• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Risiko Trombosit Berdasarkan Caprini Skor Pada Pasien Kanker Di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Risiko Trombosit Berdasarkan Caprini Skor Pada Pasien Kanker Di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar Hemostasis

Hemostasis berasal dari kata haima yang berarti darah dan stasis yang berarti berhenti, merupakan proses kompleks yang berlangsung secara terus menerus dalam mencegah kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan perdarahan akibat kerusakan sistem pembuluh darah. Setiap kerusakan endotel pembuluh darah merupakan rangsangan yang poten untuk pembentukan bekuan darah. Proses yang terjadi secara lokal berfungsi untuk menutup kebocoran pembuluh darah, membatasi kehilangan darah yang berlebihan dan memberi kesempatan untuk perbaikan pembuluh darah. Terdapat beberapa mekanisme kontrol dari proses hemostasis antara lain sifat antikoagulan dari sel endotel normal,adanya inhibitor faktor koagulan aktif dalam sirkulasi dan produksi enzim fibrinolitik untuk melarutkan bekuan(Riddle,2007)

Permeabilitas, fragilitas dan vasokonstriksi merupakan sifat yang dimiliki oleh pembuluh darah. Peningkatan permeabilitas mengakibatkan keluarnya darah dari pembuluh darah berupa peteki, purpura dan ekimosis yang besar. Peningkatan fragilitas pembuluh darah memungkinkan terjadinya ruptur yang menimbulkan petekie, purpura(terutama pada kulit dan mukosa), ekimosis yang besar serta perdarahan hebat pada jaringan yang lebih dalam. Vasokonstriksi dapat mengakibatkan obstruksi yang bersifat parsial maupun total, iskemia dan akhirnya berbentuk trombus. Vasokonstriksi ini bersifat dibawah kontrol lokal (suhu, pH, pCO2), neural (saraf simpatis) dan humoral. Factor humoral yang mengendalikan vasokonstriksi terutama substansi yang dilepas oleh trombosit seperti epinefrin, norepinefrin, ADP(adenosine difosfat), kinin dan tromboksan. Produksi degradasi fibrin yang dilepas sewaktu system fibrinolysis bekerja pada fibrin dapat memodulasi vasokonstriksi.(suharti,2009)

(2)

5

bekuan darah. Sel endotel ini dapat terkelupas oleh berbagai rangsangan seperti asidosis, hipoksia, endotoksin, oksidan, sitokin dan shear stress. Endotel pembuluh darah yang tidak utuh akan bersifat prokoagulan dengan menyebabkan vasokonstriksi lokal, menghasilkan factor koagulasi (tromboplastin, factor von illebrand, activator dan inhibitor protein C, inhibitor activator plasminogen tipe 1), terbukanya jaringan ikat subendotel (serat kolagen, serat elastin dan membrane basalis) yang menyebabkan aktivasi dan adhesi trombosit serta mengaktifkan factor XI dan XII(furie,2008).

Bila sel endotel terkelupas, kolagen maupun membrane basalis subendotel menarik trombosit untuk membentuk sumbat hemostatik primer, sehingga menghentikan keluarnya darah dari pembuluh darah. Peristiwa lain akibat terkelupasnya endotel dapat menyebabkan terbentuknya sumbat hemostatik primer terjadi pada tempat yang sama dan dalam periode waktu yang lama, otot polos atau sel lain akan berdiferensiasi dan berimigrasi ke intima. Setelah sumbat hemostatik primer terbentuk, proses selanjutnya adalah peristiwa reparasi otot polos atau sel lain dari media mengalami diferensiasi, selanjutnya bermigrasi dan akhirnya membentuk sel endotel baru yang bersifat nontrombogenik. Bila pembentukan sumbat trombosit primer terjadi secara berlebihan, akan terbentuk suatu thrombus besar yang dapat menghentikan aliran darah, yang akhirnya dapat menyebabkan kerusakan organ akibat iskemia. Suatu senyawa akan dilepas selanjutnya akan menarik makrofag yang memakan kolesterol maupun materi yang lain, sehingga terbentuklah plak aterosklerotik(Suharti,2009).

(3)

6

Struktur trombosit terdiri atas zona perifer, zona solgel dan zona organela. Zona perifer terdiri atas glikokalik, suatu membran ekstra yang terletak di bagian paling luar, didalam nya terdapat membran plasma dan lebih dalam lagi terdapat sistem kanal terbuka.

