• Tidak ada hasil yang ditemukan

4Generalized Inverse Matrices

PEMBAHASAN Deskripsi Data

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui distribusi jumlah keluarga miskin untuk setiap kabupaten/kota. Persentase keluarga miskin untuk setiap kabupaten relatif lebih tinggi dibandingkan dengan persentase keluarga miskin di kota. Hal ini sebanding dengan jumlah keluarga di setiap kabupaten lebih banyak dibandingkan dengan jumlah keluarga di setiap kota.

Tabel 3. Distribusi jumlah keluarga miskin berdasarkan kabupaten / kota

No Nama Kabupaten Jumlah Keluarga Miskin Jumlah Keluarga % Keluarga Miskin 1 KAB BOGOR 289110 878315 32,92% 2 KAB SUKABUMI 245714 574845 42,74% 3 KAB CIANJUR 208562 541270 38,53% 4 KAB BANDUNG 350256 1028703 34,05% 5 KAB SUBANG 226214 395703 57,17% 6 KAB PURWAKARTA 54924 195672 28,07% 7 KAB KARAWANG 239993 516782 46,44% 8 KAB BEKASI 240166 446209 53,82% 9 KOTA BOGOR 23557 176058 13,38% 10 KOTA SUKABUMI 20503 62880 32,61% 11 KOTA BANDUNG 137313 444505 30,89% 12 KOTA BEKASI 44384 327151 13,57% 13 KOTA CIMAHI 16237 105496 15,39% Total 2.096.933 5.693.589 36,83%

Total keluarga miskin dari 13 kabupetan/kota tersebut adalah 2.096.933 dari total 5.693.589 keluarga atau sekitar 36% keluarga termasuk keluarga miskin (Tabel 3). Berdasarkan batasan ini maka jika suatu desa mempunyai persentase keluarga miskin lebih dari 36% maka dikategorikan ke dalam desa miskin sedangkan jika kurang dari sama

Matriks Peragam Spasial (V) Matriks Pembobot Spasial (Z) Peubah Penjelas Baru (w) w= Z*y Fungsi Variogram Teoritik Matriks Jarak Z=V -dan Zij = 1/vij

Pendugaan dengan Menggunakan Regresi Logistik

5

Metode

Berikut ini adalah bagan metode yang dilakukan dalam penelitian :

Gambar 5. Bagan Alur Penelitian Berdasarkan Gambar 5, alur penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Membuat matriks jarak euklid antar desa berdasarkan lintang dan bujur desa

2. Mencari fungsi variogram sebaran teoritik (exponential, power, spherical dangaussian).

3. Berdasarkan fungsi variogram dan matriks jarak dibuat matriks peragam spasial

4. Membalikan matriks peragam spasial yang kemudian akan dijadikan matriks pembobot spasial (Z)

5. Membuat peubah penjelas baru (w) yang telah diberi pengaruh spasial dengan mengalikan Z dan y

6. Melakukan pendugaan dengan menggunakan regresi logistik yang

telah ditambahkan peubah penjelasnya.

7. Membandingkan hasil pendugaan regresi logistik menggunakan matriks pembobot dari model variogram exponential, power, spherical dan gaussian.

Pembandingan model dilihat dari nilai correct classification rate dan c-statistic. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah SAS ver 9.1 dan Microsoft Office Excel 2003.

PEMBAHASAN Deskripsi Data

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui distribusi jumlah keluarga miskin untuk setiap kabupaten/kota. Persentase keluarga miskin untuk setiap kabupaten relatif lebih tinggi dibandingkan dengan persentase keluarga miskin di kota. Hal ini sebanding dengan jumlah keluarga di setiap kabupaten lebih banyak dibandingkan dengan jumlah keluarga di setiap kota.

