• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tambang Mangan dan Teori Kritis Jurgen H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tambang Mangan dan Teori Kritis Jurgen H"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Pertambangan Mangan

dalam Teori Kritis Jürgen Habermas

(Suatu Pembacaan Kritis)

oleh

Sintus Runesi

1.

Sekadar Masuk Persoalan

Kurang lebih ada tiga hal yang terkait dengan persoalan pertambangan di wilayah Nusa Tenggara Timur. Pertama, perubahan pola kerja rakyat kecil dengan ekonomi lemah. Bagi rakyat kecil, dengan kenyataan bahwa tanah yang selama ini mereka jejaki mengandung mangan, seolah menjadi solusi terbaik memperoleh segengam uang dengan cara yang sangat gampang. Pencermatan kontekstual di beberapa tempat menunjukkan bahwa, para petani kita pun beralih fungsi lahan. Lahan yang seharusnya menjadi tempat pertanian berubah menjadi lahan eksplorasi bahkan eksploitasi mangan.

Kedua, belum adanya PERDA mengenai pertambangan dan mineral, paling kurang sampai awal Oktober 2010 ini, seolah menjadi peluang terbaik para pemilik modal menggolkan kepentingan mereka. Karena mekanisme pasar yang fluktuatif, harga mangan di pasar local yang sangat kecil dibandingkan harganya di pasar internasional, seolah mendorong para pemilik modal untuk semakin membungakan bunga uangnya dengan masuk keluar kampung membeli mangan dengan harga yang sangat murah.

Ketiga, kurang cepatnya pemerintah menghasilkan PERDA tentang mangan seolah menunjukkan bahwa pemerintah kita kurang pro masyarakat kecil. Pada saat pemerintah berdebat soal salah tafsir berbagai regulasi seperti Perda Tambang no. 9 thn 2003 yang merujuk pada UU no. 11 thn 1967, justru tengkulak mangan beroperasi mengumpulkan mangan. Implementasi regulasi yang lebih berpihak pada pemilik modal seperti penerbitan IUP, seolah membenarkan sikap pemerintah yang tidak pro orang pinggiran.

Ketiga persoalan ini paling kurang telah melahirkan perbenturan kepentingan berbagai pihak. Bila dipetakan pihak-pihak yang bersoal, maka ada pihak yang mendukung pertambangan mangan, ada pihak yang menolak pertambangan, ada pula pihak yang mengambil keuntungan lewat hirup-pikuk persoalan mangan, dan rakyat biasanya terjebak dalam pusaran, antara keinginan memperoleh uang dan atau kesalahan karena dituduh mencuri mangan di tanah sendiri.

2.

Mulai dari mana?

Realitas actual dewasa ini ditandai dengan meningkatnya mobilitas sosial, kesadaran cultural yang lebih luas, dan globalisasi ekonomi. Ketiga gejala tersebut telah mengisolasi asumsi-asumsi tradisional tentang masyarakat dalam kerangkeng kecurigaan. Artinya asumsi-asumsi-asumsi-asumsi tradisional menjadi asumsi-asumsi yang patut dicurigai terkait dengan aplikasi praktisnya dalam menjawab kepentingan masyarakat yang telah beranjak meninggalkan karakter homogenitas menuju, dan berada dalam pusaran pluralitas. Pluralitas menjadi bagian dari sosialitas masyarakat yang condition sine qua non mesti diterima dan dijadikan bagian dari bangunan analisis dan konstruksi sosial.

(2)

yang terkait kategori-kategori dasariah manusia menjadi pertanyaan seiring terpinggirkannya aspek normatif transcendental manusia dan masyarakat. Pertanyaannya adalah adakah kerangka normatif yang menghargai pluralitas budaya, pluralitas kepentingan tanpa terjebak dalam pluralisme? Adakah kerangka normatif bersama yang mampu merangkum semua perbedaan tanpa kehilangan tujuan ultim kebersamaan yakni bonum commune semua pihak terutama orang-orang pinggiran.

Dalam konteks masyarakat Nusa Tenggara Timur, kita mengalami bahwa akhir-akhir ini disibukkan dengan persoalan pertambangan mangan. Pertambangan mangan dibicarakan di mana-mana, mulai dalam lingkup masyarakat biasa sampai pada lingkup pemerintah. Terjadi pembicaraan pada ranah tak ilmiah, quasi ilmiah maupun yang sangat ilmiah. Di media masa khususnya Pos Kupang turut merekam persoalan-persoalan seputar pertambangan mangan. Terhitung sejak 31 Agustus 2010 – 3 Oktober 2010, Pos Kupang sendiri menurunkan 17 berita terkait dengan mangan.

