• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Guncangan Sasaran Operasional dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter: Perbandingan Inflation Targeting dan Multiple Objectives di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Guncangan Sasaran Operasional dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter: Perbandingan Inflation Targeting dan Multiple Objectives di Indonesia"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK GUNCANGAN SASARAN OPERASIONAL DALAM

MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER:

Perbandingan

Inflation Targeting

dan

Multiple Objectives

di Indonesia

SALSA DILLA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Dampak Guncangan Sasaran Operasional dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter: Perbandingan Inflation Targeting dan Multiple Objectives di Indonesia” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Salsa Dilla

(4)

ABSTRAK

SALSA DILLA. Dampak Guncangan Sasaran Operasional dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter: Perbandingan Inflation Targeting dan Multiple Objectives di Indonesia. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI.

Sejak ditetapkannya UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia yang sebelumnya memiliki tujuan ganda (multiple target) dirubah menjadi lebih fokus dalam pencapaian sasaran tunggal (single target) yaitu mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Dengan menggunakan metode

Structural VAR, penelitian ini menganalisis perbandingan efektivitas penerapan

inflation targeting dan multiple objectives di Indonesia dengan melihat pengaruh guncangan sasaran operasional dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Penelitian ini memodelkan masing-masing kebijakan dengan menggunakan sasaran operasional yang berbeda yaitu dengan menggunakan base money (M0) dan suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan inflation targeting lebih cocok diimplementasikan di Indonesia dibandingkan dengan multiple objectives. Selanjutnya ditemukan bahwa kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional base money (M0) dianggap paling relevan dalam mencapai sasaran akhir target inflasi.

Kata kunci: Indonesia, inflation targeting, multiple objectives, sasaran operasional

ABSTRACT

SALSA DILLA. The Impact of Monetary Policy Instrument Shocks through Monetary Transmission Mechanism: Comparison of Inflation Targeting and

Multiple Objectives in Indonesia. Supervised by NOER AZAM ACHSANI.

Since the establishment of Law No.3/2004 about Bank Indonesia, the purpose of Bank Indonesia which previously was multiple target, now has became single target which focused on price stability. By using Structural VAR, this study analyzed the comparison between inflation targeting and multiple objectives by looking at the response of monetary policy instrument in Indonesia’s monetary transmission mechanism. This research modeling each case with a different monetary policy instrument, they are base money (M0) and money market rate. The finding of this research shows that inflation targeting is better to be implemented in Indonesia rather than multiple objectives. Inflation targeting with base money as monetary policy instrument is considered as the most relevant policy in determining inflation target.

(5)

DAMPAK GUNCANGAN SASARAN OPERASIONAL DALAM

MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER:

Perbandingan

Inflation Targeting

dan

Multiple Objectives

di Indonesia

SALSA DILLA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Dampak Guncangan Sasaran Operasional dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter: Perbandingan Inflation Targeting dan Multiple Objectives di Indonesia

Nama : Salsa Dilla

NIM : H14090098

Disetujui oleh

Prof Noer Azam Achsani, Ph.D Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Guncangan Sasaran Operasional dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter: Perbandingan Inflation Targeting dan Multiple Objectives di Indonesia”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor.Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk menganalisis dampak guncangan sasaran operasional terhadap perbandingan kinerja kebijakan inflation targeting

dengan multiple objectives di Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Noer Azam Achsani, Ph.D selaku dosen pembimbing atas saran, masukan serta motivasi dalam menyelesaikan penelitian ini, Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.ScAgr selaku dosen penguji utama dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas saran dan kritikannya untuk perbaikan skripsi ini. Di samping itu, ucapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian skripsi ini baik berupa saran, masukan maupun dukungan kepada penulis. Ucapan terimakasih juga diberikan kepada seluruh civitas Ilmu Ekonomi FEM IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 2

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

Penelitian Terdahulu 5

Kerangka Pemikiran 6

METODE PENELITIAN 7

Jenis dan Sumber Data 7

Metode Analisis dan Pengolahan Data 8

Pengujian Pra Estimasi 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Uji Kausalitas Granger 14

Hasil Penelitian 15

SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 31

(10)

DAFTAR TABEL

1 Hasil Estimasi Uji Kausalitas Granger 14

2 Hasil Estimasi SVAR: Pengaruh Guncangan Sasaran Operasional 15

DAFTAR GAMBAR

1 Perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi di Indonesia (Periode

tahun 2000-2012) 3

2 Kerangka Pemikiran 7

3 Respon Dinamis Variabel Makroekonomi Terhadap Shock M0 dalam

Inflation Targeting 19 4 Respon Dinamis Variabel Makroekonomi Terhadap Shock MMR dalam

Inflation Targeting 20

5 Dekomposisi Varians Inflasi pada Inflation Targeting dengan Sasaran

Operasional Base Money (M0) 22 6 Dekomposisi Varians Inflasi pada Inflation Targeting dengan Sasaran

Operasional Suku Bunga PUAB 23 7 Dekomposisi Varians Output pada Inflation Targeting dengan

Sasaran Operasional Base Money (M0) 24

8 Dekomposisi Varians Output pada Inflation Targeting dengan

Sasaran Operasional Suku Bunga PUAB 24

9 Dekomposisi Varians Nilai Tukar Rupiah pada Inflation Targeting

dengan Sasaran Operasional Base Money (M0) 25

10 Dekomposisi Varians Nilai Tukar Rupiah pada Inflation Targeting

dengan Sasaran Operasional Suku Bunga PUAB 26

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji Akar Unit (Level) 32

2 Uji Akar Unit (First Difference) 32 3 Penentuan Lag Optimal pada Model Multiple Objectives dan Inflation 32

Targeting

4 Uji Stabilitas VAR untuk Kasus Multiple Objectives dan Inflation Targeting 33 dengan Sasaran Operasional M0

5 Uji Stabilitas VAR untuk Kasus Multiple Objectives dan Inflation Targeting 33 dengan Sasaran Operasional MMR

6 Uji Kausalitas Granger 34 7 Estimated Contemporaneous Restriction Matrix untuk Kasus Multiple

Objectives dengan Sasaran Operasional Base Money (M0) 35 8 Estimated Contemporaneous Restriction Matrix untuk Kasus Multiple

Objectives dengan Sasaran Operasional Money Market Rate (MMR) 35 9 Estimated Contemporaneous Restriction Matrix untuk Kasus Inflation

(11)

10 Estimated Contemporaneous Restriction Matrix untuk Kasus Inflation

Targeting dengan Sasaran Operasional Money Market Rate (MMR) 36 11 Hasil Estimasi SVAR untuk Kasus Multiple Objectives dengan Sasaran

Operasional Base Money (M0) 37

12 Hasil Estimasi SVAR untuk Kasus Multiple Objectives dengan Sasaran Operasional Money Market Rate (MMR) 38 13 Hasil Estimasi SVAR untuk Kasus Inflation Targeting dengan Sasaran

Operasional Base Money (M0) 39 14 Hasil Estimasi SVAR untuk Kasus Inflation Targeting dengan Sasaran

(12)

DAFTAR ISTILAH

No Istilah Keterangan

1. Inflation Targeting Kerangka kebijakan moneter yang menitikberatkan pada indikator tingkat inflasi yang harus dicapai pada suatu periode tertentu,

2. Multiple Objectives Kerangka kebijakan moneter yang memiliki banyak target yaitu pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga dan perluasan kesempatan kerja,

3. Monetary Policy Instrument Sasaran Operasional, 4. Money market rate atau suku

Bunga PUAB

Suku bunga pasar uang yang berjangka waktu paling pendek yaitu satu hari atau

overnight,

5. Base money atau uang primer Kewajiban Bank Indonesia (BI) terhadap sektor swasta domestik dan bank umum yang berupa uang kertas dan uang logam yang berada di luar BI serta simpanan giro bank umum dan masyarakat di BI,

6. Pegged exchange rate regimes

Sistem nilai tukar dimana nilai tukar mata uang domestik dipatok secara tetap terhadap mata uang asing,