Zona solgel terdiri atas mikrotubulus, mikrofilamen, sistem tubulus padat (berisi nukleotida adenine dan kalsium). Selain itu juga terdapat trombositenin suatu protein penting untuk fungsi kontraktil.

Zona organela terdiri atas granula padat, mitokondria, granula dan organela(lisosom dan reticulum endoplasmik). Granula padat berisi dan melepaskan nukleotida adenine, serotonin, katekolamin dan factor trombosit. Sedangkan granula berisi dan melepaskan fibrinogen, PDGF(platelet derived growth factor), enzim lisosom. Terdapat tujuh faktor trombosit yang telah diidentifikasi dan diketahui ciri-cirinya. Dua diantaranya dianggap penting yakni faktor trombosit 3(membrane fosfolipoprotein trombosit) dan faktor trombosit 4(Suharti,2007).

(4)

7

Gambar 2.1 Proses Koagulasi

Seperti pada gambar proses pembekuan darah terdiri dari serangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan ion kalsium. Faktor pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekursor selanjutnya menjadi enzim. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim. Proses pembekuan darah dimulai melalui dua jalur yaitu jalur intrinsik yang dicetuskan oleh adanya kontak faktor pembekuan dengan permukaan asing yang bermuatan negative dan melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor VIII, high molecular eight kininogen (HMK), pre kalikrein (PK) dan ion kalsium serta jalur

(5)

8

Pembekuan darah merupakan proses autokatalitik dimana sejumlah kecil enzim yang terbentuk pada tiap reaksi akan menimbulkan enzim dalam jumlah besar pada reaksi selanjutnya. Oleh karena itu perlu ada mekanisme kontrol untuk mencegah aktivasi dan pemakaian faktor pembekuan darah secara berlebihan yaitu melalui aliran darah, mekanisme pembersihan seluler dan inhibitor alamiah. Aliran darah akan menghilangkan dan mengencerkan faktor pembekuan darah yang aktif dari tempat luka yang selanjutnya faktor pembekuan darah yang aktif ini akan dibersihkan dari sirkulasi darah oleh hati. Dalam keadaan normal plasma darah mengandung sejumlah protein yang dapat menghambat enzim proteolitik yang disebut sebagai inhibitor seperti antitrombin alfa 2 makroglobulin, alfa 1 antitripsin, C1 esterasi inhibitor, protein C, protein S. inhibitor ini berfungsi untuk membatasi reaksi koagulasi agar tidak berlangsung secara berlebihan sehingga pembentukan fibrin hanya terbatas disekitar daerah yang mengalami cedera. Antitrombin akan menghambat aktivitas faktor XIIa, faktor XIa, faktor Xa, faktor IXa, faktor VIIa, plasmin dan kalikrein. Protein C yang diaktifkan oleh thrombin dengan kofaktor trombomodulin akan memecah F.Va dan faktor VIIIa menjadi bentuk yang tidak aktif dengan adanya kofaktor protein S. Alfa 1 antitripsin akan berperan dalam menginaktifkan thrombin, faktor XIa, kalikrein dan HMK. C1 inhibitor akan menghambat komponen pertama dari sistem komplemen, faktor XIIa, faktor Xia dan kalikrein (Oesman, 2007).

(6)

9

maupun u-PA dan alfa 2 antiplasmin yang akan menetralkan aktivitas plasmin yang masuk sirkulasi (Tambunan,2006).

Proses hemostasis yang berlangsung untuk memperbaiki kerusakan pada pembuluh darah dapat dibagi atas beberapa tahapan, yaitu hemostasis primer yang dimulai dengan aktivasi trombosit hingga terbentuknya sumbat trombosit (Spronk,2004). Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi hingga terbentuknya bekuan fibrin yang menggantikan sumbat trombosit. Hemostasis tertier dimulai dengan diaktifkannya sistem fibrinolysis hingga pembentukan kembali tempat yang luka setelah perdarahan berhenti (Sukrisman,2006).

2.2. Patogenesis Trombosis

Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam sistem peredaran darah yang berasal dari komponen-komponen darah. Trombosis terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara faktor trombogenik dengan mekanisme proteksi sebagai akibat dari meningkatnya stimulus trombogenik atau penurunan mekanisme proteksi. Ada 3 hal yang menjadi penyebab timbulnya thrrombosis seperti yang dijelaskan oleh Triad Virchow yaitu

1. Kelainan endotel pembuluh darah.

(7)

10

Gambar 2.2 Virchow’s Triad

(8)

11

trombogenik akan terpapar dan terjadinya pembentukan thrombus (Setiabudi,2007).

