• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Persentase Penduduk Defisit Energi di Indonesia 1987-2010 Salah satu indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi biasanya disajikan dalam bentuk kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein dalam setiap jenis makanan tersebut (kandungan kalori dan protein untuk setiap jenis makanan diperoleh dari daftar komposisi bahan makanan Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan) kemudian hasilnya dijumlahkan (BPS 1994). Kesejahteraan dapat dikatakan makin baik apabila kalori dan protein yang dikonsumsi penduduk semakin meningkat sampai akhirnya melewati batas minimal konsumsi kalori dan protein (SUSENAS 1984). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2100 kkal/kap/hari. Angka Kecukupan Gizi Tingkat konsumsi energi (TKE) diperoleh dengan cara membandingkan konsumsi energi aktual dengan angka kecukupan energi. Berdasarkan Depkes (1996), jika tingkat konsumsi energi < 70% dikatakan defisit tingkat berat, 70-79% dikatakan defisit tingkat sedang. 80-89% dikatakan defisit tingkat ringan, 90-119% dikatakan normal dan ≥ 120% dikatakan kelebihan.

Tahun 1987 hingga 2010 telah terjadi banyak kejadian berupa perubahan di Indonesia seperti perubahan kepemimpinan, perubahan sistem tata kenegaraan dari sentralistik ke arah desentralisasi/otonomi daerah, perubahan ekonomi, dan perubahan-perubahan lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tahun tersebut sangat berpengaruh bagi Indonesia karena mempengaruhi situasi ekonomi, sosial, dan politik. Perubahan tersebut dapat berdampak pada tingkat konsumsi energi di Indonesia yang mengakibatkan tingkat konsumsi energi defisit atau kekurangan energi. Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya, berat badan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Almatsier 2006).

Berdasakan hasil pengolahan data SUSENAS tahun 1987 hingga 2010 dapat diketahui persentase rumahtangga defisit energi di Indonesia dengan indikator tingkat konsumsi energi <70% yang tergolong sebagai tingkat konsumsi energi defisit berat. Hasil pengolahan tersebut menunjukan bahwa di Indonesia memiliki penduduk di Indonesia yang defisit energi tingkat berat. Persentase penduduk defisit energi tingkat berat di Indonesia pada tahun 1987 sampai 2010 dapat dilihat secara rinci pada Tabel 2.

Tabel 2 Persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) di Indonesia pada tahun 1987 sampai 2010 Tahun AKG (kkal) Σ Penduduk Defisit Energi (< 70%) Persentase Penduduk Defisit Energi (< 70%) Laju Penduduk Defisit Energi (<70%) per tahun 1987 2100 18.498.785 10,84 1990 25.992.017 14,49 33,67 1993 6.184.747 3,27 -77,43 1996 22.211.840 11,2 242,51 1999 48.685.463 23,47 109,55 2002 12.442.982 5,9 -74,86 2003 22.645.762 10,59 79,49 2004 2000 8.781.453 4,05 61,76 2005 4.419.025 2,01 -50,37 2006 42.010.084 18,86 838,31 2007 30.281.156 13,42 -28,84 2008 22.418.106 9,81 -26,90 2009 13.072.405 5,65 -42,41 2010 30.502237 12,84 127,26

Sumber: SUSENAS 1987-2010 (diolah)

Berdasarkan data pada tabel 2 dapat diketahui perkembangan persentase defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) di Indonesia. Pemantauan perkembangan tingkat defisit energi dilakukan berdasarkan data yang tersedia dan diperoleh, walaupun tidak tercatat dengan lengkap setiap tahunnya. Pada tahun 1987 hingga tahun 2002, data yang digunakan adalah data yang tersedia dengan periode tiga tahun sekali. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1987 hingga tahun 2002 pengambilan data yang dilakukan oleh SUSENAS secara panel. Berbeda halnya dengan data pada tahun 2002 hingga tahun 2010, pengambilan data dilakukan setiap setahun sekali. Persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) yang tertinggi di Indonesia terdapat pada tahun 1999 dengan persentase penduduk sebesar 23,47% yaitu sebanyak 48.685.463 jiwa sedangkan pesentase penduduk defisit energi tingkat berat yang terendah di

Indonesia terdapat pada tahun 2005 dengan persentase penduduk sebesar 2,01% yaitu sebanyak 4.419.025 jiwa.