7. Floating exchange rate regimes

Nilai tukar dibiarkan bergerak bebas sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terdapat di pasar,

8. Fear of floating Kondisi dimana suatu negara terlihat secara aktif membatasi fluktuasi kondisi moneter internasionalnya dari pengaruh nilai-nilai eksternal,

9. Interest rate pass-through Proses perubahan suku bunga official bank sentral yang ditransmisikan pada suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan, baik deposito maupun kredit, 10. Incomplete pass-through Perubahan suku bunga perbankan tidak

sebanding dengan perubahan suku bunga

official bank sentral, 11. Speed of adjustment Kecepatan penyesuaian,

12. Impulse Response Function Respon dinamika setiap variabel apabila terdapat inovasi (shock) tertentu sebesar satu standar deviasi pada satu variabel tertentu,

13. Forecast Error Variance Decomposition

(13)

PENDAHULUAN

Inflasi merupakan aspek penting yang menjadi masalah pokok dan menjadi perdebatan pada perekonomian di setiap negara. Inflasi identik dengan terjadinya kecenderungan kenaikan harga secara umum dan terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama. Terjadinya inflasi juga menyebabkan nilai mata uang turun sebanding dengan kenaikan harga yang terjadi. Pergerakan nilai inflasi dapat memberikan multiplier effect kepada banyak aspek. Inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat seperti kemiskinan, ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan, penurunan pertumbuhan ekonomi dan tingkat bunga domestik menjadi tidak kompetitif dibandingkan dengan negara lain. Selain itu, terjadinya inflasi secara besar-besaran juga dapat menimbulkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Oleh karena itu, pengendalian inflasi dijadikan sebagai hal yang sangat dikontrol dan dikendalikan oleh suatu negara. Kajian mengenai inflasi tidak hanya mencakup nasional ataupun regional bahkan mencakup internasional.

Inflation targeting framework (ITF)merupakan kerangka kebijakan moneter yang menitikberatkan pada indikator tingkat inflasi yang harus dicapai pada suatu periode tertentu. Sejak tahun 1990-an ITF sudah menjadi kerangka kerja kebijakan moneter yang banyak diadopsi baik di negara maju maupun negara berkembang. Pada tahun 1980-an banyak negara-negara di dunia mengalami masalah hyper inflation yang membuat otoritas moneter pada masing-masing negara berkomitmen untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah melalui target inflasi yang harus dicapai tanpa mengorbankan output dan kesempatan kerja. ITF pertama kali diimplementasikan oleh negara-negara maju seperti Selandia Baru,

Kanada, Inggris, Swedia dan Australia pada awal 1990-an. Pada

perkembangannya penerapan ITF di negara maju membawa dampak yang positif terhadap laju inflasi dan kestabilan kondisi perekonomiannya dimana tingkat inflasi cenderung rendah dan terkendali sehingga dapat meningkatkan kinerja perekonomian di negara tersebut.

Adanya krisis nilai tukar pada tahun 1990-an yang terjadi pada beberapa negara berkembang membawa perubahan pada rezim nilai tukarnya yang semula

pegged exchange rate regimes menjadi floating exchange rate regimes. Perubahan ini membawa negara-negara berkembang seperti Chili, Brazil, Afrika Selatan dan negara-negara di Asia Timur (Korea, Indonesia, Thailand dan Filipina) untuk ikut mengadopsi ITF sebagai alternatif kerangka kebijakan moneter yang baru. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengembalikan kondisi perekonomian pasca krisis serta dapat mengalami kesuksesan yang sama seperti negara maju melalui implementasi ITF.

(14)

rendah (low income group)1 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara berpendapatan tinggi (high income group)2. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan pada saat terjadi ketidakstabilan harga barang pada tahun 2007, kinerja negara high income group yang mengimplementasikan ITF relatif lebih baik dibandingkan dengan yang tidak mengimplementasikan ITF. Sedangkan kinerja negara low income group yang tidak mengimplementasikan ITF jutru relatif lebih baik dibandingkan dengan yang mengimplementasikan ITF. Hal ini menunjukan bahwa ITF lebih cocok diterapkan di negara maju dibandingkan negara berkembang termasuk di Indonesia.

Menurut Mishra (2010), Francia dan Garcia (2005), Torres dan Saridakis (2007) serta Yogi (2009), implementasi ITF di beberapa emerging countries

seperti India, Meksiko dan Indonesia memiliki pola fenomena moneter yang identik dimana peran nilai tukar masih cukup besar dalam mempengaruhi tingkat inflasi akibatnya bank sentral masih terjebak pada pengendalian nilai tukar (exchange rate targeting) dibandingkan dengan pengendalian tingkat inflasi (inflation targeting) atau sering disebut dengan istilah fear of floating. Hal ini menunjukkan konsistensi penerapan ITF di beberapa emerging countries,

termasuk di Indonesia, masih dipertanyakan.

Latar Belakang

Sejak ditetapkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diamandemen menjadi UU No. 3 Tahun 2004, tujuan Bank Indonesia yang sebelumnya memiliki tujuan ganda (multiple target) yaitu pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga dan perluasan kesempatan kerja, menjadi lebih fokus dalam pencapaian sasaran tunggal (single target) yaitu mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Sejak tahun 2000, Bank Indonesia sudah mulai menentukan dan mengumumkan sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter hanya saja secara eksplisit Bank Indonesia mengumumkan penerapan ITF mulai 1 Juli 2005. Pada implementasinya, penetapan target inflasi yang ditetapkankan seharusnya diikuti oleh inflasi akual pada masa yang akan datang. Namun pada kenyataannya di Indonesia seringkali terjadi ketidaksinkronan antara target inflasi dengan inflasi aktual. Hal ini tampak dari adanya deviasi atau penyimpangan yang signifikan antara target inflasi dan inflasi aktual yang ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1 menunjukkan bahwa dari tahun 2000 hingga tahun 2012 kinerja implementasi ITF di Indonesia kurang memuaskan. Hanya pada tahun 2004, 2007 dan 2012 tingkat inflasi aktualnya berada pada target inflasinya sedangkan pada tahun 2002 kinerja ITF berada pada level dimana inflasi aktual mendekati target inflasi. Tetapi selebihnya inflasi aktual tidak sesuai dengan target inflasi yang telah ditetapkan. Pada tahun 2000, 2001, 2005, 2008 dan 2010 inflasi aktual

1

Penelitian yang dilakukan Scott Roger (2009) mengelompokan negara yang mengimplementasikan inflation targeting kedalam low income group dan high income group. Low income group terdiri dari: Afrika Selatan, Brazil, Chili, Filipina, Ghana, Guatemala, Indonesia, Kolombia, Meksiko, Peru, Polandia, Romania, Serbia, Thailand dan Turki.

2High income group

(15)

melebihi inflasi yang ditargetkan, sedangkan pada tahun 2003, 2006, 2009 dan 2011 inflasi aktual lebih rendah dibandingkan dengan inflasi yang ditargetkan.

Sumber: Bank Indonesia, 2012

Gambar 1 Perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi di Indonesia (Periode tahun 2000-2012)

Hal ini menunjukan bahwa Bank Indonesia masih belum sepenuhnya komitmen terhadap penciptaan stabilitas harga. Belum tercapainya inflasi aktual pada range target inflasi yang telah ditetapkan Bank Indonesia selama periode penerapan ITF di Indonesia membuat penelitian mengenai evaluasi penerapan kerangka kebijakan moneter dengan menggunakan tingkat inflasi sebagai sasaran tunggal penting untuk dikaji secara empiris.

