar dalam merespon guncangan pada base money (M0) dan suku bunga PUAB. Besarnya respon nilai tukar menunjukkan Bank Indonesia masih harus fokus kepada pengendalikan nilai tukar untuk dapat mencapai stabilitas nilai rupiah.

Model Inflation Targeting dengan Sasaran Operasioal Base Money (M0)

Gambar 3 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi pada

base money (M0) pada bulan pertama akan mengakibatkan peningkatan total kredit bank sebesar 0.48 persen dan peningkatan jumlah broad money (M2) sebesar 0.9 persen, sedangkan guncangan base money (M0) pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi, nilai tukar dan ouput. Pada bulan kedua gucangan

base money (M0) baru akan direspon oleh inflasi, output dan nilai tukar rupiah yang mengakibatkan peningkatan inflasi sebesar 0.2 persen, peningkatan output sebesar 0.1 persen dan peningkatan real effective exchange rate sebesar 0.5 persen.

Selanjutnya, pada bulan ketiga hingga bulan ke-18 gucangan base money

direspon oleh inflasi dengan terus-menerus berfluktuasi. Hingga pada bulan ke-19 pengaruh guncangan base money terhadap inflasi semakin berkurang dan mulai konvergen. Pengaruh guncangan base money (M0) pada output masih direspon oleh penurunan sebesar 0.5 persen di bulan ketiga, selanjutnya pada bulan

keempat hingga ke-16 guncangan base money direspon oleh fluktuasi pada output, hingga pada bulan ke-17 pengaruh guncangan base money terhadap output terus mengalami penurunan dan mulai konvergen hingga bulan ke-25. Sedangkan pengaruh guncangan base money terhadap nilai tukar rupiah direspon oleh depresiasi nilai tukar pada bulan ketiga dan keempat sebesar 0.97 persen, kemudian mengalami fluktuasi hingga bulan ke-18 dan mulai konvergen hingga bulan ke-25.

Gambar 3 Respon Dinamis Variabel Makroekonomi terhadap Shock M0 dalam

Inflation Targeting

Hal ini menunjukkan peningkatan jumlah uang beredar menyebabkan peningkatan inflasi yang kemudian akan mengakibatkan peningkatan pada output. Peningkatan inflasi akan direspon dengan peningatan suku bunga, hal ini akan menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami apresiasi pada jangka pendek. Pengaruh guncangan base money (M0) direspon oleh penurunan jumlah kredit bank dan jumlah broad money masing-masing sebesar 0.2 persen dan 0.1 persen

pada bulan kedua dan ketiga. Selanjutnya pengaruh guncangan base money

terhadap jumlah total kredit bank dan jumlah total broad money mengalami fluktuasi hingga bulan ke-16 dan bulan ke-22.

Model Inflation Targeting dengan dengan Sasaran Operasioal Suku Bunga

PUAB

Gambar 4 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi pada MMR pada bulan pertama akan mengakibatkan penurunan total kredit bank sebesar 0.07 persen dan penurunan jumlah broad money (M2) sebesar 0.2 persen, sedangkan guncangan MMR pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi, nilai tukar dan ouput.

Gambar 4 Respon Dinamis Variabel Makroekonomi terhadap Shock MMR dalam

Inflation Targeting

Pada bulan kedua gucangan MMR baru akan direspon oleh inflasi, output dan nilai tukar rupiah yang mengakibatkan penurunan inflasi sebesar 0.1 persen, penurunan output sebesar 1.6 persen dan depresiasi nilai tukar sebesar 0.1 persen.

Selanjutnya, pada bulan ketiga hingga bulan keenam gucangan MMR direspon oleh inflasi dengan terus-menerus berfluktuasi. Hingga pada bulan ketujuh pengaruh guncangan MMR terhadap inflasi semakin berkurang dan mulai konvergen hingga bulan ke-25. Pengaruh guncangan MMR pada output direspon oleh peningkatan sebesar 1.5 persen di bulan ketiga, hingga bulan kelima guncangan MMR direspon oleh penurunan output yang semakin lama semakin kovergen hingga pada bulan ke-25.