Persoalan mengenai mangan paling kurang melibatkan tiga poros utama penyangga masyarakat, yakni poros pasar, poros masyarakat umum, dan poros negara dalam hal ini pemerintah. Di antara ke tiga poros ini ada Kepolisian yang katanya mempunyai tugas pengamanan. Persoalan-persoalan ini mengakibatkan perbenturan berbagai pihak, yang berakibat tersisihnya orang-orang pinggiran dari dunia-hidup yang sering mengecewakan mereka. Maka pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah kerangka normatif manakah yang dapat memerikan validitas dan legitimasi demi kebaikan bersama masyarakat dengan kepentingan yang berbeda-beda terkait penambangan mangan? Bagaimanakah dunia-hidup yang sering mengecewakan, yang secara internal terpilah-pilah, dan yang terpluralisasi oleh berbagai kepentingan dapat secara sosial diintegrasikan, jika pada saat yang sama resiko pertikaian bertumbuh, khususnya dalam ruang komunikasi yang terputus dengan nilai-nilai tradisional?

3.

Habermas tentang Kepentingan

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini baiklah sejenak kita berpaling pada Jurgen Habermas yang mencoba membangun proyek normatifnya dengan basis Kantianisme dalam aliran Mashab Kritis Frankfrut. Dengan berdiri di atas realitas masyarakat modern Habermas menyajikan sebuah bangunan analisis yang diharapkan mampu menghantar masyarakat modern keluar dari penindasan sosial karena pengaruh tradisi pencerahan, terutama atas nama rasionalitas modern. Habermas memandang bahwa rasionalitas modern yang diperanakkan oleh pendekatan idealistic transcendental Kantian, melahirkan penindasan rangkap, pada ranah teori dan ranah praksis.

Habermas dalam bangunan teori kritisnya bertolak dari apa yang merupakan motor bagi manusia dalam usaha penentuan diri, pengkreasian diri demi melestarikan keberadaannya yang disebutnya sebagai kalimat basis dan merupakan persoalan basis. Bagi Habermas, persoalan basis itu adalah interesse (kepentingan), yang dalam pandangannya bersifat quasi-transendental. Disebut quasi karena dalam teorinya ada juga unsur-unsur aposteriorinya, yakni tergantung dari segi realitas. Sedangkan transendental karena terdapat dalam setiap manusia sebagai pribadi.

Habermas mengungkapkan bahwa kepentingan (interesse) merupakan orientasi dasar yang berakar pada kemampuan manusia dan menjadi sarana manusia mengembangkan dirinya. Untuk itu, Habermas mengungkapkan bahwa kepentingan selalu terkait erat dengan pengetahuan, media sosial, dan ilmu-ilmu. Ilmu-ilmu yang di dalamnya terkandung pengetahuan tentang suatu realitas harus bisa direalisasikan via media tertentu demi mencapai tujuan yang merupakan kepentingan pihak yang menggunakan ilmu terkait.

(3)

ilmu terkait dan penggunaannya dalam praksis. Yang pertama adalah lingkungan atau keperluan dasar yang mendorong manusia mengembangkan ilmu yang bersangkutan. Yang kedua menyangkut manfaat yang mau dicapai lewat ilmu tersebut. Habermas mengungkapkan bahwa kegunaan suatu ilmu secara hakiki berhubungan dengan lingkungannya. Lingkungan menentukan lingkup penggunaan ilmu yang bersangkutan.

Habermas membedakan tiga macam ilmu pengetahuan yaitu:

1. Ilmu pengetahuan yang terkait dengan kepentingan empiris-analitis. Ilmu-ilmu yang lahir dari dorongan untuk menguasai alam fisis yang bersifat nomologis deterministis. Media yang digunakan dalam ilmu-ilmu ini adalah pekerjaan. Kelompok ilmu ini mengorganisasikan pengalaman kita dalam rangka kebutuhan akan penguasaan alam. 2. Ilmu pengetahuan yang terkait dengan kepentingan historis-hermeneutis. Kelompok ilmu

ini berakar dalam dorongan manusia untuk memahami keunikan aktus manusia. Dan untuk mencapai makna tentang manusia, media yang pantas untuk digunakan ialah bahasa atau interaksi sosial. Yang mau dicapai lewat ilmu-ilmu ini adalah perluasan intersubjektivitas saling pengertian, atau komunikasi, menuju tindakan bersama.