Perumusan Masalah

Sejak tahun 2000 penerapan ITF mengalami banyak perubahan khususnya perubahan pada sasaran operasional. Pada awal masa diimplementasikannya ITF, Bank Indonesia menggunakan uang primer atau base money sebagai sasaran operasional yang kemudian pada tahun 2002 uang primer tidak ditargetkan secara eksplisit lagi dan sebagai gantinya digunakan target suku bunga riil. Menurut Pohan (2009), hal ini menunjukan kerangka formal kebijakan moneter sesungguhnya menggunakan dua kerangka berbeda pada saat yang sama, yaitu kerangka inflation targeting dan kerangka base money targeting. Selain itu, Bank Indonesia sering kali mengaitkan respon kebijakannya dengan tujuan lain selain inflasi, misalnya untuk mengarahkan pada pencapaian nilai tukar atau untuk mendukung proses pertumbuhan ekonomi sehingga Bank Indonesia dapat dipresepsikan sebagai sesuatu yang memiliki banyak anchor.

Menurut Stone (2003), ketidakjelasan kerangka kebijakan moneter seperti yang dipraktikan Bank Indonesia dikategorikan sebagai inflation targeting lite, untuk membedakannya dengan full-fledged inflation targeting. Bank Indonesia dikelompokkan ke dalam bank sentral without clear commitment, dimana kebijakan moneter Bank Indonesia dianggap memiliki tiga anchor, yaitu inflasi, suku bunga riil, dan pertumbuhan base money. Hal ini menguatkan masih belum

(16)

jelasnya komitmen Bank Indonesia dalam menerapkan ITF di Indonesia membuat kredibilitas Bank Sentral belum sepenuhnya dapat diterima oleh publik.

Dalam suatu kerangka kebijakan moneter, sasaran operasional atau indikator kebijakan moneter sangat penting perannya sebagai pengukur sejauh mana pencapaian hasil dari kebijakan moneter. Untuk mempengaruhi keseimbangan pasar uang terdapat dua pilihan variabel yang dapat digunakan yaitu jumlah uang beredar (base money) dan suku bunga. Dalam sejarahnya, selama tiga tahun penerapan target inflasi dengan sasaran operasional base money, kinerja inflasi tidak terlalu memuaskan walaupun faktor kebijakan pemerintah dan nilai tukar juga berpengaruh terhadap inflasi IHK. Menurut Pohan (2008), hal ini disebabkan sulitnya memprediksi perilaku masyarakat dalam memegang uang kartal serta belum berjalannya intermediasi perbankan secara normal menyebabkan pengendalian base money menjadi sulit. Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan oleh Bank Indonesia, target inflasi akan lebih efektif dicapai dengan suku bunga sebagai sasaran operasional dibandingkan base money. Suku bunga dianggap lebih efektif dalam memberikan sinyal kebijakan moneter pada pasar uang. Namun pada kenyataannya, perubahan sasaran operasional menjadi suku bunga masih belum dapat menjawab permasalahan terjadinya ketidaksinkronan antara target inflasi dengan inflasi aktual.

Oleh karena itu, berdasarkan deskripsi di atas, maka inti permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini secara garis besar diantaranya adalah:

1. Bagaimana evaluasi perbandingan kinerja kebijakan inflation targeting

dengan multiple objectives di Indonesia?

2. Bagaimana perbandingan efektivitas kebijakan moneter melalui sasaran operasional base money dengan kebijakan moneter melalui sasaran operasional suku bunga?

Tujuan Penelitian

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengevaluasi perbandingan kinerja kebijakan moneter berbasis multiple objectives dengan kebijakan inflation targeting di Indonesia

2. Mengevaluasi perbandingan efektivitas kebijakan moneter melalui sasaran operasional base money dengan kebijakan moneter melalui sasaran operasional suku bunga

Manfaat Penelitian

(17)

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup jawaban permasalahan yang telah dirumuskan diatas serta memberikan rekomendasi solusi terhadap kebijakan

inflation targeting framework di Indonesia. Penelitian ini dibatasi pada analisis perbandingan kebijakan multiple objectives dan kebijakan inflation targeting

dengan sasaran operasional base money dan suku bunga.

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian Terdahulu

Dengan latar belakang yang relatif sama yaitu pentingnya evaluasi penerapan kebijakan inflation targeting framework, beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan di berbagai negara. A. Mishra dan V. Mishra (2010) menganalisis perbandingan efektivitas mekanisme transmisi moneter melalui monetary targeting regimes dengan pure inflation targeting regimes di India. Penelitian yang telah dilakukan oleh Francia dan Garcia (2005) serta Torres dan Saridakis (2007) menganalisis mengenai konsistensi penerapan inflation targeting framework di Meksiko. Analisis mengenai perbandingan efektivitas kebijakan moneter pada inflation targeting countries & non-inflation targeting countries

juga telah dilakukan oleh Gambetti dan Pappa (2009). Sedangkan, Yogi (2005) telah melakukan penelitian mengenai konsistensi apakah Bank Indonesia selama ini dapat dikatakan melakukan pentargetan inflasi (inflation targeting) ataukah lebih dapat dikatakan melakukan pentargetan nilai tukar (fear of floating).

Penelitian mengenai penerapan inflation targeting di negara maju juga sudah dilakukan oleh Creel dan Hubert (2008) yaitu menganalisis implementasi inflation targeting di Kanada, Swedia dan Inggris. Perbandingan antara kinerja inflation targeting di negara maju dan negara berkembang juga telah dilakukan oleh Roger (2009) dengan mengevaluasi penerapan inflation targeting di seluruh negara di dunia dengan mengkategorikan negara yang diestimasi menjadi low income group

dan high income group untuk dapat melihat pola perilaku dari masing-masing kelompok negara.

Untuk menganalisis permasalahan yang ada A. Mishra dan V. Mishra (2010) menggunakan metode SVAR (Structural VAR), Creel dan Hubert (2008) menggunakan metode MSVAR (Markov-Switching VAR), sedangkan Francia dan Garcia (2005), Gambetti dan Pappa (2009) dan Yogi (2009) menggunakan metode VAR. Selain itu, digunakan metode GMM (Generalized Method of Moments) oleh Torres dan Saridakis (2007).

(18)

Secara garis besar, penelitian terdahulu menunjukan bahwa terdapat perbedaan kinerja kebijakan inflation targeting di negara yang berbeda. Pada negara India penerapan inflation targeting sudah konsisten. Hal ini ditunjukan oleh lebih responsifnya variabel makroekonomi terhadap guncangan pada kebijakan inflation targeting dibandingkan dengan multiple objectives. Sama

halnya dengan negara Mexico yang sudah cukup berhasil dalam

mengimplementasikan inflation targeting dimana suku bunga direspon secara baik dan dapat berpengaruh terhadap ekspektasi inflasi. Namun, berdasarkan penelitian terdahulu permasalahan yang dihadapi oleh emerging countries termasuk di Meksiko dan Indonesia adalah masih besarnya pengaruh nilai tukar terhadap inflasi atau dengan kata lain melakukan pentargetan nilai tukar dengan menggunakan instrumen utama suku bunga (fear of floating). Pada negara maju seperti Kanada, Swedia dan Inggris penerapan inflation targeting memberikan dampak yang positif pagi kestabilan kondisi perekonomian khususnya pencapaian tingkat inflasi yang stabil dan rendah. Penelitian terdahulu juga menunjukan bahwa secara umum penerapan inflation targeting cenderung lebih berhasil diimplementasikan pada kelompok negara high income dibandingkan dengan kelompok negara low income.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu analisis efektivitas kebijakan inflation targeting framework di Indonesia dilakukan dengan cara membandingkan efektivitas kebijakan multiple objectives dengan kebijakan

inflation targeting dalam mencapai target inflasi. Masing-masing kebijakan moneter tersebut dimodelkan dengan menggunakan sasaran operasional yang berbeda yaitu dengan menggunakan base money (M0) dan money market rate atau suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank). Dari empat model yang dilakukan, akan dianalisis kebijakan moneter yang paling efektif untuk diterapkan di Indonesia.

Pada penelitian ini variabel yang digunakan yaitu harga minyak dunia, fed fund rate, inflasi, output, nilai tukar, harga minyak dunia, base money (M0), suku bunga PUAB, jumlah kredit bank dan broad money (M2). Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa data bulanan. Periode yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu dari Januari 2003 hingga Desember 2012. Selain itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode SVAR (Structural Vector Autoregression).