Sedangkan, pengaruh guncangan MMR terhadap nilai tukar rupiah masih direspon oleh penurunan real effective exchange rate pada bulan ketiga, kemudian mengalami peningkatan real effective exchange rate pada bulan keempat sebesar 0.06 persen. Pada bulan kelima kembali mengalami penurunan dan mulai konvergen hingga bulan ke-25. Pengaruh guncangan MMR direspon oleh peningkatan jumlah kredit bank dan peningkatan jumlah broad money masing-masing sebesar 0.1 persen pada bulan ketiga. Selanjutnya, pengaruh guncangan MMR terhadap jumlah total kredit bank mengalami fluktuasi hingga bulan kesembilan, kemudian pada bulan kesepuluh kembali mengalami peningkatan dan mulai konvergen hingga bulan ke-25. Sedangkan, pengaruh guncangan MMR terhadap jumlah broad money kemudian mengalami fluktuasi hingga bulan ke-16 dan mulai konvergen hingga bulan ke-25.

Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Fluktuasi setiap variabel akibat terjadinya suatu guncangan (shock) dapat dilakukan dengan menganalisis peranan setiap guncangan dalam menjelaskan fluktuasi variabel-variabel makroekonomi melalui analisis FEVD atau disebut juga sebagai analisis dekomposisi varians, dimana dalam analisis ini kontribusi dari guncangan variabel dalam sistem terhadap perubahan variabel tertentu dapat diketahui.

Berdasarkan hasil FEVD secara keseluruhan menunjukkan bahwa dalam jangka pendek variabel base money memberikan proporsi yang relatif lebih tinggi setelah variabel inflasi itu sendiri dibandingkan dengan variabel makroekonomi lainnya dalam menjelaskan variabilitas inflasi pada kebijakan pure inflation targeting dengan sasaran operasional base money (M0). Kemudian, pada kebijakan ini variabilitas output dijelaskan oleh variabel output itu setelah variabel inflasi itu sendiri. Pada variabilitas nilai tukar rupiah dijelaskan oleh variabel fed fund rate setelah variabel nilai tukar itu sendiri. Sedangkan, pada kebijakan

inflation targeting dengan sasaran operasional suku bunga PUAB, variabilitas inflasi dijelaskan oleh M2, total kredit bank dan suku bunga PUAB setelah variabel inflasi itu sendiri. Kemudian, pada kebijakan ini variabilitas output dijelaskan oleh variabel suku bunga PUAB dan variabel inflasi setelah variabel output itu sendiri. Selanjutnya variabilitas nilai tukar rupiah dijelaskan oleh variabel inflasi dan fed fund rate setelah variabel nilai tukar itu sendiri.

Analisis Perbandingan Dekomposisi Varian Inflasi dalam Inflation Targeting

dengan Sasaran Operasional Base Money (M0) dan Suku Bunga PUAB

Analisis jangka pendek dekomposisi varian inflasi pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional base money (M0) melalui simulasi FEVD disajikan dalam Gambar 5. Pada bulan pertama guncangan inflasi dipengaruhi

oleh dirinya sendiri sebesar 99.7 persen, fed fund rate sebesar 0.2 pesen dan harga minyak dunia sebesar 0.009 persen. Kontribusi dari variabel lain mulai berperan pada bulan kedua, inflasi memberikan kontribusi sebesar 90.5 persen, base money

(M0) sebesar 7.3 persen, fed fund rate sebesar 0.55 persen, nilai tukar rupiah sebesar 0.54 persen, jumlah kredit bank sebesar 0.52 persen, broad money (M2) sebesar 0.44 persen, harga minyak dunia sebesar 0.067 persen dan output sebesar 0.006 persen.

