• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saat terpapar suatu protein asing, tubuh hewan akan melakukan respon kebal humoral dengan menghasilkan antibodi yang bereaksi spesifik terhadap protein tersebut. Pada uji ELISA yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh nilai yang menggambarkan respon pembentukan antibodi yang diinduksi oleh vaksinasi. Nilai antibodi yang diperoleh merupakan nilai kuantitas dan tidak menunjukkan nilai titernya.

Protein p24 merupakan protein capsid HIV-1 dan disandi dari gen gag

infeksi oleh HIV-1 (Levinson dan Jawetz 2001). Terdeteksinya antibodi protein p24 pada penelitian ini menunjukkan bahwa gen gag HIV-1 dalam vaksin DNA

telah ditranskripsi dan ditranslasikan membentuk protein p24 yang selanjutnya dipresentasikan pada sel inang. Pemaparan protein p24 menginduksi respon kebal humoral berupa pembentukan antibodi terhadap protein tersebut.

Nilai OD pada minggu ke-12 (pra-boosting) mendekati nilai OD pravaksinasi

(minggu ke-0), menunjukkan bahwa sampai titik waktu tersebut, hewan coba yang diimunisasi priming tidak menginduksi respon kebal humoral. Pada minggu

ke-12 dilakukan boosting dengan rFPV-HIV yang membawa gen gag dan pol

HIV-1. Setelah boosting pertama tidak terlihat kenaikan nilai OD kecuali pada

satu hewan (5716). Antibodi p24 HIV-1 terdeteksi pada minggu ke-18, dua minggu pasca boosting yang kedua. Grafik pada gambar 9 memperlihatkan

kenaikan nilai OD sampel asal lima dari tujuh hewan coba kelompok A. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Letvin et al. (1997) yang menggunakan vaksin

protein HIV-1 sebagai booster setelah imunisasi priming dengan vaksin DNA.

Respon antar individu tidak sepenuhnya seragam walaupun mendapat perlakuan vaksinasi yang sama. Variasi individu mempengaruhi respon kebal yang terbentuk. Satu individu mungkin mampu berespon kuat terhadap p24, sementara mungkin pada hewan lainnya tidak (Constantine et al . 1992). Hewan nomor 5716 menunjukkan respon pembentukan antibodi p24 terdeteksi sejak dua minggu pasca booster pertama, terlihat dari kenaikan nilai OD pada minggu

ke-14 dan meningkat pada minggu ke-18. Pada hewan 5421, nilai OD melonjak dua minggu setelah booster kedua mencapai 0.617 dan tetap bertahan tinggi

pada nilai 0.603 pada minggu ke-20. Dua hewan pada kelompok A yaitu 5364 dan 5375 tidak menunjukkan pola pembentukan antibodi seperti hewan lain pada kelompok ini, nilai OD pada tiap waktu perlakuan tetap rendah seperti pada kelompok kontrol. Kedua hewan ini menunjukkan respon kebal humoral yang

kurang baik. Studi oleh Smith et al. (2005) menduga adanya kaitan keragaman

tipe molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) pada hewan coba dengan

variasi respon yang terjadi setelah vaksinasi.

Kelompok hewan kontrol tidak menunjukkan adanya respon spesifik antibodi p24 HIV dari satu waktu ke waktu lainnya, terlihat dari nilai OD pra dan pasca vaksinasi berkisar pada nilai yang rendah dan cenderung konstan. Hal ini membuktikan tanpa introduksi protein asing tidak akan terjadi pembentukan antibodi dalam tubuh.

Antibodi p24 yang terdeteksi pada seorang pasien bukan berarti antibodi yang mampu menetralisasi virus (Levinson dan Jawetz 2001). Hasil ELISA hanya dapat menyatakan kadar antibodi yang muncul tanpa melihat kemampuannya melakukan fungsi kekebalan. Penelitian ini tidak melihat kemampuan antibodi menetralisasi virus HIV-1. Untuk menghasilkan respon kebal humoral berupa antibodi yang mampu menetralisasi (anti-gp120) sangatlah sulit. Antibodi akan bersifat spesifik pada antigen dari strain virus yang digunakan untuk vaksin

sedangkan virus ini memiliki kemampuan mutasi yang luar biasa (Montefiori 2001).

Vaksin DNA HIV-1 dikembangkan dengan fokus untuk menghasilkan respon kebal seluler yang diharapkan akan lebih efektif memberikan proteksi terhadap infeksi HIV. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian oleh Pamungkas (2005) dan dalam studinya ditemukan bahwa vaksinasi DNA HIV-1 dan booster rFPV-HIV menghasilkan respon kebal seluler spesifik terhadap

protein gag HIV-1, yang meningkat pada satu minggu pasca booster pertama dengan rFPV. Pada penelitian Kent et al. (1998) menggunakan hewan coba tikus,

vaksinasi priming dengan DNA HIV-1 dan boosting dengan rFPV-HIV merupakan

usaha imunisasi yang menginduksi respon kebal seluler (Cytotoxic

Maka menjadi suatu hal yang menarik bahwa ternyata pada vaksinasi DNA HIV-1 metode prime/boost menggunakan hewan coba Macaca, respo n kebal humoral

juga terjadi dengan kadar antibodi yang meningkat pasca booster kedua.

Proses vaksin DNA menginduksi respon kebal di dalam tubuh dijelaskan dalam Gurunathan et al. (2000) dan Simmonds et al. (1996) sebagai berikut.

Plasmid DNA yang diinsersi DNA virus masuk ke dalam tubuh dan melakukan transfeksi pada sel inang. Di dalam sel, protein asing yang terbentuk akan dipecah menjadi peptida-peptida yang kemudian dipaparkan bersama MHC. Jika suatu protein asing muncul dari dalam sel inang, maka protein tersebut akan masuk ke jalur MHC kelas I. Jalur ini menginduksi respon kebal seluler berupa aktivasi CTL yang spesifik terhadap protein antigen. Sebaliknya, respon kebal humoral berupa pembentukan antibodi muncul jika protein asing yang eksogen masuk ke dalam sel inang melalui proses endositosis atau fagositosis, kemudian masuk jalur MHC kelas II sel inang. Respon kebal yang muncul tergantung dari pemaparan antigen di dalam tubuh inang. Transfeksi DNA virus pada sel somatis akan mengaktifkan kekebalan dengan mediasi MHC kelas I. Jika protein virus yang terbentuk keluar dari sel somatis dan ditangkap oleh Antigen Presenting

Cells (APC) maka akan dipaparkan bersama MHC kelas I maupun II. Demikian

pula jika transfeksi langsung terjadi pada APC maka akan mengaktifkan jalur respon kebal yang melibatkan MHC kelas I dan kelas II.

Vaksinasi dengan DNA HIV-1 dan booster menggunakan rFPV-HIV dalam

rangkaian studi ini terbukti mampu menginduksi respon kebal humoral dan juga seluler dengan terdeteksi adanya respon antibodi serta peningkatan jumlah limfosit setelah vaksinasi. Namun, belum dapat dipastikan vaksin akan mampu memproteksi hewan bila dilakukan uji tantang. Data yang diperoleh dari penelitian ini dapat menjadi tambahan bukti mengenai kemampuan vaksin DNA dalam menginduksi respon kebal terhadap HIV-1.

Dokumen terkait