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini berawal dari sebuah pemikiran tentang adanya penyimpangan yang signifikan antara target inflasi dan inflasi aktual pada implementasi inflation targeting framework di Indonesia. Penetapan target inflasi seharusnya diikuti oleh inflasi akual pada masa yang akan datang. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Bank Indonesia sudah sepenuhnya konsisten dalam pencapaian stabilitas rupiah melalui target inflasi atau belum. Dalam penelitian ini akan dilakukan evaluasi penerapan inflation targeting melalui analisis perbandingan kebijakan

(19)

uji Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Secara garis besar, kerangka pemikiran dari penelitian ini tersaji dalam Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari CEIC, International Financial Statistic (IFS) yang diakses melalui situs International Monetary Fund (IMF), The FED, Energy Information Administration dan Bank Indonesia (BI).

Data yang digunakan dikategorikan menjadi foreign variables yang terdiri dari West Texas Intermediate Spot Price sebagai proksi dari oil price dan the federal funds rate sebagai proksi dari suku bunga luar negeri serta domestic variables yang terdiri dari Consumer Price Index (CPI) sebagai proksi dari inflasi,

Industrial Production Index (IPI) sebagai proksi dari output, Real Effective Exchange Rate, base money (M0) dan suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank) sebagai proksi dari sasaran operasional, total kredit bank dan broad money

(M2).

Data time series yang digunakan adalah data bulanan dengan sampel waktu Januari 2003 sampai dengan Desember 2013. Untuk memudahkan analisis dan mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan konsisten, semua data ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural kecuali data untuk suku bunga

Uji Non-Stasioneritas

Uji Kausalitas Granger

Hasil Estimasi SVAR Uji Lag Optimal

SVAR Penerapan “Inflation

Targeting Framework” sejak tahun 2005 di Indonesia

Terdapat gap antara inflasi aktual dengan target inflasi

Perbandingan kinerja kebijakan multiple indicator objectives

(multiple target) dengan

inflation targeting (single target)

IRF & FEVD

Perbandingan kebijakan

inflation targeting dengan sasaran operasional base money

(M0) atau suku bunga

(20)

serta data berbentuk indeks diubah menjadi tahun dasar 2007 untuk Consumer Price Index (CPI) dan tahun dasar 2010 untuk Industrial Production Index (IPI).

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Dalam menganalisis perbandingan antara efektivitas kebijakan multiple objectives (multiple target) dengan inflation targeting (single target) melalui sasaran operasional base money (M0) dan suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank) di Indonesia akan dianalisis dengan menggunakan metode SVAR (Structural Vector Auto Regression). Kemudian, untuk menganalisis perbandingan efektivitas sasaran operasional yang digunakan akan dianalisis menggunakan Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian adalah

Microsoft Excel 2007 untuk mengelompokkan data dan selanjutnya diolah menggunakan program Eviews 6.

Metode Structural Vector Auto Regression (SVAR)

Pendekatan model Vector Auto Regression (VAR) yang dipopulerkan oleh Sims (1980), sudah menjadi suatu pendekatan yang penting dalam studi makroekonomi empiris dewasa ini. Metode VAR merupakan salah satu bentuk model ekonometrika yang biasanya digunakan untuk peramalan dan menganalisis suatu kebijakan. Pemodelan Vector Autoregression (VAR) adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk menganalisis multivariate time series yang pada umumnya digunakan pada data makroekonomi sebagai alternatif dari persamaan simultan (Lütkepohl, 2005). VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linear dari konstanta dan nilai lag

(lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Pemisahan variabel eksogen dan endogen dalam VAR diabaikan dan menganggap bahwa semua variabel yang digunakan dalam analisis berpotensi menjadi variabel endogen.

Berdasarkan Firdaus (2011), spesifikasi model VAR sesuai dengan kriteria Sim (1980) meliputi pemilihan variabel yang sesuai dengan teori ekonomi yang relevan dan sesuai dengan pemilihan lag yang digunakan dalam model. Dalam pemilihan selang optimal yang dipakai dapat memanfaatkan kriteria informasi seperti Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Infrmation Criterion (SC) maupun Hannan-Quinn Criterion (HQ). Model VAR dikembangkan sebagai solusi atas kritikan terhadap model persamaan simultan, yaitu:

1. Spesifikasi dari sistem persamaan simultan terlalu berdasarkan pada agregasi dari model keseimbangan parsial, tanpa memperhatikan pada hasil hubungan yang hilang (omitted interrelation).

2. Struktur dinamis pada model seringkali dispesifikasikan dengan tujuan untuk memberikan restriksi yang dibutuhkan dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural.

(21)

membuat semua variabel berpotensi menjadi variabel endogen. Dalam kerangka VAR, setiap variabel baik dalam level maupun first difference, diperlakukan secara simetris di dalam persamaan yang mengandung regressor set yang sama.

Structural Vector Auto Regression (SVAR) merupakan pengembangan dari analisis Vector Auto Regression (VAR). Analisis Structural Vector Autoregression (SVAR) dianggap sebagai jembatan antara teori ekonomi dengan

multiple time series analysis, sehingga konsekuensinya, metode ini seringkali harus berhubungan dengan suatu analisis guncangan (analysis of disturbances).

Dalam metode VAR, tidak dibuat suatu restriksi teoritis (atheoretic restriction) tertentu berdasarkan teori ekonomi yang relevan pada variabel yang digunakan dalam analisis, sedangkan dalam SVAR dibuat suatu restriksi berdasarkan teori ekonomi yang relevan dimana restriksi tersebut berdasarkan hubungan yang kuat akan skema (peta hubungan) bentuk urutan (ordering) variabel-variabel yang digunakan dalam sistem VAR. Oleh karena itu, SVAR juga dikenal sebagai bentuk VAR yang teoritis (theoritical VAR).

Dalam analisis VAR, interaksi dinamis antar variabel biasanya dianalisis dengan menggunakan impulse response atau forecast error variance decompositions. Untuk mengidentifikasi guncangan tersebut dalam suatu sistem biasanya memerlukan asumsi dari teori yang relevan karena proses identifikasi ini tidak dapat didiperiksa melalui alat analisis statistik. Oleh karena itu, model SVAR dikembangkan sebagai suatu kerangka kerja untuk mengidentifikasi restriksi bagi guncangan yang akan diselesaikan dalam analisis impulse response

(Lütkepohl, 2005).

Spesifikasi model SVAR yang digunakan dalam penelitian ini, untuk kebijakan moneter dengan sasaran operasional base money (M0) atau suku bunga PUAB, yaitu:

Persamaan SVAR untuk model diatas dapat diringkas menurut Zivot (2000) adalah sebagai berikut:

Byt = 0 + Γ1 yt-1 + εt (2)

dimana:

B = matriks n*n yang mengandung parameter struktural dari variabel endogen,

yt = vektor variabel endogen (harga minyak dunia (OIL), fed fund rate

(FFR), inflasi (INF), output (Y), nilai tukar rupiah (REER), monetary policy instrument (MPI): base money (M0) atau suku bunga PUAB (MMR),total kredit bank (GBC) dan broad money (M2))

0 = intersep,

B yt 0 Γ1 yt-1 εt

(22)

Γ1 = matriks polinomial (finite order matrix) dengan lag operator 1,

yt-1 = vektor auto regressive dengan lag operator 1, εt = vektor white noise.