Persentase penduduk yang defisit energi tingkat berat (TKE <70%) setiap tahunnya selalu berubah. Pada tahun 1987 hingga tahun 1990 persentase defisit energi tingkat berat mengalami peningkatan yaitu dari 10,84% hingga menjadi 14,49% atau sebanyak 18.498.785 jiwa menjadi 25.992.017 jiwa dan pada tahun 1993 mengalami penurunan menjadi 3,27% atau sebanyak 6.184.747 jiwa. Sedangkan ada tahun 1996 hingga tahun 1999 mengalami peningkatan persentase penduduk yang defisit energi tingkat berat (TKE < 70%). Pada tahun 1996 persentase penduduk defisit energi sebesar 11,2% atau sebanyak 22.211.840 jiwa dan pada tahun 1999 sebesar 23,47% atau sebanyak 48.685.463 jiwa. Penurunan persentase yang cukup besar terjadi pada tahun 2002 dari tahun 1999 yaitu sebesar 23,47% menjadi 5,9% atau sebanyak 48.685.463jiwa menjadi 12.442.982 jiwa, walaupun pada tahun berikutnya yaitu tahun 2003 mengalami peningkatan yaitu menjadi 10,59% atau sebanyak 22.645.762 jiwa dan mengalami penurunan kembali pada tahun 2004 dan 2005 yaitu sebesar 8,05% dan 2,01% atau sebanyak 17.454.493 jiwa dan 4.419.025 jiwa. Pada tahun 2006 kembali mengalami peningkatan kembali persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) yang cukup besar hingga menjadi 18,86% yaitu sebanyak 42.010.084 jiwa dan mengalami penurunan pesentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) setiap tahunnya hingga tahun 2009 yaitu sebesar 5,65% atau sebanyak 13.072.405 jiwa, namun pada tahun 2010 kembali meningkat menjadi 12,84% atau sebanyak 30.502.237 jiwa. Pada periode tahun tersebut, rata-rata laju penduduk defisit energi tingkat berat (TKE <70%) sebesar 9,36%. Laju penduduk defisit energi yang mengalami penurunan terbesar terdapat pada tahun 1993 yaitu sebesar 77,43%, sedangkan laju penduduk defisit energi yang mengalami peningkatan terbesar pada tahun 2006 yaitu sebesar 838,31%. Laju rata-rata penduduk defisit energi setiap tahunnya adalah sebesar 91,67%.

Laju tersebut berubah disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya di antaranya perubahan kondisi ekonomi, politik, dan sosial yang telah terjadi di Indonesia. Laju peningkatan terbesar pada tahun 2006 terjadi akibat krisis BBM yang terjadi pada tahun 2005 sehingga mempengaruhi konsumsi pangan di Indonesia yang mengakibatkan penduduk defisit energi di Indonesia meningkat. Krisis BBM yang terjadi pada tahun 2005 tersebut

mengakibatkan semua harga barang meningkat. Dengan adanya peningkatan pada harga barang dan jasa termasuk harga pangan maka akan menyebabkan kemampuan daya beli penduduk terhadap suatu barang atau jasa akan menurun, sehingga penduduk mengurangi atau membatasi membeli barang atau jasa tersebut khususnya penurunan dalam pembelian pangan dikarenakan harga pangan yang terus meningkat. Penurunan daya beli terhadap pangan yang terjadi pada masa krisis BBM akan berdampak pada konsumsi penduduk yang menurun pula sehingga mengakibatkan kurangnya asupan energi atau defisit energi.