Tabel 3. Distribusi jumlah keluarga miskin berdasarkan kabupaten / kota

No Nama Kabupaten Jumlah Keluarga Miskin Jumlah Keluarga % Keluarga Miskin 1 KAB BOGOR 289110 878315 32,92% 2 KAB SUKABUMI 245714 574845 42,74% 3 KAB CIANJUR 208562 541270 38,53% 4 KAB BANDUNG 350256 1028703 34,05% 5 KAB SUBANG 226214 395703 57,17% 6 KAB PURWAKARTA 54924 195672 28,07% 7 KAB KARAWANG 239993 516782 46,44% 8 KAB BEKASI 240166 446209 53,82% 9 KOTA BOGOR 23557 176058 13,38% 10 KOTA SUKABUMI 20503 62880 32,61% 11 KOTA BANDUNG 137313 444505 30,89% 12 KOTA BEKASI 44384 327151 13,57% 13 KOTA CIMAHI 16237 105496 15,39% Total 2.096.933 5.693.589 36,83%

Total keluarga miskin dari 13 kabupetan/kota tersebut adalah 2.096.933 dari total 5.693.589 keluarga atau sekitar 36% keluarga termasuk keluarga miskin (Tabel 3). Berdasarkan batasan ini maka jika suatu desa mempunyai persentase keluarga miskin lebih dari 36% maka dikategorikan ke dalam desa miskin sedangkan jika kurang dari sama

Matriks Peragam Spasial (V) Matriks Pembobot Spasial (Z) Peubah Penjelas Baru (w) w= Z*y Fungsi Variogram Teoritik Matriks Jarak Z=V -dan Zij = 1/vij

Pendugaan dengan Menggunakan Regresi Logistik

6

dengan 36% dikategorikan sebagai desa tidak miskin. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat 1550 desa (56,38%) tergolong ke dalam desa miskin. Sedangkan sisanya sebesar 1199 (43,62%) tergolong ke dalam desa tidak miskin (Tabel 4).

Tabel 4. Distribusi jumlah desa berdasarkan kabupaten / kota No Nama Kabupaten Jumlah Desa Miskin Jumlah Desa Tidak Miskin Total Desa 1 KAB BOGOR 201 214 415 2 KAB SUKABUMI 210 130 340 3 KAB CIANJUR 179 165 344 4 KAB BANDUNG 227 209 436 5 KAB SUBANG 205 43 248 6 KAB PURWAKARTA 77 113 190 7 KAB KARAWANG 229 75 304 8 KAB BEKASI 155 24 179 9 KOTA BOGOR 1 62 63 10 KOTA SUKABUMI 15 18 33 11 KOTA BANDUNG 49 90 139 12 KOTA BEKASI 1 42 43 13 KOTA CIMAHI 1 14 15 Total 1550 1199 2749

Distribusi jumlah desa berdasarkan kabupetan/kota terlihat pada Tabel 4. Kabupaten relatif memiliki desa lebih banyak dibandingkan dengan kota. Hal ini berkaitan dengan luas wilayah dari kabupaten yang umumnya lebih besar dibanding luas wilayah dari kota.

Pemodelan Regresi Logistik Klasik Pemodelan regresi logistik tanpa memperhatikan pengaruh spasial dari data dinamakan dengan pemodelan regresi logistik klasik. Tujuan dari pemodelan regresi logistik klasik ini adalah sebagai batasan untuk melihat perbaikan pendugaan parameter setelah dimasukkan pengaruh spasial ke dalam model. Hasil dugaan koefisien model dengan enam peubah penjelas dapat dilihat pada Tabel 5.

Hasil dugaan koefisien yang terdapat pada Tabel 5 merupakan hasil dugaan koefisien ketika dimodelkan dalam peluang Y=0 (status desa tidak miskin).