Persamaan (2) memiliki masalah dalam representasi. Hal tersebut dikarenakan koefisien dari matriks adalah tidak diketahui dan setiap variabel memiliki efek kontemporer (contemporaneous effect) sehingga tidak mungkin untuk menentukan nilai parameter dalam model tersebut dan model tersebut tidak dapat diidentifikasi secara penuh. Oleh karena itu, persamaan (2) memungkinkan untuk ditransformasikan kedalam persamaan reduced-form (McCoy, 1997). Persamaan reduced-form yang terbentuk dapat merepresentasikan sebuah bentuk

Vector Moving Average (VMA), dimana persamaan ini dapat digunakan untuk menghilangkan korelasi antar error yang terjadi dalam model estimasi VAR. Menurut Zivot (2000), persamaan matematis VMA dapat dilihat sebagai berikut:

t t t t t u y A a B y B B y             1 1 0 1 1 1 1 0

1 

(3)

Sistem pada persamaan (3) disebut sebagai model standar VAR. Error term

(ut) adalah kombinasi linear dari eror struktural (εt), dimana error term tersebut

memiliki nilai rata-rata (mean) nol dan nilai kovarian yang konstan.

Pada model SVAR, Choleski Factorization (Ω) dari matriks Σ dapat merepresentasikan perpindahan dari non-orthogonal VMA ke orthogonal VMA (Amisano dan Gianini dalam Sitaresmi 2006). Matrix ∑ adalah varian/kovarian dari residual (ut) dari sistem VAR standar, dimana persamaan matematis matrix ∑

menurut Zivot (2000):

         ' 1 1 1 1 ' ' DB B B E B u u

E t t

t

t

Model Restriksi SVAR

Model restriksi yang digunakan adalam penelitian ini diadopsi dari model A. Mishra dan V. Mishra (2010), dengan diasumsikan bahwa model ini digunakan untuk emerging countries yang mengadopsi kebijakan inflation targeting framework. Pada model ini kebijakan moneter dibagi menjadi dua, yaitu: multiple objectives (multiple target) dan inflation targeting (single target) dengan sasaran operasional base money (M0) atau suku bunga PUAB. Kelebihan model ini yaitu dapat melihat efek yang ditimbulkan dari shock sasaran operasional terhadap variabel makroekonomi yang relevan pada dua kebijakan moneter yang berbeda di Indonesia.

(23)

=

Model restriksi SVAR yang digunakan untuk melihat dampak guncangan sasaran operasional pada kasus inflation targeting adalahsebagai berikut:

=

B e m ε dimana :

bij = elemen dari B,

ej = error term dari guncangan orthogonal (dengan j= harga minyak dunia (OIL), fed fund rate (FFR), inflasi (INF), output (Y), nilai tukar rupiah (REER), monetary policy instrument (MPI): base money (M0) atau suku bunga PUAB (MMR), total kredit bank (GBC) dan broad money

(M2)),

mij = cholesky restrictions,

j

= vektor guncangan orthogonal.

Adapun bentuk persamaan SVAR berdasarkan lag optimal yang telah terbentuk dari sistem persaman VAR untuk model multiple objectives yang dipengaruhi oleh shock M0 dan suku bunga PUAB, yaitu:

                      1 1 i 1 -t 1 -t 1 1 i 1 1 1 i i 1 1 1 i i 1 1 1 i 1 1 1 i GM0 REER i i t t t i t i

t OIL FFR INF Y

m t 1 1 i 1 1 1 i i 1

i 2 

       

GBCt GM t

                      1 1 i 1 -t 1 -t 1 1 i 1 1 1 i i 1 1 1 i i 1 1 1 i 1 1 1 i MMR REER i i t t t i t i

t OIL FFR INF Y

m t 1 1 i 1 1 1 i i 1

i 2 

       

GBCt GM t

B e m ε

(4)

(24)

Persamaan SVAR berdasarkan lag optimal yang telah terbentuk dari sistem persaman VAR untuk model inflation targeting case yang dipengaruhi oleh shock

M0 dan shock suku bunga PUAB, yaitu:

                        1 1 i t 1 1 i 1 1 1 i i 1 i 1 -t 1 1 1 i i 1 1 1 i 1 1 1 i 2 GM0

i t t

t t

i t

i

t OIL FFR INF GBC GM

m

                        1 1 i t 1 1 i 1 1 1 i i 1 i 1 -t 1 1 1 i i 1 1 1 i 1 1 1 i 2 MMR

i t t

t t

i t

i

t OIL FFR INF GBC GM

m

dimana: 

 parameter dalam bentuk matriks polinomial (finite order matrix) dengan lag operator i

mt = variabel analisis, terdiri dari harga minyak dunia (OIL), federal funds rate (FFR), inflasi (INF), output (Y), nilai tukar rupiah (REER), base money (GM0), suku bunga PUAB atau money market rate (MMR), total kredit bank (GBC) dan broad money (GM2)

Pengujian Pra Estimasi

Uji Stasioneritas Data

Hal penting yang berkaitan dengan penelitian yang menggunakan data time series adalah stasioneritas. Menurut Gujarati (2007), data yang stasioner yaitu jika data tersebut memiliki mean dan varians yang bernilai konstan dari waktu ke waktu. Pengujian ini sangat penting karena data time series pada umumnya mengandung akar unit (unit root) dan nilai rata-rata serta variansnya berubah sepanjang waktu. Selain itu jika kita meregresikan satu deret berkala nonstasioner terhadap deret berkala nonstasioner lainnya maka akan menyebabkan fenomena regresi palsu (spurious regression).

Salah satu cara untuk mengukur keberadaan stasioneritas adalah dengan

Augmented Dicky – Fuller (ADF) Test. Jika nilai ADF statistik lebih kecil dari

critical value maka dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner. Hasil series

stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar, sementara series yang tidak stasioner harus dilanjutkan pada tahap pengujian selanjutnya yaitu pada ordo satu dan akan berimplikasi pada penggunaan VECM.

Penetapan Lag Optimal

(25)

Pengujian lag optimal dapat ditetapkan dengan beberapa kriteria, antara lain

Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC),

Hannan-Quinn Information Criterion (HQ), dan Likelihood Ratio (LR). Pengujian

lag yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada uji AIC.

Impulse Response Function (IRF)

VAR merupakan metode yang akan menentukan sendiri struktur dinamisnya dari suatu model. Setelah melakukan uji VAR, diperlukan adanya metode yang dapat mencirikan struktur dinamis yang dihasilkan oleh VAR secara jelas. IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap shock dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF dapat juga mengidentifikasikan suatu shock pada satu variabel endogen sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan yang tidak diharapkan dalam variabel mempengaruhi variabel lainnya sepanjang waktu.

Dengan demikian, IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky dilakukan dengan catatan variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap varaibel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lain sedangkan variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang, kemudian variabel lainnya diletakkan diantara kedua variabel tersebut berdasarkan nilai matriks korelasi yang menyatakan tingkat korelasi paling besar.

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya adalah FEVD. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam model VAR. Dimana dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang.

FEVD merinci ragam dari peramalan galat menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Dengan menghitung persentase kuadrat prediksi galat k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain maka akan dapat dilihat seberapa besar perbedaan antara error variance sebelum dan sesudah terjadinya

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara ringkas hasil uji pra-estimasi dapat dijelaskan sebagai berikut, uji stasioneritas menunjukan hampir seluruh variabel yang digunakan pada penelitian ini tidak stasioner pada level kecuali untuk variabel suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank) yang stasioner pada level untuk tingkat kritis 5%. Oleh karena data untuk delapan variabel lainnya tidak stasioner maka perlu dilanjutkan pada uji stasioneritas pada first difference dimana hasil uji menunjukan seluruh variabel stasioner pada first difference. Karena data yang digunakan dalam analisis VAR diharuskan stasioner pada level maka penelitian ini menggunakan data first difference yang kemudian diolah dengan menggunakan metode SVAR.