3. Ilmu pengetahuan yang terkait dengan kepentingan kritis-refleksi. Kelompok ilmu ini berakar dari dorongan manusia membebaskan diri dari ideologi yang menindas, mencapai pembebasan atau emansipasi. Media yang digunakan adalah kekuasaan dalam hal ini hubungan asimetris antara paksaan dan ketergantungan. Melalui refleksi-refleksi kristis atas kondisi-kondisi historis manusia, diharapkan mampu membebaskan manusia dari penindasan-penindasan yang tak disadari.

Hal terpenting dari pembedaan atas ilmu-ilmu di atas menghantarnya pada refleksi yang lebih mendalam mengenai bahasa dan komunikasi sebagai prasyarat perwujudan pola kehidupan masyarakat yang emansipatoris.

Bahasa dan komunikasi yang menjadi prasyarat tersebut mampu teraktualisasi hanya dalam dunia-hidup. Dunia-hidup oleh Habermas dipahami sebagai wilayah hubungan manusia yang terbangun lewat komunikasi dengan bahasa tertentu. Dengan komunikasi yang bebas memungkinkan suatu rasionalisasi atas hidup manusia dalam dunia-hidup. Komunikasi yang bebas dan terbuka akan membawa partisipan dalam suatu consensus bersama yang diterima dan dipahami lewat pergulatan argumentasi partisipan.

Lewat proses argumentasi, di mana partisipan dalam suatu alur komunikasi yang imun terhadap tekanan dapat secara kritis mengkaji suatu klaim hipotetis atas validitas. Pengkajian itu melewati tiga tahap yaitu tahap logika, tahap proses dialektis dan tahap proses retoris. Proses pada logika menuntut seorang partisipan menyingkirkan kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya dengan pengungkapan makna yang konsisten. Pada tahap proses dialektis, seorang partisipan dituntut untuk memandang persoalan dari sudut pandang tertentu yang memungkinkan penilaian objektif terhadap masalah yang terjadi. Akhirnya dalam tahap yang ketiga, partisipan diandaikan bebas dari tekanan dan ketidaksetaraan. Melalui ketiga tahap ini partisipan yang terlibat dalam komunikasi tersebut mampu membaca persoalan kebenaran, keadilan dan rasa secara objektif, sosial dan subjektif. Dengan itu diharapkan seorang individu dalam konteks yang bersangkutan mencapai suatu perspektif yang bebas dari kepentingan subjektif tertentu.

4.

Bahasa dan Komunikasi

Dalam elaborasi lebih lanjut, Habermas membedakan antara pekerjaan dan komunikasi yang menghantarnya pada pembedaan antara kerangka institusionalisasi sebuah sistem sosial dan subsistem-subsistem tindakan rasional-sasaran yang termuat di dalamnya. Keduanya dibangun melalui tindakan sosial yang dapat bersifat komunikatif atau instrumental.

(4)

tindakan komunikatif. Yang pertama mengenai penguasaan atas dunia objek atau alam dengan sasarannya adalah hasil yang diinginkan. Tindakan rasional-sasaran ini masih dibagi lagi dalam dua yaitu tindakan instrumental yang terarah pada perbuatan terhadap alam dalam hal ini menyangkut pekerjaan dan tindakan strategic yang bertujuan memanipulasi manusia.

Tindakan komunikatif dibagi dalam dua bagian yakni komunikasi dan diskursus. Komunikasi dianggap sekadar pembicaraan spontan tanpa tujuan yang mau dicapai, atau dengan kata lain hanya sekadar berbicara mengisi waktu luang. Sedangkan diskursus merupakan pembicaraan yang bertujuan menemukan suatu jalan keluar secara benar atau betul dan pasti dari suatu persoalan yang dibicarakan dalam komunikasi. Diskursus secara refleksif mau memastikan kebenaran dari suatu pembicaraan yang spontan.

Tindakan kunci dari suatu usaha membangun masyarakat adalah komunikasi. Diskursus mengandaikan adanya komunikasi. Tindakan strategis pun mengandaikan komunikasi. Begitu pun pekerjaan mengandaikan komunikasi, karena dari hakikatnya manusia selalu bekerja sama. Agar mampu bekerja sama, manusia memerlukan koordinasi, dan komunikasi itu dapat terjadi hanya mungkin lewat komunikasi verbal yang menghasilkan kesalingpengertianan.

Suatu komunikasi verbal akan berhasil bila tindakan komunikasi dalam bahasa itu memenuhi empat norma dasar. Komunikasi verbal itu : (1) harus jelas, artinya orang harus dapat mengungkapkan secara jelas apa yang dimaksudkannya, (2) harus benar, artinya mengungkapkan apa yang memang mau diungkapkan, (3) harus jujur, artinya dalam pembicaraan itu harus jauh dari kebohongan, dan (4) harus betul, artinya sesuai dengan norma-norma yang yang diandaikan bersama secara objektif, sosial dan subjektif.