Persentase penduduk defisit energi tingkat berat yang tertinggi pada tahun 1999 tersebut merupakan salah satu dampak dari dari kejadian yang terjadi Indonesia yaitu krisis ekonomi yang menyebabkan konsumsi pangan masyarakat di Indonesia menurun. Krisis ekonomi merupakan suatu kondisi perekonomian di suatu wilayah mengalami ketidakstabilan. Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak pada tahun 1997. Hal ini berdampak pada kondisi ekonomi di Indonesia yang akan memperaruhi peningkatan inflasi. Secara tidak langsung, peningkatan inflasi dapat berdampak terhadap harga-harga barang dan jasa terutama harga pangan seperti beras. Harga beras sangat rentan sekali terhadap pergeseran inflasi yang terjadi di Indonesia. Beras merupakan bahan pangan pokok yang sebagian besar dikonsumsi di Indonesia karena beras menyumbang energi terbesar dari kebutuhan energi yang diperlukan oleh seseorang. Tahun 1987 hingga tahun 1993 merupakan tahun sebelum terjadinya krisis ekonomi. Tahun 1996 hingga 1999 merupakan masa terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Tahun 2002 hingga 2010 merupakan masa pasca terjadinya krisis ekonomi. Menurut Martianto (2009) pada krisis ekonomi terjadi perubahan strategis dalam pencapaian pemenuhan kebutuhan pangan. Daya beli yang menurun, masyarakat telah mengurangi pangan yang harganya mahal dan mensubstitusi dengan pangan murah. Oleh karena itu, hal tersebut dapat berdampak terhadap konsumsi energi rumah tangga di Indonesia sehingga terjadi defisit energi pada penduduk di Indonesia. Pada masa pasca terjadinya krisis ekonomi, persentase penduduk defisit energi mulai menurun. Hal tersebut diduga karena kondisi perekonomian di Indonesia mulai membaik yang dapat dilihat dengan pertumbuhan ekonomi pada masa pasca krisis ekonomi kian mengalami peningkatan. Selain itu juga pemerintah membuat program-program kebijakan umum ketahanan pangan pada masa pasca krisis ekonomi yang

membuat persentase penduduk defisit energi mulai mengalami penurunan walaupun pada tahun tertentu yang mengalami peningkatan.

Pemerintah membuat kebijakan pangan pada tahun 2006-2009 yang tercantum dalam KUKP (Kebjakan Umum Ketahanan Pangan) 2006-2009 untuk mencegah dan menangani keadaaan rumah rawan pangan dan gizi. Kebijakan tersebut terdiri dari pengembangan isyarat dini dan penanggulangan keadaan rawan pangan, peningkatan keluarga sadar gizi melalui penyuluhan dan bimbingan sosial dengan menyempurnakan sistem komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dan pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga. Sedangkan kebijakan yang dilakukan pemerintah pada tahun 2014 yang tercantum dalam KUKP (Kebjakan Umum Ketahanan Pangan) 2010-2014 dalam mencegah dan menangani keadaan rumah rawan pangan hampir sama dengan kebijakan yang telah ditentukan pada tahun 2006-2009 hanya saja terdapat penambahan beberapa kebijakan. Sehingga kebijakan tersebut terdiri dari pengembangan sistem isyarat dini dan keadaan rawan pangan dan gizi, pemantauan berkala tentang perkembangan pola pangan rumah tangga karena gagal panen dan paceklik, pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga, pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga, dan pemanfaatan cadangan pangan pemerintah di seluruh lapisan untuk dapat menanggulangi keadaan rawan pangan dan gizi.

Menurut Badan Ketahanan Pangan (2007) kondisi penduduk yang defisit energi mencerminkan bahwa pola konsumsi pangan penduduk masih harus diperbaiki, upaya perbaikan konsumsi perlu dilaksanakan secara komprehensif baik dari segi dimensi fisik (penyediaan pangan sumber karbohidrat non beras, protein, vitamin dan mineral), dimensi ekonomi maupun dimensi perbaikan gizi serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, sehingga konsumsi pangan menuju beragam, bergizi seimbang dan aman (konsumsi energi kalori dengan skor PPH 100) dapat dicapai pada tahun 2015. Untuk memperbaiki kualitas konsumsi pangan penduduk menuju beragam, bergizi seimbang dan aman pada masa yang akan datang dilakukan melalui penggalian potensi pangan lokal secara maksimal, pemanfaatan pekarangan sebagai sumber gizi keluarga, tersajinya data konsumsi pangan secara periode dan berkelanjutan, peningkatan kemampuan aparat dan masyarakat dalam pengembangan konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang serta didukung dengan promosi dan sosialisasi secara berkelanjutan. Selain itu, penanaman kesadaran pola konsumsi yang

sehat perlu dilakukan sejak dini melalui pendidikan formal dan non-formal. Dengan kesadaran gizi yang baik, masyarakat dapat menentukan pilihan pangan sesuai kemampuannya dengan tetap memperhatikan kuantitas, kualitas, keragaman dan keseimbangan gizi. Masyarakat juga dapat meninggalkan kebiasaan serta budaya konsumsi yang kurang sesuai dengan kaidaah gizi dan kesehatan. Kesadaran yang baik ini lebih menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi masing-masing anggota keluarga sesuai dengan tingkatan usia dan aktivitasnya (DKP 2006).

Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010

Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang mencakup banyak segi, dan ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan. Dengan demikian kemiskinan merupakan masalah bersama antara pemerintah, masyarakat dan segenap pelaku ekonomi. Kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Internal lebih banyak melibatkan faktor sumberdaya manusianya, sedangkan faktor eksternal menunjukan kondisi yang lebih kompleks karena satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Oleh karenanya, program akan berjalan efektif apabila memperhatikan unsur kedua-duanya. (Makmun 2003).

Selama lebih dari tiga dekade terakhir, jumlah penduduk miskin telah banyak berkurang. Dalam periode 1970-1996, jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dengan cepat dari 70 juta orang (60 persen) menjadi 22 juta orang (11,3 persen). Akan tetapi, pada saat krisis ekonomi terjadi pada pertengahan tahun 1997, jumlah penduduk miskin meningkat kembali. Pada tahun 1998, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 49,5 juta orang (24,2 persen). Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakuakan telah menurunkan jumlah penduduk miskin selama periode 1998-2004. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih 36,2 juta orang (16,7 persen). Ditinjau dari segi distribusi pendapatan, masih terlihat adanya ketidakmerataan walaupun masih tergolong rendah (BPS 2004). Data yang lebih rinci mengenai jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1987 sampai 2010 Tahun Σ Penduduk Miskin % Penduduk Miskin

1987 29.693.622 17,40 1990 27.086.221 15,10 1993 25.911.632 13,70 1996 34.646.504 17,47 1998 49.524.424 24,23 1999 48.602.489 23,43 2000 39.479.043 19,14 2001 38.291.880 18,41 2002 38.383.436 18,20 2003 37.251.102 17,42 2004 36.123.212 16,66 2005 35.110.364 15,97 2006 39.537.593 17,75 2007 37.411.444 16,58 2008 35.238.247 15,42 2009 32.738.855 14,15 2010 31.666.263 13,33 Sumber: BPS 2004-2010

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia yang tertinggi dari tahun 1987 hingga tahun 2010 terdapat pada tahun 1998 dan tahun 1999 dengan jumlah penduduk masing-masing 49.524.424 jiwa atau 24,23% dan 48.602.489 jiwa atau 23,43%. Hal tersebut disebabkan oleh dampak dari kejadian yang terjadi di Indonesia yaitu krisis ekonomi atau krisis moneter. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan mengalami puncaknya pada tahun 1998 telah mengakibatkan bertambahnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada periode tahun 2000-2010 jumlah penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk yang miskin sebesar 17,75% atau sebanyak 39.537.593 jiwa. Namun pada tahun 2007 kembali menurun hingga tahun 2010. Peningkatan jumlah penduduk yang miskin tidak sepenuhnya terjadi kibat krisis ekonomi, melainkan sebagian terjadi karena perubahan standar yang digunakan. Jumlah penduduk miskin yang rendah selama beberapa tahun tersebut terdapat pada tahun 2010 dengan jumlah penduduk 31.666.263 jiwa atau dengan persentase penduduk miskin sebesar 13,33%. Pada masa pasca krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 (tahun 2001

hingga tahun 2010), tingkat kemiskinan di Indonesia mulai mengalami penurunan di setiap tahunnya walaupun pada tahun 2006 mengalami peningkatan. Namun pada tahun berikutnya mengalami penurunan kembali. Peningkatan tingkat kemiskinan yang terjadi pada tahun 2006 merupakan dampak dari krisis BBM yang telah terjadi pada tahun 2005. Pada saat krisis BBM terjadi, semua harga barang dan jasa mengalami peningkata sehingga kemampuan daya beli terhadap barang dan jasa pada tahun tersebut mengalami penurunan.