Berdasarkan hasil uji lag optimal, baik pada kasus multiple objectives

maupun inflation targeting dengan sasaran operasional base money maupun suku bunga PUAB, jumlah lag yang optimal dalam penelitian ini didasarkan pada nilai

Akaike Information Criterion (AIC) yang terkecil atau minimum yaitu optimal pada lag satu. Kemudian hasil uji stabilitas VAR menunjukan bahwa sistem VAR yang digunakan adalah bersifat stabil. Hal tersebut dapat dibuktikan dari 8 root

yang diuji pada model multiple objectives dan model inflation targeting yang dipengaruhi oleh shock M0 memiliki modulus dari seluruh roots of characteristic polynomial dengan kisaran 0.69-0.15, sementara itu pada model multiple objectives dan model inflation targeting yang dipengaruhi shock suku bunga PUAB dari 8 root yang diuji menghasilkan modulus dengan kisaran 0.69-0.016. Secara lengkap hasil uji pra-estimasi disajikan pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 5.

Uji Kausalitas Granger

Uji Kausalitas Granger digunakan untuk melihat hubungan kausalitas antara variabel yang diestimasi. Secara ringkas hasil Uji Kausalitas Granger dapat dijelaskan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Uji Kausalitas Granger Sasaran Operasional

Base Money (M0) Suku Bunga PUAB

OIL

FFR -

INF

Y

REER -

GBC -

M2 -

Keterangan:

1 Sample period 2003-2012; M0 = base money; MMR = suku bunga PUAB; OIL = harga minyak

dunia; FFR = fed fund rate; INF = inflasi; Y = output; REER = nilai tukar rupiah; GBC = total kredit bank; M2 = broad money

2 “↔” menunjukkan bahwa ada hubungan kausalitas dua arah

“→” dan “←” menunjukkan ada hubungan kausalitas searah dari variabel makroekonomi (variabel sasaran operasional) ke variabel sasaran operasional (variabel makroekonomi)

(27)

Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah pada variabel base money sebagai sasaran operasional dengan variabel inflasi, nilai tukar rupiah, total kredit bank dan broad money (M2). Di sisi lain, terdapat hubungan kausalitas dua arah pada variabel suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional dengan variabel output. Sedangkan pada variabel suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional, variabel inflasi berpengaruh signifikan terhadap suku bunga PUAB tetapi tidak berlaku sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa variabel base money merupakan sasaran operasional yang lebih baik dalam mempengaruhi variabel-variabel makroekonomi yang digunakan dalam estimasi khususnya variabel inflasi dibandingkan dengan suku bunga PUAB.

Hasil Penelitian

Model SVAR (Structural Vector Autoregession) pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis perbandingan efektivitas kebijakan multiple objectives dengan kebijakan inflation targeting di Indonesia. Masing-masing kebijakan moneter tersebut dimodelkan dengan menggunakan sasaran operasional yang berbeda yaitu dengan menggunakan base money (M0) dan money market rate atau suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank). Merujuk pada penelitian terdahulu (A. Mishra dan V. Mishra, 2010), kebijakan dengan multiple objectives

menetapkan target sasaran operasionalnya setelah melihat pengaruh inflasi, output dan nilai tukar pada waktu tertentu. Berbeda halnya dengan kebijakan inflation targeting, target sasaran operasional ditetapkan setelah hanya melihat pengaruh inflasi pada waktu tertentu.

Perbandingan efektivitas kebijakan multiple objectives dengan kebijakan

inflation targeting di Indonesia dapat dianalisis melalui hasil estimasi SVAR yang diringkas pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Hasil Estimasi SVAR: Pengaruh Guncangan Sasaran Operasional

(1) (2) (3) (4)

OIL -0.000189 8.12E-05 4.804859*** 5.000278***

FFR 0.102276 *** 0.110332*** -1.03666 -1.178537

INF 1.361884 ** 1.993761*** 15.77989 1.107515

Y -0.156512 * 0 8.257487*** 0

REER 0.511110 *** 0 -5.043118 0

M0 0.047235 *** 0.048747*** - -

MMR - - 1.170804*** 1.232045***

GBC 0 0 0 0

M2 0 0 0 0

Keterangan:

1. (1): Persamaan Monetary Policy Instrument (MPI) untuk Multiple Objectives: MPI=M0 (2): Persamaan Monetary Policy Instrument (MPI) untuk Inflation Targeting: MPI=M0 (3): Persamaan Monetary Policy Instrument (MPI) untuk Multiple Objectives: MPI=MMR (4): Persamaan Monetary Policy Instrument (MPI) untuk Inflation Targeting: MPI=MMR 2. *** = signifikan pada taraf 1%; ** = signifikan pada taraf 5%; * = signifikan pada taraf in

(28)

Hasil estimasi SVAR menunjukkan kebijakan inflation targeting baik yang menggunakan base money ataupun suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional cenderung lebih responsif terhadap perubahan variabel makroekonomi yang digunakan pada penelitian ini dibandingkan dengan kebijakan multiple objectives. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien pada persamaan monetary policy instrument atau sasaran operasional (baik base money maupun suku bunga PUAB) yang relatif lebih besar pada kebijakan inflation targeting dibandingkan dengan kebijakan multiple objectives.

Hasil estimasi ini sesuai dengan semakin tingginya tingkat independensi Bank Indonesia dalam merespon shock pada kebijakan inflation targeting.

Sebagaimana salah satu pra-kondisi yang harus tercapai dalam menerapkan kebijakan inflation targeting adalah independensi atau kebebasan dalam menentukan instrumen kebijakan moneter yang akan digunakan oleh Bank Indonesia. Pada kebijakan inflation targeting, Bank Indonesia lebih responsif terhadap guncangan variabel makroekonomi yang dapat mempengaruhi inflasi aktual pada masa yang akan datang. Perubahan dari multiple target menjadi single target juga menjadi salah satu alasan lebih fokusnya Bank Indonesia dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kebijakan inflation targeting terbukti lebih baik diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan kebijakan multiple objectives.

Analisis selanjutnya yaitu mengenai evaluasi perbandingan kinerja kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional base money (M0) dengan kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional suku bunga PUAB. Hasil estimasi menunjukan bahwa variabel base money berpengaruh signifikan terhadap variabel inflasi pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional

base money, sedangkan pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional suku bunga PUAB variabel money market rate (suku bunga PUAB) justru tidak signifikan terhadap variabel inflasi. Hal ini tidak sejalan dengan kebijakan moneter yang sedang diterapkan di Indonesia pada saat ini, dimana

Bank Indonesia menerapkan Inflation Targeting Framework dengan

menggunakan suku bunga PUAB sebagai sasaran operasionalnya.

Berdasarkan hasil estimasi pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional base money, variabel M0 berpengaruh secara signifikan terhadap variabel inflasi. Pengaruh base money dengan inflasi sesuai dengan teori ekonomi dimana jika jumlah uang beredar meningkat maka semakin tinggi permintaan masyarakat akan uang yang pada akhirnya akan menyebabkan inflasi (demand pull inflation). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Bank Indonesia seharusnya lebih fokus kepada pengendalian base money (M0) dibandingkan dengan suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional dalam mencapai sasaran akhir yaitu target inflasi.

(29)

Tercapai atau tidaknya sasaran akhir dalam suatu kebijakan moneter ditentukan oleh seberapa baik sasaran operasional dapat direspon dalam suatu transmisi kebijakan moneter. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Putri (2009), Indonesia mengalami fenomena incomplete pass-through pada variabel suku bunga dimana suku bunga bank sentral yang ditransmisikan pada suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan tidak ditransmisikan secara penuh sampai pada perekonomian. Hal ini ditunjukan oleh besaran derajat pass-through terhadap tingkat harga dan pendapatan nasional yang relatif kecil yaitu lebih kecil dari satu persen di ASEAN+3 termasuk Indonesia, yang berarti bahwa perubahan kebijakan moneter melalui jalur suku bunga tidak terlalu direspon dan belum cukup efektif dalam mempengaruhi perekonomian. Selain itu, jika dilihat dari kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) suku bunga official terhadap suku bunga deposito, suku bunga kredit, IHK dan GDP, Indonesia memiliki speed

yang paling lambat diantara negara ASEAN+3 lainnya. Hal ini menunjukkan perbankan di Indonesia tidak responsif terhadap suku bunga official.