Dengan bertolak dari perhatian Habermas atas implikasi bahasa dalam suatu tindakan, kita dapat bertolak kepada pertanyaan bagaimana perubahan sosial masyarakat Nusa Tenggara Timur terkait dengan pertambangan mangan? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu pertama-tama memahami menurut Habermas bagaimana perubahan sosial dapat terjadi.

5.

Tambang Mangan dan Perubahan Sosial

Menurut Habermas perkembangan masyarakat selalu berada dalam hubungan dialektis antara proses kognitif-teknis dan moral-komunikatif. Bagi Habermas, masyarakat yang berkembang hanya dengan mendasarkan diri pada dimensi kognitif-teknis tidak akan mengubah sistem yang melingkupi dunia-hidup manusia. Sebab, dimensi kognitif-teknis hanya akan memperkuat kerangka institusional yang telah ada. Dimensi kognitif-teknis hanya akan memperkuat kedudukan orang kuat dan semakin melemahkan posisi orang-orang pinggiran. Baru apabila masyarakat berusaha mengembangkan dimensi komunikasi secara jelas, benar, jujur dan tepat dalam bingkai cakupan pandangan moral, misalnya hubungan kerja disadari sebagai diskriminatif, jadi secara moral tidak benar, tatanan institusional akan diubah; dan dengan demikian potensi baru yang tercakup dalam berbagai ketrampilan teknologi baru yang sudah dipelajari dapat menjadi efektif dan menghasilkan perubahan dalam cara suatu masyarakat berproduksi.

Membaca persoalan tambang mangan dalam perspektif Habermas, kita mengikuti pembedaannya terhadap logika perkembangan dan dinamika perkembangan. Logika perkembangan menentukan kemajuan-kemajuan mana yang mungkin tercapai dalam dimensi rasionalitas. Sedangkan dinamika perkembangan menyangkut pertanyaan: apakah suatu perubahan memang akan terjadi? Atau dengan kata lain apakah masyarakat mengalami perubahan secara mendalam ke arah yang lebih baik tidak bisa dipastikan. Kalau terjadi perubahan, maka pertanyaan lanjut adalah pada level masyarakat macam manakah perubahan ini terjadi? Pada level rakyat besar ataukah level rakyat kecil?

(5)

sebagai situasi dasariah sebagian besar masyarakat mau diselesaikan dengan pendekatan rasionalitas sasaran yang didukung oleh ilmu-ilmu empiris-analitis. Misalnya pendirian pabrik pencucian mangan dengan alasan akan terjadi perubahan hidup masyarakat. Pemecahan itu sendiri menjadi ideologis karena menangani proses komunikasi yang menyertai kebijakan tersebut menurut pola kekuasaan. Ketika sebagian masyarakat mencoba mempertanyakan kebijakan yang diambil, pemerintah justru semakin berani mengambil keputusan dengan alasan yang sangat utilitaristis.

Kebijakan yang ideologis itu lahir karena faktor rasionalitas masyarakat dalam hal ini rakyat kecil yang sangat rendah. Hal ini terutama dipicu oleh kenyataan bahwa pengetahuan rakyat kecil sangat minim. Karena itu, penindasan ideologis ini menimpa mereka dari dua arah sekaligus. Pada level praksis dan level teori. Dari satu sisi, pada level praksis yang nampak melalui system, dalam hal ini kerangka institusional yang dengan watak rasionalitasnya telah memeroleh pengaruh yang menguasai dunia-hidup. Pada sisi lain, penindasan itu terjadi lewat pengetahuan. Pengetahuan adalah kekuasaan. Rakyat kecil dengan pengetahuan yang minim, dapat dengan mudah diperdayai dengan bahasa yang kelihatannya jelas, benar, jujur dan betul.

Pada titik ini, pemilik modal dengan tindakan strategis melalui instrumental knowledge dapat dengan mudah memobilisasi masyarakat untuk menambang mangan. Dengan itu para pemilik modal dapat meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, dan masyarakat tidak menyadari kerugian yang mereka ciptakan bagi diri mereka.

Dengan penindasan yang terjadi seperti ini, dinamika perkembangan masyarakat yang tergantung secara mutlak dari pengalaman-pengalaman kontingen tidak dapat dipastikan baik secara apriori maupun secara aposteriori. Sebab semua yang mendukung kemajuan rakyat kecil tidak terpenuhi di sini, terutama menyangkut rasionalitas komunikatif tidak berjalan secara efektif.