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara proses aktivasi dan inhibisi sistem pembekuan darah. Kecenderungan thrombosis timbul bila aktivasi sistem pembekuan meningkat dan atau aktivitas inhibisi sistem pembekuan menurun. Menurut beberapa peneliti, darah penderita thrombosis lebih cepat membeku dibandingkan orang normal dan penderita-penderita tersebut dijumpai peningkatan kadar berbagai faktor pembekuan terutama fibrinogen, faktor V, faktor VII, faktor VIII, dan faktor X. menurut Schafer penyebab lain yang dapat menimbulkan kecenderungan thrombosis yaitu defisiensi AT, defisiensi protein C, defisiensi protein S, disfibrinogenemia, defisiensi faktor XII dan kelainan plasminogen(Grant,2004).

2.3. Faktor Resiko Trombosis

Berdasarkan data-data yang ditemukan faktor resiko thrombosis antara lain operasi besar, operasi ortopedi, trauma, kehamilan dan nifas, penyakit jantung, penyakit saraf, kanker dan kemoterapi pada penyakit kanker, umur, obesitas, jenis kelamin, varicose vena, riwayat tromboemboli vena, immobilisasi yang lama, golongan darah, terapi hormon dan lain-lain.

Operasi disertai dengan faktor resiko yang multipel untuk tromboemboli vena, prevalens meningkat dengan meningkatnya umur. Pemakaian profilaksis untuk resiko VTE menurunkan angka kejadian VTE pada pasien yang mengalami operasi. Pada operasi ortopedi rata-rata thrombosis vena dalam terjadi pada 50% pasien(Tambunan,2007).

Kehamilan juga dilaporkan menyebabkan meningkatnya risiko thrombosis karena meningkatkan faktor-faktor koagulasi faktor II, faktor VII dan faktor X, karena menurunnya kadar protein s dan terhambatnya sistim fibrinolysis ditambah dengan seringnya kejadian edema pada ekstremitas bawah(Tambunan,2007).

(9)

12

kongestif 10 dari 20 pasien yang meninggal diotopsi 5 diantaranya ditemukan emboli paru. Gagal jantung kongestif ditemukan menjadi faktor resiko independen untuk VTE(Tambunan,2007)

Penyakit neurologi seperti strok secara keseluruhan ditemukan 53% pasien mengalami thrombosis vena dalam. Pada 2 studi strok internasional, dari 4859 pasien ditemukan 0,9% dengan gejala emboli paru dalam 14 hari dari mulai terjadinya stroke iskemik dan hampir seluruhnya fatal. Pada studi stroke akut di china dari 10320 pasien 0,2% didiagnosis dengan gejala emboli paru dalam aktu empat minggu sesudah kejadian stroke iskemik dan separuhnya fatal(Tambunan,2007).

Keganasan merupakan faktor risiko untuk tromboemboli vena yang menjalani operasi. Tetapi ternyata pada pasien yang tidak menjalani operasi ditemukan tromboemboli vena dan ada hubungan dengan keganasan tadi. Pasien dengan keganasan mempunyai resiko 2 kali terjadinya tromboemboli vena. Hal ini karena sel kanker dapat mengeluarkan prokoagulan yang mengaktifkan koagulasi. Kanker sendiri dapat menyebabkan penekanan pembuluh darah vena. Bahkan pasien kanker yang mendapat kemoterapi akan meningkatkan terjadinya tromboemboli vena(Blom,2005).

Umur lanjut disertai dengan peningkatan insiden dari tromboemboli vena. Berdasarkan hasil autopsy di satu rumah sakit ditemukan insidens emboli paru rendah lebih pada pasien lebih muda dari 40 tahun, tetapi kemudian insidens meningkat secara tajam dengan kenaikan umur.

Survey lain berupa otopsi yang dilakukan pada orang yang meninggal karena luka bakar dan luka, ditemukan trombosis vena pada 47% pasien yang lebih muda dari 45 tahun, 62% pada pasien umur 46-75 tahun dan 74% pada umur diatas lebih 75 tahun. Penelitian yang dilakukan pada pasien pascaoperasi, dilakukan scanning kaki untuk yang bertujuan untuk mendiagnosis tromboemboli vena yang tidak menunjukkan gejala, menunjukkan meningkatnya umur menjadi faktor resiko (Tambunan,2007).