Tabel 5. Nilai dugaan koefisien untuk model regresi logistik klasik

Parameter Coef Wald Chi-Square P Intercept 0,9429 23,2457 <0,0001 Ada/tidak penduduk yang bekerja sebagai TKI -0,2839 7,1612 0,0074

Jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota -0,0172 4,234 0,0396 Persentase keluarga yang menerima kartu sehat -3,4685 135,2959 <0,0001 Persentase luas sawah -1,6589 96,3885 <0,0001 Pesentase keluarga yang memakai listrik 0,441 5,9096 0,0151 ada/tidak puskesmas di desa tersebut 0,2169 6,6489 0,0099

Setelah diperoleh peubah penjelas yang akan digunakan maka ingin diketahui karakteristik desa miskin dan desa tidak miskin untuk setiap peubah penjelas. Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa desa yang berstatuskan desa miskin dicirikan dengan desa-desa yang memiliki penduduk sebagai TKI lebih banyak, jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota yang lebih jauh, jumlah keluarga penerima kartu sehat yang lebih banyak, sawah yang lebih luas, rumah tangga yang menggunakan listrik lebih sedikit, dan desa yang memiliki puskesmas lebih sedikit dibandigkan dengan desa yang berstatuskan desa tidak miskin.

Tabel 6. Karakteristik desa miskin dan desa tidak miskin

Status Kemiskinan Desa Peubah

Miskin MiskinTidak Persentase desa yang

memiliki penduduk sebagai TKI

84,45% 70,98%

Rata-rata jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota (km)

5,52 4,82

Rata-rata persentase jumlah keluarga yang menerima kartu sehat

27,28% 16,78%

Rata-rata persentase luas

sawah 42,87% 27,15%

Rata-rata Persentase rumah tangga yang menggunakan listrik

71,91% 76,53%

Persentase desa yang

7

Model Variogram Status Kemiskinan Desa Variogram dari status kemiskinan sebagian desa di Jawa Barat terlihat pada Gambar 6. Dari Gambar 6 terlihat bahwa semakin jauh jarak antrar desa maka nilai variogram akan semakin besar, menuju konvergen pada jarak tertentu. Hal ini mengindikasikan adanya unsur spasial dari status kemiskinan suatu desa.

Gambar 6. Plot antar jarak (h) dengan nilai variogramnya

Berdasarkan hasil dugaan variogram dari status kemiskinan desa tersebut dilakukan pemodelan variogram secara teoritik yaitu model exponential, power, spherical, gaussian. Adapun nilai dugaan parameter dari masing-masing model terdapat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai dugaan parameter model

variogram

Model Dugaan Model

Expo-nential 1823 , 0 3 , 0 3 exp 1 0670 , 0 ) ( ^                 h hR2 =92,82% Power^(h)0,1753h0,30,0802 R2 =73,21% Spheri-cal 0,1877, 0,25 25 , 0 * 2 25 , 0 3 0,0605 ) ( 3 3 ^     h h h h25 , 0 , 2482 , 0 ^ h R2 =94,26% Gaussian 0,1994 26 , 0 3 exp 1 0,0498 ) ( 2 2 ^                 h hR2 =95,22%

Model gaussian merupakan model terbaik untuk menggambarkan hubungan antara jarak antar desa dengan nilai variogramnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai R2 tertinggi (95,22%). Sedangkan model power tidak terlalu baik untuk menggambarkan hubungan jarak antar desa dengan nilai variogramnya, hal ini ditunjukkan oleh nilai R2 terendah (73,21%). Sedangkan model power tidak terlalu baik

dalam menggambarkan hubungan antara jarak antar desa dengan nilai variogramnya, hal ini ditunjukkan oleh R2 terendah (73,21%) dan didukung oleh Gambar 7.

Gambar 7. Plot dugaan dari masing-masing model variogram

Terlihat dari plot hasil dugaan masing-masing model dengan nilai variogram bahwa hanya model power yang tidak mampu menggambarkan kondisi variogram yang sebenarnya (Gambar 7).

Pembuatan Matriks Pembobot Spasial Setelah dilakukan pemodelan variogram secara teoritik untuk beberapa model variogram, langkah selanjutnya adalah memanfaatkan hasil dugaan parameter model variogram yang terdapat pada Tabel 6 untuk pembuatan matriks pembobot spasial (Z). Dalam pembuatan matriks pembobot spasial ini juga memanfaatkan matriks jarak yang akan digunakan untuk membuat matriks peragam spasial (V). Matriks ragam spasial adalah sebuah matriks yang merupakan fungsi dari matriks jarak dengan model variogram teoritik.