Gambar 5 Dekomposisi Varians Inflasi pada Inflation Targeting dengan Sasaran Operasional Base Money (M0)

Pengaruh guncangan inflasi terhadap dirinya sendiri semakin menurun, sementara untuk variabel makroekonomi lainnya memberikan kontribusi yang semakin meningkat walaupun tidak sebesar kontribusi inflasi. Pada bulan ke-25, guncangan inflasi masih didominasi oleh dirinya sendiri dengan proporsi yang semakin mengecil yaitu menjadi sebesar 88.1 persen, base money (M0) sebesar 7.3 persen, nilai tukar rupiah sebesar 1.7 persen, jumlah kredit bank sebesar 1.2 persen, broad money (M2) sebesar 0.6 persen, fed fund rate sebesar 0.5 persen, harga minyak dunia sebesar 0.2 persen dan output sebesar 0.08 persen. Hasil

variance decomposition menunjukkan bahwa selama 25 bulan kedepan inflasi akan memberikan kontribusi terbesar dalam mempengaruhi inflasi itu sendiri. Kontribusi terbesar kedua yaitu base money (M0) yang berperan sebagai sasaran operasional dalam mencapai target inflasi. Hal ini menunjukkan transmisi moneter dengan menggunakan sasaran operasional base money (M0) pada kebijakan

inflation targeting framework dapat direspon oleh inflasi.

Selanjutnya, analisis jangka pendek dekomposisi varian inflasi pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional suku bunga PUAB melalui simulasi FEVD disajikan dalam Gambar 6. Pada bulan pertama guncangan inflasi dipengaruhi oleh dirinya sendiri sebesar 99.8 persen, fed fund rate sebesar 0.13 persen dan harga minyak dunia sebesar 0.0007 persen. Kontribusi dari variabel lain mulai berperan pada bulan kedua, inflasi memberikan kontribusi sebesar 90.5 persen, jumlah kredit bank sebesar 2.9 persen, suku bunga PUAB sebesar 2.7 persen, broad money (M2) sebesar 2.4 persen, nilai tukar rupiah sebesar 1.06 persen, fed fund rate sebesar 0.17 persen, output sebesar 0.03 persen dan harga minyak dunia sebesar 0.0009 persen.

Gambar 6 Dekomposisi Varians Inflasi pada Inflation Targeting dengan Sasaran Operasional Suku Bunga PUAB

Tidak jauh berbeda dengan model sebelumnya, pada model ini pengaruh guncangan inflasi terhadap dirinya sendiri semakin menurun, sementara untuk variabel makroekonomi lainnya memberikan kontribusi yang semakin meningkat walaupun tidak sebesar kontribusi inflasi. Hanya saja besarnya proporsi untuk setiap variabel berbeda antara kedua model. Pada bulan keduapuluh lima, guncangan inflasi masih didominasi oleh dirinya sendiri dengan proporsi yang semakin mengecil yaitu menjadi sebesar 88.4 persen, jumlah kredit bank sebesar 3.5 persen, broad money (M2) sebesar 2.9 persen, suku bunga PUAB sebesar 2.8 persen, nilai tukar rupiah sebesar 1.2 persen, output sebesar 0.3 persen, harga minyak dunia sebesar 0.26 persen dan fed fund rate sebesar 0.24 persen. Hasil

variance decomposition menunjukkan bahwa selama 25 bulan kedepan inflasi akan memberikan kontribusi terbesar dalam mempengaruhi inflasi itu sendiri. Kontribusi terbesar berikutnya yaitu total kredit bank dan broad money (M2). Sedangkan, suku bunga PUAB hanya memberikan kontribusi sebesar 2.8 persen dibandingkan dengan kontribusi base money (M0) pada model sebelumnya sebesar 7.3 persen. Hal ini menunjukan sasaran operasional dengan menggunakan M0 lebih baik dibandingkan dengan suku bunga PUAB dalam mempengaruhi variabilitas inflasi pada kebijakan inflation targeting.

Analisis Perbandingan Dekomposisi Varian Output dalam Inflation

Targeting dengan Sasaran Operasional Base Money (M0) dan Suku Bunga

Dokumen terkait