(10)

13

resiko independen untuk menjadi emboli paru yang bergejala dalam suatu kesehatan (Darvall, 2005).

Tiga studi melaporkan bahwa jenis kelamin perempuan dapat menjadi faktor resiko independen yang lemah. Di Amerika insidens tromboemboli vena bergejala umumnya diturunkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Di Swedia, insidens thrombosis vena dlam pada laki-laki dan perempuan hampir sama. Namun demikian di Inggris, kematian akibat emboli paru 50% lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dan insidens tromboemboli vena yang bergejala umumnya ditemukan lebih tinggi laki-laki daripada perempuan di Amerika Utara(Tambunan, 2007).

Riwayat pernah tromboemboli vena menunjukkan hubungan yang sangat kuat dengan meningkatnya thrombosis vena dalam pascaoperasi. Dari 3 studi dan analisis multivariate ditemukan riwayat positif tromboemboli vena merupakan faktor resiko independen (Tambunan, 2007).

Studi percobaan menunjukkan stasis vena merupakan faktor penting dalam pembentukan thrombus vena. Gibbs melaporkan dari hasil autopsy 253 pasien ditemukan adanya hubungan antara lamanya berbaring kurang dari satu minggu, ditemukan hanya 15%, sedangkan pada pasien yang berbaring lebih dari satu minggu kejadian lebih dari 80%. Sindro kelas ekonomi pada mereka yang naik pesawat terbang lebih dari 6 jam juga disebut sebagai faktor resiko thrombosis vena (Tambunan, 2007).

Estrogen yang ada dalam kontrasepsi oral potensial menyebabkan thrombosis karena menyebabkan menurun nya kadar protein S meningkatkan faktor VII dan meningkatkan protein C resisten. Meningkatnya faktor resiko tromboemboli vena dengan kontrasepsi oral ini berhubungan dengan pasien yang mempunyai faktor risiko tambahan misalnya faktor V leiden (Tambunan, 2007).

2.4. Diagnosis Trombosis Vena Dalam

(11)

14

hal penting karena dapat diketahui faktor resiko dan riwayat thrombosis sebelumnya. Adanya riwayat thrombosis dalam keluarga sebelumnya juga penting.

Pada pemeriksaan fisis, tanda tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik Tromboemboli vena adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah.

Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan D-dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-dimer merupakan indicator adanya thrombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitive tapi tidak spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya thrombosis jika hasilnya negative. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 93%, spesifisitas 77% dan nilai prediksi negative 98% pada tromboemboli vena proksimal, sedangkan pada tromboemboli vena di daerah betis sensitivitasnya 70%.

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis tombosis. Pada tromboemboli vena pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografi, ultrasonografi Doppler, USG kompresi, venous impedance P lethysmography dan magnetic resonance imaging. Ketepatan pemeriksaan ultrasonography doppler pada pasien dengan tromboemboli vena proksimal yang simtomatik adalah 94% dibandingkan dengan venography, sedangkan pada pasien dengan tromboemboli vena pada betis dan asimtomatik ketepatannya rendah. Ultrasonography kompresi mempunyai sensitivitas 89% dan spesifisitas 97% pada tromboemboli proksimal dan simtomatis, sedangkan pada daerah betis hasil negative palsu dapat mencapai 50%. Venografi merupakan diagnosis standard pada tromboemboli vena, baik pada betis, paha, maupun sistem ileofemoral. Kerugiannya adalah pemasangan kateter vena beresiko alergi terhadap bahan radiokontras atau yodium (Lugyanti, 2007).

(12)

15

sesak, takipnea, takikardia dan banyak berkeringat. Tanda ini sering tidak spesifik, sehingga harus dipikirkan diagnosis banding atau kemungkinan lain.

Pemeriksaan foto dada toraks tidak spesifik tetapi dapat mendiagnosis emboli paru, meskipun dapat dijumpai gambaran normal sehingga 40% kasus. Elektrokardiogram dapat menunjukkan gamabran normal atau sinus takikardi. Gamabran klasik seperti S-T, gelombang T yang berbalik di sadapan precordial kanan, deviasi aksis ke kanan dan right bundle branch blocklengkap atau tidak lengkap dapat dijumpai tapi tidak memastikan diagnosis. Pemeriksaan analisa gas darah dapat menunjukkan penurunan tekan pO2 dan pCO2 yang disertai alkalosis, meskipun nilai gas darah yang normal tidak menyingkirkan emboli paru.