Setelah diperoleh matriks V, maka dilakukan proses pembalikan matriks terhadap matriks V untuk memperoleh matriks Z. Pembalikan matriks V antara lain dapat dilakukan dengan metode :

1. Membuat matriks yang berisikan nilai-nilai dari satu per matriks V (1/Vij). Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat komputasi.

2. Membuat matriks yang merupakan hasil dari generalized inverse matriks V. Data pembobot spasial yang digunakan untuk pemodelan regresi logistik spasial dibatasi sampai jarak 27,5 km, sedangkan untuk jarak yang lebih dari 27,5 km nilai pembobot spasialnya sama dengan nol.

Plot pencaran antara nilai bobot spasial dengan jarak dapat dilihat pada Lampiran 1. Plot pencaran dari matriks pembobot spasial

8

yang diharapkan adalah plot pencaran yang monoton menurun dari kiri atas ke kanan bawah. Pembalikan matriks V menggunakan 1/Vij menghasilkan plot pencaran yang tidak sesuai dengan harapan. Lain halnya dengan pembalikan matriks V menggunakan generalized inverse matriks V untuk model variogram exponential dan power menghasilkan plot pencaran sesuai dengan monoton menurun dari kiri atas ke kanan bawah.

Dugaan Model Regresi Logistik Spasial Matriks pembobot spasial yang menggambarkan pengaruh spasial antar desa yang berasal dari beberapa model variogram, dikalikan dengan peubah responnya dan kemudian dimasukan ke dalam model regresi logistik sebagai sebuah peubah penjelas baru yang dinamakan dengan x-spasial. Pemodelan regresi logistik dengan melibatkan pengaruh spasial ke dalam model dinamakan dengan model regresi logistik spasial, yang hasil dugaan parameternya terlihat pada Tabel 8 dan Tabel 9. Penelitian ini fokus dalam pencarian arah koefisien dari dugaan parameter, belum memperhatikan segi interpretasi dari dugaan parameter.

Nilai dugaan parameter untuk peubah penjelas x-spasial pada seluruh model regresi logistik spasial berkoefisien negatif, yang dapat diartikan jika suatu desa berdekatan erat dengan desa yang miskin maka peluang desa tersebut berstatus tidak miskin adalah kecil, dan dengan kata lain desa tersebut berpeluang besar sebagai desa miskin. Dugaan terhadap

koefisiean x-spasial ini telah sesuai dengan perkiraan awal penelitian yang menyatakan bahwa status kemiskinan suatu desa diperkirakan dipengaruhi oleh kondisi desa lainnya.

Hasil dugaan parameter untuk setiap metode pembalikan matriks V, menghasilkan arah koefisien yang seragam untuk masing-masing peubah penjelasnya. Keseragaman koefisien yang dihasilkan yaitu koefisien negatif untuk peubah penjelas ada/tidak penduduk yang bekerja sebagai TKI, jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota, persentase keluarga yang menerima kartu sehat, dan persentase luas sawah. Sedangkan koefisien positif untuk peubah penjelas persentase keluarga yang memakai listrik, dan ada/tidak puskesmas di desa tersebut.

Keseragamaan arah koefisien untuk masing-masing peubah penjelas ini akan

memberikan kemudahaan dalam

menginterpretasikan hubungan antar peubah penjelas dengan peubah responnya. Misalkan untuk peubah penjelas persentase luas sawah, yang berkoefisienkan negatif. Interpretasinya adalah ketika persentase luas tanah suatu desa bertambah, maka peluang desa tersebut berstatus desa tidak miskin akan semakin kecil. Sedangkan interpretasi untuk peubah penjelas yang berkoefisien positif, misalkan untuk peubah penjelas persentase keluarga yang memakai listrik maka interpretasinya adalah ketika persentase keluarga yang memakai listrik bertambah, maka peluang desa tersebut berstatuskan desa tidak miskin akan semakin besar.