Penurunan tingkat kemiskinan yang terjadi pada masa pasca krisis ekonomi tersebut diduga adanya program-program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah. Salah satu program yang dilakukan adalah program pengembangan masyarakat. Program-program pengembangan masyarakat, dalam pengentasan kemiskinan, yang mencakup peningkatan kapasitas masyarakat untuk bekerja sama, peningkatan keterampilan usaha dan peningkatan akses kepada sumber daya produktif, telah dilaksanakan oleh berbagai kementrian lingkup pemerintah maupun berbagai organisasi non pemerintah. Program ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga masyarakat miskin. Keberhasilan program tersebut memberikan peluang cukup tinggi bagi keluarga miskin untuk meningkatkan kualitas konsumsinya, ke arah pangan yang lebih beragam dan bergizi seimbang. Peluang ini akan memberikan hasil apabila disertai dengan proses penyadaran kepada mereka atas pentingnya mengkonsumsi pangan dan gizi yang seimbang, baik untuk kesehatan, produktivitas dan kecerdasan anak-anak generasi penerus mereka (DKP 2006). Hubungan antara persentase penduduk defisit energi (< 70%) dengan tingkat kemiskinan (%) di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE < 70%) Dengan Tingkat Kemiskinan (%) di Indonesia Pada Tahun 1987-2010

Analisis korelasi dengan menggunakan metode Pearson menunjukkan bahwa adanya hubungan yang kuat dan signifikan (r=0,589, p<0,05) antara persentase penduduk defisit energi dengan tingkat kemiskinan. Arah hubungan yang positif menunjukkan semakin tinggi nilai tingkat kemiskinan (%) di Indonesia maka semakin tinggi penduduk di Indonesia yang defisit energi (< 70%). Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa persamaan garis yang diperoleh adalah y = -13,26 + 1,428x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang positif antara tingkat kemiskinan dengan persentase penduduk defisit energi (<70%) (ditandai dengan nilai slope yang positif). Koefisien regresi persamaan tersebut adalah 1,428, artinya setiap kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1 satuan makan akan meningkatkan 1,428 kali penduduk defisit energi. Dari persamaan tersebut juga diperoleh nilai determinasi (R2) yaitu sebesar 0,347 yang memliki arti bahwa terdapat 34,7% faktor tersebut berpengaruh dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Berdasarkan hasil analisis tersebut penduduk defisit energi memiliki hubungan dengan tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan kata lain, masyarakat yang miskin cenderung mengalami defisit energi karena penduduk miskin tidak memiliki daya beli terhadap bahan pangan. Hal tersebut disebabkan karena penduduk miskin memiliki pendapatan yang rendah sehingga untuk membeli pangan mereka mengalami kesulitan untuk membeli bahan pangan. Konsumsi pangan merupakan faktor yang menentukan kebutuhan energi seseorang. Penduduk miskin yang mengkonsumsi pangan kurang dari

kebutuhannya maka akan memyebabkan kurangnya energi yang diperoleh dari angka kecukupan energi yang dianjurkan oleh Angka Kecukupan Gizi (AKG). Kekurangan energi tersebut yang terjadi pada penduduk miskin tersebut disebut sebagai penduduk yang defisit energi. Penduduk miskin yang mengalami kekurangan energi atau defisit energi memiliki dampak yang akan mempengaruhi pembangunan di Indonesia. Menurut Tjahjadi (2004), dampak yang ditimbulkan karena kemiskinan akan sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan masyarakat, karena keluarga miskin tidak mampu menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup, aman, dan bergizi sehingga rentan terhadap rawan pangan dan rawan gizi. Sudiman (2008) menyatakan bahwa rumahtangga atau masyarakat yang tingkat konsumsi atau asupan energinya rata-rata per orang per hari <2100 kkal disebut defisit energi atau kelaparan. Keterkaitan antara kelaparan dengan kemiskinan semakin jelas, karena pijakannya sama, yakni jika pada kelaparan digunakan batas asupan energi 2100 kkal per orang per hari sebagai kebutuhan rara-rata, sementara pada kemiskinan digunakan nilai rupiah untuk memenuhi 2100 kilo kalori.

Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Harga Beras di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010

Tahun 1984 Indonesia telah mencapai tingkat swasembada beras yang antara lain ditandai dengan meningkatnya jumlah pembelian beras dalam negeri yang mencapai 2,5 juta ton dan menyusutnya keperluaan operasi pasar tahun 1984/1985 sebesar 70 juta ton sehingga terjadi surplus cadangan beras pemerintah pada tahun 1985 (Amrullah 2003). Beras merupakan pangan pokok utama bagi masyarakat Indonesia. Data Susenas menunjukkan bahwa hampir 100% rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi beras secara teratur pada saat survey. Secara rata-rata, beras memberikan konstribusi energi lebih dari 50% dari total konsumsi energi masyarakat Indonesia (Martianto 2009). Sampai sekarang beras masih merupakan makanan pokok bagi penduduk Indonesia pada umumnya sehingga beras mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam pola konsumsi penduduk Indonesia. Beras mengandung nilai gizi yang besar di dalamnya, maka masyarakat Indonesia sangat menggantungkan dirinya kepada beras sebagai bahan pangan pokok. Oleh karena itu berbagai daya dan upaya dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia untuk memperoleh bahan pangan beras (Saliman 2004). Dengan dikarenakan beras sebagai bahan pangan pokok, maka harga beras memiliki

keterkaitan dengan konsumsi beras penduduk di Indonesia. Harga merupakan penentu sebagian penduduk di Indonesia dalam membeli suaru barang atau jasa. Apabila harga beras mengalami peningkatan maka penduduk akan membeli beras tersebut dengan jumlah yang sedikit. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap konsumsi energi penduduk di Indonesia. Dengan adanya konsumsi energi yang sedikit tersebut maka dapat menyebabkan penduduk mengalami kekurangan energi atau defisit energi.

Harga beras sangat terkait dengan konsumsi energi penduduk Indonesia. Harga beras yang meningkat akan mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap beras tersebut. Penigkatan harga beras yang terjadi dapat mempengaruhi konsumsi energi yang berasal dari beras itu sendiri karena beras memberikan energi tebesar dibandingkan dengan energi yang berasal dari pangan lain. Untuk mengetahui secara rinci harga beras dan perkembangannya pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Bulog 1990 dan 2000, BPS 2010 (diolah)

Gambar 3 Perkembangan Harga Beras di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui perkembangan harga beras setiap tahunnya di Indonesia mulai dari tahun 1987 hingga tahun 2010. Harga beras yang digunakan dalam hal ini berupa harga berlaku yang diperoleh instansi terkait yaitu bulog. Harga beras yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan harga berlaku. Harga beras pada tahun 1987 hingga tahun 2010 selalu mengalami peningkatan harga setiap tahunnya walaupun ada beberapa tahun yang terkadang mengalami penurunan tetapi penurunan tersebut tidak

terlalu besar. Pada tahun 1998, harga beras mengalami peningkatan yang cukup besar daripada tahun 1997 yaitu sebesar Rp 980,5 dan meningkat mencapai Rp 1999,1 pada tahun 1998. Hal tersebut disebabkan karena pada tahun tersebut di Indonesia telah terjadi krisis ekonomi yang mempengaruhi harga beras sehingga harga beras meningkat cukup besar. Krisis ekonomi merupakan suatu keadaan perekonomian mengalami ketidakstabilan. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan inflasi meningkat dengan tajam yang kemudian akan mempengaruhi harga beras pada tahun 1998. Harga beras sangat rentan terhadap pergeseran inflasi yang terjadi di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Amang dan Sawit (1999) bahwa selama 30 tahun terakhir, baru pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis beras yang paling parah yang sebelumnya pernah terjadi pada tahun 1972. Harga beras terus meningkat di satu pihak, sedangkan di pihak lain pendapatan riil masyarakat semakin berkurang dan jumlah orang miskin terus bertambah karena krisi moneter dan ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan 1997, sehingga sebagian besar masyarakat sulit menjangkau beras yang tersedia di pasar, dan harganya tidak stabil. Berbagai kebijakan konvensional dan kebijakan baru diterapkan namun demikian belum mampu sepenuhnya meredam kenaikan harga beras dalam negeri dan memperbaiki daya beli masyarakat. Untuk mengetahui hubungan antara persentase penduduk defisit energi (< 70%) dengan harga beras di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE < 70%) dengan Harga Beras (Rupiah) di Indonesia Pada Tahun 1987-2010

Harga beras yang berkembang di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010 dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat di

Dokumen terkait