Pemeriksaan Ventilation-Perfusion Lung Scanning merupakan prosedur baku untuk mendiagnosis emboli paru. Interpretasi hasil pemeriksaan ini berdasarkan daerah V/Q yang mismatch yaitu tidak terdapatnya gambaran perfusi seangkan gambaran ventilasi Nampak normal atau tersebar merata. Hasil yang diperoleh dibagi menjadi sangat mungkin, kemungkinan sedang, rendah, sangat rendah atau normal. Angiografi pulmonal juga merupakan standard untuk mendiagnosis emboli paru. Mengingat prosedur ini invasive dengan resiko morbiditas 0,2% dan mortalitas 1,9% karena reaksi alergi terhadap bahan kontras, perforasi jantung dan aritmia, prosedur ini digunakan jika hasil V/Q scanning menunjukkan kemungkinan sedang atau rendah dan ultrasonografi ekstremistas normal sedangkan klinis tinggi (Lugyanti,2007).

2.5. Trombosis pada Kanker

(13)

16

Gambar 2.3 Perbandingan kejadian tromboemboli pada pasien kanker dan pasien tidak kanker (Stein, 2006).

Seperti yang tertera pada gambar angka kejadian thrombosis meningkat pada pasien kanker dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami kanker. Epidemiologi pasien thrombosis pada pasien kanker ditemukan meningkat dibandingkan pada populasi normal. Berbagai penelitian menemukan beragam tingkat peningkatan risiko thrombosis pada pasien kanker. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Anna (2011) yang menyebutkan pasien kanker berisiko mengalami trombosis 4 kali lebih tinggi. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan Noble (2010) yang menemukan secara keseluruhan pasien kanker mengalami peningkatan risiko thrombosis sebanyak 7 kali lebih tinggi dan risiko berbeda serta bisa meningkat bergantung karakteristik pasien dan lokasi kanker dan metastasisnya.

(14)

17

Table 2.1 lokasi kanker dan jumlah kejadian thrombosis

Site Rate of DVT/PE per 10 000 patients

Head/neck 16

Faktor risiko seperti immobilitas, obesitas, cedera pada pinggul, operasi dan adanya spinal injuri juga berperan dalam risiko kejadian thrombosis. Immobilitas yang akan menyebabkan stasis atau berkurangnya aliran darah akan meningkatkan kemungkinan aktifasi platelet dan menimbulkan thrombosis. Begitu pula dengan faktor risiko kemoterapi meningkatkan resiko tromboemboli melalui tiga mekanisme, yaitu pertama kerusakan akut dinding pembuluh darah, kedua nonakut pada endotel dan ketiga menurunkan kadar antikoagulan alamiah. Beberapa laporan menyebutkan kemoterapi neoadjuvan dan adjuvan seperti rejimen FAC, ataupun status postmenopause pada waktu terapi memberikan risiko yang tinggi dan bermakna terjadinya tromboemboli.(Cosphiadi,2007).

Patofisiologi terjadinya trombosis pada pasien kanker sangat dipengaruhi oleh keadaan tubuh yang berubah dikarenakan kanker. Sel tumor dapat mengaktifkan pembekuan darah melalui berbagai jalur, termasuk produksi prokoagulan, fibrinolysis dan aktivitas faktor proaggregasi berupa pelepasan proinflamasi dan sitokin proangiogenesis. Peran kunci pembentukan trombosis pada pasien kanker diperankan oleh faktor jaringan, faktor proinlamasi dan trombosit.

(15)

18

termasuk kanker padat maupun kanker tidak padat. Pada pembuluh darah yang normal faktor jaringan tidak diekspresikan, kecuali bila diinduksi oleh sitokin proinflamasi seperti interleukin dan tumor necrosis factor atau oleh lipopolisakarida bakteri.