Tabel 8. Nilai dugaan koefisien regresi logistik dari model klasik dan model spasial menggunakan matriks pembobot spasial dari 1/Vij

Dugaan koefisien

Peubah Klasik Exponential Power Spherical Gaussian

Intercept 0,9429 2,6901 2,7299 2,6408 2,6865

Ada/tidak penduduk yang bekerja sebagai

TKI -0,2839 -0,2336 -0,2305 -0,2368 -0,2326

Jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota -0,0172 -0,0158 -0,0157 -0,0158 -0,0158

Persentase keluarga yang menerima kartu

sehat -3,4685 -2,6599 -2,6364 -2,6873 -2,6590

Persentase luas sawah -1,6589 -1,2869 -1,2710 -1,3046 -1,2852

Persentase keluarga yang memakai listrik 0,4410 0,4751 0,4702 0,4799 0,4739

Ada/tidak puskesmas di desa tersebut 0,2169 0,2511 0,2520 0,2502 0,2513

X Spasial -3,9095 -4,0039 -3,7945 -3,9043

C-statistic 72,30% 73,90% 74,00% 73,80% 73,90%

Correct Classification Rate 65,52% 66,86% 66,89% 66,56% 66,90%

Catatan :

9

Tabel 9. Nilai dugaan koefisien regresi logistik dari model klasik dan model spasial menggunakan matriks pembobot spasial dari (V)

-Dugaan koefisien

Peubah Klasik Exponential Power Spherical Gaussian

Intercept 0,9429 1,9862 2,4719 0,9513 0,9400

Ada/tidak penduduk yang bekerja

sebagai TKI -0,2839 -0,2483 -0,1985 -0,2877 -0,2824

Jarak dari desa ke ibukota

kabupaten/kota -0,0172 -0,0172 -0,0166 -0,0171 -0,0169

Persentase keluarga yang menerima

kartu sehat -3,4685 -2,9509 -2,6316 -3,4712 -3,4619

Persentase luas sawah -1,6589 -1,1672 -0,9617 -1,6573 -1,6657

Persentase keluarga yang memakai

listrik 0,4410 0,2356

tn

0,1599tn 0,4343 0,4493

Ada/tidak puskesmas di desa tersebut 0,2169 0,2089 0,2123 0,2181 0,2164

X Spasial -2,1860 -3,3069 -0,0015tn -0,0067tn

C-statistic 72,30% 79,20% 80,50% 72,30% 72,30%

Correct Clasification Rate 65,52% 72,17% 73,45% 65,48% 65,52%

Catatan :

tn= peubah yang tidak nyata pada taraf α=10%

Yang dimodelkan P(Y=0)

Berdasarkan nilai c-statistic yang terdapat pada Tabel 8 dan Tabel 9 terlihat bahwa secara umum model regresi logistik spasial memiliki nilai c-statistic yang lebih besar dibandingkan dengan nilai c-statistic dari model regresi logistik klasik. Kecuali untuk model spherical dan gaussian ketika menggunakan metode pembalikan matriks V dengan generalized inverse matriks V nilai c-statistic yang diperoleh sama dengan model klasik (72,3%). Hal ini dapat dinyatakan bahwa terdapat perbaikan pendugaan parameter model regresi logistik setelah diberikan pengaruh spasial terhadap data. Perbaikan pendugaan parameter juga didukung dengan correct classification rate model regresi logistik spasial lebih tinggi dibandingkan dengan model regresi logistik klasik.

Nilai c-statistic untuk masing-masing model regresi logistik spasial dapat terlihat secara deskriptif pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa model power menghasilkan nilai c-statistic tertinggi pertama yaitu sebesar 80,50% untuk pembalikan matriks V menggunakan generalized inverse variogram. Sedangkan nilai c-statistic tertinggi kedua dihasilkan oleh model exponential yaitu sebesar 79,20% dengan metode pembalikan matriks V yang sama. Metode pembalikan matriks V menggunakan 1/Vij menghasilkan nilai c-statistic yang relatif sama untuk setiap model regresi logistik spasial yaitu sekitar 74,00%. Nilai c-statistic terkecil dihasilkan oleh model spherical dan gaussian yaitu

sebesar 72,3% ketika menggunakan pembalikan matriks V dengan generalized inverse variogram, hal ini dikarenakan oleh x-spasial yang tidak nyata dalam pemodelan regresi logistik spasial.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Klasik Exponential Power Spherical Gaussian