Berdasarkan Gigineishvili (2011), negara maju memiliki nilai pass-through

yang lebih kuat dikarenakan struktur finansial yang lebih stabil sehingga dapat membuat suku bunga berfungsi lebih baik dalam memberikan sinyal transmisi kebijakan moneter. Sebaliknya pada negara berkembang seperti Indonesia, nilai

pass-through pada umumnya lemah sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk memperbaiki struktur finansial dan memperkuat transmisi kebijakannya. Sehingga kebijakan moneter yang bergantung pada kekuatan interest rate pass-through

seperti inflation targeting misalnya, tidak akan optimal diterapkan pada negara yang memiliki derajat pass-through yang lemah seperti Indonesia. Oleh karena itu, akan lebih baik jika Bank Indonesia merubah sasaran operasionalnya dengan

mengadopsi kerangka kebijakan moneter yang menggunakan monetary

aggregates atau nilai tukar sebagai sasaran operasionalnya.

Di sisi lain pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasioal suku bunga PUAB, variabel nilai tukar memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menjelaskan perubahan tingkat inflasi dibandingkan pada kebijakan

inflation targeting dengan sasaran operasional base money (M0). Hal ini sesuai dengan kebijakan nilai tukar yang memang dilakukan oleh Bank Indonesia pada periode penerapan kebijakan inflation targeting framework yang bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Penerapan kebijakan nilai tukar dilatarbelakangi oleh besarnya pengaruh nilai tukar terhadap harga-harga domestik (exchange rate pass through) yang pada akhirnya dapat mempengaruhi tingkat inflasi aktual. Padahal seharusya penerapan kebijakan inflation targeting framework menganut sistem nilai tukar mengambang bebas dimana nilai tukar dibiarkan berfluktuasi secara bebas. Pada kenyataannya, banyak negara emerging markets termasuk Indonesia, enggan untuk membiarkan nilai tukar bergerak secara penuh meskipun telah mengadopsi inflation targeting framework atau sering disebut dengan istilah

“fear of floating”. Fakta inilah yang dapat menguatkan bahwa masih belum efektifnya penerapan kebijakan inflation targeting framework di Indonesia sehingga seringkali inflasi aktual berada diluar target inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(30)

mencapai sasaran akhir yang telah ditargetkan oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, tahapan analisis selanjutnya yang akan digunakan adalah perbandingan

Impulse Respons Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition

(FEVD) pada kebijakan moneter pure inflation targeting dengan sasaran operasional yang berbeda yaitu base money (M0) dan suku bunga PUAB.

Impulse Response Function

Analisis IRF akan menjelaskan dampak dari guncangan (shock) pada satu variabel terhadap variabel lain, dimana dalam analisis ini tidak hanya dalam waktu pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon kedepan sebagai infomasi jangka panjang. Pada analisis ini dapat melihat respon dinamika jangka panjang setiap variabel apabila ada inovasi (shock) tertentu sebesar satu standar error pada setiap persamaan. Sumbu horisontal merupakan periode dalam kuartal, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan nilai respon dalam persentase.

Dalam analisis ini menggunakan dua model yaitu model inflation targeting

dengan sasaran operasional base money (M0) dan model inflation targeting

dengan sasaran operasional suku bunga PUAB. Pada model inflation targeting

dengan sasaran operasional base money (M0) akan melihat pengaruh guncangan

base money (M0) tehadap variabel inflasi, output, nilai tukar rupiah, total kredit bank dan broad money (M2). Sedangkan, pada model inflation targeting dengan sasaran operasional suku bunga PUAB akan melihat pengaruh guncangan suku bunga PUAB terhadap variabel inflasi, output, nilai tukar rupiah, total kredit bank dan broad money (M2).

Hasil IRF secara garis besar menunjukan bahwa pada kebijakan inflation targeting baik yang menggunakan sasaran operasional base money (M0) maupun suku bunga PUAB, variabel nilai tukar memberikan respon terbesar terhadap guncangan monetary policy instrument. Hal ini menunjukkan bahwa peran nilai tukar relatif lebih besar dalam merespon guncangan pada base money (M0) dan suku bunga PUAB. Besarnya respon nilai tukar menunjukkan Bank Indonesia masih harus fokus kepada pengendalikan nilai tukar untuk dapat mencapai stabilitas nilai rupiah.

Model Inflation Targeting dengan Sasaran Operasioal Base Money (M0)

Gambar 3 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi pada

base money (M0) pada bulan pertama akan mengakibatkan peningkatan total kredit bank sebesar 0.48 persen dan peningkatan jumlah broad money (M2) sebesar 0.9 persen, sedangkan guncangan base money (M0) pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi, nilai tukar dan ouput. Pada bulan kedua gucangan

base money (M0) baru akan direspon oleh inflasi, output dan nilai tukar rupiah yang mengakibatkan peningkatan inflasi sebesar 0.2 persen, peningkatan output sebesar 0.1 persen dan peningkatan real effective exchange rate sebesar 0.5 persen.

Selanjutnya, pada bulan ketiga hingga bulan ke-18 gucangan base money

(31)

keempat hingga ke-16 guncangan base money direspon oleh fluktuasi pada output, hingga pada bulan ke-17 pengaruh guncangan base money terhadap output terus mengalami penurunan dan mulai konvergen hingga bulan ke-25. Sedangkan pengaruh guncangan base money terhadap nilai tukar rupiah direspon oleh depresiasi nilai tukar pada bulan ketiga dan keempat sebesar 0.97 persen, kemudian mengalami fluktuasi hingga bulan ke-18 dan mulai konvergen hingga bulan ke-25.

Gambar 3 Respon Dinamis Variabel Makroekonomi terhadap Shock M0 dalam

Inflation Targeting

[image:31.595.112.500.202.663.2]
(32)

pada bulan kedua dan ketiga. Selanjutnya pengaruh guncangan base money

terhadap jumlah total kredit bank dan jumlah total broad money mengalami fluktuasi hingga bulan ke-16 dan bulan ke-22.

Model Inflation Targeting dengan dengan Sasaran Operasioal Suku Bunga

[image:32.595.90.478.173.765.2]

PUAB

Gambar 4 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi pada MMR pada bulan pertama akan mengakibatkan penurunan total kredit bank sebesar 0.07 persen dan penurunan jumlah broad money (M2) sebesar 0.2 persen, sedangkan guncangan MMR pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi, nilai tukar dan ouput.

Gambar 4 Respon Dinamis Variabel Makroekonomi terhadap Shock MMR dalam

Inflation Targeting

(33)

Selanjutnya, pada bulan ketiga hingga bulan keenam gucangan MMR direspon oleh inflasi dengan terus-menerus berfluktuasi. Hingga pada bulan ketujuh pengaruh guncangan MMR terhadap inflasi semakin berkurang dan mulai konvergen hingga bulan ke-25. Pengaruh guncangan MMR pada output direspon oleh peningkatan sebesar 1.5 persen di bulan ketiga, hingga bulan kelima guncangan MMR direspon oleh penurunan output yang semakin lama semakin kovergen hingga pada bulan ke-25.

Sedangkan, pengaruh guncangan MMR terhadap nilai tukar rupiah masih direspon oleh penurunan real effective exchange rate pada bulan ketiga, kemudian mengalami peningkatan real effective exchange rate pada bulan keempat sebesar 0.06 persen. Pada bulan kelima kembali mengalami penurunan dan mulai konvergen hingga bulan ke-25. Pengaruh guncangan MMR direspon oleh peningkatan jumlah kredit bank dan peningkatan jumlah broad money masing-masing sebesar 0.1 persen pada bulan ketiga. Selanjutnya, pengaruh guncangan MMR terhadap jumlah total kredit bank mengalami fluktuasi hingga bulan kesembilan, kemudian pada bulan kesepuluh kembali mengalami peningkatan dan mulai konvergen hingga bulan ke-25. Sedangkan, pengaruh guncangan MMR terhadap jumlah broad money kemudian mengalami fluktuasi hingga bulan ke-16 dan mulai konvergen hingga bulan ke-25.

Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Fluktuasi setiap variabel akibat terjadinya suatu guncangan (shock) dapat dilakukan dengan menganalisis peranan setiap guncangan dalam menjelaskan fluktuasi variabel-variabel makroekonomi melalui analisis FEVD atau disebut juga sebagai analisis dekomposisi varians, dimana dalam analisis ini kontribusi dari guncangan variabel dalam sistem terhadap perubahan variabel tertentu dapat diketahui.

Berdasarkan hasil FEVD secara keseluruhan menunjukkan bahwa dalam jangka pendek variabel base money memberikan proporsi yang relatif lebih tinggi setelah variabel inflasi itu sendiri dibandingkan dengan variabel makroekonomi lainnya dalam menjelaskan variabilitas inflasi pada kebijakan pure inflation targeting dengan sasaran operasional base money (M0). Kemudian, pada kebijakan ini variabilitas output dijelaskan oleh variabel output itu setelah variabel inflasi itu sendiri. Pada variabilitas nilai tukar rupiah dijelaskan oleh variabel fed fund rate setelah variabel nilai tukar itu sendiri. Sedangkan, pada kebijakan

inflation targeting dengan sasaran operasional suku bunga PUAB, variabilitas inflasi dijelaskan oleh M2, total kredit bank dan suku bunga PUAB setelah variabel inflasi itu sendiri. Kemudian, pada kebijakan ini variabilitas output dijelaskan oleh variabel suku bunga PUAB dan variabel inflasi setelah variabel output itu sendiri. Selanjutnya variabilitas nilai tukar rupiah dijelaskan oleh variabel inflasi dan fed fund rate setelah variabel nilai tukar itu sendiri.

Analisis Perbandingan Dekomposisi Varian Inflasi dalam Inflation Targeting

dengan Sasaran Operasional Base Money (M0) dan Suku Bunga PUAB

(34)

oleh dirinya sendiri sebesar 99.7 persen, fed fund rate sebesar 0.2 pesen dan harga minyak dunia sebesar 0.009 persen. Kontribusi dari variabel lain mulai berperan pada bulan kedua, inflasi memberikan kontribusi sebesar 90.5 persen, base money

(M0) sebesar 7.3 persen, fed fund rate sebesar 0.55 persen, nilai tukar rupiah sebesar 0.54 persen, jumlah kredit bank sebesar 0.52 persen, broad money (M2) sebesar 0.44 persen, harga minyak dunia sebesar 0.067 persen dan output sebesar 0.006 persen.

Gambar 5 Dekomposisi Varians Inflasi pada Inflation Targeting dengan Sasaran Operasional Base Money (M0)

Pengaruh guncangan inflasi terhadap dirinya sendiri semakin menurun, sementara untuk variabel makroekonomi lainnya memberikan kontribusi yang semakin meningkat walaupun tidak sebesar kontribusi inflasi. Pada bulan ke-25, guncangan inflasi masih didominasi oleh dirinya sendiri dengan proporsi yang semakin mengecil yaitu menjadi sebesar 88.1 persen, base money (M0) sebesar 7.3 persen, nilai tukar rupiah sebesar 1.7 persen, jumlah kredit bank sebesar 1.2 persen, broad money (M2) sebesar 0.6 persen, fed fund rate sebesar 0.5 persen, harga minyak dunia sebesar 0.2 persen dan output sebesar 0.08 persen. Hasil

variance decomposition menunjukkan bahwa selama 25 bulan kedepan inflasi akan memberikan kontribusi terbesar dalam mempengaruhi inflasi itu sendiri. Kontribusi terbesar kedua yaitu base money (M0) yang berperan sebagai sasaran operasional dalam mencapai target inflasi. Hal ini menunjukkan transmisi moneter dengan menggunakan sasaran operasional base money (M0) pada kebijakan

inflation targeting framework dapat direspon oleh inflasi.

(35)

Gambar 6 Dekomposisi Varians Inflasi pada Inflation Targeting dengan Sasaran Operasional Suku Bunga PUAB

Tidak jauh berbeda dengan model sebelumnya, pada model ini pengaruh guncangan inflasi terhadap dirinya sendiri semakin menurun, sementara untuk variabel makroekonomi lainnya memberikan kontribusi yang semakin meningkat walaupun tidak sebesar kontribusi inflasi. Hanya saja besarnya proporsi untuk setiap variabel berbeda antara kedua model. Pada bulan keduapuluh lima, guncangan inflasi masih didominasi oleh dirinya sendiri dengan proporsi yang semakin mengecil yaitu menjadi sebesar 88.4 persen, jumlah kredit bank sebesar 3.5 persen, broad money (M2) sebesar 2.9 persen, suku bunga PUAB sebesar 2.8 persen, nilai tukar rupiah sebesar 1.2 persen, output sebesar 0.3 persen, harga minyak dunia sebesar 0.26 persen dan fed fund rate sebesar 0.24 persen. Hasil

variance decomposition menunjukkan bahwa selama 25 bulan kedepan inflasi akan memberikan kontribusi terbesar dalam mempengaruhi inflasi itu sendiri. Kontribusi terbesar berikutnya yaitu total kredit bank dan broad money (M2). Sedangkan, suku bunga PUAB hanya memberikan kontribusi sebesar 2.8 persen dibandingkan dengan kontribusi base money (M0) pada model sebelumnya sebesar 7.3 persen. Hal ini menunjukan sasaran operasional dengan menggunakan M0 lebih baik dibandingkan dengan suku bunga PUAB dalam mempengaruhi variabilitas inflasi pada kebijakan inflation targeting.

Analisis Perbandingan Dekomposisi Varian Output dalam Inflation

Targeting dengan Sasaran Operasional Base Money (M0) dan Suku Bunga PUAB

Analisis jangka pendek dekomposisi varian output pada kebijakan inflation targeting dengan sasaran operasional base money (M0) melalui simulasi FEVD disajikan dalam Gambar 7. Pengaruh guncangan output terhadap dirinya sendiri semakin menurun, begitu pula untuk variabel inflasi dan harga minyak dunia. Sementara, untuk variabel makroekonomi lainnya memberikan kontribusi yang semakin meningkat walaupun tidak sebesar kontribusi output.

Pada bulan ke-25, guncangan output masih didominasi oleh dirinya sendiri dengan proporsi yang semakin mengecil yaitu menjadi sebesar 85.79 persen, inflasi sebesar 8.6 pe

Gambar

Gambar 1 Perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi di Indonesia
Gambar 2 Kerangka Pemikiran
Tabel 1 Uji Kausalitas Granger
Gambar 3 Respon Dinamis Variabel Makroekonomi terhadap  Shock M0 dalam
+5

Referensi

Dokumen terkait

The precise mechanisms responsible for the fine balance between membrane-bound RAGE and its secreted/ cleaved soluble variant are currently unknown, and the elucidation of

Hasil: Uji antibakteri ekstrak oleoresin jahe merah jahe merah terhadap bakteri streptococcus pyogenes memperlihatkan bahwa zona hambat pada penelitian ini

Faktor pertama ini dicirikan oleh enam subfaktor yaitu dosen memberikan isi kuliah sesuai dengan slide yang ditampilkan, dosen memberikan pengalaman berwirausaha

Penelitian merupakan suatu proses pengkajian untuk membuktikan suatu kebenaran mengenai apa yang sedang diteliti. Metode penelitian yang tepat dan relevan sangat

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang

Dalam masyakarat yang secara prinsip pluralis, kerangka normatif terkait penambangan mangan yang mengikat kehidupan bersama harus berdasarkan pada kesepakatan bersama yang

Strategi yang diperoleh untuk meningkatkan pemasaran jamur tiram putih ( Pleurotus sp ) di daerah penelitian adalah strategi SO ( Strenghts ± Opportunities ) yaitu

Hal ini dapat dilihat dari rasio keuangan yang telah diperoleh dari perhitungan yang merupakan alat ukur suatu kinerja usaha, yang menunjukkan bahwa angka-angka