6.

Catatan akhir

Klaim pemerintah bahwa pertambangan memungkinkan perubahan hidup masyarakat ke arah yang lebih baik tidak dapat sepenuhnya diterima. Pemeritah mengungkapkan bahwa rakyat akan semakin sejahtera, dan pendapatan asli daerah (PAD) akan meningkat dengan adanya penambangan. Bila dikritisi menurut pandangan Habermas, kebijakan pemerintah ini tidak memenuhi kriterium bagi perkembangan suatu kelompok masyarakat. Sebab kebijakan pemerintah tersebut kontradiktif dengan situasi sosial masyarakat kita. Kontradiksi itu nampak dari formasi dasar masyarakat kita yang kapitalistik-feodal yang terbangun dari individu dan kelompok-kelompok yang saling bertentangan menyangkut kepentingan masing-masing.

Menurut Habermas, perubahan sosial masyarakat hanya akan terjadi bila tindakan komunikatif dalam hal ini diskursus menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan rakyat kecil dengan sistem yang sering menindas. Namun, hal itu menjadi aporia. Menjadi jalan buntu bagi kita. Konteks masyarakat Nusa Tenggara Timur yang kapitalistik-feodal, tidak memungkinkan tindakan komunikatif yang efektif sebagaimana diharapkan Habermas. Tindakan komunikatif itu sendiri menjadi bumerang bagi rakyat kecil. Bagi kebanyakan masyarakat kita, terutama rakyat kecil, pernyataan dan perkataan pemimpin adalah kebenaran. Masyarakat tidak lagi akan berpikir kritis ketika pemerintah dengan memboncengi adat dan atau pendekatan kekeluargaan meminta mereka untuk bekerja sama.

(6)

bersangkutan ikut serta dengan bebas. Diskursus bersama mengenai tambang mangan yang terlaksana selama ini hanya melibatkan pemerintah dan mereka yang mendukung dengan pihak yang merasa perlu berjuang bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

Pandangan Habermas membawa implikasi bahwa proses penambangan mangan yang didasarkan pada prinsip legitimasi yang tidak diakui semua warga tidak memiliki legitimasi etis. Dalam masyakarat yang secara prinsip pluralis, kerangka normatif terkait penambangan mangan yang mengikat kehidupan bersama harus berdasarkan pada kesepakatan bersama yang dicapai dalam komunikasi yang tidak didistorsikan oleh pelbagai tekanan pihak-pihak yang lebih kuasa (mekanisme pasar di mana pemerintah pun tunduk di bawahnya). Dalam bahasa Habermas: “prosedur-prosedur dan prasyarat-prasyarat pencapaian kesepakatan rasional sendiri menjadi prinsip”.

Daftar Bacaan:

Frans Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta, Kanisius, 199214 ---, Pijar-pijar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 2005

Sindung Tjahyadi, Teori-teori Jürgen Habermas: Asumsi-asumsi Dasar Menuju Metodologi Kritik Sosial, artikel pdf, yang diunduh dari

http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/view/25/21

Uwe Steinhof, The Philosophy of Jürgen Habermas, A Critical Introduction, Oxford, Oxford University Press 2009 yang diunduh dari

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya nilai ureum dalam darah pada pasien GGK Non DM dibandingkan GGK dengan DM, diasumsikan selain karena kerusakan fungsi ginjal yang tidak dapat

Ogan Komering

Pengaruh pengaktifan zeolit, yaitu dapat memurnikan zeolit dari komponen pengotor, menghilangkan jenis kation logam tertentu dan molekul air yang terdapat dalam rongga,

Dengan mencermati slide power point tentang informasi penting dan pokok pikiran dari bacaan yang dikirimkan guru lewat zoom, siswa mampu menuliskan rangkuman (C6)

Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa lebih tinggi pada kelas eksperimen daripada kelas kontrol membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran Experiential

Pupuk daun selain Hyponex dan Gandasil D yang dapat dicoba efektivitasnya sebagai bahan media dasar adalah Growmore biru 32-10- 10, Growmore adalah pupuk yang

• Lapisan dalam (medula) mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa Henle, vasa rekta dan duktus koligens terminal • Puncak piramid menonjol ke dalam3. disebut

Di samping itu hasil kajian juga boleh digunakan oleh pihak TNB untuk mengenal pasti keberkesanan program latihan yang dilaksanakan dengan melihat hubungan faktor individu