Ekspresi faktor jaringan dari berbagai jenis kanker diinduksi oleh onkogen yang diaktifkan atau gen supresi tumor yang dinonaktifkan. Faktor jaringan juga diinduksi oleh berbagai mediator termasuk TNF, IL, ligan CD40, thrombin, LDL yang teroksidasi dan VEGF. Pada penderita kanker faktor jaringan dapat dideteksi di sirkulasi darah. Faktor jaringan yang bersirkulasi dalam darah menyatu dengan mikropartikel yang berasal dari sel endotel, sel otot polos pembuluh darah, leukosit atau trombosit. Ekspresi berlebihan faktor jaringan pada sel tumor dan peningkatan kadar faktor jaringan dalam darah menyebabkan kondisi hiperkoagulabel.

Sel tumor juga melepas sitokin proinflamasi dan kemokin seperti TNF, IL dan VEGF yang selanjutnya mempengaruhi leukosit dan sel endotel untuk mengekspresikan faktor jaringan dan sejumlah molekul adesi lain yang mungkin sebagai predisposisi maupun memacu trombosis.

(16)

19

Sel tumor selain mengekspresikan faktor jaringan dan prokoagulan kanker yang dapat meningkatkan status prokoagulasi, juga mengekspresikan protein yang mengatur sistem fibrinolitik, termasuk activator plasminogen, inhibitor activator plasminogen 1 dan 2 serta reseptor activator plasminogen, yang mengakibatkan gangguan keseimbangan mekanisme fibrinolysis (Suharti, 2007).

Kemoterapi meningkatkan resiko tromboemboli melalui tiga mekanisme, yaitu pertama kerusakan akut dinding pembuluh darah, kedua nonakut pada endotel dan ketiga menurunkan kadar antikoagulan alamiah. Beberapa laporan menyebutkan kemoterapi neoadjuvan dan adjuvan seperti rejimen FAC, ataupun status postmenopause pada aktu terapi memberikan risiko yang tinggi dan bermakna terjadinya tromboemboli.(Cosphiadi,2007).

Tromboemboli vena sekarang dikenal sebagai penyakit yang kronis, dikarenakan seringnya kekambuhan setelah adanya tromboemboli. Sebuah penelitian prospective yang dilakukan Prandoi di tahun 2002 mengevaluasi resiko berulangnya tromboemboli vena atau perdarahan selama terapi antikoagulan di 842 pasien dengan tromboemboli vena dengan dan tanpa kanker yang menerima terapi antikoagulan. Diantara 181 pasien yang ikut dalam penelitian diketahui mengidap kanker mengalami kejadian tromboemboli sebanyak 20,7% dibandingkan dengan 6,8% pasien tanpa kanker yang mengalami tromboemboli.

2.6. Caprini Score

Caprini score adalah sistem skoring yang ditemukan oleh Joseph A. Caprini yang menilai peningkatan resiko terjadinya thrombosis pada seorang pasien. Caprini memberikan skoring untuk setiap faktor resiko yang dimiliki oleh pasien untuk menentukan resiko terjadinya thrombosis pada pasien berdasarkan literature(Caprini,2006).

Gambar

Gambar 2.1 Proses Koagulasi
Gambar 2.2 Virchow’s Triad
Gambar 2.3 Perbandingan kejadian tromboemboli pada pasien  kanker dan pasien tidak kanker (Stein, 2006)
Table 2.1 lokasi kanker dan jumlah kejadian thrombosis

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya kemajuan teknologi informasi semakin pesat dalam segala bidang. Perkembangan teknologi informasi ini tentu mendukung pula adanya suatu sistem informasi yang

Faktor pertama adalah Faktor Supportive Leadership yang menunjukkan besarnya pengaruh dukungan seorang pemimpin pada pembentukan employee engagement tenaga keperawatan

Sementara itu pada proses penyimpanan (pasca panen) ditemukan beberapa hama gudang antara lain kutu pillbugs , semut dan tungau. Terdapat dua penyakit

Pada bentuk tampilan Menu utama program terdapat beberapa fungsi yaitu Master data yang berfungsi untuk mengentry divisi, rekanan dan kriteria, dan

Sistem Infomasi Kesehatan (SIK) merupakan Susbsistem dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang mempunyai fungsi untuk memberikan informasi dalam menunjang

Dari Gambar 3 histogram hasil pengujian DDH (Diameter Daerah Hambat) pertumbuhan jamur Candida albicans yang diberi perlakuan uji minyak atsiri dengan berbagai

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan berbagai variasi komposisi tepung dan jenis susu tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein kerupuk susu,

Hasil analisis bivariat dukungan dimensi emosional menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara dukungan dimensi emosional dengan kualitas hidup