Model Variogram C -S ta ti s ti c ( % )

C-statistic (1/Vij) C-statistic (ginv(V))

Gambar 8. Perbandingan nilai c-statistic model regresi logistik klasik dengan model regresi logistik spasial untuk berbagai model variogram

Pada Gamabar 9 terlihat secara deskriptif hasil dari correct classification rate masing-masing model regresi logistik spasial. Hasil tertinggi pertama diperoleh model power sebesar 73,45%, sedangkan tertinggi kedua diperoleh model exponential sebesar 72,17%

10

untuk metode pembalikan matriks V yang sama yaitu menggunakan generalized inverse variogram. Correct classification rate terendah dihasilkan dari model spherical yaitu sebesar 65,48% ketika menggunakan metode pembalikan matriks V dengan generalized inverse variogram. Metode pembalikan matriks V menggunakan 1/Vij menghasilkan correct classification rate yang sama untuk model power, eksponenesial, dan Gaussian yaitu sebesar 66,9%, sedangkan untuk model spherical menghasilkan correct classification rate terendah yaitu sebesar 66,56%.

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 100,0

Klasik Exponential Power Spherical Gaussian

Model Variogram C o rr e c t C la s s if ic a ti o n R a te ( % )

Correct Classification rate (1/Vij) Correct Classification Rate (ginv(V))

Gambar 9. Perbandingan hasil correct classification rate model regresi logistik klasik dengan model regresi logistik spasial untuk berbagai model variogram

Pembalikan matriks V dengan menggunakan generalized inverse variogram dan 1/Vijmenghasilkan nilai dugaan parameter yang berbeda dan dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9. Pada Tabel 8 terlihat bahwa seluruh nilai dugaan untuk x-spasial nyata

pada taraf α=10%, sedangkan pada Tabel 9 nilai dugaan untuk x-spasial model spherical dan Gaussian tidak nyata pada taraf α=10%. Oleh karena itu, pembalikan matriks dengan menggunakan 1/Vij lebih baik dalam menggambarkan matriks pembobot spasial yang diharapkan.

KESIMPULAN

Terdapat enam peubah penjelas yang dapat mempengaruhi status kemiskinan sebagian desa di Jawa Barat, yaitu :

 Ada/tidak penduduk yang bekerja sebagai TKI

 Jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota

 Persentase keluarga yang menerima kartu sehat

 Persentase luas sawah

 Persentase rumah tangga yang menggunakan listrik

 Ada/tidak puskesmas di desa tersebut Peubah-peubah tersebut dipilih dari hasil analisis regresi logistik setelah melalui proses bertatar dalam pemilihan peubah penjelasnya.

Data status kemiskinan sebagian desa di Jawa Barat memiliki pola spaisal dan dapat dimodelkan dengan model variogram teoritik (model exponential, model power, model spherical, dan model gaussian). Hasil terbaik pemodelan regresi logistik spasial untuk berbagai model variogram, secara umum dihasilkan dari model power dengan nilai c-statistic sebesar 80,50% untuk pembalikan matriks V menggunakan generalized inverse variogram dan 74,00% untuk membalikan matriks V menggunakan 1/Vij. Secara umum nilai c-statistic dancorrect classification rate yang dihasilkan dari model regresi logistik spasial lebih tinggi dibandingkan dengan regresi logistik klasik yang memiliki nilai c-statistic sebesar 72,3% dan correct classification rate sebesar 65,52%. Hal ini dapat dinyatakan bahwa terjadi perbaikan pendugaan dalam pemodelan regresi logistik setelah dimasukkan pengaruh spasial ke dalam model.

SARAN

Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar dalam penyusunan matriks pembobot spasial dilakukan simulasi dengan mencoba berbagai variasi radius jarak desa yang diakomodir dalam model, sehingga dihasilkan pemodelan yang lebih tepat dalam memprediksi status kemiskinan desa.

Dokumen terkait